SATU
"Sakura, ayah dan ibu pergi mengantar keluarga Uchiha ya…" Sakura kecil mengangguk, menerima kecupan sayang Ibunya di kening.
"Hati-hati, okaa-san." Mebuki Haruno tersenyum dan dengan sayang mengelus rambut gadis kecilnya.
"Mebuki, ayo! Keluarga Uchiha sudah menunggu!" Kizashi Haruno, ayah Sakura, berteriak dari rumah. Mesin mobil sudah menyala dari tadi, pasti sudah cukup lama pria baik hati itu menunggu Ibunya berpamitan pada anak gadis semata wayang mereka.
Mebuki sekali lagi menatap Sakura dengan sayang, seakan itu terakhir kalinya mereka akan berjumpa. "Jaga dirimu baik-baik ya sayang…"
"Ibu, kalian kan hanya akan mengantar Mikoto-san dan Fugaku-san ke villa, tiga jam juga sampai sini lagi." Ujar gadis berumur 10 tahun itu. Sakura sudah terbiasa ditinggal pergi ayah-ibunya yang berkerja sebagai pelayan di rumah keluarga besar Uchiha, sampai-sampai Sakura hapal berapa lama ayahnya harus mengemudi untuk mengantar jemput tuan dan nyonya Uchiha ke villa keluarga mereka di gunung Hokage.
Mebuki mengangguk, melepas pelukannya pada Sakura. Dipandangnya gadis kecilnya itu sekali lagi sebelum ia menutup pintu rumah sederhana mereka. Dan dengan itu mereka berpamitan…
Untuk selamanya.
Sakura mengigil, rasanya tubuhnya mati rasa. Ia sudah menangis berhari-hari lamanya, dan nyaris tidak makan sama sekali.
"Ukh…" berbicara pun sudah sulit. Tangisnya seakan tak mau berhenti. Meski sudah nyaris seminggu sejak kejadian itu. Sakura sudah lupa kapan terakhir kali ia tidur tanpa menangis. Kapan ia makan. Kapan ia berhenti menangis…
Pintu depan diketuk. Gadis kecil itu tak kuasa mengangkat tubuh ringkihnya dari tempat tidurnya. Dari kamarnya yang gelap dan tertutup.
Pergi. Jangan ganggu aku. Teriaknya dalam hati. Sudah berapa kali kubilang aku tidak mau dibawa ke panti asuhan?!
Ketukan di pintu semakin keras, dan semakin rapat pula Sakura menutupi kupingnya dengan bantal. Lambat laun ketukan itu berhenti, meninggalkan gadis kecil itu sekali lagi dalam kesunyian. Sakura menutup matanya yang letih karena menangis sedari pagi. Dengan lelahnya ia tertidur dan berharap tidak membuka matanya lagi…
"TIDAK!" Sakura membuka matanya dengan kaget mendengar suara yang dipenuhi amarah itu.
Nyaris saja ia terjungkal dari tempat tidur. Tapi tunggu… dimana aku? Sakura bangun dengan ketakutan. Ini bukan kamarku. Bukan rumahku… Matanya berkedip-kedip menatap ruangan yang baru saja dilihatnya. Kamar besar dengan tempat tidur besar, dinding biru tua, meja belajar bagus dan rak penuh buku…
"Berhenti berteriak, Sasuke, kau bisa membangunkannya…" suara itu… Sakura menajamkan kupingnya. Sasuke? Sasuke Uchiha? Pelan-pelan Sakura melompat dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu. Dibukanya sedikit pintu itu agar tidak menimbulkan suara.
Di luar kamar, dua orang laki-laki sedang berargumentasi. Laki-laki yang lebih tinggi menghadap pada pintunya Sakura ingat sebagai putra sulung keluarga Uchiha; Itachi Uchiha. Kabar mengatakan dia sekolah di luar negeri, jadi Sakura jarang melihatnya kecuali pada acara-acara besar keluarga Uchiha. Seperti yang terakhir kali Sakura ingat pada malam pria itu lulus SMA pada usia 15 tahun, ia tampak seperti laki-laki yang dipaksa untuk dewasa terlalu cepat. Di wajahnya tampak garis usia yang membuatnya kelihatan lebih tua dari usianya.
Seorang lagi berdiri membelakangi Sakura. Dari rambut spikynya Sakura bisa menebak itu Tuan Muda Uchiha Sasuke. Dia seumur dengan Sakura. Walaupun satu sekolah karena kebaikan tuan dan nyonya Uchiha menyekolahkan Sakura, tapi Sasuke yang terkenal jenius dan punya banyak fans itu jarang sekali bicara dengannya. Jika bertemu dan Sakura membungkuk hormat padanya pun pria itu sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyadari keberadaan Sakura di hadapannya. Sakura tahu itu karena perbedaan kasta mereka. Tuan Muda yang sempurna itu tidak perlu menganggapnya, karena toh dia bukan siapa-siapa…
"Pokoknya tidak! Dan bisa-bisanya kau baringkan dia di kamarku! Di tempat tidurku!" rupanya kamar luar biasa ini milik Sasuke. Pantas saja warna kamarnya biru tua, warna kesukaan pria muda itu.
"Berhenti berargumentasi tentang kamar, Sasuke. Kau ini seperti anak kecil saja…" Itachi memegang keningnya, alisnya berkerut mendengar keluhan adik kecilnya. "Kau mau atau tidak, Sakura tetap tinggal bersama kita."
Mata Sakura membesar mendengar ucapan Itachi. Dia… tinggal dengan keluarga Uchiha? Yang benar saja!
"AKU TIDAK MAU! Enak saja kau bawa anak pembunuh orang tua kita untuk tinggal bersama kita!" Itachi buru-buru menangkupkan tangannya pada bibir Sasuke, nyaris membuatnya sesak nafas.
"Jaga bicaramu, Sasuke!" bentaknya keras. Mata Sakura mengeluarkan lelehan air mata lagi. Seminggu sebelumnya, saat berita itu hadir di pintu depan rumahnya… Sasuke juga membentaknya dengan pernyataan yang sama di depan jasad orang tua mereka. Kecelakaan yang terjadi merenggut seluruh penumpang, termasuk tuan dan nyonya Uchiha. Saat itu Sakura tak bisa membantah apapun yang dicurahkan tuan mudanya. Ia hanya bisa menangis, sampai Sasuke puas meneriakinya dan meninggalkannya sendirian di tengah hujan karena melarangnya masuk ke rumah duka.
Atas kebaikan Itachi, ayah dan ibu Sakura diurus pemakamannya oleh keluarga Uchiha. Walaupun belum melihatnya atau berterimakasih padanya, Sakura sudah cukup tenang. Di matanya Itachi adalah orang yang sangat baik. Dan dari sejak itu Sakura mengurung diri di rumah, menolak untuk diangkut paksa ke panti asuhan. Ia tahu suatu hari nanti pasti ia akan dipaksa keluar rumah dan menjalani hidupnya sebagai anak yatim piatu…
Ia tak pernah berpikir Itachi akan membawanya ke keluarga besar Uchiha, ke kamar Sasuke yang begitu membencinya.
Sakura nyaris memekik kaget saat matanya bertemu pandang dengan Itachi. Buru-buru ia lari masuk ke dalam selimut. Beberapa detik kemudian pintu membuka. Itachi menghidupkan lampu dan memandang punggung Sakura yang pura-pura tidur. Ditutupnya pintu kamar dengan pelan, dan Sakura bisa merasakan pria itu duduk disebelahnya.
"Tak perlu pura-pura tidur, Sakura. Sasuke sudah pergi." Pelan-pelan Sakura membuka matanya, menatap pria di sebelahnya. Rambutnya berwarna hitam kecokelatan, persis milik Fugaku. Matanya gelap, sama seperti keluarga Uchiha yang lain. Ada sesuatu tentangnya yang membuat Sakura merasa nyaman, dan terlebih lagi, aman.
"I-Itachi-san."
"Panggil aku Itachi-nii saja. Aku banyak mendengar tentangmu dari Okaa-san. Kau sudah seperti adikku sendiri." Itachi tersenyum dan tangannya meraih untuk mengelus kepala Sakura. Wajah Sakura memerah medengar pernyataan laki-laki yang berusia 5 tahun lebih tua darinya itu.
"Itachi-nii."
"Nah begitu lebih enak didengar. Aku tahu kau mendengar 'perbincangan' aku dengan Sasuke tadi."
"Maaf." Sakura menunduk malu.
"Tak apa. Aku juga minta maaf kau harus mendengar keluhan-keluhannya tadi. Adikku yang satu itu tak pernah dewasa…"
"Tuan Muda Sasuke benar tentangku…" Itachi tampak terkejut lalu terkekeh.
"Kau memanggilnya Tuan Muda? Dan dia tidak menolak? Kurasa dia benar-benar menikmati kekuasaannya di sini saat aku pergi…" mau tak mau Sakura tersenyum juga mendengar kata-kata Itachi. "adikku itu emosional. Dia belum bisa menerima apa yang terjadi… jadi tolong jangan kau masukan ke hati semua kata-katanya."
Sakura diam-diam berpikir apa sebenarnya waktu itu Itachi tahu bahwa Sasuke membentaknya keras sekali saat pemakaman orang tua mereka dan meninggalkannya di bawah hujan semalaman.
"Saya tidak mungkin menerima itu…" Sakura berkata pelan.
"Maaf?" Itachi mendekat, tidak yakin ia mengerti apa yang gadis itu bicarakan.
"Kebaikan Itachi-nii untuk memperbolehkan saya tinggal dengan keluarga Uchiha… saya tidak bisa menerima hal itu."
"Kenapa?"
"Seperti kata Tuan Muda Sasuke…" Itachi menggeleng pelan.
"Orang tua mu bukan pembunuh. Kejadian itu murni kecelakaan."
"T-tapi…"
"Tidak ada tapi, Sakura. Berhenti menyalahkan dirimu dan orang tuamu. Aku sudah lama mengenal mereka seperti orang tuaku sendiri. Kau tidak mau pergi ke panti asuhan, kan?" Sakura buru-buru menggelengkan kepalanya. "kalau begitu kau tinggal dengan kami."
"Apa Tuan Muda Sasuke akan setuju?"
"Biarkan saja dia, lambat laun juga dia akan mengerti." Sakura menatap Itachi dalam-dalam. Pria muda itu tersenyum padanya dan mengacak rambutnya.
"Terimakasih, Itachi-nii…"
Sudah seminggu ia tinggal di kediaman keluarga Uchiha. Rumah keluarga Uchiha besar sekali, dan banyak pelayan di dalamnya. Meski lambat laun bertambah sedikit karena Itachi yang mengurus rumah tangga mengadakan perombakan. Sebagai penerus keluarga, pria yang baru menginjak 15 tahun beberapa bulan yang lalu itu segera duduk di kursi Presiden Direktur menggantikan ayahnya. Semenjak hari Sakura mengiyakan untuk tinggal di sini, Itachi jarang terlihat. Pelayan lain bilang bahwa pria muda itu sibuk mengurusi legasi keluarga Uchiha yang tak ternilai harganya.
Sakura diberi pekerjaan yang sama sebagai begitu, sebagai pelayan temuda ia diberi hak istimewa. Hak untuk tinggal di rumah keluarga Uchiha dan meneruskan sekolahnya. Sakura tak henti-hentinya berterimakasih untuk kebaikan seorang Itachi Uchiha, yang sangat sulit disampaikannya karena pria itu jarang terlihat.
Sakura bernafas lega karena seminggu ini ia belum bertemu Uchiha yang lain. Ia nyaris yakin Tuan Muda Sasuke akan membentaknya begitu mereka bertemu lagi. Lebih parah, mungkin ia akan melemparkanya sesuatu karena berani-beraninya mengiyakan ajakan gila Itachi untuk tinggal bersama mereka. Dia, Haruno Sakura yang miskin dan tak punya apa-apa, bisa makan dan minum di bawah naungan atap raksasa rumah mewah keluarga Uchiha? Sasuke tentu akan sangat senang untuk mengusirnya keluar.
"Oi." Sakura bergidik. Suara itu sudah sangat dikenalnya. Dihentikannya kegiatan mengepel lantai perpustakaan dan berputar untuk menatap laki-laki yang baru saja dipikirkannya. Buru-buru Sakura menunduk hormat pada pria bermata hitam yang beridir dengan tangan terlipat di depannya.
"Kau menghalangi jalanku." Sakura buru-buru menepi dan menarik pel serta embernya menjauh. Agak berat karena tubuh 10 tahunnya harus mengankut ember penuh air itu. Sasuke berdiri dengan arrogan menunggu Sakura menepi.
Sakura agak lega karena sambutan pertama yang dilayangkan Sasuke padanya hanya kemarahan kecil karena menganggu jalannya. Sakura sudah sangat takut Sasuke mungkin akan berbuat lebih parah dari ini.
Denga langkah kecilnya Sasuke berjalan melewati Sakura, dan tepat dihadapannya ia menendang ember itu hingga terjungkal. Mata Sakura membesar melihat air kotor menumpahi lantai perpustakaan yang baru saja seharian ini dibersihkannya.
"Tuan Muda!" pekiknya, buru-buru mengambil ember itu sebelum isinya tumpah habis. Saat Sakura memungutnya, tangan Sasuke menginjaknya hingga gadis itu menjerit.
"T-tolong hentikan-"
"Salahmu berani-beraninya tinggal di sini."
"T-tuan Muda, s-sakit…" Sasuke terkekeh dan melepaskan kakinya lalu berlalu begitu saja. Sakura meringis, bekas kemerahan tercetak jelas di tangannya.
Sebegitu bencinya kah Sasuke padanya?
Dua tahun berlalu.
Sakura senang karena semenjak Itachi menyaksikan Sasuke mendorong Sakura hingga jatuh dan menangkapnya tepat waktu, Sasuke tidak berani lagi menyiksanya. Sasuke dimarahi habis-habisan oleh kakaknya, dan sejak itu Sasuke bahkan tidak mau memandang Sakura. Sebisa mungkin mereka saling menghindari satu sama lain.
Hari ini Sakura baru saja selesai merapikan gudang, saat dilihatnya Itachi tengah menyeret koper besar dari kamarnya.
"Itachi-nii mau ke mana?" Itachi berhenti sesaat menatap gadis yang baru lulus SD itu.
"Maaf belum memberitahumu, Sakura. Tadinya kau kutinggalkan surat, tapi berhubung bertemu sekarang, kukatakan saja ya. Aku harus ke Amerika mengurus perusahaan ayah."
"Apa kau akan pergi lama?" Itachi tersenyum dan mengelus kepala Sakura, hal yang selalu dilakukannya untuk membuat gadis itu merasa nyaman.
"Kurasa begitu. Aku sejujurnya tidak yakin kapan bisa kembali ke sini…"
"Kau sudah siap?" dari ruang tamu Sasuke muncul, ekpresinya langsung berubah jadi jijik bercampur dingin melihat kakaknya mengelus kepala Sakura.
"Sebentar, Sasuke. Nah, jadi kuharap kau dan Sasuke bisa akur selama aku pergi. Kulihat kalian bahkan tidak saling menatap belakangan ini." Sasuke mendengus kesal mendengar pernyataan kakaknya.
Sakura hanya mengangguk takut-takut, padahal dalam hatinya ia benar-benar tak ingin Itachi pergi. Ingin rasanya ia berteriak begitu, tapi takut Sasuke akan marah padanya karena berpikiran buruk tentangnya. Lagipula Itachi tak akan suka jika Sakura menjauhi Sasuke karena takut pada tingkah pemuda itu.
"Baik-baiklah selama aku pergi. Sasuke, jaga Sakura." Pria bermata hitam di dekat mereka tidak menjawab apapun. Akhirnya karena pandangan tajam Itachi ia mengangguk pelan, sungguh sangat terpaksa. "dan Sakura… berhenti memanggil Sasuke dengan sebutan 'tuan muda'." Kata-kata terakhir Itachi membuat Sakura tertawa geli. Bisa-bisanya ia bercanda saat seperti ini.
Sasuke memutar matanya jengkel dan berlalu pergi. Sebelum Itachi menyusulnya Sakura mengenggam tangannya. Itachi menoleh.
"Berjanjilah kau akan pulang. Jangan tinggalkan aku seperti okaa-san dan ojii-san…" ucapnya lirih.
"Pasti. Dan berjanjilah saat aku pulang nanti kau dan Sasuke bisa akur." Balas Itachi, tersenyum padanya. Sakura mengangguk. Apapun yang terjadi, itu janji antara mereka berdua dan keduanya tak berniat untuk saling mengingkari.
Sakura terduduk kaget saat pintu kamarnya dibanting dengan keras. Sasuke berdiri di pintu, tangannya terlipat ke dadanya.
"Sasuke?" Sakura bertanya pelan, menatap wajah dingin pria itu.
"Itachi sudah pergi." Ia maju dan berhenti di depan Sakura. Sakura tak sempat bereaksi saat tangannya mengenggam erat tangan Sakura dan membantingnya ke lantai. Untung Sakura tidak membentur apapun.
"S-Sasuke?" Sakura ketakutan. Sasuke di hadapannya bukan Sasuke yang dikenalnya. Mata hitamnya berkilat karena sorotan cahaya, dan itu membuatnya makin terlihat berbahaya.
"Tidak ada lagi yang akan membelamu." Sakura mengigil saat Sasuke berjongkok dan menjambak rambutnya keras. "berteriaklah, tak akan ada yang menolongmu." Ujarnya terkekeh. Air mata mengalir dari pelupuk mata Sakura, bisa dirasakannya tarikan Sasuke membuat beberapa helai rambutnya terlepas.
Dengan tiba-tiba Sasuke melepaskan tarikannya dan menjauhi Sakura.
"Selamat datang di neraka, Sakura." Dibantingnya keras pintu kamar Sakura.
A/N : fic pertama dengan bahasa Indonesia. Baru coba-coba, maaf untuk typo, misspelling dan plot yang sederhana. Semoga cukup yakin dengan judul untuk sementara menggunakan judul dari fic ku yang lain. Kalau sudah ketemu yang pas mungkin akan diganti lagi, sudah malam nih soalnya hahaha.
Review?