Hello! Wow. How many years has it been since the last time i wrote something? Lagi ngecek laptop lama tiba-tiba ketemu draft chapter 9 yang sama sekali belum kesentuh lagi sampai beberapa hari ini.

Finally, i managed to wrap up this story. FINALLY. Akhirnya bisa tidur tenang haha XD

Maaf kalo gaya penulisannya sedikit berubah. Pada akhirnya saya juga merasa ada sedikit sentuhan kedewasaan di fic ini. Hope u don't mind :)

Saya tahu banyak pembaca fic ini yang bahkan sudah ga pernah ke web ini lagi, tapi saya nggak keberatan, i just wanna give a nice closure to this fic.

Akhir kata terima kasih banyak sudah membaca fic ini, i thank u from my heart :)

note: Fic ini dibuat jauh sebelum covid19, jadi mereka ga ikut social distancing :p

Enjoy!

—-oo—-

The Princess and the Queen

-chapter 9-

—-oo—-

Hujan menitik teratur saat Karin dalam perjalanan pulang dari Rumah Sakit, Takeru menyetir dalam diam.

Dalam hati, ada satu perasaan aneh yang terbersit di dadanya saat ia memperhatikan gadis itu menatap ke luar jendela.

Ia jarang merasa rapuh, lelah dan begitu butuh tempat untuk bersandar.

Ia jarang merasa harus jujur memperlihatkan pada orang lain bahwa ia bukanlah Superman.

Ia bahkan tak bicara pada Karin soal itu, tapi gadis itu tahu.

Gadis itu tak hanya melihat apa yang ada di luar, dan apa yang ada di dalam.

Takeru merasa sedikit malu dan lega.

Di balik sifatnya yang seringkali digdaya, ia hanya manusia biasa.

—oo—-

"Lagi liat apa?" tanya Takeru memecah keheningan di mobil.

Karin tersadar dari lamunannya dan balik menghadap Takeru.

"Aa.. itu, aku baru sadar ada perumahan baru di dekat sini. Cukup jarang kan ada perumahan baru dan bukan apartemen atau mansion?"

Takeru menatap beberapa perumahan mungil yang sedang dibangun tepat disebelah beberapa yang sudah jadi.

"So.. you prefer houses than apartments?" tanyanya sambil melajukan mobilnya lagi.

"Hmm. Dari faktor ekonomi memang lebih untung punya rumah sih," timpal gadis itu serius, "Untuk investasi masa depan. Tapi yaa harga rumah di Jepang mahal banget, aku.."

Karin tiba-tiba tersadar Takeru sedang menatapnya sambil tersenyum.

Salah tingkah, ia bertanya, "A.. apa? Kenapa?"

"Oke deh"

"Oke deh.. apanya?" tanya gadis itu lagi.

Takeru tersenyum menggoda.

"Give me 2 years, maximum"

"2 tahun.. untuk apa?"

"Untuk beli rumah"

"Ha?"

Ketika gadis itu masih menatapnya dengan bingung dan penuh tanda tanya, Takeru melanjutkan sambil tertawa.

"Untuk kita tinggali nantinya"

—oo—-

Takeru pulang ke rumah keluarganya dan bertemu ayah ibunya di ruang keluarga.

Ayahnya sedang membaca tablet dan ibunya terlihat sedang duduk di sofa sambil minum teh.

"Wow this is nostalgic. it's been years since the last time we sit here like this" sapa Takeru sambil mengambil biskuit dan duduk tak jauh dari sofa ibunya.

"Ibumu—" Ayahnya melongok dari balik kacamata bacanya untuk melihat tatapan mengancam dari ibunya, "Kami, ehm, menunggumu."

"I know," senyum Takeru singkat.

Ia menatap ibunya dengan teduh, "So? What are we going to talk about?"

Ayame menatapnya, "Koizumi Karin," lalu ia mengalihkan pandangannya, "Aku.. ehm, i did a, um, mistake"

Ayame memalingkan mukanya dan menghadap ke arah yang berlawanan, "I owe both of u, an apology,"

Takeru tersenyum lebar, ia menghampiri ibunya dan memeluk pinggang ibunya sambil berjongkok, dengan kepalanya berada di bahu ibunya. Ayame sedikit terkejut tapi berpura-pura tidak menunjukkannya.

Masalah ini memang sangat mengganggu pikiran Takeru untuk waktu yang cukup panjang, tapi ia sadar tak ada yang bisa ia salahkan atas semua ini.

Semua orang hanya berusaha memberikan yang terbaik. Karin, ibunya, ia sendiri. Mereka semua ingin yang terbaik.

Ia akhirnya sadar, apa yang baik di kepala setiap orang berbeda-beda bentuknya.

Ibunya terasa kecil dan rapuh, Takeru menyadari. Wanita tangguh yang selama ini Takeru sedikit takuti, ternyata seramping dan sekecil ini.

"Aku.. bilang padanya untuk tetap melanjutkan sekolah kepribadiannya," Ayame memulai dengan suara kecil, "TAPI, hanya untuk2 kali seminggu. Itupun dengan persetujuan gadis itu. Pada akhirnya, ini semua untuk kebaikannya juga"

Takeru mendongak dan tersenyum, "I know mom,"Ia berdiri dan mengecup kepala ibunya, "I know.."

Ia menggenggam tangan ibunya dan berkata, "I want you to trust me and Karin, i want u to believe in my choice. Karin gadis yang baik. Ia pekerja keras dan tulus. Ia menyayangi dan disayangi banyak orang. If you can't see it now, you will see it later. I promise you."

"Please mom.. give us a chance"

Ayame tetap memalingkan mukanya, tapi akhirnya ia menjawab "Ok, baiklah. We'll see"

Anak laki-lakinya tersenyum lebar, "Thanks mom"

Diam-diam Ayamepun ikut tersenyum, Ia bersyukur bisa sedikit melunak dan berbaikan dengan anak laki-lakinya.

Saat Takeru kembali duduk di sofanya, ayahnya menatapnya dengan penasaran sambil bertanya, "I know you told me you started a relationship with a girl, but i haven't really heard the details.. How is it?"

"It's going good," jawab Takeru sambil menyesap teh yang telah disediakan untuknya.

"Sudah seberapa jauh?"

"PRFFRT—"

Takeru menyemburkan tehnya dan batuk-batuk tersedak, "DAD—" ia memprotes.

Wajah ibunya memerah, "For God's sake, darling!" Ia dengan cepat berdiri dari sofanya, "Aku nggak perlu mendengar pembicaraan antar laki-laki ini, demi Tuhan" Ibunya lalu pergi meninggalkan mereka berdua terburu-buru dengan wajah merah.

Takeru tertawa geli, "Seriously dad, i swear to God, stop being so blunt"

"Yaa.. aku cuma takut kau melakukan hal yang tak pantas ke anak gadis orang," jawab ayahnya kalem.

"Karin is not that kinda girl," kata Takeru sambil geleng-geleg kepala. Sifat terus terang ayahnya masih membuatnya tak habis pikir sampai saat ini, "Aku akan menjaganya sampai menikah nanti."

"Good," ayahnya mengacungkan jempol tanpa ekspresi.

Takeru tertawa terbahak-bahak. Ayah dan ibunya memang 2 orang yang sangat menarik, modern yet preserved. Traditional yet advanced. Rock solid yet soft-hearted.

Dari 2 sifat orangtuanya inilah ia terbentuk. Nilai-nilai berbeda yang orangtuanya berikan selalu ia pegang kemanapun ia pergi. Walaupun tak pernah menyatakannya, Takeru merasa beruntung memiliki kedua orangtuanya.

Ia beranjak ke kamarnya lalu tersenyum jahil.

"We kissed though," sambungnya.

Ayahnya menatapnya sambil mengenyitkan kening.

"A lot."

Takeru tertawa lagi dan buru-buru lari ke kamarnya sebelum ayahnya sempat membalas.

—-oo—-

Karin masih berdebar-debar kencang mengingat apa yang terjadi di mobil tadi.

Itu bukan lamaran… kan?

Ya ampun ia ingin berteriak sekencang-kencangnya sambil berguling di kasur.

Ya ampun ya ampun! Takeru kadang benar-benar membuatnya ingin meledak.

2 tahun.

2 TAHUN?

WAWAWAWA.

Ia pun kembali berguling di kasur sambil memeluk bantal dan memekik tertahan.

—-oo—-

Semuanya berjalan cukup seperti biasa setelah itu. Takeru dengan kuliah dan magangnya, Karin dengan pekerjaannya.

Takeru cukup populer di perusahaan ayahnya. Pemuda tampan, tegap, cukup pintar dan bisa bergaul dengan baik dengan senior-seniornya.

Beberapa senpai perempuannya sempat mengajaknya kencan, sekedar minum kopi atau bahkan ke bar bersama mereka. Yamato Takeru selalu menyiapkan senyum terbaiknya dengan tolakan super manis, "i'm afraid my girlfriend won't agree" sambil memperlihatkan layar handphone yang berwallpaper gadis itu.

Entah apa yang dipikirkan senpai-senpainya setelah itu, iapun tak peduli.

Sore ini ibunya akan kembali ke New York. Ia pun sudah menyiapkan izinnya dan mengajak Karin untuk mengantar Ayame ke bandara.

Ia menelpon gadis itu sebelum membereskan barang-barangnya.

"Takeru?" jawab Karin.

"Hey baby, i'm about to pick you up"

"Ok. Ng, begini, apa aku harus dandan ya? Ibumu membelikanmu banyak sekali baju dan aku bingung juga mau pakai apa"

Takeru tertawa kecil.

"Pakai baju apa aja pasti cantik kok"

"Nggggg oke.. Aku cuma takut ibumu nggak suka sama pilihan bajuku"

"No worries, ibuku janji nggak akan segalak dulu"

Terdengar suara tawa di ujung sana, "Okeee aku siap-siap dulu.. dadahh"

"Bye, love you"

"chup chup" balas Karin menggemaskan.

Takeru tertawa. Ia ingin cepat-cepat bertemu gadis itu.

—-oo—-

Karin memilih Burberry slim trousers dan kemeja putih polos bergaya oversized cantik yang ia terima dari ibu Takeru. Ia mengepang rambutnya ke samping,

dengan make up natural dan coral water tint untuk bibirnya.

Ia masih belum nyaman dengan setelan mahalnya, tapi harus mengakui ia kelihatan cantik dengan keseluruhan penampilannya.

Ia melengkapi penampilannya dengan earrings kecil, cassette bag hijau untuk aksen pop-off, dan sepatu mocassin untuk aksen casual-fashionable.

Ia menatap bayangannya di kaca dan tersenyum.

Pada akhirnya,

ia merasa bisa menerima semua ini.

Karena apapun yang ia kenakan,

apapun yang ia pakai,

ia tidak kehilangan jati dirinya.

Ia tetaplah Koizumi Karin.

—-oo—-

Takeru tetap menghambur ke ruang tamu apartemen Karin walaupun gadis itu bilang tunggu saja di lobby. The power of spare key, balas Takeru selalu.

"Mou, Takeru, kan tadi aku bilang tunggu di bawah aja" sahut Karin dari ruang kamarnya, mendengar ada yang masuk.

"I just wanna drink some tea before heading out again," jawabnya santai lalu mengambil teh di kulkas.

Sambil merenggangkan kakinya sedikit, Takeru duduk di sofa. Apartemen Karin yang homey selalu membuatnya merasa nyaman, lebih dari mansionnya sendiri, apalagi rumah keluarganya.

"Ikimashou," kata Karin cepat keluar dari kamarnya dengan sedikit terburu-buru.

Takeru hampir menjatuhkan tehnya.

Wangi floral yang manis menyerbak saat gadis itu mendekatinya. Karin terlihat cantik dan dewasa dengan kemeja oversized dan celana burberry yang tercetak mengikuti kakinya yang panjang. Kemeja putih loose Karin yang tipis memberikan siluet tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang dikepang samping dengan agak santai memperlihatkan lehernya yang putih dan juga jenjang— dengan sentuhan make up natural yang membuat pipinya bersemu, mengisyaratkan kesan casual sexy.

Sexy, ulang batin Takeru.

Karin menatap balik Takeru yang sedang menatapnya kagum dan langsung merasa salah tingkah.

"Umm.. ng, apa ada yang.. salah?" ia langsung mengecek baju dan celananya.

"Ehm," Takeru berdehem dan menyesap tehnya, berusaha mengenyahkan pikirannya. "No," singkatnya sambil tersenyum.

"I-ibumu yang belikan ini, aku pikir… ng harusnya dia mau lihat gimana bajunya di aku, jadi.."

Great job, mom— pikir Takeru.

"No worries baby, you look really good in it," Ia menghampiri Karin dan mengecup puncak kepalanya. Ia menggandeng tangan Karin, berusaha tidak memperhatikan detail kemejanya yang sedikit menerawang.

Ia mengambil cardigan Karin yang disampirkan di hanger mantel. Untunglah warnanya khaki dan tak jauh berbeda dari celananya. Ia mematutkan cardigan itu di bahu gadis yang masih bertanya-tanya itu.

"Let's go," katanya singkat lalu buru-buru menggandeng Karin pergi dari apartemen.

Too much temptation behind a closed door, pikirnya.

Ia harus menahan diri,

tapi ia tetaplah seorang laki-laki.

—-oo—-

Sesampainya di airport, Takeru terkejut menemukan tak hanya ibunya yang bersiap akan berangkat ke New York, tapi juga ayahnya. Mereka menemukan ayah dan ibunya sedang minum kopi di lounge tunggu exclusive yang disediakan pihak penerbangan.

"I thought you were going to stay in Japan for a longer time, dad" katanya pada laki-laki yang merupakan jiplakan versi lebih dewasa darinya itu.

Berambut coklat kenari dengan semburat uban tipis-tipis yang ditata rapi menyamping, kulit zaitun yang hangat, tegap tinggi, dengan aviator sunglasses bertengger di tulang hidungnya yang tinggi. Yamato-papa benar-benar mirip dengan Takeru, pikir Karin.

Ayahnya berdiri dan mengulurkan tangannya pada Karin, "You must be Koizumi," katanya pelan dengan suara yang dalam.

"Ahh, hai~! Koizumi Karin desu!" dalam keadaan panik Karin menjabat tangan itu sekaligus membungkuk-bungkuk, kecanggungan khas Karin yang membuat Takeru tertawa.

"This is my dad, Karin," katanya santai, "And you've met my mom."

Yamato Ayame duduk dengan anggun sambil menyesap kopi, mengangkat alisnya dan tersenyum kecil.

Karin tersenyum lebar namun canggung, Takeru menepuk pundaknya mengerti dan tersenyum padanya.

"Jadi?" sambung Takeru, "Kenapa dad ikut pergi juga?"

"I've been looking to go," jedanya sebentar sambil melihat istrinya, "for a third honeymoon."

Wajah Karin memerah sampai ke telinga, Takeru tertawa lepas dan istrinya menggeleng-gelengkan kepala sambil menutup wajahnya, wajahnya agak merah karena malu.

"For God's sake dad, stop being so blunt," Takeru mengulang kalimat andalan untuk ayahnya.

Ayah Takeru tetap tenang dan cool walaupun istrinya bangkit dari kursinya dan memukul pelan pundaknya dengan tas tangan Chanelnya, "Don't give them ideas, darling."

"You, young man, hands off." Tegas Yamato-papa sambil menatap putranya.

Wajah Karin bertambah merah sampai telinga sementara Takeru masih tertawa.

"Yes sir, yes ma'am. I won't let you down" jawabnya akhirnya.

Ayame mengulurkan tangannya untuk memeluk Takeru, "See you soon, son"

Takeru memeluk Ayame dengan kedua tangannya, "See you soon, mom"

Ia melanjutkan memeluk ayahnya dengan hangat, "See you very soon old man, take care of mom,"

Ayame mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Karin, "See you soon, Koizumi-san," katanya sambil tersenyum hangat.

Wajah Karin merekah bagai bunga freesia, ia menjabat tangan Ayame dengan hangat, "Kiyotskete kudasai, Ayame-san. Terimakasih banyak untuk semuanya," ungkapnya tulus.

Ayah Takeru melingkarkan tangan di punggung Ayame, "Tolong jaga Takeru," katanya hangat pada Karin.

Karin merasakan dadanya membuncah dengan perasaan hangat. "Hai~! Makasete kudasai!"

Mereka semua tertawa kecil sebelum akhirnya saling melambaikan tangan untuk pergi ke boarding room.

"Oh ya," Ayame mendadak berhenti sejenak sebelum terlalu jauh pergi, "You look good in that set, Koizumi-san. Tacchan should really spend more on you," katanya sambil tertawa dan berbalik lagi sambil melambaikan tangan.

Takeru kembali tertawa. Ia akan merindukan kedua orangtuanya untuk sementara waktu.

"Hontou ni arigato gozaimasu~ Ayame-san!" ujar Karin sambil membungkuk saat mereka berjalan menjauh.

Karin merasa bahagia dan lega, bukan karena Ayame, —yang ia sempat katakan sebagai 'badai' itu telah pergi— tapi karena ia melihat sendiri, keluarga Yamato sebenarnya adalah keluarga yang hangat. Mereka punya standar dan nilai yang mungkin lebih tinggi dari orang lain, tapi mereka juga saling menyayangi dan menghormati. Pada akhirnya, keindahan itulah yang membuat seorang Yamato Takeru dirinya sekarang. Karin merasa bahagia bisa lebih mengenal Takeru sedikit lebih dalam dan melihat seperti apa ia dibesarkan dan dijaga.

Takeru menggenggam tangan Karin sambil mereka berjalan keluar airport.

"Thank you for keeping up with my mom," Ia mengecup tangan Karin singkat.

Karin berhenti berjalan, yang diikuti Takeru dengan heran.

Ia berjinjit dan mengecup Takeru di pipi.

"Dou iteshimaasu~" balasnya ceria.

Takeru yang terlihat agak kaget karena tak menyangka gadis itu mengambil inisiatif untuk menciumnya di keadaan yang agak ramai lalu tertawa.

"Let me kiss you," katanya sambil menatap pacarnya hangat.

"Nggak sekarang," Karin menggeleng kuat sambil tertawa.

"Let me kiss you now,"

"Noooo"

"Ok, nanti ya di mobil. Promise."

Muka Karin bersemu merah, lalu tertawa lepas.

-—oo—-

"By the way," ujar Takeru sambil menyetir mobilnya dengan santai.

Laki-laki itu benar-benar menepati janji untuk mencium Karin sesampainya gadis itu di mobil. Karin masih salah tingkah karena sampai kehabisan nafas. Dadanya masih berdebar sangat keras saat mobil melaju tapi ia berusaha sok santai.

"Ya?" jawabnya dengan ketenangan yang dibuat-buat.

"Don't worry, New York itu nggak enak kok,"

"Ha?" tanya Karin tak mengerti.

"Kalo buat Honeymoon,"

Karin memukul bahu Takeru dengan salah tingkah sementara pria itu tertawa.

Karin mengatur nafasnya menenangkan debaran di dadanya yang tak membaik sejak mereka masuk ke mobil.

"Masih ada waktu untuk memutuskan mau kemana,"

"Hm?" Takeru bertanya balik.

"2 Tahun lagi.. kan?" tanya Karin menatap Takeru dengan berani.

Takeru yang terkejut mendapat pertanyaan itu akhirnya tertawa.

Gadis ini jadi lebih percaya diri sekarang. Pertemuannya dengan ibunya memberikannya keberanian dan ketabahan, juga rasa percaya diri. Syukurlah.

"Sure, princess."

Ia menunjukkan senyumnya yang paling manis ke Karin.

"2 tahun lagi."

—-oo—-

The end :)