Fanfiksi ini dapat dibaca di Wattpad/AO3 Aratte.

Update! 23/11/2016: Untuk info selengkapnya serta alasan mengapa saya memindahkan dan menghapus keseluruhan cerita ini dari FFN, saya telah mencantumkan penjelasannya pada profil FFN saya. Bila ada yang berkeberatan dengan keputusan ini, harap langsung mengontak saya secara pribadi via email (info contact ada di profil FFN saya).

Terima kasih.

PS: Di bawah ini adalah bab 1 dari HAUTE yang bisa dibaca di sini. Untuk bab 2 dan seterusnya, silakan dibaca di AO3 dan Wattpad.

.

.

Bab 1 Audition

EREN Jaeger, lelaki lurus, enambelas tahun, duduk dengan kedua tangan mencengkeram serat-serat katun jeans yang membungkus kakinya. Wajah tegang, peluh menetes turun dari kening kecokelatan, meremang panas dingin bukan karena meriang.

Wanita muda bersetelan pas badan menawarkan pilihan minuman. Eren memilih teh susu jahe.

Empat menit. Cangkir porselen hitam diletakkan pada meja bergaya modern yang kakinya meniru balok-balok bit—yang mengingatkan Eren pada logo perangkat lunak komputer. Majalah-majalah didominasi fashion dan gaya hidup disusun berbentuk kipas. Eren mengabaikan salah satu yang bersampul wajah Mikasa Acker man, dan meraih majalah interior berjudul "Bermain di Halaman Belakang."

Sepuluh menit.

Dua puluh menit. Satu teko habis.

Depresi terselubung remaja mulai menunjukkan tanda melalui konstriksi dada yang membuat napasnya terputus-putus. Sesak buang air kecil. "Maaf, aku ingin ke toilet," celetuk Eren, lalu berpikir kenapa pula harus meminta izin.

"Ho? Ini sudah ketiga kalinya, Nak," timpal pria kumisan bersetelan jas Balenciaga–yang sedang mengendus-endus—di sebelah Eren. "Jangan tegang begitu. Ingin ditemani?"

Tuhan, orang ini masih duduk di sebelahku. Eren menenggelamkan wajah dalam kepalan, lalu menoleh ke samping. "Maaf, Sir."

"Mike," balas si kumis, kaki menyilang. "Atau Michie. Terserah kau saja, sayang."

"S-Sir Mike." Eren mengangguk dalam-dalam. "Berapa lama lagi aku harus menunggu?"

Mike menengadah, lubang hidungnya menyedot seluruh partikel udara lobi agensi berdinding kertas Orchid. Untuk beberapa saat, Eren terlena oleh efek absurditas yang ditimbulkan, lalu bergeser sejauh mungkin.

"Parfum apa yang kau pakai itu, Jaeger?" Mengendus. "Aroma rempah-rempah bercampur lemon dan kesegaran daun mint. Sungguh eksotis."

"Eh? Sa-sabun mandi, Sir." Plus kolonye segar Armin Arlert di dalam lemari yang dia pakai tanpa izin.

"Penciumanku di atas rata-rata," terangnya, meletakkan lengan pada sandaran sofa di belakang Eren. "Yang kusebutkan tadi adalah wangi naturalmu."

"Oh." Eren menyembunyikan telinga yang memerah dengan ujung-ujung helai rambut. Ia mengangkat lengan dan membaui keringat dalam cepitannya diam-diam.

Wanita yang duduk di belakang konter terkikik. Eren menyesal.

Pintu kaca berlogo dua buah sayap Agensi Rec/On menjeblak terbuka. Pemuda berambut cokelat abu-abu, wajah lonjong mirip kuda, melepas kacamata hitam. Caranya melepas dan melipat kacamata penolak sinar matahari itu terlalu artifisial. Tubuhnya tinggi proporsional dengan otot-otot dalam masa perkembangan. Punggungnya basah oleh keringat menyebabkan kaus merek Dolce & Gabbana hitam mencetak jelas garis tubuh yang cukup atletis untuk seumurannya. Tujuhbelas? Sembilanbelas? Atau mungkin seusia Eren. Sekian detik mata mereka bertemu, dan Eren melihat bola mata keemasan itu melemparkan tatapan tidak senang.

Reaksi spontan Eren adalah menatap dua kali lipat lebih intens. Dahi berkerut dalam, mata hijau kebiruan memercik aura permusuhan yang natural.

Suara feminin memutus percikan panas-dingin mereka. "Pagi, Jean."

"Ada audisi apa memangnya?" tanya Jean kepada wanita di belakang konter.

"Rekomendasi spesial."

"Hah? Dia?" Jarinya menunjuk ke arah Eren. Frontal.

"Kirstein, cepat atau lambat kalian akan bekerja sama," potong Mike, menepuk-nepuk punggung Eren yang kaku berkeringat dingin. "Simpan ekspresi garangmu itu untuk pemotretan." Kemudian, Mike mendekatkan wajah ke sebelah pipi Eren. "Kau pun begitu Jaeger."

Jean tampak puas dengan ekspresi horor calon rekan yang tersudut di ujung sofa kulit. "Lalu dia sudah diaudisi?"

"Pukul sembilan seharusnya waktu interview."

"Ini sudah jam makan siang, kenapa lama sekali?"

Kemudian mereka berbisik-bisik. Eren bergerak gelisah dengan tangan mengepal dan merenggang seperti meremas santan.

Terdiam sejenak, tawa Jean meledak. "Kau serius?! Mereka harusnya memasukkan satu model senior ke dalam ruangan untuk menjadi juri. Aku sangat bersedia jadi orangnya!"

Eren dilanda perasaan ingin menyeruduk wajah kuda itu dengan taji ayam.

"Well, aku sudah ditunggu pemotretan di lantai 2. Tolong kabari bagaimana hasil audisi dia," kata Jean, menekankan empat kata terakhir dan berlalu dengan wajah sumringah. Pandangan mengejek dilemparkannya kepada Eren. "Semoga beruntung, calon anggota baru."

Tidak tahan lagi, Eren bangkit dari sofa dan mendatangi konter. "Maaf, Miss?"

"Petra Ral," balas wanita itu dengan senyum dikulum. Eren sempat mengira Petra menahan diri untuk terkikik. "Ada yang bisa kubantu, Eren? Tidak apa kan aku memanggilmu 'Eren'? Rasanya kita bisa cepat akrab."

"Tidak apa. Miss Petra, berapa lama lagi aku harus menunggu?" Eren mengetuk-ngetuk bujari pada marmer dingin. "Sebenarnya sore ini aku sudah ada janji—" Dengan Armin untuk mencari buku panduan menghafal cepat rumus ilmiah.

"Mohon tunggu sebentar, Eren. Ketua agensi sedang bersama klien penting. Seperti yang kubilang kemarin, kalau tidak keberatan kau bisa datang besok pagi. Besok tidak ada jadwal—"

"Tidak. Tidak. Aku hanya bertanya." Eren sudah bersumpah akan menunggu sampai malam. Maaf, Armin.

"Begitu?" Petra memangku dagu dengan tangan. "Maafkan kami, Eren. Akan kucoba hubungi Erwin, tolong tunggu beberapa saat lagi ya."

Kala Petra sedang sibuk memelintir helaian rambut brunet-nya dan berbicara di telepon, Eren berjalan ke toilet. Tepat di sebelah pintu bergambar dasi kupu-kupu pria itulah, dahinya berkerut dalam. Wajah model yang tidak asing dalam kesehariannya menjadi pengisi dinding kosong. The Face of Rec/On: Mikasa Ackerman; senyum tipis, polesan merah muda di bibir mengkilap, rona di pipi yang putih, mata segelap malam berbinar menatap langsung kepada siapapun yang memandang fotonya saat ini.

Eren tercenung, memendam perasaan bergelayut di dasar lubuk. Ia berjalan melewati toilet dengan mata menjelajah potret model busana couture sepanjang koridor meliuk, lalu naik tangga ke lantai 2.

Lebih banyak foto yang dipajang. Pigura-pigura disusun satu kesatuan mengisahkan perjalanan model wanita pendatang baru hingga prestasinya dalam pagelaran busana pengantin internasional. Di sebelahnya tergantung foto-foto artistik pria tanpa busana. Ugh. Tunggu sebentar. Tidak ada sensualitas di sana. Mengutip kata-kata sahabatnya, Armin Arlert, beberapa minggu lalu saat Eren bersikeras nekat mencemplungkan diri ke dalam industri fashion: "Tidak pernah ada vulgar dalam dunia fashion jika kau melihatnya dari sudut pandang kesenian." Quotes tersebut dikutip dari majalah gaya hidup terpercaya, yang bersampul depan Mikasa, yang tidak terlalu disukai Eren.

Langkah Eren terhenti di depan salah satu pintu ketika ia mendengar bunyi-bunyi kalimat perintah.

"Ya. Kirstein! Lebih fierce lagi! Satu kaki ke depan!"

Si wajah kuda sedang melakukan pemotretan.

Eren mengintip dari celah pintu.

Jean Kirstein berpejam mata, membuka, memelototi kamera. Ruangan menggelap seiring jepretan fotografer. Oh. Ini yang Mike sebut 'ekspresi garang.' Jean berpose dengan satu tangan masuk kantong celana, tangan lain mengamit jaket desainer yang diletakkan di atas pundak. Berpose dari arah kiri, lalu ke kanan, dagu naik dan mata separuh terbuka kepada kamera. Eren diam-diam mencatat setiap arahan di dalam kepala.

"Tidak, bukan begitu, Kirstein! Hasilnya belum maksimal. Kau tidak seperti biasanya. Ulangi lagi."

Bagus. Calon rekannya sedang mengalami kesulitan.

Seolah-olah dewi-dewi valkyrie sedang tersenyum kepada Eren, mata Jean nyalang bertemu Eren, akhirnya. Eren tidak tahan untuk memasang seringai kecil. Efeknya menakjubkan. Jean tampak emosional dengan gigi-gigi bergemeretak ingin menerjang ke arah pintu.

"Oi, Jean. Ekspresi fierce! Bukan marah-marah!"

Dendam terbalaskan.

Ruang di sebelah studio Jean kosong. Eren melewatinya.

Ruang berikutnya adalah ruangan santai dengan sofa tamu dan potret besar seorang model yang tidak dikenali Eren. Tapi kemudian Eren kembali mengintip ke dalam ruangan. Adalah foto Jean Kirstein; wajah kuda itu tidak bisa menipu mata walau dengan riasan senorak apa pun. Gemuruh kecil dalam perut Eren menahan dirinya untuk meledak tertawa. Sebut saja Eren tidak mengerti selera fashion kelas atas, tapi mana bisa ia tahan melihat Jean berpose dengan burung hantu di tangan kiri dan wajah ber-makeup macan tutul. Pada sudut kanan bawah potret tercantum nama-nama orang yang berperan dalam pengambilan foto.

BERSATU DENGAN HEWAN

Model: Jean Kirstein. Costume/Stylist: Hange Zoë. Makeup: Hange Zoë. Editorial Photo: Hange Zoë.

Eren Jaeger berdoa untuk tidak bekerja dengan pria, atau waria, bernama Hange Zoë di masa depan.

Kafe modern minimalis terletak di ujung koridor. Eren menyasar mesin minuman, memasukkan sekeping koin untuk secangkir kertas kopi dingin, sekeping lagi untuk tambahan susu krim. Tidak seorang pun memperhatikan keberadaan Eren hingga ia berjalan di antara meja. Seorang gadis bersepatu boot tinggi menatapnya dari atas ke bawah. Lelaki berpenampilan necis mengamati lekat. Gadis pirang lembut beraura kedewian, yang kecantikannya sempat membikin Eren menyeruput kopi dua kali lebih cepat, mengikuti gerak-geriknya dengan senyum simpul. Empat orang di meja sebelah bon sai dekoratif menoleh kepadanya dan Eren bertanya-tanya bagaimana leher mereka yang berbalut syal multiwarna tidak terkilir. Pura-pura cuek, Eren memilih untuk terlihat sibuk dengan handphone, mengirimi Armin sebuah pesan singkat.

Pilihannya berujung maut.

Menginjak tali sepatu sendiri bukan masalah jika itu terjadi di mana saja, terkecuali di tempat ini, di waktu ini.

Cangkir kopi krim dingin melayang dari tangan Eren dan mendarat ke meja terdekat. Variasi pekikan mengudara. Eren tergelincir jatuh menabrak meja—bukan, menabrak sofa—setengah benar, tepatnya ke atas tubuh seseorang.

Sepasang mata zamrud perlahan membuka, bertemu dengan sepasang permata obsidian berkilat.

Pelajaran antropologi di kelas bulan lalu mengharuskan Eren untuk menghafal wajah-wajah dan etnis pahlawan nasional pembasmi konspirasi titan dan, bersama Armin, ia melakukan permainan kecil menebak usia lewat garis kerutan wajah. Akan tetapi, pria di bawah Eren sekarang–bahkan dari jarak beberapa senti–telah menggagalkan rekor keberhasilan Eren menebak secara benar usia-usia kelompok etnis di dalam buku teori. Garis wajah tegas. Sedikit berbentuk hati. Kerutan di antara kedua alis yang mendatar. Kerutan lain di sekitar mata. Pelupuk mata yang turun. Tulang hidung yang sempurna ala etnis Perancis. Bibir penuh. Rambut sehitam arang mengkilat basah oleh substansi kental krim dan kafein. Poni belah tengah agak menyamping. Ekspresi datar sepenuhnya—

Datar. Tetapi. Kilatan di biji mata itu. Mencekam.

Atmosfer mendingin.

"Menyingkir, Bocah," gumam pria berkemeja itu, suara bariton yang dalam.

Eren kehilangan kemampuan komunikasi. Ia melompat mundur dari pangkuan si pria, tumit sepatu bertemu genangan kopi, tubuh tergelincir jatuh ke belakang.

Seseorang dengan cepat menangkap pergelangan tangan Eren, menarik kembali keseimbangannya ke depan.

Eren menubruk tubuh penolong; Si pria basah kuyup, dengan wangi kopi belian Eren yang menguar kental dari dada dan perut. Mereka berdiri sejajar dan Eren menyadari sedikit perbedaan tinggi antara mereka.

"Ikut aku," bisiknya dengan gestur seorang pimpinan.

Eren, dengan mata membulat terhipnotis, dituntun terseok-seok melewati puluhan pasang mata yang menonton penasaran.

Keluar dari kafe, jemari yang melingkari pergelangan tangan Eren bertransformasi menjadi cengkeraman maut, dan tarikan kencang.

"Sakit! H-Hei!"

Bayang gelap membentuk di bawah alis yang menukik datar, sepasang mata hitam menusuk setajam pisau. Ikut aku atau mati kau—matanya itu berkata demikian. Si pria basah kuyup sedang murka. Sudah lama Eren tidak menggigil ketakutan; sudah lama sejak Grisha Jaeger dikirimi surat dari sekolah karena Eren ketahuan menyontek.

Eren diseret sepanjang koridor. Diseret melewati deretan foto pria bugil dan studio di mana Jean sedang dimaki-maki. Turun ke lantai dasar. Diseret melewati foto senyum palsu Mikasa. Didorong paksa ke toilet pria. Punggung Eren bertemu dinding toilet, kedua tangan dicengkeram sebelah telinga, sepasang mata zamrud membelalak dibayangi siluet hitam tubuh pria lain di hadapannya.

Pria itu mendesis, merapatkan wajah, berkata, "Bocah—"

Eren spontan menggigit bibir, berkata cepat, "Aku minta maaf, Sir! Aku tidak sengaja! Aku tidak melihatmu!"

Pria itu berhenti. "Kau tidak melihatku?"

Eren memandang pria itu secara berani tepat di mata. "Iya."

Fatal.

"Bocah."

Tubuhnya ditarik ke arah pria itu, di mana Eren bisa merasakan uap-uap napas berbau menthol di depan wajahnya yang berkeringat dingin, sebelum punggungnya dibenturkan lagi.

"Mungkin matamu perlu diciprati pelumasku supaya bisa melihat dengan benar, tapi itu nanti. Aku tidak mungkin berjalan-jalan dengan baju lengket. Lakukan sesuatu, Bocah."

Eren menggeram. "Aku sudah minta maaf! Aku harus berbuat apa lagi?"

"Carikan aku baju ganti, bodoh!"

"Tapi ke mana? Atau Anda bisa pakai sweater-ku." Eren melirik baju hangatnya–yang bermotif ketinggalan zaman—untuk menekankan.

"Baju bocah ingusan bau asem?" Wajah si pria pendek berkerut jijik. "Tidak."

Eren meringis frustrasi. "Jadi apa yang harus kulakukan, Sir?" Dia hanya anak sekolah, menengah ke atas, kelas satu, tahun ajaran baru, sedikit uang saku.

Sebelum jawaban berkumandang, tubuh Eren ditarik melayang ke salah satu sudut toilet, didorong masuk ke pintu kloset terujung. Klik! Pintu dikunci. Mmf! Mulut Eren didekap telapak tangan si pria.

Sesuara riuh sejumlah orang memasuki toilet. Bunyi sepatu pantofel dan paduan parfum maskulin bercampur dengan pewangi ruangan berbau jeruk yang bergulung-gulung di langit-langit putih.

"—tetap saja brand kita butuh kerja sama dari Rec/On," kata salah satu pria di luar sana. "Erwin itu sulit diajak kerja sama. Bagaimana menurut kalian?"

"Rec/On tidak semudah Kings," sahut pria lain. "Agensi milik Nile Dok. Saingan mereka itu."

"Nile lebih gampang diajak kompromi masalah fee dan untuk hal lainnya, terutama model-modelnya yang gampang dipakai—"

Eren menguping, sementara ia didekap seorang pendek basah kuyup yang berkekuatan agak di luar kewajaran. Suara-suara di luar tersamar oleh dentuman jantungnya sendiri. Mata kehijauan melebar resah.

"Dengar, Bocah," bisik pria di belakang Eren. "Apa pun yang terjadi, jangan bersuara. Paham?"

Eren mengatup rahang rapat-rapat, mengangguk. Menoleh ke belakang, ia berbicara dengan mata meminta untuk dilepaskan. Pesan tersampaikan kepada si pria berdarah dingin, yang menurunkan telapak tangannya dari bibir Eren.

Langkah kaki mendekati pintu kloset mereka. Reaksi spontan Eren; mundur ke belakang dan mendesak pria yang lebih tua untuk menabrak bibir porselen kloset. Si pria pendek, benci kotor, berdecih pelan, dan Eren tahan napas dalam rongga dada untuk menghindari aneka bunyi-bunyian.

"Kau sengaja ya?"

"Apa?"

"Menggodaku," pria itu separuh mendesis. "Jangan gesekkan pipi tebalmu di bawah sana."

"Ha?" Eren menaikkan intonasi suara.

"Shh! Jaga jarak saja, Bocah."

Bingung, Eren maju selangkah menghindari aura mematikan di belakangnya.

Percakapan ganjil dari luar pintu kembali terdengar. "—yah model Erwin, si Ackerman itu cukup merepotkan, apa perlu kita—"

Tersentak mendengar nama Mikasa disebutkan, Eren membuka suara. "Apa katanya?!"

Hening.

"Siapa di sana?!"

Eren membungkam mulut dengan kedua tangannya sendiri. Sudah terlambat, Eren.

Pria di belakangnya menghela napas. "Cih. Ide itu bisa dipake."

"Apa? E-Eh!"

Rengkuhan kasar menarik Eren ke belakang, menjatuhkannya tepat di atas pangkuan pria lain di atas kloset. Dengan satu gerakan terkalkulasi, pria itu menarik sweater dan kaus dalam Eren hingga mengekspos tulang selangka. Napas hangat berembus pada kulit aprikot halus yang terpapar, membuat deraian rambut cokelat tersibak. Sesuatu yang basah dan panas melakukan kontak dengan leher jenjang Eren.

"Merintih."

"A-Apa yang—Kh—"

"Mengeranglah," bisiknya dengan bilah-bilah gigi yang menggerus daun telinga Eren. "Bocah."

Eren terkesiap.

Otot yang liat dan hangat menari di leher Eren—mengingatkannya pada lembar iklan majalah yang menampilkan Mikasa dengan es krim karamel batang—Salah! Sangat salah. Eren menggeliat panik, tungkai-tungkai gemetaran, menambah intensitas pelukan lengan kuat yang melingkarinya. Tangan yang bebas menekan-nekan setiap jengkal sisi tubuh Eren seperti memeriksa kelenturan kulit yang terlapis baju hangat. Eren membelalakkan mata, ketakutan menjalar ke puncak kepala menutup jalan pikirannya untuk menerjemahkan situasi.

"Le-lepas!" Menggertakkan gigi, Eren menangkap tangan pria itu, membenamkan kuku di sana.

Membalas reaksinya, deretan gigi si rambut hitam terbenam pada kulit tipis di sisi tengkuk Eren.

"Ughh!" Eren refleks menutup mulutnya. "Sakit!"

"Tidak buruk, teruskan, Bocah." Menjilat bibir, pria itu berbisik di atas kulitnya, "Lebih kuat."

Ketukan sepatu pantofel mendekati pintu kloset mereka.

Darah Eren berdesir, memekat pada wajah, pada bagian yang disentuh bibir, yang dijamah oleh jejari. Punggungnya yang dipaksa melengkung memaksa kepala Eren untuk bersandar pada pundak pria itu, memudahkan akses lumatan pada garis tulang selangka. Tekanan gigi memberi motif yang telah ditinggalkan sapuan lidah, menciptakan jejak lekuk kemerahan. Bibir bergeser ke bagian lain dari kulit madu hangat yang belum tersentuh. Gigitan kedua.

"H-Henti—Ah!"

"Lagi."

Bibir hangat mengecap titik-titik darah yang merembes keluar dari luka, yang diraup dengan bunyi hisapan rakus. Eren mulai tidak bisa mengontrol suara. Kedua alis mata bertemu, napas tercekat di tenggorokan. Dari sudut matanya, bola mata segelap langit malam mengintip setiap perubahan ekspresi wajahnya. "Unh!" Eren melempar paras merona ke samping, menggigit kuat-kuat bagian dalam pipi. Punggung melengkung, kedua tangan mencengkeram celananya sendiri yang makin berkerut. Kening meneteskan butir-butir keringat.

Ketukan-ketukan sepatu pantofel berhenti di depan pintu toilet mereka. Jangan bilang mereka akan mengintip dari celah sempit di bawah sana!

Salah satu tangan melakukan kontak dengan kulit di bawah kaus dalam Eren, bergulir turun, merayapi perut, menjamah pusar. Jari-jari panjang menggores pinggir celana jeans. Salah satu menyusup masuk ke balik fabrik, lembap oleh kopi dan sedingin es, menyusuri bekas karet celana dalam di sepanjang pinggul Eren.

Seperti tersengat listrik, Eren terlonjak dari pangkuan, meronta keras. Dekapan pria itu mengerat, kemudian melembut.

"Rileks," bisiknya, memberikan kecupan-kecupan basah yang menggema audibel di telinga Eren.

Eren menggigit bibir bawahnya kuat-kuat dan berpegangan pada sepasang tangan yang melingkari pinggangnya.

"Bukan sesuatu yang baru di industri ini, eh?" Komentar samar-samar dari luar, diiringi suara tawa. "Bukan hal baru juga di tempat lain. Di klub tempatku bersama model-model Nile tadi malam-"

Napas berat Eren dan desahan ganjil pria bersuara berat mengiringi langkah terburu-buru sepatu bermerek menuju pintu keluar.

Orang-orang itu sudah pergi.

Sekrup yang terlepas memuntir sendiri dalam kepala Eren, dan ia segera melepaskan diri dari rengkuhan yang melonggar. Terlalu dramatis; Eren menubruk pintu kloset, membuka kuncinya tergesa-gesa, menyeruduk keluar. Tangan kasar menahan ujung sweater-nya.

"Oi Bocah, urusan kita belum selesai."

Eren berputar, mundur sepuluh langkah, wajah semerah tomat, melotot selebar-lebarnya. "A-Apa yang barusan itu?!" Demi apa yang mereka sebut pelecehan sesama jenis? Sekali pun itu untuk pengalihan. T-Tetapi—

Tatapan mendelik Eren dibalas tiga kali lebih tajam, urgensi sengit, hampir menciutkan nyali remaja berambut kastanya. "Bocah," katanya, merogoh saku dan mengeluarkan selembar uang. "Belikan pakaian untukku. Cepat."

"Apa?"

"Aku menunggu di sini," katanya. "Beli handuk, kemeja bersih. Itu saja cukup. Di tempat perbelanjaan terdekat dari agensi."

Gejolak familier dalam tubuh Eren memaksanya tunduk di bawah perintah tersebut. Eren mengambil uang itu dan berlari menuju pintu.

"Ah, satu lagi."

Eren menoleh, memasang wajah paling terintimidasi.

"Rokok menthol."

Keluar dari toilet, Eren kembali bertatap muka dengan potret Mikasa Ackerman yang tersenyum tipis.

Dadanya mencelos.

Butik yang dimaksud si ketus pendek itu tidak berjarak dekat. Satu setengah jam habis untuk mencari jalur transportasi mengatasi kemacetan. Sial! Tergopoh-gopoh, Eren berlari melewati Petra Ral yang berdiri menoleh kanan kiri memanggil-manggil. Eren ogah menengok ke arah foto gadis oriental depan toilet.

Di dalam toilet, pria basah kuyup–yang sudah mengering bajunya–bersandar di sebelah wastafel dekat penjernih udara. Wajah datar itu tidak memercikkan keramahan sedikit pun.

Keringat menetes turun dari pelipis saat Eren memantapkan langkah, menyodor barang pesanan. Dengan kata kunci 'pendek' di dalam kepala, ia membeli pakaian di bawah ukuran tubuhnya sendiri. Pria ini bekerja dalam industri fashion, tapi melihat caranya berpakaian–dan tinggi badannya—Eren meragukan profesinya sebagai model, maka ia membelikan kemeja putih polos.

"Apa ini? Ukuran S? kau kira aku sekecil itu?"

Eren tidak sempat berargumen. Dengan satu gerakan, pria itu menanggalkan kemeja beraroma kafein, melipat dan membuangnya ke dalam keranjang pandan. Keran air dinyalakan, handuk di bawahnya. Lengan yang kukuh memuntir handuk bersih, kemudian pria itu menyeka tubuh mulai dari dada. Keremangan lampu ruangan memberi efek pada struktur otot yang membentuk garis tubuh maskulin. Bulir-bulir air dari perasan handuk, mengikuti lekukan otot-otot yang timbul tenggelam, mengalir dari torso bidang hingga perut yang terbentuk sempurna. Sebatang rokok rasa menthol dijepit antara jemari, dinyalakan ujungnya dengan pemantik, ujung satunya diselipkan ke bibir.

Bibir yang sebelumnya—

Pria yang sedang diikuti sepasang mata zamrud penasaran menatap balik lewat cermin. Eren tidak menyadari.

"Bocah."

Eren tersentak sadar, melihat langsung lawan bicara.

Dengan handuk terus membasuh tubuh bagian atas, pria ketus itu melanjutkan, "Kemarilah."

Eren sudah mundur sampai punggungnya menyentuh cat biru pintu metalik. "Maaf, Sir. Aku harus pergi sekarang. Aku ada urusan."

Memeras handuk, wajah dingin pria itu kembali padanya. "Urusan apa—"

"Aku sudah ditunggu audisi!" potong Eren urgen, tangan sibuk mencari kenop pintu.

Dengan sela-sela jari menyisir helaian poni arangnya, pria itu merangsek maju. "Audisi?"

Eren memutar kenop, menahan napas, melesat keluar tanpa menoleh. "Selamat tinggal, Sir."

Mesin filter udara bekerja dua kali lipat menyedot asap rokok yang bergelung. Mendecakkan lidah, pria itu membuang abu rokok ke tempat sampah dan mematikan api. Ia membasuh wajah dengan air dingin.

Eren telah sampai dengan selamat ke ruang utama Rec/On Agency, di mana Petra Ral berdiri dengan wajah cemas–kalau bukan curiga.

"Apa terjadi sesuatu?"

"Tidak," jawab Eren dengan suara tersendat. "Audisinya bagaimana? Apa mereka akan mengurangi nilaiku?"

"Kuharap tidak. Cepat saja." Petra tersenyum menenangkan. "Studio kedua di ujung koridor lantai 3."

Eren berlari lagi, mempercepat langkah secara khusus di depan toilet pria, menuju lantai berikutnya, menuju lantai di atasnya, menuju ruangan audisinya.

Penampilannya awut-awutan. Fokus mata Eren meloncat dari satu sudut ke sudut lain, mencari-cari sesuatu untuk menyerap minyak mukanya. Seorang makeup artist mendatanginya dan mulai berceloteh ribut, menepuki pipi Eren dengan bedak tipis sewarna kulit dan membalurnya dengan kuas.

Ruang audisi berukuran satu banding dua dengan studio foto lain di kantor Rec/On Agency. Ketua agensi duduk di tengah ruangan bermeja panjang, seorang fotografer siap dengan tripod dan kamera beberapa jarak di depan, dua buah lampu di kanan dan kiri, layar kaca di sebelah kanan yang diposisikan menyamping, latar belakang kosong bercorak kelabu dan karpet untuk peserta audisi berdiri. Eren berdiri mantap di tengah ruangan dengan dada membusung dan sikap militer. Ia bertatap muka dengan ketua agensi Rec/On, Erwin Smith; tampan, berpostur tegap dalam balutan Chanel, rambut keemasan yang disisir rapi ke belakang, sorot mata kebiruan memancarkan aura sarat kepemimpinan dan kematangan kalkulasi. Sesaat Eren tertegun. Untuk kesekian kali dalam sehari ia diliputi rasa familier.

Mike Zacharias melambai di sebelah kursi Erwin. "Yo!"

Astaga, si kumis berhidung tajam merupakan salah satu juri. Jangan bilang kalau audisinya sudah dilakukan sejak tadi pagi.

Eren membungkuk. "Maaf, Sir! Atas keterlambatannya, apa aku boleh—"

"Saya yang ingin menyampaikan permohonan maaf, Jaeger. Terjadi pergeseran jadwal yang mengharuskan pertemuan kita dilakukan sore hari. Waktumu sudah terbuang banyak, untuk mempersingkat waktu, bisa segera kita mulai audisimu?" Erwin memulai, membacakan biodata. "Eren Jaeger. Umur 16 tahun, tanggal lahir 30 maret. Tinggi 170 cm dan berat 63 kg. Lingkar dada 91, pinggang 78."

Sang remaja mengangguk.

Sunggingan senyum bersahabat tak lepas dari wajah Erwin. "Foto-foto basic natural untuk sesi pertama. Ikuti apa yang menjadi arahan fotografer."

Eren mengangguk bersemangat, tangan mengepal, gigi menggemeretak, alis mata menukik tajam di hadapan kamera.

"Aku suka mata itu, ketegangan, penuh hasrat," Mike mengapresiasi. "Tapi mungkin ia harus kurangi kerutan di antara alisnya. Dia seperti ingin menerkamku."

"Ekspresi ini disukai beberapa kalangan di dunia couture untuk sesi editorial," Erwin memberi tanggapan. "Jika bisa dibina dengan tepat, wajahnya sangat menjual di bidang komersial."

"Setuju. Seandainya Hanji, atau dia, melihat ini."

Erwin menaikkan alis matanya.

Eren sedang melakukan pose tubuh menyamping ketika pintu studio bergeser membuka. Sepasang mata hijau Eren berkilat terkejut, alis bertaut dalam membentuk jembatan di antara kedua mata. Wajah takut natural sang calon model sukses tertangkap masuk ke dalam kamera profesional.

Lampu studio menyala kembali setelah satu kali jepretan, menampilkan profil pria pendek berkemeja putih yang berjalan menghampiri meja juri. Sebatang rokok menthol di sela jari, asbak rokok di tangan lain. Rambutnya, hitam lurus, basah berkilau air keran toilet pria.

"Speak of the devil! Ratatoille! Muncul juga Kau." Mike berubah menjadi Michie, melambai dengan suara versi feminin, menggeser kursi di sebelahnya. "Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Empat bulan? Lima bulan? Selain OCD kebersihan, kudengar kau jadi perokok berat sekarang. Apa selanjutnya kau bakal jadi Hanji Freak?" Mengendus. "Dan oh ada wangi berbeda menempel pada tubuhmu."

"Insiden," jawab pria itu, dan duduk sejauh mungkin dari lubang hidung yang mengendus.

Erwin menyerahkan selembar berkas kepadanya. "Terima kasih, Rivaille. Kau bersedia menjawab panggilanku dan menggantikan Hanji."

"Makhluk jejadian hermafrodit itu akan berurusan denganku nanti sekarang siapa model baru ki—" Kata-kata Rivaille terputus saat matanya bergulir pada berkas di tangan.

Eren lupa cara menarik napas.

Dari kertas di tangan, mata keabu-abuan menyorot tajam kepada figur yang menjadi sosok sentral. Kelabu bertemu zamrud, ketajaman beradu kekalutan.

Jeda.

"Déshabiller."

"Apa?" Eren bahkan tidak mengenali suara seraknya sendiri.

"Déshabiller," ulang Rivaille, mengabaikan tatapan membelalak dua rekan juri di sebelah. Dijatuhkannya biodata Eren ke atas meja. "Cepat. Waktuku tidak banyak."

Bahasa Perancis? Kode rahasia? Teka-teki? Artinya?

Rivaille mengambil sebatang rokok dan Eren menahan diri untuk memalingkan mata saat jari-jari dingin itu menekan pemantik api. "Bocah? Pakai aplikasi penerjemah di handphone-mu. Kau pasti punya, kan? Benda itu tidak sebutut otakmu."

"Hei Ratatoille." Michie kembali menjadi Mike dengan suara ngebas.

Bingung campur panik, jari-jari Eren yang dingin meraih saku celana. Translator tersimpan dalam folder ekstra yang jarang tersentuh, dan Eren bersumpah ingin menraktir Armin, yang sudah membantu menginstalkan aplikasi pendidikan ke dalam ponsel pintarnya, di Kafe Trost malam ini. Bahkan perasaan bersalahnya pada Armin tidak sanggup mengalahkan hororisme di bawah tekanan mata kelabu yang seolah-olah ingin menelanjangi.

Deshabiller

French Language Detected

/ verb / Strip, Undress

Strip. Undress.

Buka baju. Menanggalkan pakaian.

Asap lembut berembus dari celah bibir pucat Rivaille. Wangi segar nikotin menthol membaur dengan pendingin udara. Mata kelabu berlapis kabut menangkap setiap perubahan ekspresi ngeri di wajah calon model agensi mereka.

"Well, Eren Jaeger, kau lihat jalan keluar di sana?" kata Rivaille, ujung puntung rokok mengarah ke pintu. "Bawa bokong kencangmu ke sana dan silakan keluar."

Erwin berdeham, "Rivaille."

"Menurutmu aku punya banyak waktu, Erwin?" Rivaille bergumam, "Kau juga. Klienmu sudah menunggu di ruangan bawah, kukira. Jangan bilang kau akan menyerah kalah pada Nile?"

Mike tiba-tiba menepuk tangannya. "Baiklah, Jaeger. Ini audisimu dan kau tahu apa yang harus dilakukan."

Eren menatap tak percaya, mata zamrudnya mencari pertolongan kepada Erwin. "Untuk menjadi model, aku harus melakukan hal-hal yang v-vulgar?"

Mike tertawa feminin dengan tangan yang menutup mulut dan kumisnya sekaligus. Erwin menjernihkan tenggorokannya dengan kopi dan angkat bicara:

"Rec/On Agency sudah mengorbitkan banyak model dan artis, penata busana, penata rias kelas internasional dan selalu tampil di berbagai pagelaran busana, televisi, majalah lokal dan luar. Kami membantu para model untuk bekerja dengan klien, agen top dan industri fashion paling bergengsi, bahkan menyiapkan manajer pribadi paling kompeten untuknya. Dedikasi, profesionalisme, cara berprilaku model dan fokus dalam pekerjaan adalah hal-hal utama yang dibutuhkan jika kau ingin mencapai puncak dalam waktu singkat," Erwin berkata dengan suara paling karismatik dan menarik daya gravitasi Eren ke arahnya secara penuh. "Jadi perlu kau ketahui, Eren Jaeger, seorang model akan bekerja dan dibayar klien mereka tidak peduli apa permintaan dan konsepnya, lakukan secara profesional. Asal itu tidak di luar batas kewajaran. Kami sebagai pihak agensi, dan manajermu kelak, siap berada di belakangmu."

Mike mengangguk, sama sekali tidak mengurangi galau hati Eren.

"Kau datang kemari atas rekomendasi spesial dari salah satu top model kami, Mikasa Ackerman. Dia saudarimu, benar?"

Mendengar nama Mikasa disebutkan, Eren menarik dagunya dan secara sengit, mata berkilat penuh determinasi. "Benar."

Mike bersiul.

Rivaille menyeret asbak rokok mendekat, namun mata tidak pernah meninggalkan Eren sejengkal pun.

Erwin melanjutkan, "Yang duduk di sebelahku ini adalah Rivaille. Fotografer profesional paling terkenal memiliki mata setajam elang, sangat ahli menangkap kecantikan dan semua karya editorialnya adalah haute couture, fashion kelas atas. Kau tahu, dia tidak secara sembarangan mau datang diundang untuk menilai peserta audisi atau memotret model-model. Karya fotografi seninya berharga sangat mahal."

Ditatapnya sang fotografer ternama, lagi, lebih berani. Reaksi gugup Eren tidak luput dari mata tajam Rivaille rupanya, yang sedang memperhatikan leher Eren, mengamati bagaimana tonjolan di lehernya bergerak-gerak ketika Eren menelan ludah atau ketika denyut nadi mengencang di pelipisnya.

Paras Eren memanas, ia menepis emosi dengan berkata, "Akan kulakukan."

Dengan satu hentakan garang, Eren Jaeger melepas sweater rajutnya yang berwarna bata, dan melemparkannya ke karpet. Jepretan kamera mengiringi pergerakannya.

"Stop. Stop. Stop. Itu bukan cara seorang model melepas pakaiannya untuk sesi pemotretan."

"Biarkan, Mike," sahut Rivaille, mengembuskan napas putih. "Aku ingin lihat apa yang bisa dilakukan bocah ini."

Selanjutnya. Pakaian atasnya. Agak perlahan. Eren memutar kaki dan menyamping kali ini, sesopan mungkin. Di meja juri ia merasakan seseorang sedang menertawai gerak-gerik kakunya di balik topeng tanpa ekspresi dan berteriak: 'Sekalian saja kau berputar seperti penari sufi.' Eren meraih pinggiran kaus dalam kepalan tangan dan mengangkatnya. Semilir udara pendingin ruangan menjilati kulit perut yang terekspos, kemudian dadanya yang meremang. Bayangan tentang bentuk sempurna tubuh pria lain di ruangan ini membuat tenggorokan Eren menyempit, namun kegentarannya hanya sebentar. Secara cepat, fabrik katun melewati puncak kepalanya, punggung dan lehernya ter buka, sisanya tergelincir natural melewati kedua pergelangan tangan. Kausnya tidak dibuang ke lantai kali ini, Eren menggenggamnya pada satu kepalan tangan, meniru gerik Jean Kirstein yang meletakkan jaket di pundak.

Jepretan kamera terdengar lagi. Eren spontan menatap ke depan, napas tertahan, mengunci lingkar lensa kamera yang menangkap setiap detail ketegangan pada garis tubuh dan wajah.

Ketiga pria di meja juri menampakkan ekspresi berbeda. Rivaille; ekspresi ketus yang selalu sama. Erwin; tenang menilai tetapi berkerut dahinya penuh tanya. Mike alias Michie yang agak membuka mulutnya. Pandangan mata mereka tidak melihat pada layar hasil jepretan fotografer, tetapi pada salah satu bagian tubuh Eren.

"Wow. Aku telah salah. Konsep inosen tidak cocok untuknya," komentar Michie. "Dia tidak polos."

Erwin mencatat berkasnya. "Konsep itu masih bisa dipakai."

"Polos dalam artian lain maksudmu?" ucap Rivaille dengan wajah bosan.

Memanfaatkan kesempatan, Eren segera membungkus torsonya yang kedinginan dengan kaus. "Maaf, apa yang kulakukan sudah benar?"

"Jaeger, kau berbohong saat kau bilang masih perjaka," tuding Michie.

Eren tersedak ludahnya sendiri, terbatuk.

Kedua alis Rivaille terangkat naik. "Ho, dia bilang begitu?"

"Katanya belum pernah pacaran," lanjut Michie. "Tapi lihat lehernya. Kira-kira siapa yang membuat karya di atas tubuh calon model kita?"

Layar monitor menampilkan bekas-bekas merah segar di bagian leher dan pundak. Bentuknya menyerupai gigitan mungil yang membulat di beberapa tempat seperti gigitan serangga. Paras Eren secara drastis berubah warna.

Pelakunya dengan santai meniupkan asap tembakau, membangun dinding transparan berwujud kabut putih di antara mereka berdua. "Bocah, siapa yang menyuruhmu berpakaian?"

Eren tidak ingin melawan batas-batas norma dengan meninju wajah Rivaille; seorang juri audisi di ruangan ini, fotografer nomor satu, calon klien paling potensial. Maka, menahan sesak karena amarah, Eren menarik napas gemetaran, menanggalkan kausnya.

"Lanjut," perintah Rivaille.

"A-Apa?"

"Lepas pakaianmu. Semuanya."


*Model editorial berbeda dengan model komersial. Model-model editorial dijumpai pada pemotretan majalah berkelas, pada halaman-halaman spread, portofolio desainer, fotografer top, dll. Model editorial biasanya memiliki ciri khas tersendiri dan mendapat julukan model High Fashion/Haute Couture.

**Model Komersial adalah model yang dibayar oleh agen atau pe rusahaan untuk membintangi produk komersial. Model-model tersebut biasa kita lihat wajahnya pada katalog, iklan televisi, halaman iklan di majalah, dll.