Masa lalu bukan hari ini. Hari ini bukan masa depan. Masa lalu tak menentukan hari ini, namun hari ini pasti akan menentukan masa depan.

Semua saling berkesinambungan, membentuk sebuah pola kehidupan.


Penyejuk Musim

Naruto © Kishimoto Masashi

'This is SasuSakuNaru fiction'

Note : fic ini adalah lanjutan dari fic saya yang berjudul 'Sesal'. Jadi, bagi yang ingin membaca ini, diharapkan membaca Sesal terlebih dahulu

.

"Ke mana kau akan membawaku pergi?"

"Ke tempat di mana aku bisa melihat sakura mekar dengan begitu indah—

selamanya."

.


#1 Semi: Ingatan yang Hilang

Spring: The Lost Memory


Untuk beberapa detik, semua nampak sunyi. Yang terdengar di telinga masing-masing hanya sekedar desiran ombak, suara sekelompok burung bercicit. Terkadang, pasir-pasir putih di pijakan ikut mengalir mengikuti arah angin. Butirannya mengambang riang dan menari-nari di udara.

Sedikit ragu, Sasuke merentangkan tangannya. Bermaksud memberikan ruang untuk mengisi kerinduan bagi ia dan anaknya.

"Ayah?" gumam Haruki setengah tak percaya. " Betul kamu Ayah?"

Sasuke mengangguk dan menarik tubuh kecil nan rapuh anaknya. Mendekapnya hangat dalam pelukan kasih sayang. Tangannya berkeliaran untuk mengusap rambut anaknya.

"Kebetulan mobil yang kami kendarai mogok dan sedang berada di bengkel sekitar sini," ungkap Sakura sambil mendekat pada Sasuke dan Haruki. "Dan Haruki merengek minta ke pantai dulu sebelum ke rumah."

"Ibu ada di mana?" tanya Sasuke. Bibirnya terus menerus bergerak menghujani Haruki dengan ciuman kasih sayangnya.

"Ibu menunggu di bengkel," jawab Sakura seadanya. "Lucu ya, padahal kami berniat memberikan kejutan di rumah. Tak kusangka bertemu duluan di sini," kekeh Sakura.

Sasuke menangkap sesuatu yang berbeda di wajah Sakura kala itu. Memang wajahnya masih terlihat manis, tak banyak yang berubah seperti dulu. Parasnya bahkan melebihi keelokannya bertahun-tahun silam. Sungguh sangat dirindukannya. Dan perbedaan yang Sasuke tangkap mungkin dari sepasang mata viridian yang menatapnya berbeda. Bukan tatapan takut seperti dulu, melainkan tatapan yang begitu lembut dan penuh kerinduan.

"Ayah bilang… kau sudah banyak berubah," kata Sakura. Tentu saja seulas senyum terlukis sempurna di bibirnya. Ia sudah mendengar tentang perubahan-perubahan Sasuke lewat Fugaku dari teleponnya selama ini.

Belum sempat Sasuke menyahut, Haruki sudah menyambar duluan dengan pertanyaannya.

"Ayah, kenapa Ayah nggak pelnah kelihatan? Kan Haluki malu diejek teman-teman gala-gala dikila nggak punya ayah!" isak Haruki setengah kesal.

Sasuke tersenyum kecil lalu mencubit pipi tembem anaknya. "Sebenarnya selama ini Ayah sedang berkelana keliling dunia untuk mencari harta karun untukmu. Nah, karena harta karunnya sekarang sudah Ayah dapatkan, makanya Haruki bisa ketemu Ayah."

Reaksi pertama dari seorang anak kecil Uchiha hanyalah dahinya yang mengkerut bingung. Namun, lambat laun mata penuh linangan Haruki mendadak menjadi mata yang berkilau dengan beningnya. "Sungguh? Mana Ayah?" tanyanya sambil menengadahkan tangan.

"Nanti, kalau Haruki sudah ketemu Kakek dan Paman."

"Ah, Ayah pelit!"

Sasuke tertawa kecil lalu menggendong Haruki dan ia berdiri. Setelah menghela napas cukup panjang, tatapannya mengarah pada Sakura yang masih sibuk berjongkok memandang laut.

Ini bukan mimpi, ia percaya itu.

Dan ia betul-betul tak menyangka, bahkan ada kenyataan yang indahnya melebihi mimpi.

Tuhan benar-benar berbaik hati padanya.

Setidaknya begitu hari ini—dan entah sampai kapan.

"Aku… ingin bertemu Ibu."

"Ah." Sakura sedikit tersentak dan berbalik. "Tentu saja," sahutnya pelan. Senyum itu merekah tulus, tak berbeda dari yang dulu. Senyum yang lambat-lambat membuat hati Sasuke sejuk.

Ya, rasa sejuk itu kembali Sasuke dapatkan setelah sekian lamanya.

0o0o0

Yang pertama kali Itachi lakukan saat melihat kedatangan Sasuke bersama tiga orang yang tak terduga adalah perubahan tubuhnya yang mendadak kaku. Ia sampai tak kuasa menangis atau tersenyum saking kagetnya. Perasaan bahagianya membuncah sampai titik tertinggi. Hal yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Bahkan matanya terus saja membulat meski Mikoto memeluknya erat dan menangis memanggil namanya penuh rindu.

"Ibu? Sungguh kaukah?" panggilnya tak percaya. Pada akhirnya, yang ia lakukan hanya menangis kekanakan saking bahagianya, bahkan ketika mendapati bahwa dirinya ternyata sudah menjadi seorang paman. "Astaga, siapa malaikat kecil di sini?" tanyanya kaget. Ia mengangkat Haruki—saat itu Haruki langsung merengek minta diturunkan. "Wajahmu mengingatkanku pada adik kecilku yang manja."

"Om siapa sih?" tanya Haruki galak.

Itachi tertawa lepas. Dalam tawanya, tak jarang ia menggumam akan kemiripan Haruki dan Sasuke. Hal itu yang membuat Haruki makin sebal karena pertanyaannya tak terjawab dengan jelas.

"Ayah, Ayah!"

"Ssst, kamu tahu? Paman ini kakak ayahmu." Itachi melirik Sasuke yang sepertinya sedang berusaha medekati Sakura. Jiwanya sebagai seorang kakak pun mengatakan bahwa ia tak boleh membiarkan Haruki mengganggu perjuangan itu.

"Paman?" Haruki menepuk pipi Itachi dengan tangannya yang kecil, hanya sekedar untuk memastikan pemikirannya. "Kakaknya Ayah?"

Itachi mengangguk dalam lalu menciumi Haruki saking gemasnya. Haruki sendiri tidak lagi menolak Itachi, ia masih dalam tahap untuk mencoba memahami semua ini.

Mikoto melepas rindunya yang teramat sangat pada Fugaku, Haruki sedang bercanda bersama Itachi, sementara Sasuke sedang berusaha mendekati Sakura yang sedang mengangkat koper-koper.

"Sini, biar aku saja. Kau istirahat sana," perintah Sasuke sambil mengambil alih koper yang berada di tangan Sakura.

"Tidak perlu repot-repot," tolak Sakura dengan halus sembari mempertahankan koper yang dibawanya.

"Keras kepala," dengus Sasuke. Secara refleks, Sakura pun menyerahkan kopernya pada Sasuke. Hal itu tentu saja memunculkan tanda tanya dalam benak Sasuke. "Kenapa?"

Sakura menggeleng, lalu tersenyum masam. "Sayang menolak bantuan." Setelah itu ia menghampiri koper-koper lain yang lebih kecil dan mudah untuk dibawa.

Sasuke tak membalas apa-apa lagi—itu lebih dikarenakan tidak ada yang harus dibalas. 'Apa dia masih takut padaku?' batinnya nyeri.

0o0o0

Malam ini begitu sejuk, begitu hangat, begitu penuh romansa dan kekeluargaan. Tempat mengadu gigi yang dulunya begitu suram dan hitam-putih, kini sudah jauh lebih berwarna. Dulu,tempat itu hanya diisi oleh orang-orang jantan yang kesemuanya irit bicara. Namun malam ini, semua sungguh berbeda dengan kehadiran dua wanita dan juga seorang anak kecil yang memiliki semangat berbicara di masa muda.

Bisa dibilang, ini pertama kalinya terjadi acara makan malam yang begitu hangat di keluarga Uchiha. Makan malam yang tak hanya diisi dengan saling bertukar lauk pauk, kali ini pun diselingi canda. Walau begitu, semua tetap teratur sampai makan malam selesai.

Begitu Mikoto dan Sakura pergi ke dapur untuk mengambil hidangan penutup, tak seperti biasanya Fugaku membuka suara pada anak-anaknya—ah, mungkin sekarang lebih tepat jika kepada 'cucu'nya.

"Haruki suka tinggal di sini?" tanya Fugaku sambil tersenyum. Hatinya sebagai orang tua (yang dulunya keras) tentu saja kali ini meluluh melihat kehadiran sang cucu di tengah-tengah usianya yang makin memendek. 'Mungkin aku memang sudah begitu tua dan merindukan kehadiran seorang cucu', begitu pikirnya begitu melihat Haruki.

"Nggak tahu Kek, kan belum tidul di sini," jawab Haruki dengan cara bicaranya yang terdengar agak aneh—mungkin logat Suna. Selesai menjawab, ia langsung memainkan nasi di mangkuknya yang masih tersisa sedikit dengan sumpit.

Fugaku tertawa kecil. Ah, betapa cerdas cucunya ini.

"Haruki nggak boleh begitu, habiskan makananmu. Sayang tinggal sedikit," perintah Sasuke tegas, ia membenarkan posisi sumpit yang Haruki pegang lalu mulai menyumpit nasi untuk anaknya.

"Kenyang, Yah…," keluh Haruki. Matanya yang hijau bening jadi berkaca-kaca, pipinya menggelembung kesal.

"Sshh," Sasuke menggeleng dan terus memaksa Haruki menghabiskan makanannya.

Itachi jadi salah tingkah sendiri. Bagaimana tidak? Sekarang ia melihat Sasuke tengah meladeni anaknya. Bahkan ia sendiri belum punya anak, dan sekarang Itachi jadi merasa Sasuke benar-benar dewasa dan berjiwa sebagai seorang ayah. Oh, sudah waktunyakah bagi ia untuk beristri? Padahal rasanya, baru kemarin Itachi memeluk Sasuke yang tengah menangis pilu.

Waktu berjalan begitu cepat. Waktu mengalir begitu deras dan tanpa henti. Waktu jugalah yang membawa perubahan. Perubahan yang lambat jalannya, namun nyata hasilnya. Itachi pun baru menyadari perubahan itu sekarang.

Setelah itu, Mikoto datang bersama Sakura membawa makanan penutup. Sekali lagi keluarga itu pun makan bersama. Setelah serentetan acara makan selesai, barulah keluarga itu bebas bicara. Meski begitu, Haruki tetap dalam kondisi harus menghabiskan puding cokelatnya yang masih tersisa.

"Bagaimana Suna?"

"Walaupun tempatnya gersang, kami cukup senang. Lagipula Sakura cepat sekali rehabilitasi di sana," jawab Mikoto atas pertanyaan Fugaku. Jawabannya yang begitu riang mengundang senyum semua. "Kami punya tetangga yang baik-baik. Kepala desa di sana juga pengertian, dia memperbolehkan Sakura yang dalam keadaan hamil tak bersuami untuk tetap tinggal di sana."

Sasuke melirik Sakura sedih. Ia bisa membayangkan bagaimana gadis itu menjalani hari-hari awal di Suna.

"Awalnya aku juga tak tahu kalau Sakura hamil," kekeh Mikoto sambil melirik Sasuke. "Sasuke ternya—"

"Sudahlah Bu, jangan dibahas lagi," potong Sakura sambil menunduk. Ia mati-matian menyembunyikan wajahnya yang tersipu-sipu. Hal itu agak melegakan Sasuke. Tentu saja Sasuke takut. Takut kalau Sakura trauma padanya gara-gara kejadian malam itu. Tapi melihat wajah tersipu itu… Sasuke jadi ikut tersipu dibuatnya.

Mikoto tertawa kecil lalu melanjutkan bercerita. "Kepala desa yang tahu Sakura hamil, berniat menikahkan putra bungsunya yang seumuran dengan Sakura. Tapi untungnya dia mengerti situasinya setelah kuberitahu kalau ayah dari kandungan Sakura masih hidup."

"Eh?" Sasuke mendelik, sungguh bukan penggambaran ekspresi yang biasanya, Itachi sampai geli sendiri melihat ekspresi adiknya itu.

"Kami sangat beruntung, tetangga kami juga ada yang berasal dari Konoha. Jadi kami lumayan gampang beradaptasi di sana."

"Kenyang," keluh Haruki sambil meletakkan garpunya di atas piring. "Ngantuk…," gumamnya kemudian sambil menguap. Cahaya matanya yang tadi berkilauan kini mulai meredup dan sayu. Tatapannya begitu kosong. "Haluki mau tidul sama Ayah," pintanya manja sambil memeluk lengan Sasuke yang duduk di sebelahnya.

Semua yang melihat itu tentu saja langsung terheran-heran. Bagaimana mungkin Haruki langsung akrab begitu dengan ayah yang baru ditemuinya hari ini sejak ia lahir? Mungkin memang benar, perubahan Sasuke membuat semua orang bahkan bisa menempel padanya dengan gampang. Atau mungkin… itu hanyalah ikatan batin dan kerinduan antara anak dan ayah yang tak pernah bertemu?

Dengan hati-hati, Sasuke menggendong anaknya. Sementara itu, Haruki sudah terlelap dalam imajinasinya di alam bawah sadar sambil mencengkeram kaos yang Sasuke kenakan. "Biarkan Haruki tidur di kamarku."

Yang Haruki tidak sadari, ia melupakan harta karun yang dijanjikan ayahnya.

0o0o0

Setelah Haruki benar-benar sudah tidur, Sasuke berencana akan pergi ke kamar Sakura. Sasuke merasa, ada banyak yang perlu ia bicarakan dengan Sakura. Ada banyak, banyak sekali.

Belum sempat Sasuke mengetuk pintu, Sakura sudah muncul terlebih dulu. Sasuke pun segera menurunkan tangannya. "Ah, hai," sapanya canggung.

Sakura tersenyum kecil. Ia tetap mempertahankan pintu kamarnya untuk tidak terbuka lebih lebar—pertanda belum mempersilahkan Sasuke untuk masuk. Agak lama, barulah ia menjawab. "Hai."

Setelah itu, Sasuke mematung. Semua orang di rumah ini sepertinya sudah tidur terkecuali dirinya dan Sakura. Hal begitu yang menciptakan suasana canggung yang begitu menjengkelkan ini. "Belum tidur?"

"Seperti yang terlihat," jawab Sakura sekenanya. Jujur saja, Sasuke menjadi bingung untuk berkata apa selanjutnya.

"Boleh masuk?"

Sakura tersentak, namun bibirnya tetap terkatup. Agak lama ia berpikir dan memperhitungkan. 'Apa maksudnya sih Sasuke?' pikirnya cemas. Sedikit banyak, kejadian ketika malam di mana Sasuke membawanya ke kamar kembali terlintas seperti kendaraan di pikirannya. Melaju kencang, dan saking kencangnya, sampai membuat Sakura mual dan tak ingin mengingatnya lagi.

"Sakura?" ujung jari Sasuke menyentuh pundak Sakura.

"Tentu saja, ada yang ingin dibicarakan?" Sakura tersenyum kecut sambil membuka pintu lebih lebar.

"Ya… begitulah."

Aromanya begitu sejuk. Kamar ini baru pertama kali Sasuke sentuh dengan pijakan kakinya. Selama enam tahun ini, ia memang tak merasa pantas memasuki kamar ini sehingga Itachi lah yang selalu membersihkannya. Bukannya apa-apa, hanya saja, begitu memasukinya, Sasuke merasa ada segenggam hembusan angin yang mengipasi hatinya. Begitu damai tak terkira.

"Terima kasih karena telah membersihkan kamar ini selama aku tak ada," ucap Sakura tulus. Ia mempersilahkan Sasuke untuk duduk di atas ranjangnya.

"Bukan aku, tapi Kakak. Aku tak pantas memasuki kamar ini tanpa seizinmu."

Sakura diam sejenak, lalu mengangguk sambil tersenyum bangga.

"Ng, sebelumnya, aku… ingin minta maaf padamu…,"

"Sudahlah, tak apa. Aku sudah memaafkanmu dari dulu kok."

"…dan terima kasih karena kau bersedia mempertahankan Haruki."

Permata hijau Sakura mengarah pada objek yang tak dapat diperkirakan. Ia menggaruk pipinya, dan sejurus kemudian, mulai tersipu. "Haruki itu kan anakku, dia juga cucu Ibu."

"Tapi… aku memaksamu membuatnya…," Sasuke tertunduk penuh sesal. Kedua belah tangannya berkeringat, dan saling bersahutan. "Kau menerima banyak penderitaan dariku."

"Jangan menyalahkan diri sendiri," sela Sakura sebelum Sasuke berbicara lebih jauh dan mengingatkannya lebih jauh pada masa lalu yang mengerikan. "Yang terjadi, terjadilah. Begitu kata tetanggaku di Suna, haha."

Sasuke menatap Sakura tajam. Ia langsung berpikir macam-macam. Apakah tetangga Sakura itu adalah anak dari kepala desa di Suna? Mereka terlihat akrab. "Siapa? Anak kepala desa itu ya?" tanya Sasuke jengkel.

Sakura mengerti betul mengapa Sasuke bereaksi seperti itu. Meski hanya perkiraan, tapi menurut Sakura itu adalah sebabnya. Mungkinkah Sasuke… cemburu? "Bukan kok."

"Lalu siapa?"

"Ya tetanggaku. Dia berasal dari Konoha juga."

"Seumuran denganmu?"

"Ya… begitulah."

"Laki-laki?"

Sakura mengangguk.

"Kalian akrab?" permata hitam Sasuke menyorot Sakura, cahayanya penuh keingintahuan, dan permintaan penjelasan. Dari cara bicaranya tadi, sungguh terdengar tidak sabaran. Tatapannya harap-harap cemas.

"Tentu saja," jawab Sakura tanpa ragu—dan untuk tambahan, diselingi senyuman yang begitu manis.

Itu membuat Sasuke berpikir yang tidak-tidak. Ada berapa sih pemuda seumuran Sakura di Suna?

"Kenapa tidak menikah saja sana sekalian," gerutu Sasuke pelan, namun tetap terdengar oleh Sakura.

"Tidak mungkin, dia sudah punya istri dan anak."

"Hn?" alis Sasuke terangkat sebelah. Jujur, ia lega tapi hanya sedikit.

"Ya… kisahnya begitu panjang. Dia orang biasa dari Konoha, dan mencintai gadis Suna yang bisa dibilang dari keluarga terhormat. Karena sempat tidak direstui oleh mertua, sebelum pulang ke Konoha, dia menandai benihnya pada gadis Suna yang dicintainya. Karena tak punya pilihan, akhirnya mertuanya mengizinkan mereka untuk menikah daripada menanggung malu. Anaknya seumuran dengan Haruki," jelas Sakura panjang lebar. Ia mengingat-ingat kisah tetangganya itu.

Sasuke tersenyum tipis. Ternyata ada juga orang yang berpikiran pendek dan bodoh begitu, hampir sama seperti dirinya. Bertidak tanpa memikirkan apa jadinya, dan yang ajaib, orang itu beruntung.

"Aku ingin mendengar lebih banyak cerita darimu," ungkap Sasuke tulus. Senyumnya mengembang ringan, mengakibatkan timbulnya rona kemerahan di pipi Sakura.

Sakura memalingkan wajah. Entah mengapa, ia jadi sulit bernapas melihat senyum Sasuke yang seperti tadi. Astaga…. "Boleh saja," lalu ia melanjutkan, "Kudengar kau sama sekali tak diberitahu mengenai kabarku dan Ibu?"

"Yah… begitulah." Sasuke menggerutu. "Itu hukuman dari Ayah. Dia selalu bilang kalau aku mesti menerima konsekuensinya dan bersabar menunggu." Sasuke memalingkan wajah sedikit. "Bagaimana dengan sekolahmu? Maksudku, eng, kau kan…."

"Justru karena itu, aku jadi punya motivasi untuk masa depan," sahut Sakura dengan bijak, ia tersenyum dan menerawang. "Awalnya aku memang terpuruk, tapi tidak untuk seterusnya. Beberapa hal telah membuatku memutuskan untuk menjadi dokter—"

"Kau dokter?" potong Sasuke tak sabaran. Ia sama sekali tak membayangkan kalau… kalau…

Sakura mengangguk dan tersenyum senang. "Aku bekerja di Rumah Sakit Konoha."

Sasuke mengerjapkan mata. Semua begitu terencana dan penuh kejutan, bukan? Sejak awal Sakura dan ibunya sudah mempersiapkan ini.

Lambat-lambat Sasuke tersenyum. Tangannya terangkat dan bertengger di puncak kepala Sakura. Ia mengacaknya pelan.

Sakura menunduk kemudian memejamkan mata. "Aku senang sekali."

"Hn?"

"Rasanya seperti mimpi…. Sejujurnya, sejak dulu aku ingin mengobrol seperti ini…," Sakura meremas seprai yang didudukinya, "…Kakak…."

Sasuke menangkap bahu Sakura dan menariknya, mendekapnya dalam pelukan kasih sayang. Matanya terpejam dan terbentuk senyuman tipis di bibirnya. "Selama ini aku jadi kakak yang buruk untukmu."

Agak ragu Sakura menggerakkan tangannya. Kemudian ia membalas pelukan Sasuke.

"Aku… aku tak tahu bagaimana cara menunjukkan kasih sayangku dengan benar…," Sasuke mendesah kesal. "Aku benar-benar…." Sasuke menangkap kedua belah pipi Sakura.

Sakura memandang Sasuke begitu hangat, pandangan seorang gadis yang dirindukan Sasuke. Mereka bertatapan cukup lama, sampai kemudian wajah Sakura mulai merona.

Sasuke tak dapat menahannya lagi. Rona kemerahan di pipi Sakura menyadarkan Sasuke, akan keinginannya membahagiakan gadis itu. Sehingga nantinya, akan ada rona-rona kemerahan yang lain karena dirinya. Bias-bias kebahagiaan.

Kedua belah tangan Sasuke menangkap tangan Sakura. Mengusapnya hangat, lalu menggenggamnya erat.

Rasanya seperti berada di dunia lain. Hati Sakura mengumandangkan bahwa ia begitu asing dalam keadaan ini. Sesuatu yang bergejolak, dan menari-nari mendiami selubuk sanubarinya. Sentuhan Sasuke di tangannya, sungguh berbeda. Sakura tahu, kali ini Sasuke sedang tak membicarakan tentang hubungan kakak-adik dengannya. Rasanya sudah lama sejak Sakura merasakan perasaan yang begitu berat ini, yang begitu menggugupkan. Sudah lama… ketika dulu… ada seseorang juga… yang sering memperlakukannya begini. Yang sering menenangkannya. Yang sering menyejukkannya. Astaga… kemanakah eksistensinya selama ini? Ikut terbawa oleh perubahannyakah?

Melihat Sakura tak menyahut, membuat Sasuke kalut. Matanya melirik Sakura, dan mendapati gadis itu terlihat tengah berpikir akan suatu hal. "Ada apa?"

Sakura tersentak, lalu menarik tangannya. Ia menunduk malu, malu pada dirinya yang baru saja memikirkan orang lain ketika Sasuke tengah mencoba membuat dirinya hanya memikirkan keberadaan pemuda itu.

Tapi kenapa baru sekarang Sakura mengingat kembali akan senyuman pemuda yang dulu sering membelanya? Pemuda yang menarik tangannya dan menatapnya cemas sebelum Sakura pergi ke dalam jurang yang membahayakan. Pemuda yang dulu menjadi sokongan hatinya.

"Sakura, ada apa?" tanya Sasuke panik sambil memegang kedua belah pipi Sakura.

Senyuman yang menyejukkan, senyuman yang menyokong, senyuman yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali. Selama enam tahun ini… keberadaan senyuman itu seakan hanyut oleh perubahan dan rehabilitasinya dari kehancuran.

Sakura masih ingat… bagaimana dulu tangan pemuda itu menahan tangannya, untuk tidak pergi bersama Sasuke. Di malam itu… di malam ulang tahun Sasuke yang ketujuh belas.

Air mata Sakura menetes. Menumpahkan segala beban yang baru saja jadi konflik batinnya. Cairannya menuruni pipi, menyentuh tangan Sasuke.

"Sakura?" panggil Sasuke untuk yang kesekian kalinya.

Di manakah pemuda itu sekarang?

Malam itu pun Sakura tak mengingat, bagaimana Sasuke merengkuhnya hangat, dan membuatnya tertidur, melupakan kembali tentang ingatan pemuda sang cinta pertama yang baru diingatnya.

0o0o0

Sakura membuka matanya berat. Suara hujan yang berbenturan dengan tanah menjadi simfoni tersendiri bagi telinganya—mungkin ia juga sudah lupa bagaimana suara gemericik hujan di pagi hari mengingat di Suna jarang terjadi hujan.

Sakura mendesah, lalu menengok sekeliling. Tak ada siapa-siapa di sana. Tak ada Haruki, juga Sasuke. Ah iya, bukankah tadi malam Sasuke bertandang ke kamarnya? Di mana pria itu sekarang?

Sakura bangkit. Ia pun memegangi kepalanya yang terasa pening.

Sakura tak begitu ingat kejadian semalam. Yang terakhir kali terekam di memori otaknya, adalah ketika tiba-tiba rasa sakit yang teramat sangat menyerang kepalanya. Lalu Sasuke meneriaki namanya, dan begitu saja, semua terlihat gelap gulita tanpa cahaya.

Pintu diketuk, kepala Sakura pun terangkat. Tanpa menunggu jawaban, pintu sudah terbuka, menampilkan sosok Haruki yang duduk di pundak Sasuke.

"Ibu!"

"Awas, menunduk!" perintah Sasuke saat dirinya melewati pintu. Haruki pun menunduk dalam agar kepalanya tak terbentur.

Sasuke menurunkan Haruki di atas ranjang—saat itu Haruki langsung menyergap Sakura untuk memeluknya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Sasuke, agak ragu. Sebisa mungkin, ia mencoba melupakan kejadian semalam—lebih tepatnya pada igauan Sakura yang tanpa sadar.

"Baik," sahut Sakura. Senyumnya merekah tulus. Lalu pandangannya beralih ke Haruki yang menggeliat manja di pelukannya. "Hei, ayo mandi-mandi." Sakura menepuk pantat Haruki dengan gemas.

"Sakura…."

"Ya?"

Sasuke menatap Sakura agak ragu. Sejujurnya Sakura merasa agak enggan ditatap seperti itu, terlebih ia belum mencuci mukanya—mandi saja belum.

Namun tak dapat dihindari, akhirnya mereka bertatapan juga.

Dan Sasuke tak menangkap adanya kegelisahan di mata hijau itu. Tatapannya masih sejuk, seperti kemarin.

Dia tak mengingat kejadian tadi malam.

0o0o0

"Hei Sasuke, kapan kau akan melamar Sakura?"

"Akh!" pekik Sasuke saat merasakan lidahnya tergigit tidak sengaja. Ia pun melirik Itachi dengan pandangan penuh tanya.

"Apalagi yang kautunggu? Sampai kapan kau akan membiarkan anakmu tak memiliki ayah dalam status resminya?"

Sasuke memalingkan wajah. Tangannya tak berhenti mengambil keripik-keripik pedas dalam toples di pangkuannya. Lalu dalam sekali lahapan, dua-tiga keripik sudah masuk ke mulutnya untuk dikunyah.

Pagi yang indah di tengah guyuran hujan, keluarga yang hangat berkumpul dalam sebuah ruang. Saat itu Sakura tak ada di tempat, ia sedang mengawasi Haruki mandi.

"Ibu juga tidak sabar melihat kau bersanding dengan Sakura, Sasuke," sahut Mikoto dari arah dapur, "Makanannya sudah siap," sambungnya. Kemudian, tiba-tiba saja dia sudah berada di ruang keluarga sambil melepaskan celemeknya, ia pun melanjutkan, "Dia sudah memaafkanmu kok. Lagipula Sasuke, kau mencintainya, bukan?" goda Mikoto sambil mengedipkan matanya. "Ibu ingin sekali Sakura jadi menantu Ibu secepatnya."

Sasuke tersenyum masam. "Jangan bicara yang tidak-tidak."

"Jangan bicara yang tidak-tidak? Apa maksudmu?" protes Itachi dengan nada tinggi. "Jangan mengulur waktu. Ibu sengaja ke sini secepatnya untuk melihatmu menikah dengan Sakura karena Haruki juga sudah harus bertemu dengan ayahnya—ia akan sekolah."

Sasuke mengerjap. Kepalanya berputar ke arah kanannya, ia memandang Mikoto dengan pandangan penuh tanya dan penasaran. Agak lama terdiam, Sasuke pun membuka suara, dengan nada sepelan mungkin. "Sakura mau menikah denganku?"

Mikoto masih mempertahankan senyumnya untuk beberapa saat. Tapi untuk saat yang selanjutnya, ia terdiam dan memasang wajah serius. "Err, Ibu belum bilang sih. Tapi waktu Ibu tanya 'apakah kau rindu Sasuke?' dia menjawab 'ya, aku sangat merindukannya'. Sudah pasti Sakura juga menantikan hal ini, tapi ia malu mengatakannya," jelas Mikoto panjang lebar tanpa menarik napas di setiap jeda perkataannya.

Sasuke mengeluh ringan. Ia pun memalingkan wajah. Jawaban setengah-setengah seperti tadi… tak dapat diukur secara pasti tingkat kebenarannya.

"Ayah juga tak sabar untuk menimang-nimang cucu," Fugaku yang biasanya kalem, kali ini ikut nimbrung. Bahkan dengan perkataan yang sangat mengejutkan. Hal yang membuat Mikoto, Itachi, bahkan Sasuke menatapnya keheranan. "Ayah bertemu Haruki saat ia berumur lima tahun. Jangan lupa itu."

Semuanya terdiam, disusul Sasuke yang kembali memakan keripiknya.

"Jadi, bagaimana Sasuke? Kau sudah membicarakannya dengan Sakura?"

Sasuke menggeleng ringan. "Nanti saja membahasnya."

"Kau bagaimana sih? Ibu cepat-cepat ke sini karena ingin melihat kalian menikah!" suara Mikoto meninggi. Bahkan napasnya turut memburu. Jengkel sekali ia melihat sikap putranya yang ogah-ogahan dan cuek itu.

Sasuke tak bergeming sedikitpun. Tatapannya meredup. Pandangannya mengabur, lalu menjadi gelap karena kelopak matanya menutup lama. Pikirannya begitu jenuh hari ini. Sambil memejamkan mata, ia menutup toples di pangkuannya. Kaki-kakinya meregang, lalu diluruskan. Tubuhnya terangkat, lalu ia mulai melangkah pergi.

"Ibu jangan salah paham," ucapnya. Di saat kakinya mulai melangkah lagi, ketika Mikoto hendak meneriaki namanya, Sasuke memotong duluan. "Menikah bukan perkara yang sepele dan mesti diperhitungkan dengan matang."

Langkah kaki Sasuke terus menapaki ruangan-ruangan yang terdiam membisu memperhatikannya berjalan. Tak banyak bicara, Sasuke hanya merenung. Ini bukan permasalahan yang begitu sepele, semudah orang-orang mengucapkan tanpa bertindak.

Mikoto memandangi punggung putra bungsunya yang kian menjauh dengan agak sedih. Ditatapnya Fugaku dan Itachi yang seperti mengerti apa maksud Sasuke.

"Dia sudah dewasa. Sebaiknya kita hanya menunggu saja," ucap Fugaku kalem.

Hujan belum juga berhenti. Tangisannya membahana ke seluruh penjuru kota. Derasnya meneriaki alam, dan memanggil kaum sebangsanya untuk turut mengalir. Gemericiknya memecah kegundahan.

Sambil memandangi hujan yang terus mengelabui udara dengan kabut tipisnya yang keluar jalur, Sasuke bertanya dalam hati,

"Bagaimana mungkin aku menikahinya? Sementara hatinya tak tertuju jua padaku. Dia masih memikirkan pria lain, dan aku belum melakukan apa-apa untuk menghapus keberadaan pria itu sepenuhnya dari pikirannya."

0o0o0

Tetes-tetes hujan mulai mereda. Payung-payung manusia mulai terkatup seperti halnya bunga-bunga mempersiapkan diri untuk pergantian musim dingin. Langit mulai bersahabat, dan lukisan langit pun mulai terlihat di ujung bukit sana. Merah, jingga, kuning, biru, hijau, nila, ungu—warna bianglala memang yang terindah.

"Kuharap hujan tak turun lagi," gumam Sakura sambil menutup payungnya. Kemudian, ia menoleh pada Sasuke yang tengah menenteng banyak belanjaan di tangannya. Ini adalah pertama kalinya bagi ia berbelanja bersama Sasuke—ditambah anak mereka. Sudah beberapa minggu ia berada di Konoha—dan hujan selalu datang tanpa istirahat setiap hari. "Eng, Sasuke," panggilnya agak ragu.

"Hn?"

"Kau tak apa membawa semua itu?"

Sasuke mengangkat bahu. "Tak masalah. Aku ini laki-laki."

Sakura hanya menanggapinya dengan tawa kecil.

"Ibu, beli es klim," rengek Haruki. Tangannya dengan tak sabaran menarik-narik rok Sakura, kemudian menunjuk sebuah toko es krim besar di seberang jalan. Jujur saja, hari ini ia merasa sangat senang. Sasuke selalu membelikan apa saja yang ia inginkan di sini—Haruki merasa ia sangat disayang dan dimanjakan. Meski berkali-kali Sakura melarang, tapi Sasuke tetap mau membelikan apa yang diinginkannya.

"Kau ingin es krim?" tanya Sasuke penuh perhatian. Meski nadanya terdengar dingin—Sasuke tak bisa berbuat apa-apa untuk menanggulangi cara bicaranya yang selalu dingin, jadi jangan berkomentar apa-apa—tapi Haruki menganggap suara ayahnya begitu keren saat berbicara. Tegas dan penuh wibawa.

"Boleh?" matanya yang berada di balik kacamata hitam yang baru dibelinya itu mengerjap berbinar—dan Sasuke takkan tahu itu.

"Tentu saja," Sasuke menaruh kantung-kantung plastik di tangannya ke samping Sakura. "Titip ini sebentar, biar aku yang beli."

Sakura mengangguk. Sebenarnya ia ingin membantah karena ini baru saja hujan dan Haruki minta es krim karena ia takut nanti Haruki akan pilek. Tapi, Sakura sangat tahu perasaan Sasuke yang begitu bersemangat memberikan apa yang diinginkan anak yang baru ditemuinya kemarin-kemarin. Perasaan seorang laki-laki yang baru menjadi ayah.

Sasuke berjalan untuk menerobos orang-orang yang melaju di jalanan agar sampai ke toko es krim di seberang. Perlahan, punggungnya mulai tak terlihat, dan terhalang oleh kepadatan orang-orang—yang sebagian besar tengah sibuk menutup payung.

Sakura terus memandangi Sasuke, sehingga ia menjadi lengah, dan kantung plastik yang harusnya ia jaga bisa dengan mudahnya berpindah ke tangan orang lain.

Mata Sakura membelalak. "Pencuri!" ia pun berteriak histeris. Diraihnya pergelangan tangan Haruki dan ia mengejar si pencuri.

Tak ada orang yang peduli. Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sakura berjuang sendiri menerobos orang-orang itu untuk menangkap sang pelaku kejahatan. Tapi ia berhenti mengejar ketika ada orang yang menyadari apa yang ia kejar.

Ada orang yang berhasil menangkap si pencuri. Mencekal lengan pencuri itu, lalu meninjunya hingga pencuri itu terjatuh. Lalu orang-orang pun sadar akan keberadaan si pencuri dan mulai memusatkan perhatiannya pada si pencuri. Pencuri telah tumbang di tengah jalan, di tengah keramaian.

Setiap orang mulai berbisik-bisik mengenai si pencuri yang tengah merintih kesakitan, menyerukan betapa sakit perutnya yang terkena tinju. Petugas pun datang setelah ada beberapa orang yang melaporkan—kebetulan kejadian itu terjadi di dekat pos keamanan. Si pencuri telah dibekuk, dan orang-orang kembali berlalu lalang dengan aman.

Sakura berlari dengan tergesa-gesa menuju barang-barangnya yang berserakan. Haruki di belakangnya mengikuti, dengan seraut wajah yang kelelahan.

"Terima kasih sudah menolongku," ucap Sakura ketika melihat pemuda yang baru saja menolongnya itu tengah memunguti barang-barangnya.

"Tak masalah."

Sakura menerima barang-barangnya yang baru saja dipungut oleh si pemuda baik hati. Seorang pemuda berperawakan tegas, yang memakai hoodie berwarna hitam dan oranye.

Di tengah matahari yang muali bersinar terik, di saat burung-burung menari di langit sambil menyerukan cicit. Sang bianglala di ujung bukit tinggi mulai memudar dan tergantikan oleh kilau cahaya yang membludak semenjak kedatangan sang mentari menggantikan rintikan hujan.

Wajahnya diterpa cahaya yang begitu hangat. Senyumnya mengembang tulus. Kulitnya yang kecokelatan terkena sinar yang membuat silau.

Sakura mematung dalam sekejap. Mata biru jernih yang sangat dikenalnya itu, juga senyuman ringan yang hangat itu. Suaranya yang tegas, namun begitu ramah.

Hal ini terulang kembali seperti malam yang telah lalu itu. Ingatan akan seseorang yang sempat terlupakan kembali menyeruak masuk. Memori-memori berseliweran dan berusaha mengambil tempat teratas untuk diingat. Ingatan tentang seorang murid pindahan menari-nari riang dalam ingatan Sakura. Pemuda yang selalu menenangkannya. Pemuda yang selalu menemaninya saat ia tengah galau. Lalu yang terakhir Sakura ingat, lagi-lagi kepada kejadian di malam itu. Saat tangan sang pemuda menahannya untuk tidak pergi. Sang pemuda, cinta pertama.

Tudung hoodie-nya terayun oleh angin, dan jatuh, menampakkan rambut pirang yang tegak dan helaiannya yang berkibar santai. Dan itu tak salah lagi.

"Sakura?"

"Naruto?"

Sekejap, Sakura langsung memeluk pria di hadapannya. Bulir-bulir kerinduan telah jatuh. Isakan kebahagiaan membahana di tengah keramaian. Sakura merasakan tangan yang berat mengelus punggungnya, membalas pelukannya.

Dan Sakura pun menjadi lemah.

Ia melupakan segalanya seketika. Tidak Haruki yang tengah memandangnya keheranan, tidak juga Sasuke yang tengah kebingungan mencari sosoknya yang tiba-tiba menghilang.

Bersambung


A/N

Konbanwa Gozaimasu…

Hoshi Yamashita di sini…

Sebelumnya, maaf telah membuat kalian menunggu… *ojigi* (formal banget ) Saya hiatus lama gak ya? XD Hontou ni gomennasaaai! Sekarang saya lagi suka main di deviantART, kalo pembaca ada waktu, boleh dong mampir, hehe (meski gambar saya masih sedikit dan gitu-gitu aja)

Yap, ini adalah sekuel dari 'Sesal' dan sialnya, saya hanya bisa membuatnya multichapter, maaf ya 4nk4-ch4n kalo gak suka… Oh iya, omong-omong, masih adakah yang ingat fic itu? XD

Rated M karena mengarah pada konflik rumah tangga. Oh iya, di fic ini nggak terfokus banget ke SasuSaku, akan ada banyak pair lain juga. Dan dan dan, doakan saya ya supaya fic ini kelar paling lama dalam setahun ya :D Saya takutnya nanti malah berhenti di tengah jalan =_= dan yang paling buruk itu kalo sampe discontinued, aaaaa.

Saya tahu kok, saya punya hutang banyaaaak banget sama pembaca, karena itu sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya kalau seandainya pernah mengecewakan kalian :') Bagaimanapun juga, sekarang saya sedang berada dalam masa sibuk-sibuknya seorang pelajar, T.T *ngeles*

Special thanks to :

Patto-san, babibubebo, Hatake Depharamita Archuleta, Rizuka Hanayuuki, Inori chan, Mikaela Williams, valentina14, Chini VAN, Haza ShiRaifu, Kurousa Hime, Tsukiyomi Ayumu Kumiko, garoo, BlueWhite Girl, SagachIvu, Risuki Taka, Chiwe-SasuSakuNaru, Meity-chan, Eky-chan, HarUchiha Ai, me, NHL-chan, Key frewse, Soraka Menashi, Fumiko Hime-chan, V3Yagami, Youi Schiffer, L-Ly Three Kazumi, Hoshikame nagisa, haruno mey, uchiha ney-chan, blackcurrent626, Park Ra Ra, 4ntk4-ch4n, DarkCrimson Kageya Himesaki, kyuki-uchiha, Michelle Aoki, princess dilsa, miyank

-Pokoknya, buat semua reader, makasih banyaaaaak! Tanpa kalian, mungkin saya akan malas menyentuh keyboard XD-

At last, RnR? CnC?

Give me feedback please

.

.

.

Love you all,

Yamashita H.