DISCLAIMER :

Togashi-Sensei

angelofdeath1119 (for the original fic, I already got the permition)

PAIRING :

Absolutely KuroPika^^

SUMMARY :

It's undeniable, you know. It's unavoidable. Sometimes things have to happen. Collection of KuroPika oneshots, an Indonesian version!

GENRE :

Romance

WARNING :

AU, FemKura. Based on songs.


CHAPTER 3 : THE TRUTH


Song : The Truth by Kris Allen & Taylor Swift


It's the elephant in the roomand we pretend that we don't see it

It's the avalanche that looms above our heads and we don't believe it


Dia menyadari tumbuhnya suasana dingin yang muncul di antara mereka. Meski dia pun tak yakin apakah gadis itu merasakannya juga.
Rasanya dia ingin meleleh, menghilang, menguap.
Dia tahu dari mana rasa dingin itu berasal.

Bintang-bintang bersinar terang di atas mereka. Dia—yang jemu, lelah, ragu dan dirinya—yang tenang, rapuh, dan percaya; bahkan tertidur di pangkuan pria itu, demi Tuhan.
Dia tidak tahu apakah dia bisa benar-benar bertahan lebih lama lagi.
Jika gadis itu bisa menghilang.
Tapi sejujurnya, dia bisa merasakan gadis itu sudah menjauh darinya.

Dia bisa merasakannya.
Merasa terpisah. Menjadi terpisah. Kesendirian. Kesedihan.
Menggigit kesadarannya. Menggigit kewarasannya, hatinya. Gadis itu tidak tahu apakah memang dirinya yang menarik diri, ataukah pria itu.
Apa yang tidak dia mengerti adalah apa sebenarnya yang memisahkan mereka.

Di dalam benaknya, pria itu menertawakannya, tapi tanpa kegembiraan. Hanya sunyi, tak berperasaan, dan ketidaktahuan.
Dia ingin tersenyum, tapi dia tak bisa.
Dia ingin menghilang. Setidaknya, berpura-pura menghilang.

Kuroro menghela napas. Walau dia tidak memiliki kemampuan psikis seperti yang dimiliki oleh sepupunya, Machi, dia bisa bilang bahwa mereka menuju ke apa yang disebut 'neraka.'
Dia membelai rambut keemasan gadis itu, merasakan sentuhan lembut laksana sutra di dalamnya. Dia merasakan rasa gemetar di bawah sentuhannya yang hampir tak terasa.
"Jadi sekarang kau sudah bangun."
"Ya."


I try to not let you down, honestly is the hardest thing for me right now


Keheningan pun berlanjut saat bias cahaya pagi mengintip di horizon. temaramnya malam hari yang gelap mengabur dengan cepat, saatnya memerintah hari sudah berakhir. Belaian tangannya terus berlanjut, namun rasa gemetar itu berhenti.
Malah, suatu pesan tersembunyi tersimpan di balik helaan napas.
"Jangan berbohong, kumohon."

Dia bisa merasakan suatu ruang mulai tumbuh di antara mereka berdua, suatu paksaan yang memisahkan mereka meskipun saat itu mereka tengah berdampingan. Tidak, ruang itu bukan ruang secara fisik, tapi sesuatu yang lebih bersifat supernatural dan hanya ada dalam benaknya.
Dia bisa merasakan penampilan luarnya yang gembira hancur, dan dia ingin menangis terisak, menyadari ruang yang berkembang di antara mereka.
Landasan suatu hubungan yang indah mulai menghilang.

Dia berhenti membelai rambutnya, dan tangannya diletakkan di telinga gadis itu. Dia menyelipkan helaian rambut emas itu ke balik telinga.
Namun pada akhirnya, dia akan menjadi benteng bagi kehidupan nyata mereka yang hancur.

Kenangan-kenangan yang samar tertutupi ilusi cerah dari padang rumput yang sama di mana mereka berada sekarang. Meskipun samar—kenangan matahari dan bunga-bunga, kedamaian dan ketenangan, bahkan memori tentang gadis itu.
Pria itu pun melamun, dia tahu tak ada harapan. Kini tawanya berubah menjadi helaan napas sunyi yang seharusnya tak ada.
Tak ada harapan…

Gadis itu tahu bahwa kekasihnya lagi-lagi tidak tidur, tapi dia pun mulai kehilangan tidurnya, sedikit demi sedikit.
seperti sebelumnya, jantungnya akan berhenti berdetak ketika pria itu tersenyum. Ketika pria itu berbalik, dan sedikit menjauh darinya, dia akan tersipu. Tapi saat ini, kupu-kupu itu telah pergi.
Tidak, bukannya dia terbiasa. Hanya saja...itu dia. Kegembiraan itu. Perasaan itu.
Cinta itu?

Mereka berdua tahu konsekuensi karena berbohong akan segera menghancurkan mereka dan menghancurkan belenggu tipis, setipis helaian rambut yang mengikat...hubungan mereka. Istilah itu membuat mereka tersedak, dan menggerutu.
Membuat mereka tak mampu bernapas.

Ini adalah panasnya musim semi.
Panas, dibandingkan dengan dinginnya musim dingin yang menyelimuti segalanya dengan bantuan salju. Panas, bagi sepasang tangan yang kedinginan.
tapi gadis itu bisa merasakannya. Pria itu juga. Longsoran es yang dingin membekukan dirimu, benakmu, kewarasanmu, hatimu.
Hal itu menggantung di atas kepala mereka dengan seutas benang.

xxx

"Wo-oww! Kuroro, tempat ini besar sekali!" Dia berkata, gaun musim panasnya berkibas di sekitar "Rimahmu menakjubkan, dan kau punya...Halaman? kau bilang ini halaman? Ini ladang pohon mangga yang sangat luas! Wow!"
"Hmmn, sudah kuduga itu akan dikatakan oleh seseorang yang menyukai mangga," pria itu berkata, seulas senyum terbentuk di bibirnya. Dia menyaksikan gadis itu memetik buah mangga matang dan mulai mengupas buah itu dengan tangannya.
"Yah, aku tak bisa menahan diriku, 'kan?" kata si gadis, menyeringai, menggigit mangga itu. "Maniiiiiis!"
"Bolehkah aku mencobanya?" Pria itu bertanya, dan mencondongkan badan ke arahnya, menjilat bibir bawah Kurapika yang masih basah oleh jus buah mangga. Dia tersipu dan memalingkan wajah. "Mmn, kau benar."
"Aku tidak bohong, kalau boleh aku menambahkan, Tuan Lucifer," ejek Kurapika.
"Oh, benarkah?" Kuroro bertanya, menggoda kekasihnya.
Dari salah satu jendela di mansion besar itu, dua sosok berdiri menyaksikan pasangan tersebut—kalau istilah itu memang bisa diterima—berdebat seperti kucing dan anjing.
"Menurutku gadis itu akan menjadi pengaruh yang baik bagi putramu."

xxx

Kenangan, Kurapika menghela napas.

"Kenapa kau menghela napas?"
"Tidak apa-apa."
"Kau bilang kau tak akan berbohong."
"Aku tidak berbohong, bahkan aku tidak menjawab apapun."
Kali ini, pria itulah yang menghela napas. Sikap kekasihnya yang keras kepala sudah berada pada tingkat yang tidak bisa ditolerir, bukan lagi godaan yang biasanya dia senangi dan dia kagumi—lagi, hal itu ada pada daftar alasan yang membuatnya jatuh cinta pada gadis seperti dirinya.

xxx

"Kuroro?"
"Mmn?"
"Kalau rumah runtuh menimpaku, apa yang akan kaulakukan?"
"Meratap," dia berkata, mengangkat bahu.
Apa? "Hah?"
"Yah, kau bilang rumah itu sudah runtuh, jadi apalagi yang bisa kulakukan?" Dia berkata, mengintimidasi gadis itu.
"Maksudku, kalau kau punya kesempatan untuk menolongku..."
"Kalau begitu aku akan menyelamatkanmu."
"Kau cukup lemah dalam hal-hal semacam ini."
"Memangnya, hal-hal macam apa?" Dia bertanya, tiba-tiba merasa penasaran. Sebenarnya apa yang dia inginkan?
"Oh, tidak banyak," gadis itu berkata. "Hanya mencoba mengetes kau ini pria sebaik a—AAH!"
Tiba-tiba, dia melompat, bersembunyi di balik punggung Kuroro. "Apa...apa itu? Hantu!"
Kuroro menertawakan sikapnya yang kekanak-kanakkan. "Benar. Jadi gadis ingusan ini takut pada hantu. Wow, padanan yang mengerikan." Dia menariknya agar kembali berdiri di hadapannya, menggenggam kedua tangannya. Namun dia berbisik di telinganya, mengucapkan kalimat dengan penuh keyakinan (bagi seorang yang tidak romantis seperti Kurapika : "Aku akan ada di sini."
Kurapika sangat terkejut dan tersipu hingga dirinya lupa mengomentari panggilan gadis ingusan.

xxx

Mmgh. Gadis Ingusan, ya? Pikir Kurapika, pada saat ini. kenekatan dan kecerobohan sebelumnya.
Kurapika menghela napas. Aku kehilangan kewarasanku.

Aku ingat, pikir Kuroro, juga berasal dari pikiran yang sama. Gadis Ingusan dan hantunya. Seulas senyum kembali nampak di bibirnya. Aku terbiasa menjadi...malaikat penjaganya?
Dia tak pernah benar-benar membayangkan dirinya seorang malaikat, tidak ketika dia punya malaikatnya sendiri. Malaikat tidak memiliki kekasih. Setidaknya, itulah yang dia yakini
dia menatap sosok yang masih tetap diam di pangkuannya, tak mau bergerak. Jika dia benar, gadis itu mungkin memikirkan apa yang sedang ia pikirkan saat ini, seolah berbagi pikiran yang serupa, seolah pikiran keduanya berlari pada garis yang sama. Garis itu. Mungkin akan jadi sangat melankolis.
Oh, tapi itu tidak apa-apa. Lagipula, kekuatan dari sesuatu akan lebih kuat jika ada hal lain yang memegangi dirinya, benar 'kan?


Stop ignoring that our hearts are mourning
And let the rain come in


Aku tidak berbohong.
Jangan bohong, kumohon.
Kuroro; jika kau bertanya padanya, akan menyukai sebuah alasan untuk keluar dari...katakan saja, kekacauan ini, yang melibatkan dirinya. Tidak, bukan Kurapika—Kurapika bukanlah kekacauan baginya, dan tak akan pernah begitu (gadis itu adalah 'hartanya', jika boleh aku menambahkan). Kekacauan itu...adalah rasa dingin yang merasuk ke dalam diri mereka berdua, seperti sebotol air yang ditempatkan di dalam sebuah freezer.
Dia ingin mereka seperti sepoci teh panas. Bahkan jika es menyentuhnya, es itu akan berdesis dan meleleh, dan menghilang, dan tak ada seorang pun yang akan terluka. Dia ingin mereka seperti itu—cukup kuat, dan jika secara harfiah kau melihat ke dalam benda 'sepoci teh panas' itu, mungkin cukup panas sudah cukup dalam suatu hubungan untuk menjaganya agar tetap utuh.
Ini hanya badai debu, pikirnya. Kami bisa berkedip untuk menyingkirkannya dari dalam mata.
Oh, tapi dia tak mau berbohong.


Stop pretending that it's not ending
And let the end begin


Dia harap dia punya cukup kekuatan.
Untuk bertanya, untuk memberitahu. Untuk bertanya apakah pria itu bisa menyimpulkan suatu kesimpulan yang cukup mirip dengan kesimpulan yang dia punya, dan untuk memberitahukan padanya apa yang sudah dia simpulkan. Mungkin mereka bisa membereskannya. Mungkin, lagipula, mereka hanya harus membicarakannya.
Atau mungkin, mereka benar-benar harus berpisah, seperti apa yang dilakukan sang rembulan saat dia tahu sang mentari harus muncul; seperti bintang-bintang yang menghilang saat awan mengambil tempat mereka di angkasa, menari bersama mentari.
Kurapika mengambil napas. Dia akan bertanya padanya.
"Kuro—"
"Kurapika," malah Kuroro yang bicara. "Apa kau menyadari … masalahnya?"

"Ya, aku menyadarinya," dia berkata, dengan pelahan, tenang, memaksa kalimat itu keluar dari bibirnya. Bibirnya gemetar, dan dia yakin dia tak mempu menghadapi ini. Saatnya kebenaran.
Dia merasa pria itu bernapas dengan tidak beraturan, memburu, merasa tidak siap. "Aku sudah mempertimbangkan baik dan buruknya."
"Aku juga," dia berkata.
"Kurasa…" Kuroro berhenti bicara sejenak. "Kurasa…"
Kuroro tak bisa mengatakan apapun.
Dia belum benar-benar menetapkan pikirannya.

"Kau tahu…" Kurapika berpikir, mengisi kehampaan yang disebabkan oleh sikap diam pria itu. "Mungkin...mungkin sekali lagi saja. Mungkin kita masih bisa memperbaikinya." Dengan keinginan yang kuat, suaranya penuh dengan pengharapan.

"Mungkin…" Kuroro berpikir. "Tapi tetap saja…" Dia tak bisa bicara lagi, mungkin dia akan kelepasan mengatakan kalimat yang sudah dirangkai di dalam benaknya tadi, yang seharusnya adalah suatu kebohongan putih.

"Masih ada kesempatan, Kuroro," gadis itu berkata, dengan nada suara lembut yang sama yang dia gunakan saat dia bertemu dengan pria itu untuk pertama kalinya. "Mungkin...kita harus mengambil resikonya..."
Rumahnya sudah runtuh, tapi kau bilang kau akan menyelamatkanku, 'kan?

"Resikonya..." Kuroro menyuarakan pikirannya. "Kurasa begitu...tapi..."
Tapi apakah dia siap untuk ini? Bisakah dia benar-benar membuat komitmen lain saat sebuah komitmen baru saja hancur di depan matanya—suatu proses yang berlangsung perlahan, dalam kesunyian hingga membuatnya tersiksa?
"Tapi tetap saja."

"Tolong jangan bohong padaku...," Kurapika berkata, berusaha menahan isakan yang berusaha lolos dari kerongkongannya. "Jangan bohong...kumohon...katakan yang sebenarnya..."
Dia meremas pelan tangan gadis itu sekali lagi, dan mengatakan kebohongan putih terbaik yang dia buat.
"Aku tak akan berbohong."


While the floors underneath our feet are crumblin'
The walls we built together tumblin'

I still stand here holdin' up the roof

It's better not to lie, after all

Cause it's easier than telling the truth


.

A/N :

Kalau landasannya sudah hilang, apa lagi yang harus dipertahankan? Cinta dan kejujuran adalah landasan dari suatu hubungan, baik hubungan antar teman maupun hubungan dengan kekasih.

.

Leave your review...?^^


~ KuroPika FOREVER ~