Naruto by Masashi Kishimoto
Saya hanya meminjam karakter di dalamnya dan sama sekali tidak mengambil keuntungan materi dari fanfiksi ini.
.
.
Menjadi sosok kekasih yang mencintai dan menerima pasangan apa adanya, ternyata tidak cukup. Nyatanya kamu memilih melarikan diri dariku.
.
.
Love Story
.
.
Malam acara pergantian tahun tampaknya menjadi berita hangat akhir-akhir ini di kalangan para wanita. Tidak terkecuali bagi Ino. Dengan gelisah dia menceritakan pada Sakura bagaimana khawatirnya dia karena sampai saat ini dia belum mempunyai pasangan untuk malam tahun baru.
"Lihat, amati, kalau klik, dekati! This! Hanya semudah itu, Pig. Kau pasti bisa."
Ino cemberut mendengar perkataan Sakura. Haruno Sakura adalah sahabatnya sejak kecil. Sakura tidak mengerti. Itulah yang sejak tadi bersemayam di benak Ino. Sahabatnya itu tidak mengerti kalau letak permasalahannya tidak semudah itu. Ini bukan sekadar mencari teman kencan semalam (beberapa jam lebih tepatnya) untuk menemaninya menghabiskan malam tahun baru. Namun bagi Ino, ini adalah jalan satu-satunya untuk membalas dendamnya pada sang mantan. Ino pernah bersumpah. Sumpah khas remaja yang mengalami putus cinta, kalau dia akan membuktikan pada Sai, mantannya yang tampan tapi tukang selingkuh, bahwa dia bisa mendapatkan pria yang jauh lebih tampan dan segalanya dari Sai. Namun apa daya, sampai detik ini, terhitung tiga tahun dari putusnya hubungan mereka, Ino belum sekali pun kembali berkencan dengan seorang pria. Malam tahun baru ini adalah kesempatan terakhir Ino untuk membuktikan pada Sai, kalau dia mampu menggandeng pria yang lebih dari Sai sebagai pasangannya. Karena menurut yang dia dengar, Sai akan ke luar kota setelah pergantian tahun dan dia akan sulit menemukan waktu yang pas selain malam tahun baru ini. Ino yakin Sai pasti akan hadir di acara pesta malam tahun baru yang akan diadakan di kediaman keluarga Namikaze.
"Masalahnya tidak sesederhana itu, Forehead," balas Ino gusar. "Stok pria tampan di lingkungan pergaulan kita 'kan sedikit!"
Sakura tertawa kecil. "Siapa suruh pilih-pilih? Coba kemarin kauterima tawaran Shikamaru untuk pergi dengannya untuk pesta besok, 'kan beres." Sakura menandaskan isi gelasnya. "Shikamaru kurang apa, coba? Sudah baik, jenius, tampan, keren," tambah Sakura.
"Tapi Shikamaru itu sahabatku! Aku tidak mau dia mengira aku hanya memanfaatkannya."
"Nah, kamu terlalu baik. Bagaimana mau balas dendam ke Sai?" Sakura mengedarkan pandangannya ke sekeliling cafe, sebelum kembali fokus ke arah Ino. "Bukannya aku menyetujui acara balas dendammu, tapi kau itu terlalu baik, Ino. Jauh-jauh terlalu baik untuk pria seperti Sai. Lebih baik lupakan acara balas dendam itu dan memulai hubungan dengan pria yang benar-benar kausukai, bukan karena ingin membalas dendam pada Sai."
Ino membuang muka. Dia menyadari bahwa perkataan Sakura ada benarnya. Tapi rasa kecewa akan pengkhianatan Sai masih bermegah-megah di kepalanya. Dia ingin Sai melihat dan merasakan rasa sakit saat melihat dia menggandeng pria yang jauh melebihi Sai. Ino yakin, ego Sai pasti terluka jika tahu Ino mampu mendapatkan pria yang lebih darinya. Ego khas pria. Tidak untuk pacar, tidak untuk mantan pacar, bagi pria, merekalah yang harus menjadi paling sempurna.
"Kamu tidak akan pernah mengerti, Ra. Sasuke tidak pernah selingkuh dari kamu," kata Ino lirih. Kadang dia iri pada hubungan Sakura dengan Sasuke yang sudah terjalin bertahun-tahun.
Sakura mengaduk-aduk batu es dalam gelasnya yang isinya sudah tandas. "Kata siapa?" Seulas senyum lemah terselip di sudut bibirnya.
"Eh?"
"Sasuke pernah selingkuh, kok. Dia juga bukan pria sempurna yang selalu setia pada pasangannya."
Bagi Ino pengakuan Sakura perihal perselingkuhan Sasuke merupakan sebuah pengakuan yang sama sekali tidak terduga sebelumnya. Selama ini hubungan keduanya acap kali membuatnya iri, karena tidak pernah sekali pun ada kabar miring yang menggoncang hubungan mereka.
"Tapi kalian, maksudku, kau dan Sasuke tidak pernah terlihat bertengkar."
"Sesuatu yang terlihat dari luar kadang tak sebagus isi dalamnya, 'kan?" Sakura tersenyum kecil.
Ino jadi serbasalah. Dia merasa tidak enak karena membahas hal tentang hubungan Sakura dan Sasuke. "Saku..." Ino meremas pelan punggung tangan Sakura yang berada di atas meja.
Sakura tertawa kecil. "Sudah-sudah, aku tidak apa-apa. Kenapa malah membahas hubunganku? Pakai acara meremas tanganku. Yang butuh semangat itu kamu bukan aku." Sakura tertawa; Ino mencubit lengan Sakura. "Lagi pula masalah itu sudah lama berlalu, aku sudah memaafkan Sasuke dan semuanya baik-baik saja saat ini."
"Setidaknya Sasuke tidak sebrengsek Sai," kata Ino, diakhiri tawa hambar.
Kali ini giliran Sakura yang memberi semangat pada Ino, bukan lewat remasan pada punggung tangan, melainkan lewat ucapan. "Gadis cantik tidak pernah kalah oleh pria brengsek."
Ino tertawa. Meski semangat dari Sakura mematikan kesedihannya, tapi niatnya untuk membalas dendam tidak akan pernah padam. Shimura Sai harus mendapatkan balasan. Itu adalah harga mati yang tidak bisa lagi ditawar.
Sementara pikiran Sakura jatuh melayang pada hubungannya dengan Sasuke yang diambang kehancuran. Memang Sasuke telah meminta maaf padanya, mengakui kesalahannya, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun nasi telah menjadi bubur. Hati Sakura terlanjur hancur. Kebahagiaan yang dirajut sejak lama seolah-olah rusak tak terkira saat skandal perselingkuhan Sasuke terkuak di depan mata kepalanya sendiri.
Sejak kecil Sasuke dan Sakura terbiasa bersama. Kedua orang tua mereka bersahabat. Kebetulan rumah mereka pun berdekatan. Tak jarang Sasuke dan Itachi, kakaknya, menginap di rumah Sakura, begitu pun sebaliknya. Hubungan yang terjalin di antara mereka pun terjadi begitu saja. Tidak pernah ada kata-kata romantis yang menyatakan ketertarikan di antara mereka. Mereka hanya bersama dan tidak tahu siapa yang lebih dulu memulai, mereka telah menjadi pasangan tanpa ada acara pernyataan cinta. Maka ketika kedua belah pihak keluarga menginginkan mereka untuk meresmikan hubungan mereka dalam acara pertunangan setelah lulus sekolah, keduanya tidak menolak.
Sasuke bukan sosok pemuda yang murah senyum atau sosok pangeran baik hati yang selalu memperhatikan Sakura setiap saat. Apalagi kini di usianya yang ke-22, Sasuke sudah ikut ambil bagian sebagai direktur di salah satu anak perusahaan milik keluarganya, kesibukkannya pun membuat intensitas perhatiaannya pada Sakura cukup berkurang. Namun Sakura tidak mengeluh, dia menerimanya.
Sakura sendiri bukannya tidak pernah merasa sedih akan kurangnya perhatiaan dari Sasuke. Kadang dia bahkan iri pada Ino atau Hinata yang justru kewalahan menghadapi perhatiaan berlebihan dari pasangan masing-masing. Tapi Sakura tetap bertahan. Dia menerima Sasuke apa adanya sejak dulu. Dan tidak akan berubah hanya karena perasaan tak beralasannya seperti saat itu.
Apalagi saat kekasih Ino, Sai, yang memberikan segala perhatiaan dan kasih sayang pada Ino, ternyata selingkuh, membuat dia sadar, rasa cinta dan kesetiaan seorang pria tidak hanya diukur dari intensitas perhatiaannya. Bagi Sakura, Sasuke ada di sisinya sudah cukup. Tidak perlu kata-kata manis, janji-janji penuh pelambungan angan, cukup dengan kebersamaan yang mereka rajut selama ini. Itu saja. Sakura pikir dengan itu semua akan baik-baik saja.
Sampai kejadian beberapa bulan yang lalu memukul telak jantungnya, mengiris hatinya dengan kepedihan tak terbayangkan. Ternyata meskipun dia selalu berusaha menjadi kekasih yang pengertian, tidak pernah menuntut apa-apa dari Sasuke, dan menerima Sasuke dengan segala nuansanya, itu semua tidak cukup untuk membuat Sasuke bertahan pada satu cinta darinya.
Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Sasuke bercumbu dengan seorang wanita muda, berambut pirang, yang menarik di salah satu villa milik Sasuke. Ironisnya, kedatangan dia ke villa itu adalah untuk mempersiapkan pesta kejutan ulang tahun untuk Sasuke.
Villa itu terletak di kawasan pegunungan yang masih asri. Sakura berniat mengadakan pesta kejutan untuk Sasuke di villa itu. Nyatanya, dialah yang mendapat kejutan itu. Air matanya tumpah tanpa diminta. Mati-matiaan dia menahan suara tangisannya, yang lolos dalam isakan kecil-kecil. Saat itu dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia ingin marah, ingin berteriak: memaki Sasuke dan siapa pun wanita muda yang sedang bersama dengan Sasuke, ingin melampiaskan rasa sakit hatinya, kekecewaannya, tapi dia tidak bisa. Dia hanya diam, mematung menyaksikan itu semua.
Sasuke saat menyadari kehadiran Sakura, langsung melepaskan dirinya dari pelukan wanita yang ada bersamanya. Dia hanya diam. Matanya, mata yang dulu selalu datar dan tampak terkendali kali ini menyalang, antara terkejut sekaligus takut. Sakura bisa merasakan itu.
Sakura mengambil napas pelan-pelan, sebelum menarik cincin yang dihiasi permata mungil dari jari manisnya. Diletakkannya cincin itu di atas meja, tak jauh dari tempatnya berdiri. Dia tersenyum lirih pada Sasuke. "Terima kasih."
Ingatan itu membuyar saat dirasakannya ada tangan yang menyentuh bahunya. Dia menolehkan kepalanya. Sasuke sedang berdiri di belakangnya. "Sudah bisa pulang sekarang?"
Sakura mengembalikan pandangannya pada Ino. Ino tampak khawatir. Sepertinya dia sudah cukup lama melamun, sampai Ino memberikan padangan 'kau-tidak-apa-apa'. Sakura tersenyum penuh penenangan pada Ino. "Aku pulang dulu. Hubungi aku jika kau butuh sesuatu menyangkut acara itu."
Ino mengangguk, dia bangkit, untuk menerima pelukan dari Sakura. "Tentu."
"Kami pulang," kata Sasuke dengan sopan.
Ino membalasnya dengan anggukan sopan.
.
.
Selama perjalanan pulang, Sakura hanya diam. Ini hampir menjadi kebiasaan selama beberapa bulan ini. Dulu Sakura pasti akan berceloteh dengan semangat jika Sasuke mau menyempatkan diri untuk menjemputnya. Lalu setibanya di rumah dia akan menelepon Ino atau Hinata dan bercerita dengan girang, khas anak remaja yang jatuh cinta. Namun sekarang semuanya menjadi lain.
Sejak perselingkuhan yang dilakukan Sasuke terkuak di depan matanya, sulit bagi Sakura untuk kembali bersikap seperti dulu. Meski Sasuke sudah meminta maaf padanya berulang kali, mengakui kesalahannya, dan menginginkan dia kembali menerimanya lagi, tapi Sakura tidak bisa. Dia masih belum bisa. Dia memang menerima Sasuke kembali menjadi kekasihnya, tapi semata-mata hanya tak ingin putusnya hubungan mereka berimbas pada hubungan dekat keluarga mereka. Bahkan kadang Sakura merasa apakah Sasuke pun memintanya kembali untuk menjadi kekasihnya hanya semata-mata karena tidak ingin ada perselisihan di antara keluarga mereka.
Tak ada satu pun di antara keluarga mereka yang mengetahui perihal perselingkuhan Sasuke. Sakura pun sama sekali tidak berniat untuk memberitahu mereka. Cukup rasa kecewa dan sakit ini dia yang menanggung.
"Kau sudah makan?"
Sakura hanya menganggukkan kepalanya sebagai respons.
"Ingin mampir untuk membeli sesuatu sebelum pulang?"
Kali ini Sakura menggelengkan kepalanya.
Sasuke mengembuskan napas dengan berat. Dia tidak pandai bicara dan memecahkan suasana kaku di antara mereka. Sasuke sadar Sakura berubah. Gadis itu menjadi jauh lebih dingin padanya. Dia sama sekali tidak menyalahkan Sakura atas semua ini. Dialah orang yang paling pantas disalahkan. Dia telah mengecewakan Sakura. Tidak, dia bahkan menyakiti hati gadis itu.
Sasuke sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa semuanya akan menjadi seperti ini. Hubungan mereka yang sudah terjalin lama menjadi sedingin dan sehambar ini. Semua itu karena salahnya, Sasuke sadar betul. Karena ulahnyalah hubungan mereka bisa menjadi serapuh ini. Bagai pedang yang hanya bergantung pada sehelai rambut yang bisa melukai hati mereka hanya dengan sedikit goncangan.
Dulu Sasuke berpikir bahwa hubungannya dengan Sakura sangatlah menjemukan. Dia mencintai Sakura, dia paham. Namun ada kalanya dia meragukan perasaan itu. Apa benar yang selama ini dirasakannya adalah cinta? Dia tidak merasakan jantungnya berdebar-debar jika berada di dekat Sakura. Dia hanya merasa tenang, nyaman, statis, tak ada pergolakan sama sekali.
Sasuke merasa kenyamanan yang membungkusnya selama ini hanya karena keberadaan Sakura yang terbiasa di sisinya. Tanpa dia berusaha pun, Sakura selalu ada di sisinya. Sakura tak pernah meninggalkannya. Tanpa perhatiaannya pun, Sakura tak pernah mengeluh. Apa pun yang dilakukannya, Sakura tetap ada. Untuknya.
Maka ketika Naruko muncul dalam hidupnya, sesuatu yang berbeda mulai terasa. Naruko selalu menentangnya sekaligus menantangnya. Hal itu membuat Sasuke merasakan perasaan baru yang membuatnya ingin tahu. Dia mencari tahu dan dia jatuh pada kebohongan yang dibisikkannya pada Sakura bagai pisau bermata dua.
Tanpa ada yang tahu dia sudah menjalani hubungan terlarang dengan Naruko. Gadis itu tahu mengenai hubungannya dengan Sakura dan dia menerima. Hanya saja Naruko lebih berani meminta waktunya, meminta perhatiannya. Hal yang tak pernah dilakukan oleh Sakura. Semua terasa indah dan memabukkan. Sasuke merasa bergairah. Hidupnya terasa lebih berwarna. Zona aman yang ditawarkan Sakura terlupakan oleh zona baru penuh tantangan yang ditiupkan dalam hubungannya dengan Naruko.
Sampai saat dimana Sakura menemukan semua kebohongan yang disusunnya, Sasuke merasa lumpuh. Melihat air mata Sakura, sorot terluka dan kekecewaan yang terpancar dari kedua mata Sakura membuat hati Sasuke kebas. Ketika Sakura melepaskan cincin pertunangan mereka, Sasuke sadar dia telah kehilangan kedamaian dalam hatinya.
Dia mengutuk ketololannya yang pernah meragukan perasaannya pada Sakura. Jelas bahwa dia mencintai Sakura. Dia mencintai gadis itu apa adanya. Sakura-nya yang memberikan perasaan tenang dan nyaman. Sakura-nya yang selalu menerimanya dengan segala ketidakacuhan dan keegoisannya. Sakura-nya yang selalu mencintainya tanpa batas. Sakura-nya yang menerima segala nuansa pada dirinya. Sakura-nya yang selalu ada di sisinya. Sakura-nya yang dia sadari dicintainya sepenuh hati. Sakura-nya yang kini pergi darinya akibat kebodohannya.
Itu adalah masa-masa terburuk yang pernah dilaluinya. Sakura menolak berkomunikasi dengannya lewat media apa pun. Saat itu perasaan dan gairahnya pada Naruko lenyap begitu saja. Sasuke sadar dia hanya butuh Sakura. Cukup Sakura. Dan dia bersumpah tidak akan pernah lagi mengulangi kebodohan semacam itu dalam hidupnya.
Butuh waktu lebih dari satu bulan untuk meyakinkan Sakura untuk kembali menerimanya. Lalu di sinilah mereka, kembali menjalin hubungan dengan fondasi yang rapuh.
Sasuke menghela napas berat. Audy R8 yang dikendarainya sudah tiba di depan rumah Sakura. "Sakura, aku..."
"Aku lelah. Aku masuk duluan. Maaf." Sakura bersiap turun dari mobil, tapi perkataan dari Sasuke menunda niatnya.
"Sakura, kumohon, sampai kapan kita terus seperti ini."
Sakura memandang lurus ke dapan, menolak menatap mata Sasuke. "Entahlah," bisiknya, kemudian melangkah ke luar dari dalam mobil.
Sasuke memukul kemudinya. Dia frustrasi. Apalagi yang harus dia lakukan untuk meyakinkan Sakura bahwa dia benar-benar menyesal dan menginginkan hubungan mereka kembali seperti dulu.
Bersambung...
A/N: Lauraaaaaa~ maafkan aku yang sangat amat telat sekali jasa ya publish fic ini buat kamu.
Happy Birthday! *telat woyy* *nyengir*
Okey, cewek cantik yang berulang tahun Desember lalu, inilah seuprit kado untukmu. *peluk*
Chapter dua sekaligus chapter terakhir akan dipublish secepat yang aku bisa. *ditimpuk*
Terima kasih sudah membaca sampai di sini. :D
Salam hangat,
Ahalya