"Kak Thorn belum belajar?"
Sepasang iris kelabu dibalik bingkai kacamata mengamati sebuah buku berisi coret-coretan angka serta simbol abstrak.
Netra hijau Thorn membulat lucu. "Um, aku bukan tidak belajar tapi bingung, heheh." Thorn terkekeh pelan.
Solar menghela napasnya saat melihat ekspresi Thorn yang hanya cengengesan tak jelas.
Solar mengernyitkan dahi. "Kenapa tidak bilang dari tadi Kak?"
"Sini aku ajarkan," ujar Solar dengan serius. Lalu tangannya bergerak mengambil buku bersampul hijau terang yang tergeletak di atas meja.
Handphone yang awalnya menampilkan jurnal sains segera Solar tutup, karena itu tidak ada kaitannya dengan materi yang akan ia ajarkan pada Thorn.
Thorn dan Solar sedang belajar bersama. Tepatnya di salah satu meja kosong di perpustakaan Akademi Pulau Rintis. Ini adalah hari pertama dimulainya ujian semester, kegiatan upacara bendera telah selesai dilaksanakan. Tinggal menunggu waktu bel masuk berbunyi.
Beberapa meter di depan sana, tak jauh dari tempat Thorn dan Solar berada. Tampak sekumpulan siswi dengan wajah merona sedang menatap Solar tanpa berkedip.
"Aku rela bertukar posisi dengan Thorn agar bisa diajari Solar," komentar seorang gadis dengan penuh harap.
Solar tentu sadar akan keberadaan dan pembicaraan para siswi itu, ia bahkan sudah sangat bangga akan tatapan kagum yang tertuju padanya. Hanya saja, Solar ingin terlihat cool dengan berlagak tetap tenang seolah tidak ada apa-apa. Sudah jelas Solar adalah salah satu jenis makhluk songong.
Solar mengulas senyum lebar seiring dengan perginya sekumpulan siswi tadi, melihat hal itu lantas membuyarkan konsentrasi Thorn yang sedang memahami materi. Bingung harus menyimak materi atau memerhatikan ekspresi aneh Solar.
"Soal nomor lima ini mudah Kak. Pertama coba kalikan dulu akar pangkatnya." Solar menunjuk tepat pada angka yang tertera dalam soal tersebut.
Thorn hanya diam membisu, otaknya berusaha keras untuk memahami materi yang Solar ajarkan. Namun sepertinya percuma, karena Thorn sudah hilang fokus.
"Jadi bagaimana Kak, sudah mengerti?" Solar bertanya lagi karena Thorn tak kunjung menjawab.
Thorn menggeleng pelan. "Maaf Solar, aku tidak fokus. Bingung harus memperhatikan wajahmu atau tulisan ini," ungkap Thorn dengan jujur.
Solar tersenyum kikuk menyadari kesalahannya yang terang-terangan memasang raut aneh di hadapan Thorn.
"Oke sekarang kita ula-" ucapan Solar terpotong seketika oleh–
Kringgggg! Kringggg! Kringgg!
–suara bel masuk yang berbunyi nyaring. Mereka pun segera menghentikan kegiatan belajar dadakan itu.
Thorn menyenderkan punggung ke kursi.
"Yah sudah masuk," katanya dengan lesu.
Solar mengangguk setuju. "Maaf Kak, kita lanjutkan nanti sepulang sekolah."
Thorn tersenyum hangat. "Tidak apa Solar, semangat ujiannya~"
I'M NOT THE STAR
BOBOIBOY milik ANIMONSTA STUDIOS
Collab with Haruko3349
Warning: School AU! EBI tidak sesuai, dan segala kekurangan dalam Fic ini.
No commercial profit taken!
.
Sepuluh menit berlalu seluruh siswa sudah masuk ke kelas dan duduk rapih di kursi yang telah disediakan. Dari balik jendela kelas, tampak seorang guru dengan setelan dinas lengkap melangkah memasuki kelas dengan membawa satu amplop tebal berwarna cokelat.
Salam pembuka terdengar menggema di seluruh ruang kelas, hanya sebentar sebelum akhirnya kelas kembali sunyi ketika doa bersama.
Bu Timi berujar mengingatkan, "Selamat mengerjakan, peraturan pertama kerjakan dengan jujur tanpa bantuan. Peraturan kedua kerjasama dalam bentuk apapun tidak di perbolehkan." Ia pun membagikan lembar ujian.
"Sanksi tegas akan diberikan bagi siswa yang ketahuan melanggar," tegas Bu Timi masih dengan senyum ramahnya. Alih-alih menjawab para siswa hanya bergeming menyimak.
Netra kelabu mengamati satu persatu soal yang tercetak rapi di atas kertas putih, sedetik kemudian senyum lebar muncul di wajahnya. Solar memutar pulpen lalu mulai mengerjakan beberapa soal yang menurutnya sangat mudah.
"Heh, apa ini tidak terlalu mudah. Bahkan aku sudah mengingatnya tanpa perlu berpikir keras," kata Solar dalam hati.
Waktu berlalu sangat singkat, pekan-pekan ujian telah berakhir. Aktivitas sekolah diisi dengan remedial dan pengumpulan sisa tugas yang belum tuntas.
Liburan semester menjadi topik yang ramai diperbincangkan oleh para siswa setelah ujian. Tetapi tidak bagi Solar daripada membahas liburan, pemuda itu lebih tertarik menanti pengumuman nilai tertinggi serta juara umum semester ini.
Beberapa meter di depan sana tepatnya di koridor utama tempat mading sekolah terpasang. Tampak seorang guru yang sedang sibuk menempelkan hasil ujian dibantu oleh dua orang anggota osis.
Solar hanya berdiri bersedekap tangan sambil memperhatikan ketiga orang tersebut, tanpa ada niatan untuk bergabung. Karena sudah bisa dipastikan hasilnya akan sama seperti sebelumnya.
"Wah Solar kau pasti jadi juara pertama lagi ya! Aku juga ingin begitu," puji seorang gadis yang entah kapan datangnya tahu-tahu sudah berada di dekat Solar.
"Bukan apa-apa, itu hal biasa bagiku. Tapi terimakasih pujiannya. Saranku sebaiknya kau lebih giat belajar." Solar memotivasi, meski kata-katanya terkesan sombong.
Sang gadis menunduk. "Pasti kok, aku akan lebih semangat belajar. Terimakasih Solar," balasnya dengan mata berbinar senang.
"Coba kau lihat si bintang sekolah itu, ia gagal pada tes minggu kemarin," komentar seorang siswa, sukses mengalihkan seluruh atensi Solar.
Solar tidak sadar sejak kapan pandangan merendahkan itu terlempar padanya, menghadirkan rasa tak nyaman di hati. Kemana perginya pandangan kagum serta pujian yang biasanya ia terima.
Hal itu tentu saja menimbulkan banyak tanya di benak Solar, di dorong oleh rasa penasarannya yang besar tentang nilai ujian. Solar bergegas pergi meninggalkan gadis itu.
"Aku sudah menunggu lama kapan kiranya orang itu turun peringkat. Habisnya aku muak melihat sikapnya yang sombong!" celetuk seorang siswa menambahi.
Lagi-lagi bisikan aneh tidak mengenakan kembali terdengar. Topiknya tidak jauh dari turun peringkat, serta tidak lolos pada salah satu mata pelajaran. Solar tidak mengerti ucapan konyol macam apa yang sebenarnya mereka maksud.
Merasakan adanya firasat buruk, Solar segera mempercepat langkah. Hingga kakinya berhenti tepat di depan sebuah papan kaca berisi kumpulan nilai yang terpampang rapih.
Iris kelabu bergerak liar mencari nama yang selalu menempati posisi teratas, namun tidak kunjung ia temukan. Merasa ada yang salah, Solar kembali memperhatikan dengan lebih teliti. Dan hasilnya pun nihil, namanya tetap tidak tertera di tingkat pertama maupun sepuluh besar.
Solar melebarkan mata, tatapannya masih terpaku di sana."Bagaimana bisa? Sangat sulit dipercaya, ini pasti salah."
Lalu hal yang paling membuat Solar tak percaya adalah nama Halilintar yang biasanya berada beberapa tingkat di bawahnya. Kini naik tingkat menggantikan dirinya di posisi teratas.
Solar terdiam sejenak, mencoba menelusuri kembali memori pekan lalu. Teringat jelas di kepalanya, hari itu Halilintar dimintai guru untuk membantu merekap nilai ujian para siswa.
Iris kelabu memicing marah. "Jadi Kak Halilintar ya, karena ingin menyaingiku sampai berbuat securang ini."
Solar berpikir bahwa hasil itu mungkin saja telah dimanipulasi oleh seseorang, dan ia tetapkan Halilintar sebagai pelaku utama.
Meski belum ada bukti akurat yang mengarah ke sana, yang jelas Solar sudah sangat yakin.
Dengan tergesa ia pun pergi mencari keberadaan sang kakak sulung. Oh! Solar tahu di mana Halilintar berada.
.
Halilintar tengah duduk santai di sebuah bangku di taman belakang sekolah. Menikmati suasana tenang yang jarang sekali ia temukan di tempat lain.
Menurut rumor yang beredar di seluruh penjuru sekolah, tempat ini memiliki aura magis yang kental.
Tetapi entah kenapa ia malah merasa nyaman berada di sini. Sungguh aneh, terutama untuk orang yang memiliki ketakutan dengan hal-hal berbau mistis, seperti dirinya. Tempat ini tidak seharusnya menjadi pilihan 'kan?
Hanya berjarak semeter dari kursi yang Halilintar duduki, tatapan tajam Solar mengarah lurus padanya.
"Apa maksudmu berbuat curang padaku hah? Kau iri?!" cecar Solar tanpa basa-basi.
Halilintar tersentak kaget oleh sikap Solar yang langsung mencak-mencak tanpa sebab.
Kedua alis Halilintar bertaut heran. "Kau ini bicara apa? Omonganmu seperti tidak ada dasarnya."
Jujur saja ia tidak mengerti, kemana arah pembicaraan Solar.
Mendengar respon Halilintar yang biasa saja membuat Solar semakin kesal.
Nada suaranya terdengar sangat dingin. "Tidak usah bertanya selayaknya orang bebal, aku sudah tahu apa yang kau lakukan," maki Solar.
Halilintar masih bungkam, mencoba memahami inti permasalahan.
Solar kembali melanjutkan, "Bagaimana rasanya, senang kan sudah berhasil berbuat curang untuk menjatuhkan ku. Aku tidak mengira, ternyata kau selicik itu!"
Tanpa sadar beberapa tuduhan serta kata-kata kasar ia layangkan kepada Halilintar.
Hanya ada satu pemicu yang dapat membuat amarah Solar meledak. Halilintar sangat yakin ini ada hubungannya dengan prestasi akademik.
Dan sekarang Halilintar paham, semuanya terjadi karena satu hal kecil namun sangat sensitif bernama 'peringkat'. Di sisi lain, Halilintar sama sekali tidak tahu apapun tentang nilai karena ia belum sempat melihatnya. Sejak tadi, waktunya ia habiskan di tempat ini sambil mendengarkan lagu favorit.
Jika tebakan tadi benar, Halilintar tidak pernah menduga akan sampai serumit ini.
Halilintar mengetahui jelas semua karakter adik-adiknya, termasuk Solar. Adik bungsunya itu selalu berpikir dengan matang sebelum melakukan sesuatu. Tetapi melihat Solar mengamuk tak terkendali seperti ini, mengingatkan Halilintar dengan Blaze.
Halilintar balik menatap nyalang Solar. "Harusnya kau mencari bukti sebelum menuduhku yang bukan-bukan, aku tidak akan melakukan hal serendah itu hanya untuk menjatuhkan seseorang."
Halilintar mencoba sabar, meski rasa dongkol semakin memenuhi hati.
Jari telunjuk Solar terangkat menuding Halilintar. "Bukti kau bilang? Sekarang tanpa bukti pun, semuanya sudah jelas. Kemarin kau yang membantu merekap semua nilai ujian siswa."
Solar berteriak murka, "Lalu sekarang, kau tidak mau mengaku jika kau yang telah menyabotase nilaiku!" Raut wajahnya dipenuhi amarah.
Solar melangkah maju. "Kau ini memang mencari ribut!"
Satu pukulan berhasil mendarat tepat dipipi kiri Halilintar. Baku hantam tidak bisa dihindari.
"Kau tidak mencari apapun dan hanya menuduhku tanpa dasar. Itu yang kau bilang bukti?" Halilintar bertanya retorik.
"Banyak mengelak lebih baik lawan aku. Itu pun jika kau tidak takut." Tantang Solar dengan berani.
Mati-matian Halilintar berusaha menekan emosinya, tidak ingin ikut terpancing dan semakin membuat runyam perkara.
Memang susah berbicara kepada orang yang sedang emosi, mau di jelaskan dengan cara apapun tidak akan merubah keadaan menjadi dingin.
Halilintar belum sempat menoleh, saat Solar mendadak mendorongnya lalu melayangkan pukulan kedua dan ketiga pada wajahnya.
Sadar akan situasi yang makin terdesak, sangat tidak bagus bila Solar yang terus mendominasi memukulnya.
Halilintar bangkit berdiri, dengan gerakan cepat ia melancarkan satu tinjuan telak mengenai wajah Solar. Kacamata jingga yang Solar kenakan hampir terlepas, tubuhnya hilang keseimbangan dan terhuyung ke belakang.
"Dasar bodoh! Sudah aku jelaskan dengan bahasa baik, tapi kau masih saja tidak paham!" Halilintar berujar keras, merasa muak dengan tingkah Solar.
Sejenak netra rubi beralih pada gerombolan murid di sekelilingnya. Tampak beberapa orang hanya diam menontoni namun tidak berminat untuk memisahkan pertengkaran. Sejak kapan suasana berubah ramai begini?
"Jangan diam saja. Cepat panggil guru atau gempa untuk segera datang kemari." Teriak salah seorang siswa menginterupsi, membuat beberapa siswa lain bergegas melarikan diri dari tempat kejadian.
Sebenarnya Halilintar bisa saja membalas adik bungsunya itu dengan beberapa pukulan maut yang ia miliki. Walaupun begitu ia masih waras untuk tidak membalas. Solar tetap adiknya, yang tidak akan ia lukai apalagi dengan tangannya sendiri.
Gempa berlari menghampiri kedua kembarannya, setelah mendapat laporan tidak mengenakan dari salah satu teman.
"Eh ada apa ini? Kalian bertengkar?"
Ada kecemasan dari nada suara kembar ketiga, Boboiboy bersaudara.
Pemuda berkacamata jingga hanya membatu dengan pikiran yang berkecamuk. Sementara Halilintar berbalik badan dan mengambil kembali headphone yang sempat terjatuh. Tanpa mengatakan apa-apa pemuda itu lantas pergi.
"Kak Hali mau kemana? Tunggu dulu kak, sebaiknya luka kakak di obati dulu." Gempa berujar panik kepada Halilintar yang sudah beranjak menjauh.
Halilintar tidak menoleh, tidak juga menanggapi. Moodnya sedang buruk sekarang, ia perlu menenangkan diri.
Gempa menghela napas lelah, lalu tatapannya jatuh pada Solar.
"Sebenarnya ada apa Solar?" kata Gempa menuntut jawaban.
Seperti berbicara dengan angin, Solar enggan menjawab. Pemuda itu hanya menunduk memperhatikan rumput hijau yang memenuhi permukaan tanah.
Sorot khawatir masih terpancar jelas dari kedua netra aurum. "Aku tunggu penjelasanmu nanti. Sekarang obati dulu lukamu." Solar mengangguk pelan, lalu menerima uluran tangan Gempa.
.
Halilintar meringis tertahan, saat sebuah kompres dingin ditempelkan di atas pipinya yang lebam. Sensasi panas bercampur nyeri terasa menjalari wajahnya.
"Sudahlah sana, tidak usah diteruskan." Halilintar berujar kesal, akibat Taufan yang menekan keras lukanya. Sontak tanpa sengaja Halilintar mendorong Taufan menjauh.
Jika begini caranya bukannya membaik, yang ada malah memperburuk luka.
Taufan terkekeh pelan, "Heheh maaf kak. Harusnya luka ini segera diobati, bukan malah dibiarkan saja."
Wajah Halilintar semakin masam, ia merengut lalu mengambil kipas kayu yang tergeletak di atas meja belajar, mengipasi wajahnya yang semakin berdenyut.
"Kak Hali abis ngapaiin sih? kok sampai bonyok begitu." Taufan bertanya penasaran, ia duduk bersila di depan sang Kakak. Halilintar hanya memutar mata sebagai respon.
Keduanya refleks menoleh ke ambang pintu yang sedikit terbuka. Gempa melongokkan kepala di balik celah pintu.
"Kak Hali, Kak Taufan. Tolong turun sekarang," pintanya dengan sopan.
"Sebentar Gem, nanti aku turun," tanggap Taufan sambil merapihkan peralatan yang sempat ia gunakan untuk mengobati Halilintar.
Ketujuh saudara itu sudah berkumpul di ruang keluarga yang telah disulap menjadi ruang sidang dadakan. Taufan duduk di sebelah Halilintar, iris safirnya berotasi mengamati semua orang di sana.
Di sebelah kiri ada Blaze dan Ice yang sedang duduk berdampingan, tak jauh dari sana ada Gempa yang sedang termenung, lalu sebelah kanan ada Thorn yang sedang menangis sendu dihadapan Solar dengan wajah yang membiru. Detik itu juga Taufan menyadari, masalah utama terletak pada Halilintar dan Solar.
Kehangatan yang selalu menyelimuti ruangan ini menguap hilang, tergantikan oleh atmosfer ketegangan. Sunyi masih betah melingkupi, tidak ada yang mau membuka suara. Bahkan Solar sang pelaku utama belum juga memberikan klarifikasi.
"Aku beri waktu bagi kalian untuk mulai menjelaskan. Baik Kak Hali, ataupun Solar silahkan bercerita," ujar Gempa membuka percakapan.
Hingga sekian menit terlewat, Solar masih belum juga bereaksi. Maka Halilintar berinisiatif untuk angkat bicara lebih dulu.
Halilintar menegakkan bahu. Iris rubi menerawang ke atas langit-langit kayu.
"Pagi tadi tiba-tiba saja, Solar datang padaku lalu mencak-mencak dan menuduhku telah menyabotase nilainya. Aku sudah menjelaskan dengan jujur namun Solar tetap tidak percaya dan langsung memukulku," jelas Halilintar dengan tenang. Ia pun mengambil jeda.
Di sisi lain Taufan, Gempa dan Ice tampak fokus menyimak, berbeda dengan Blaze yang terlihat sangat antusias menanti kelanjutan cerita, lalu ada Thorn dengan mata berair menahan sedih.
Bagaimana dengan Solar? Pemuda itu hanya membisu tanpa ekspresi.
Halilintar kembali melanjutkan, "Jelas salah menuduhku mencurangi nilai. Alasan kenapa nilai ku melonjak naik, karena aku menambah jam belajar dengan mengikuti bimbel online."
Sebenarnya Halilintar tidak ingin memberitahu hal yang selama ini ia sembunyikan. Semua itu ia lakukan agar terbebas dari segala spekulasi buruk.
Gempa sebagai orang pertama yang tahu akan perjuangan Halilintar. Tentu memahami bahwa sang Kakak sulung memang berkata apa adanya. Halilintar itu pintar maka wajar jika ia bisa menyaingi Solar. Bahkan sebelum mengikuti les privat, peringkat Halilintar hanya berbeda tipis dengan Solar.
Selain Gempa, Taufan adalah orang kedua yang mengetahui kerja keras Halilintar. Taufan tidak lupa, pesan Gempa padanya agar berhenti mengganggu Halilintar yang sedang belajar. Hal itu berlangsung selama sebulan penuh.
Bagaikan disambar petir di siang hari. Solar terperanjat tatkala mengetahui kebenaran yang baru saja tersingkap. Ia menyesal dan malu telah menuduh serta memukul Halilintar tanpa bukti yang jelas.
Gempa memberi isyarat kepada Halilintar berupa anggukan singkat. "Sudah cukup kak, terimakasih atas keterangannya."
"Bagaimana Solar sudah siap?" Gempa bertanya memastikan
Solar mengangkat kepala. "Perihal yang Kak Halilintar katakan memang benar, aku sangat terbawa emosi hingga pikiranku tidak berfungsi dengan baik." Suaranya terdengar lesu.
Tuduhan Solar kepada sang Kakak sulung jelas membawa dampak yang buruk bagi keduanya. Solar yang asal menuduh dan Halilintar yang sudah terlanjur tersinggung mana mungkin bisa berdamai dalam waktu singkat.
"Tidak menyangka ternyata Solar seberani itu memukul Kak Hali." Blaze berkomentar asal yang langsung dihadiahi pukulan boneka paus milik Ice.
"Aku lebih heran dengan orang yang menganggap hal ini sebagai candaan," sindir Ice yang ditujukan langsung kepada Blaze. Pemuda berwajah datar itu memutar mata.
Taufan menempelkan jari di dagu, memasang berpose berpikir. "Aku dapat mengerti kekesalan Solar, namun langsung menuduh dan memukul juga tidak dibenarkan," timpalnya.
Menurut sudut pandang Taufan semuanya murni kesalahan Solar. Tapi ia juga tidak ingin langsung menyerang sang adik bungsu.
Gempa menarik napas, setelah berhasil menemukan titik terang. Ia pun mengambil keputusan final.
"Aku akan mencoba bertanya kepada guru terkait nilai Solar. Mungkin membutuhkan waktu beberapa hari."
Iris keemasan bersirobok dengan netra kelabu. "Dan untukmu Solar, jangan lagi menyalahkan Kak Hali jika belum ditemukan bukti yang valid."
Anggukan kompak Gempa dapatkan dari para kembarannya.
"Wah kak gempa cocok menjadi hakim," puji Thorn berbinar kagum.
Gempa tersenyum hangat, telapak tangan terangkat mengusap pelan puncak kepala Thorn.
"Terlalu berlebihan Thorn."
Gempa memasang afron yang sejak tadi tersampir di sandaran sofa, untuk kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda.
.
Hari-hari selanjutnya tidak banyak berubah, Solar yang menyukai kegiatan individu semakin menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas.
"Solarrr~" Thorn berseru ceria. Pemuda pencinta botani itu, tidak pernah absen berkunjung ke kamarnya. Walau sekedar berbagi kisah atau menanyakan beberapa mata pelajaran yang sulit.
Lalu ada Gempa, Kakak ketiganya yang bertabiat lembut itu, selalu berusaha menemani Solar di pertengahan waktu menuju senja. Bertanya apakah ada yang ingin Solar ceritakan tentang hari ini.
Hanya gelengan kepala serta senyum canggung yang dapat Solar berikan. Kebaikan Gempa dan Thorn sudah cukup bagi Solar.
Selama berada di rumah tepatnya setelah insiden itu. Solar belum bertemu lagi dengan Halilintar, baguslah jika kakaknya itu paham bahwa ia sedang ingin menjauh.
Solar harus bersyukur setidaknya keadaan di rumah tidak seburuk dengan apa yang ia alami di sekolah.
Ke mana perginya semua pujian serta sanjungan yang biasa menemani langkahnya?
Kenapa hanya bisikan dan cacian yang terdengar di sepanjang jalan?
Orang-orang yang dulu memberikan tepuk tangan untuknya telah hilang, bahkan satu kalimat simpati pun tidak ia dapatkan. Yang tersisa hanya tatapan merendahkan yang tidak berkesudahan.
Dusta jika Solar tidak muak! Ingin sekali ia merutuki semua orang itu. Tetapi kesadaran akan kesalahan fatal, memaksa Solar harus menerima semua perlakuan tak pantas itu.
Purnama telah menunjukkan wujudnya, udara dingin bertiup pelan dari sela jendela kaca, cahaya lampu menyala temaram.
Terhitung sudah satu jam, Solar berkutat dengan berbagai jurnal di laptopnya.
Tok, tok, tok..
Suara ketukan terdengar pelan dari balik daun pintu. Solar melirik jam dinding yang terpasang di sudut kamar, menunjukan pukul satu lewat tiga puluh menit.
Solar menerka-nerka. "Siapa gerangan yang masih terjaga tengah malam begini.' Karena menurut sepengetahuannya keadaan rumah sudah sepi sejak tadi.
"Kau belum tidur?" tanya seseorang di sebrang sana. Solar hanya merespon dengan dehaman keras.
"Tidurlah, tidak baik bergadang. Meskipun besok hari libur," katanya memerintah.
Solar masih membisu, matanya menyipit berusaha untuk mengenali suara itu. Dengan perlahan, ditaruhnya laptop di atas kasur, lalu beranjak bangkit menuju pintu.
Solar dibuat terperangah tatkala menemukan secangkir susu hangat serta sepiring cheesecake yang tertata cantik di atas nampan kayu.
Pemuda beraksen putih orange itu mengerakkan kepalanya ke sekeliling koridor, tetapi tidak ia lihat siapapun.
Solar mengangkat bahu. "Mungkin Kak Gempa. Siapa lagi yang lebih perhatian di rumah ini, selain Kak Gempa," gumamnya sambil berlalu.
Solar berniat akan membantu Gempa besok sebagai ucapan terimakasih.
Perpaduan rasa manis krim vanilla dan gurihnya keju menyatu lembut di indra pengecap Solar. Sudah jelas, buatan tangan Gempa tidak perlu diragukan lagi kelezatannya.
Kriettt
Suara pintu yang digeser pelan diikuti dengan derap langkah seseorang, yang bergerak cepat menuruni anak tangga.
Harmoni dari gitar mengalun merdu mengisi kesunyian, nada lembut bermakna pilu tersusun indah di telinga Solar.
Sendok terangkat di udara, Solar berhenti mencicipi kue. Fokusnya sekarang adalah mencari sumber suara.
Di tengah kegelapan ruang tengah, Solar berjalan mengendap, matanya mengintip dari balik dinding.
"Kau mencari apa?" tanya sang sosok misterius.
Solar terperanjat seketika, bagaimana orang itu bisa tau kehadirannya?
Telapak berbalut sarung tangan putih mulai meraba permukaan tembok. Tujuannya untuk menemukan saklar lampu agar ia dapat melihat dengan jelas sosok tersebut.
"Percuma saja lampunya putus." Orang itu berkomentar singkat, lalu kembali memetik gitar.
"Kak Gempa ya?" Giliran Solar bertanya, ia melangkah penuh hati-hati agar tidak terbentur meja.
"Menurutmu? Mmmm." Alih-alih menjawab, orang itu malah balik bertanya.
Solar berdiri tepat di samping orang itu.
Kedua dahinya mengernyit, rasa-rasanya orang ini bukan Gempa, seingat Solar Kakak ketiganya itu akan terjaga semalaman hanya untuk mengerjakan tugas bukan malah bermain gitar.
Bukan juga Taufan, dari nada bicaranya jelas berbeda. Kakak keduanya itu akan langsung berseru riang jika bertemu mata dengannya.
Lagipula Taufan pasti bergadang bersama Blaze, karena keduanya bermain game bersama.
Tidak mungkin Ice, kakak kelimanya itu sangat pendiam dan suka sekali tidur. Mana mau bangun tengah malam hanya untuk melamun tak jelas.
Thorn terlalu penakut untuk menyendiri malam-malam di tengah kegelapan.
Mungkinkah Halilintar? Bukannya Halilintar itu takut suasana seram. Tapi jika benar Halilintar, seharusnya Solar tidak usah menghampirinya tadi. Ia belum siap berbicara empat mata dengan sang kakak.
"Jangan menghindar duduklah dulu," pinta Halilintar dengan tenang.
Waktu berputar lambat, melodi gitar masih menjadi satu-satunya suara di antara mereka.
"Maaf telah memukulmu. Aku tidak berniat, tapi terpaksa, "ujar Halilintar menyesal, sepasang rubi menyala lembut.
Memang yang Halilintar lakukan pada Solar adalah murni untuk mempertahankan diri. Bukan semata-mata dendam ataupun sengaja.
Solar menegakkan tubuh, ketegangan terasa menjalar sampai ke bahu. Bongkahan ego perlahan runtuh, bertukar dengan keharuan yang menyergap jiwa.
"Tidak bukan kakak yang salah, ini salahku. Aku sudah berbuat buruk pada Kakak dan tidak langsung meminta maaf," sanggah Solar merasa tak enak.
Solar bukan tidak tahu diri, ia sadar sudah seharusnya minta maaf. Tapi Solar tidak bisa mengungkapkan itu, ia terlalu gengsi.
Solar menarik napas. "Maafkan aku kak," kata Solar penuh kesungguhan, senyum samar muncul di wajahnya.
Halilintar menaruh gitar lalu menepuk pelan bahu Solar.
"Sudah tidak apa, aku mengerti." Halilintar memaklumi.
Entah kenapa, Solar merasa ia sedang berbicara dengan Kakak ketiganya, Gempa.
Solar beralih ke depan, kilau kelabu tampak redup. Namun hanya bertahan sedetik. "Terimakasih kak," ujarnya tulus, senyumnya merekah lebar.
Ada satu hal yang selama ini terabaikan. Meskipun terkadang ketus dan sinis, Halilintar sebenarnya baik. Hal itu terbukti dari sikap Halilintar yang selalu menjaga adik-adiknya dan tidak pernah membiarkan siapapun menyakiti mereka.
Badai telah redah, perang dingin di antara keduanya berlalu usai.
"Benarkan kataku? Kak Hali pasti bisa menyelesaikan ini." Taufan berujar bangga karena ekspetasinya menjadi nyata.
Kedua pemuda memerhatikan dalam diam dari atas tangga lantai dua.
"Syukurlah aku ikut senang," balas Gempa merasa lega.
.
Adalah hari baik kala mentari berkilau terang. Seolah menyambut bersinar kembalinya prestasi sang bintang sekolah.
Sesuai ucapan Gempa yang berjanji, akan mengurus tentang kesalahan nilai Solar.
Kini telah sampai pada titik akhir, semua itu bermula pada jam pelajaran pertama.
Tak pernah terduga oleh Solar saat seorang guru menghampirinya dan meminta maaf atas kesalahan yang ia tulis mengenai nilai ujian. Wanita itu pun berjanji akan secepatnya mengganti nilai yang salah.
Tidak sampai sehari berita tentang Solar yang ternyata menempati peringkat pertama sebagai juara umum semester ini segera menyebar dengan cepat.
Solar mendapatkan kembali julukannya sebagai bintang sekolah.
Makna bintang yang sesungguhnya bagi Solar, bukanlah dirinya. Bintang di hidup Solar adalah para saudaranya yang selalu ada dalam keadaan apapun, memberikan semangat serta kasih sayang yang tak terbatas.
Layaknya gemerlap bintang yang membentuk suatu konstelasi menakjubkan. Bintang tidak akan bersinar terang, tanpa kehadiran bintang lainnya.
Tanpa mereka, Solar tidak akan menjadi bintang sekolah bahkan ia bukanlah apa-apa.
.
.
.
FIN!
.
A/N : Hallo, bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga selalu dalam kesehatan ya.
Saya ingin mengucap syukur banyak-banyak karena sudah selesai merevisi Fic ini.
Ah iya, sebagai penjelasan Fic ini pernah dipublish oleh teman collab saya di wattpad kurang lebih sekitar tahun lalu. Saya tidak terlalu ingat, karena udah lama berlalu :(((
Fic ini kami dedikasikan untuk KurohimeNoir selaku penyelenggara event dengan tema bintang di hati. Tapi karena lupa menyetorkan entry jadinya malah terabaikan. Mohon maaf Kak *nunduk*
Terimakasih juga untuk Haruko (partner collab saya) atas kerjasamanya XD
Oke lanjut, fic ini mengambil genre yang berfokus pada family. Sebagaimana kita tahu pertengkaran diantara saudara pasti sudah tidak asing lagi terjadi.
Tidak perlu jauh-jauh membahas Solar dan Hali yang ribut karena hal sepele. Pasti kita pun pernah mengalami hal demikian dengan saudara sendiri kan?
Akibat hal sepele atau kesalahpahaman lalu memicu keributan.Terlepas dari semua itu, seburuk apapun perbuatan mereka. Tentu kita akan tetap memaafkan dan berdamai kan? Meski rasanya sulit.
Oke, ini yang terakhir XD
Selamat membaca, kritik dan saran atau pertanyaan apapun silahkan tulis di kolom review ~
Happy weekend, stay safe and stay healthy!
Salam, Strawberry Cheesecake dan Haruko3349