Disclaimer:
Naruto dan karakter yang digunakan dalam cerita ini adalah milik Masashi Kishimoto.
Nama Omekata diambil dari anime Mirai Nikki.
Penulis Cerita:
ForgetMeNot09
.
Plotter:
SiHitam
.
.
.
The Slaughterer
.
.
.
Sejenak ia terdiam. Netra secerah langit berpendar penuh emosi. Suatu hal yang bertolak belakang dengan apa yang hendak dilakukan. Tatapannya tajam pada satu sudut. Gelap menyembunyikan wujudnya. Terlihat sesuatu yang menggantung di balik punggungnya. Sebuah pedang yang tak terlalu panjang, melurus dari pangkal gagang hingga ujung. Satu sisi tajam, sisi lainnya tumpul, chokuto.
Jauh di jarak pandangnya, sebuah bangunan megah bernuansa tradisional. Sekelebat bayangnya melompat cepat. Dalam beberapa langkah, sang pemuda telah berada di seberang rumah megah. Matanya menyipit bak elang, menanti situasi yang ia inginkan. Tatkala keadaan sudah dirasa mendukung, ia berjalan cepat. Menembus pagar kayu yang terlihat tak terjaga.
Derapnya sunyi, napasnya sepi, bukan dirinya jika tak mampu melebur dengan hawa. Beberapa penjaga berlalu lalang di dalam rumah, tak sedikit ia gentar. Dia seperti bunglon, menempel rapat pada dinding, bersembunyi di balik bayang. Keberaniannya tiada tanding begitu pula dengan gemuruh kebencian yang dibawa.
Tatkala depak kaki riuh terdengar, mendekat pada persembunyiannya, ia bersiaga. Telinganya mampu memprediksi jarak, hanya dari suara yang ia dengar.
Seakan menjadi aba-aba, ia mulai menghunus chokuto.
"Satu, dua …."
Bibirnya membentuk sebuah seringai. Chokuto-nya dengan cepat terlulus, seperti petir, melesat cepat menebas leher salah satu penjaga. Tak memberi kesempatan pada penjaga yang lain, tubuhnya memutar, tangannya menarik tanto, sebilah pisau lipat dan memotong nadi sang penjaga yang tak sempat melawan.
Nyawa tercabut, raga dua penjaga berdebum di lantai. Pemuda itu segera merapat ke dinding terdekat. Gerakannya gesit, setiap sudut ia sambangi. Ketika hidungnya mengendus keberadaan nyawa, secepat kilat instingnya bekerja. Penggalan pedangnya yang panjang, tusukan pisaunya yang tajam, begitu cepat dan tepat sasaran. Hingga setiap korban tak sempat membuat jeritan.
Ada untungnya, ia memilih dini hari. Pada malam yang gelap gulita, di dalam rumah ini, seluruh penghuni rumah telah terlelap.
Bayangan pemuda itu muncul di setiap ruang secara bergantian. Ketika itu ia bertanya-tanya dalam batin. Mengapa kamar-kamar itu tidak terkunci? Mereka begitu percaya diri dengan kekuatan penjaga gerbang? Atau mereka terlalu bodoh menganggap diri mereka kuat hingga tak akan ada orang berani menyulut masalah.
Pemuda itu berjalan mengendap-endap, menyatu dengan dinding, memastikan bahwa setiap korbannya tengah tertidur pulas. Lantas bibirnya mencipta seringai, sorot matanya menajam, dan langkahnya tenang, ia mendekati tubuh calon korban yang sedang terbaring pulas dalam tidurnya.
"Sampai bertemu kembali di neraka," ujarnya serak pada dengkur orang di hadapannya.
Satu tusukan tanto-nya cukup untuk menikam nyawa sang korban. Darah yang mengalir ketika benda runcing itu ditarik, seperti angin yang mengantar kabar kematian.
Satu per satu penghuni di setiap kamar, meregang nyawa tanpa perlawanan.
Sang pemuda berambut pirang keluar kamar terakhir di lorong gelap itu dengan tenang. Menuju kamar berikutnya di ruang bagian dalam. Sebuah kamar istimewa tempat beristirahat sang pemimpin klan. Kembali ia mengendap-endap. Tak butuh waktu lama, sampai ia berdiri di depan sebuah kamar yang paling besar.
Naruto menyeringai. Ia membuka pintu dengan cepat, secepat pintu itu kembali menutup.
"Hyuga Hiashi."
Dalam satu panggilan, Hiashi yang ternyata memang terjaga lantaran firasatnya tak tenang, menoleh. Langkahnya cepat kendati usianya sudah baya. Ia berlari, bertumpu pada dinding dan melompat. Meraih katana yang tergantung angkuh, melesat seperti anak panah Hachiman, lurus mengarah pada si pemuda yang masih berdiri dengan panggak.
"Matilah kau!"
Sayang, pemuda itu juga belut. Bahkan ketika gerakan sang pemimpin klan sudah bisa dikatakan cepat, ia mampu mengelak. Tebasan chokuto Naruto kini mengudara. Berdenting, beradu dengan katana tajam warisan zaman kerajaan. Tubuh yang sama-sama kuat itu sesekali juga bertubrukan, saling mengadu kekuatan. Naruto sengaja, tak menggunakan belatinya. Ia terlalu sombong, yakin bahwa Hiashi tak butuh waktu lama untuk ditaklukkan.
Insting binatangnya yang tajam, rupanya benar. Duel terhenti, berakhir dengan Hiashi yang tergeletak tak berdaya, bersimbah darah. Mata pucat yang menyiratkan dendam itu masih menajam, dalam sisa-sisa hela napasnya.
Naruto berjongkok. Sebersit rasa sedih menghampiri. Bukan menyesal, ia tak pernah memiliki penyesalan untuk menebas manusia. Hanya, mata itu … mata pucat itu mengingatkannya pada seseorang.
Tangannya terulur, menutup paksa kelopak mata sang Hyuga.
"Selamat tinggal," ujarnya.
Tanto yang menggantung di pinggang belakangnya, kini melesak, memotong urat nadi pada leher sang durjana.
Naruto tersenyum puas. Ia berjalan keluar, untuk menyelesaikan tugas terakhirnya. Sayang, ada sekumpulan bayangan bergerak mendekat. Apa ia ketahuan?
Ternyata benar, sekelompok manusia berlari ke arahnya. Ujung-ujung pedang yang mengacung mengancam kehadirannya. Ia menyeringai, menarik lagi chokuto dengan cepat, dan tetap mempertahankan tanto di sisi lainnya.
Ia bergeming. Tak seperti orang-orang itu yang meneriakkan kata-kata keputusasaan dan menerjang maju membabi buta.
Naruto berdiri tegak. Pedang dan pisau yang masih tertempel darah segar, berada di kedua tangannya.
"Ggrrrhhhhhhh …."
Dalam kecepatan tak terduga, Naruto melompat, melayang dan memutar di udara. Chokuto dan tanto bergerak seirama, menari dengan indah menghantam setiap tubuh yang menyerangnya. Sekali waktu ia berlari mundur, hanya untuk mendapat pijakan dinding, membuat lompatan lain yang lebih bertenaga. Ia berlari dengan kaki kuatnya, menendang setiap titik vital setelah terlebih dahulu membuat senjata yang mereka genggam terpelanting dan jauh dari jangkauan.
Napas tersengal dan teriakan bersahut-sahutan. Suara lantang yang menandakan terpisahnya jiwa dari raga. Darah menyiprat, mengalir, membanjir memenuhi lantai.
Di sepanjang selasar Naruto berlari, selalu ada sosok penjaga yang menyerang. Namun, satu per satu dapat ia lumpuhkan. Sampai ia berada di luar rumah. Menusukkan pisau tajamnya pada penjaga terakhir di pintu gerbang.
Naruto berjongkok setelah menyelesaikan satu orang terakhir. Napasnya terengah dan peluh menetes. Netra birunya menyala, menatap satu per satu nadi korbannya. Lalu ia menatap berkeliling, sudah tak ada lagi hawa manusia?
Alih-alih ia salah. Pada ambang pintu utama, ia menemukan sosok yang sejak tadi ia cari tapi tak kunjung ia temukan. Sosok gadis yang tak terpaut jauh usianya, berdiri menatap tak percaya. Mungkin pemandangan di belakang sana, di mana setiap sudut rumah menjadi ladang mayat, di mana udara lewat mengantarkan bau anyir darah segar.
Netra pucat itu beralih ke chokuto Naruto yang masih tergenggam, meneteskan sisa-sisa darah. Lalu bergeser memandangnya, memberikan tatapan nyalang penuh kebencian. Napas gadis itu sesak, dengan beban di dada yang menyeruak. Lalu kaki jenjang gadis itu melangkah, berlari cepat, mengambil pedang lain yang tergeletak dan menyerang tanpa arah, walaupun niatnya serangan itu ditujukan untuk si pemuda.
Naruto tersenyum. Gerakan sang gadis yang jelas amatir, bagai lawakan konyol di matanya. Pemuda itu hanya memiringkan tubuh untuk menghindari serangan tak berkekuatan itu. Naruto memutar posisinya ke belakang tubuh mungil itu dan menjegal kakinya.
Gadis itu jatuh terbanting ke belakang, dan pedang yang digenggamnya terlempar.
Naruto merendahkan tubuh, merangkak ke atas tubuh sang gadis. Tersenyum mengejek setelah mengunci seluruh pergerakan sang gadis, melihat wajah pucat gadis itu, yang seakan meneriakkan ketakutan.
"Kau takut?"
Tentu saja tak ada jawaban.
Napasnya beradu dengan napas berat gadis itu. Netranya menatap lurus, pada bola mata ungu pudar yang memandang gentar.
"Ke … kenapa kau melakukan ini?" lirih sang gadis setelah nyalinya terkumpul.
Bibir Naruto mengulas seringai.
"Membalas apa yang dilakukan ayahmu, Sayang," jawabnya.
Mata biru Naruto menatap, sarat kebencian.
"Apa ayahmu yang biadab itu tak pernah memberi tahu? Bahwa dia adalah monster pembunuh yang menghabisi seluruh keluargaku."
Gadis itu membelalakkan mata.
"Aku membencinya, aku membenci seluruh keluargamu dan aku membencimu! Mati adalah hal yang pantas kalian terima!" geram Naruto, membelai pipi halus sang gadis dengan ujung pisau belatinya.
Napas sang gadis tercekat. Pipinya meneteskan darah.
"Kenapa kau tidak membunuhku?" ucapnya.
Naruto mengusap darah di pipi sang gadis perlahan. Mengulur hingga ke leher jenjangnya, lantas mencekik leher itu. Tak terlampau erat, tetapi cukup membuat napasnya berat.
"Belum, aku tunggu sampai waktu itu datang. Menghabisimu, sebagaimana aku menebas leher dan menikmati tetesan darah para manusia busuk di dalam sana."
Pemuda itu bangkit dan berjalan tenang keluar rumah. Teriakan putus asa yang dipenuhi tangisan terdengar lantang. Gadis itu mengumpat dan mengutuknya, mencerca penuh amarah.
"Bunuh saja aku, Bajingan!"
Naruto tak bergeming. Langkahnya menjauh hingga jarak di mana ia mampu menatap rumah itu secara keseluruhan. Ia menghela napas dalam. Lantas tertawa pelan. Tugasnya usai? Rumah megah yang berdiri jumawa itu kini hanyalah lautan darah.
Ingatannya tajam, dan menyala terang. Memicu api amarah.
Hyuga, sebuah nama dari klan besar yang angkuh. Nama itu disandang dengan bangga oleh mereka yang sombong dan semena-mena. Dahulu Klan Hyuga menguasai hampir separuh bisnis di negara, bersaing dengan Uzumaki, klan besar lain yang berasal dari bagian timur. Persaingan keduanya berlaku sejak puluhan tahun lalu dan sudah bukan rahasia. Bukan hanya bisnis, politik juga mereka selalu berseteru. Pengaruh Hyuga dan Uzumaki memang sama-sama kuat. Hingga persaingan mencapai puncak, berbagai upaya kotor dilakukan Hyuga untuk menghabisi keluarganya, Uzumaki. Sampai pada suatu malam yang hening, cita-cita Hyuga untuk menghabisi saingannya terwujud. Dalam sebuah kebakaran besar yang melalap seluruh bagian mansion bergaya kastil Eropa di Suna. Bagaimana bisa, bangunan besar dan luas itu habis dalam satu kali lumatan si jago merah?
Naruto menggeram saat mengingat hal itu. Api itu sengaja dinyalakan, oleh orang-orang suruhan setan Hyuga. Seluruh keluarganya terlelap malam itu, lantaran sebelumnya mereka lelah dengan sebuah pesta pernikahan. Mereka semua meregang nyawa. Malaikat maut tak menyisakan satu pun raga untuk hidup, kecuali dirinya. Hanya Naruto yang tersisa, sebab saat itu ia sedang berada di luar bersama seorang pengawal pribadi.
Naruto remaja pulang, semata-mata hanya dihadapkan pada pemandangan keji ulah klan Hyuga.
Sejak saat itulah, dendam mulai tumbuh. Mengiringi perjalanan hidup sang rubah yang berubah bengis. Hidup menyendiri di belantara, hari-harinya sangat kelam. Naruto berjuang menantang alam. Tak sedikit pun berinteraksi dengan manusia. Hidupnya liar, di pondok kayu yang ia bangun sendiri ala kadarnya. Waktu demi waktu pemuda itu habiskan dengan latihan bela diri yang terkadang menyiksa. Kehidupan yang ia buat kejam dan keras, menempa Naruto menjadi pemuda kuat. Lalu seiring dengan tumbuhnya kekuatan raga, hatinya pun ia tutup rapat. Menyebabkan Naruto bukan hanya kuat, melainkan juga berdarah dingin.
Sangkala merasa kekuatannya sudah memadai, Naruto mulai keluar menuju peradaban. Di luar sana, ia menguji kekuatan. Naruto menjadi pembunuh yang kejam. Menyusup, membaur, bahkan mengancam masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang Hyuga.
Sampai pada hari itu, ketika ia pergi ke pasar. Tanpa sengaja telinganya mendengar bagaimana klan besar itu kian berjaya. Hyuga sedang berada di puncak kekuasaan, di mana segala keinginan mereka dapat terlaksana begitu mudahnya.
Bukankah ini saat yang tepat untuk membalas dendam?
Naruto menyeringai, genggaman pada chokuto-nya mengerat.
A/N:
Pertama kali membuat cerita penuh dengan genre ini. Terima kasih atas bimbingan Suhu SiHitam wkwkwkwk.
Silakan dikritisi.
Sekaligus mau mengucapkan "Selamat Idul Fitri bagi yang merayakan dan mohon maaf lahir batin kepada para pembaca."
Tubuhnya lemas. Tak terhitung berapa hari, ia tidak makan. Bukan karena tak memiliki uang, bahkan jika menjual seluruh harta keluarga, ia masih bisa bertahan sampai seumur hidup.
Semenjak kejadian mengerikan, ia tidak mau makan. Bayangan kejadian malam itu, datang sepotong demi sepotong, membentuk sebuah film panjang. Rumah megah tempatnya hidup tenteram, berubah menjadi kubangan darah. Bau anyir yang masuk ke dalam penciumannya masih terbayang. Membuatnya mual luar biasa. Sebab itulah ia selalu menolak makanan.
Tubuhnya jadi tidak bertenaga. Dia duduk meringkuk di sudut kamar kecilnya. Ia telah meninggalkan segala asa dan kedamaian di rumah itu. Di sini dirinya sekarang berada, sebuah pondok kecil di tepi kota. Ia satu-satunya keturunan Hyuga yang tersisa, saat itu berlari tak tentu arah, lalu bertemu dengan abdi keluarganya yang telah lama mengundurkan diri, Hatake Kakashi.
Pria itu memungutnya, mengajak untuk tinggal di rumahnya yang jauh dari perkotaan. Pria itu memiliki firasat tajam, bahwa suatu saat nanti Naruto pasti mencari gadis itu untuk menyempurnakan dendam.
Jiwa gadis itu hampa hanya tinggal raga yang rapuh. Ibarat manik permata yang kehilangan kilaunya. Hari demi hari ia habiskan dengan berdiam di tempat tidur, mengingat tiap jengkal lantai dan dinding yang penuh darah.
Lantas, bayangan semu wajah keji sang pembunuh menghampiri. Gadis itu berjengit, kemudian menangis terguguk. Ia putus asa, tak ada lagi gairah hidup. Seolah menunggu Shinigami mengayunkan zanpakuto.
Lama tenggelam dalam lamunan, sang gadis tak menyadari kehadiran laki-laki berambut abu-abu di hadapannya. Kala sepiring bubur kaldu diletakkan di atas kasur, barulah iris bulat seperti bulan purnama itu melirik.
"Kali ini kau harus makan Hinata. Kau tidak ingin mati konyol kelaparan dan membiarkan pembunuh itu bebas hidup merenggut kebahagiaan orang lain kan?"
Ucapan Kakashi berhasil menyentaknya.
Saat pria itu keluar kamar dan menutup pintunya kasar, Hinata terlonjak. Bagai ditampar kesadaran, ia yang tadinya diam kini merasakan gejolak membuncah di dalam rongga dadanya. Bara yang memicu semangat, dendam yang membakar kepingan rapuh hatinya, berkumpul menjadi satu.
Hyuga Hinata mengambil mangkuk keramik di dekatnya. Dalam hitungan detik bubur itu tandas. Mata bulatnya yang pias, menantang cahaya bulan yang terlihat sempurna di balik jendela.
Alisnya bertaut, sorot netranya tajam, bibirnya membentuk garis tipis.
Ketika awan menutup, menghalangi sinar bulan dari pandangannya, tangan Hinata mengepal.
The Slaughterer
"Hiyaaaahhh!"
Teriakannya menggema di seluruh aula luas yang terpagari bambu. Depak langkah yang kuat, membentur alas tatami. Tubuhnya lalu melompat, seperti berjalan di udara, bergerak memutar, membuat gerai ekor rambutnya yang panjang berkibar. Pada satu kibasan tepi kedua pedangnya yang rancung mampu memotong-motong sebilah bambu yang terpancang tegak.
Tak salah ia memilih wakizashi dari balik lemari senjata Kakashi. Pedang berukuran kecil, sesuai dengan postur tubuhnya yang mungil. Tanpa perlu izin, sudah pasti pria itu akan memberikannya karena pedang ini memang pemberian dari klan Hyuga.
Peluh Hinata menetes, mengalir melewati pelipis, tetapi tak setitik pun mengurai semangat. Tatapannya tajam, kakinya berlari cepat, menjejak kuat lalu mengarahkan kedua ujung wakizashi yang merapat pada samsak jerami.
"Haaaahhhh!."
Satu tebasan dan sasaran itu terbelah.
Ia berlutut, kepalanya menegak. Raut ayu yang dahulu tak berwarna kini memancar sempurna. Sang gadis berdiri, membungkuk hormat dan memasukkan kedua pedangnya ke dalam wadah.
Wajahnya putih merona merah, rambutnya diikat tinggi. Tubuhnya berbalut hakama dan haori hitam layaknya seorang samurai. Meskipun baru saja berlatih, napasnya sama sekali tak tersengal. Tenaganya masih tersisa. Namun pria di hadapannya yang meminta berhenti.
"Jangan memaksakan diri! Kau juga butuh stamina bagus," ujar sang pria sembari tersenyum.
Hinata mengangguk dan berlalu pergi.
Gadis itu berganti pakaian dan berjalan keluar. Menyusuri jalanan desa untuk ke pasar. Dahulu selalu Kakashi yang memasak makanan untuk mereka berdua, tetapi sejak menemukan hidupnya kembali, Hinata bersikeras untuk melakukan tugas rumah. Hitung-hitung sebagai balas budinya kepada sang abdi.
Pakaian gadis itu sederhana, sebuah rok panjang dan kaus lengan pendek. Sepasang garmen sama-sama berwarna putih. Rambutnya tergerai kontras dengan warna bajunya, wajahnya bersemu. Seakan kesan tegas dan serius begitu saja luntur sejak kakinya menginjak dunia luar.
Gadis itu menjadi pusat perhatian, sebab parasnya yang menawan, dan sikapnya lembut.
"Selamat siang Nona, ada yang kau perlukan?"
Hinata tersenyum, melihat seorang wanita paruh baya penjual ikan. Gadis itu mendekat dan mulai memilih ikan. Kendati ia tak terlampau menyukainya, melihat kondisi sang penjual yang sudah tua, Hinata mendadak iba.
"Terima kasih," ucapnya sembari menerima bungkusan ikan.
Tungkainya kembali melangkah. Ia memandang berkeliling. Sudah lama, ia menginginkan kue kasia. Dahulu kue kecil yang manis itu bisa dengan mudah ia dapatkan. Namun sekarang, di pinggiran kota, susah sekali menemukannya
Tiba-tiba sebuah kedai menarik perhatiannya. Kedai itu berada di sisi seberang tempatnya berjalan. Hinata berjalan mendekat, karena tertarik dengan tulisan yang terpampang di plang depan.
"Toko kue," batinnya.
Matanya berbinar senang, seperti anak kecil baru saja menemukan mainan. Dalam hati ia berharap, ada kue kasia di sana.
Gadis itu hendak memasuki kedai, ketika didengarnya seseorang di dalam sana membicarakan sesuatu.
"Ya, Kitsune julukannya kan? Dia memang kejam."
Kitsune? Bukankah itu julukan untuk Naruto? Hinata yang penasaran berjalan masuk dan pura-pura memilih menu. Telinganya tegak mendengar.
"Aku ingat bagaimana klan sebesar Hyuga dihabiskan dalam satu malam."
Tubuh Hinata menegang mendengar nama klannya disebut. Gadis itu menggigit bibir, menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut. Betapa ia berharap mendapat sedikit petunjuk dari percakapan mereka.
"Jadi itu benar Kitsune? Laki-laki yang kau ceritakan menyerang Kakuzu semalam?"
Hinata melirik melalui sudut mata. Dilihatnya salah satu dari pria itu mengangguk.
"Ya, aku melihatnya. Saat Kakuzu mulai menodongkan pisau pada Hotaru, tiba-tiba Kitsune muncul."
"Kau yakin itu Kitsune?"
"Tentu saja, walaupun malam, aku masih bisa melihat jelas rambutnya yang pirang, matanya biru, dan tentu saja, goresan di pipinya itu. Persis seperti yang diceritakan orang-orang."
Hinata segera membayar dua buah kue keju yang dipesannya, lalu berjalan keluar. Langkahnya tergesa-gesa. Pikirannya mulai bekerja. Naruto ada di desa ini.
Jantung Hinata mendadak berdetak laju. Rahang gadis itu mengeras, diikuti dengan tangannya yang mengepal kuat. Mengingat nama Naruto, sudah mampu memicu api di dalam dadanya. Dendam, dendam itu ada dan masih akan terus ada selama ia belum mencabut nyawa bajingan itu.
Jika Naruto ada di desa ini, itu artinya … dia mungkin tengah mencari dirinya? Hinata menyeringai. Sebelum pemuda biadab itu menemukannya, ia akan terlebih dahulu menemukan pemuda itu dan menghabisi nyawanya.
The Slaughterer
Ichiraku, kedai ramen yang terkenal di Konoha. Tempatnya diambil dari sepetak ruang di pinggir pasar. Tak terlalu luas, tetapi cukup nyaman untuk menikmati makanan. Beberapa meja kecil yang dikelilingi dua sampai empat kursi, terisi penuh pelanggan. Aroma kuah kaldu dan tajamnya bumbu menjadi pengisi udara di kedai ini, dengan mudah membangkitkan rasa lapar bagi pengunjung atau pun orang yang sekadar lewat. Berbagai variasi ramen ditawarkan di sini dengan harga cukup terjangkau. Inilah yang menjadi alasan kenapa Ichiraku selalu ramai pelangan, tak peduli meski kini malam mulai larut.
Hinata baru saja memasuki kedai ketika menyadari bahwa tak ada meja yang benar-benar kosong. Gadis itu mendesah. Ia lelah, hampir sehari ini berkeliling mencari ke setiap sudut desa ini. Namun ia tak jua menemukan pembunuh itu. Sekarang, ketika ia terpaksa berhenti mencari lantaran lapar, kedai tempatnya singgah malah penuh.
Akhirnya dengan wajah sedikit mengancam, Hinata meminta satu tempat disediakan untuknya.
Pemilik kedai tentu saja menyanggupi, lantaran wajah Hinata yang sudah tidak dapat digambarkan lagi.
Hinata menjatuhkan tubuhnya di kursi kayu, sedikit keras menimbulkan derit kuat dari kursi itu. Meletakkan pipi kanannya di meja, ia menutup mata. Helaan napasnya berat, seberat harinya mencari Naruto. Ke mana perginya laki-laki biadab itu? Setiap bagian desa telah ia susuri, tetapi hasilnya nihil. Yang ia temukan hanya serpihan-serpihan petunjuk yang acak dan malah menjadi teka-teki.
Ketika kesadarannya mulai menipis sebab kantuk yang menyerang, Hinata dikejutkan oleh bunyi ketak di meja. Hinata terbangun, ramen pesanannya sudah tiba.
Gadis itu mulai mengambil mi dengan sumpit, sangkala netra amethyst-nya menangkap sekelebat bayangan yang dikenal di luar kedai.
Hinata melompat cepat, berlari meninggalkan ramen dan teriakan si penjual di belakang sana. Larinya laju, sebelah tangan mulai memegang kuat gagang wakizashi. Matanya menyipit mengejar bayangan yang melangkah lebih cepat darinya.
Amarah yang mulai menggelapkan hati, menjadi picu tersendiri. Tak lama akhirnya Hinata mampu menyusul laki-laki itu, di lapangan desa yang sudah sepi yang hanya bercahayakan lampu di tiang tepi lapangan.
Hinata berjalan cepat tanpa suara. Mengabaikan detak jantungnya yang menggila, melewati si pemuda, berputar arah dan mengacungkan ujung pedangnya tepat ke leher pemuda itu.
Tak ada kata yang gadis itu ucapkan. Emosi yang terseruak di lensa mata cukup menggambarkan ungkapan verbalnya yang tersurat. Sementara pemuda itu, Naruto, menyeringai. Ia melepas tudung jaketnya dan membalas tatapan Hinata.
"Wow," ujarnya.
Kalau saja langsung tikam dari belakang, mungkin dirinya sudah tak bernyawa lagi. Namun diserang dari depan begini, bahkan memberinya sedikit waktu untuk bernapas, gadis itu sungguh dendam kesumat rupanya, yang tidak akan puas hanya dengan membunuh tapi ingin agar dirinya merasakan penderitaan yang sama atau bahkan lebih.
Lehernya mulai berdarah karena pedang Hinata. Naruto hanya bergeming, dengan serengit masih tersemat.
Kedua pasang bola mata yang bersitatap itu saling menghunjam, saling menampak mengancam.
Hinata memasang tinggi kewaspadaan. Sesekali mata yang bisa menatap lebih dari sekian sudut dalam waktu bersamaan itu, memandang pada sepasang senjata Naruto. Memastikan benda logam itu tidak tertarik oleh tangan si pemuda.
"Satu gerakan dan kau mati!" sergah sang gadis.
Naruto masih tetap diam. Sampai embusan angin besar melewati keduanya dan menerbangkan garmen serta helai rambut mereka.
Hingga, dalam kecepatan yang tak mampu Hinata bayangkan, Naruto memiringkan kepalanya, berjongkok dan melakukan tendangan memutar.
Sedikit saja, Hinata terjegal. Nyatanya gadis itu mampu merespons cepat, melompat menghindari serangan Naruto. Sayang, gerakan mendadak itu membuat konsentrasinya buyar. Naruto berdiri, melakukan tendangan samping dan … wakizashi Hinata terpental.
Naruto mulai melayangkan pukulan ke arah Hinata, tetapi Hinata mampu mengelak. Seringai Naruto semakin lebar, pukulan dan tendangan tak henti ia sasarkan pada tubuh mungil sang gadis.
Hinata sebaliknya, menangkis setiap serangan Naruto dengan tangan dan kakinya. Hatinya mulai cemas, tak pernah ia mendapatkan lawan secepat ini. Bahkan dengan sang guru, Hinata tak pernah kewalahan menghadapi.
Rubah pirang itu memberikan tendangan samping, mengarah pada pinggang Hinata. Hinata elak dengan lengan. Namun, gadis Hyuga itu mulai kehilangan konsentrasi ketika pukulan dan tendangan Naruto bergantian dengan gancang.
"Ugh!"
Hinata jatuh bersimpuh. Perut yang tak masuk dalam hitungan sasaran baginya, terkena tendangan samping Naruto.
Naruto, si pembunuh berdarah dingin, tidak memberikan kesempatan sedikit pun. Pemuda itu mendorong Hinata ke tanah dengan kakinya dan dengan cepat mengunci pergerakannya. Kali ini, pemuda itu sengaja menotok titik pergerakan Hinata karena ia paham, Hinata sekarang berbeda dengan Hinata pada malam pembantaian itu.
"Kau berani sekali Hyuga. Apa kau ini bodoh … sebodoh ayahmu yang sombong itu? Jangan harap bisa mengalahkanku," bisik Naruto di depan wajah Hinata.
Hinata memberikan tatapan penuh kebencian. Tanpa sadar air mata gadis itu menetes, hatinya sakit mengingat bagaimana kejamnya Naruto membantai seluruh anggota klannya.
Naruto mengelus pipi Hinata dengan ibu jarinya. Sorot mata biru itu sejenak terlihat mengagumi, membuat dada Hinata bergemuruh. Siapa pun boleh bunuh dirinya, tapi tak akan gadis itu berikan kehormatannya. Terutama, pada setan berambut pirang ini.
Leher Hinata bergerak lantaran tegukan saliva. Memancing sebelah alis Naruto meninggi. Lalu pemuda itu tertawa keras.
"Hahahaha … kenapa hm? Kau takut?"
Hinata berteriak dalam hati.
"Tenang saja, kau akan kulepaskan kali ini," Naruto berdiri, "aku akan menunggumu, Sayang."
Pemuda itu melompat, pergi ditelan senyap malam. Meninggalkan Hinata menangis dalam diam.
The Slaughterer
Ia menatap bayangannya di cermin. Menyusuri tiap jengkal garis wajahnya. Putih dan pucat, satu ciri khas seorang Hyuga. Matanya bulat, pias. Tatapan lembut yang dahulu kerap bertengger, sirna. Terganti tatapan tajam, bagai menyiratkan satu tujuan.
Ia mendecih, meludah kesal ke wastafel. Dalam ingatannya, seringai rubah pirang itu menjadi dominan. Mata biru yang selalu memberikan pandangan meremehkan, menyoalkan dendam, menjadi picu kesumat yang makin tajam.
Gadis itu mendesah, lalu memejamkan mata cukup lama. Saat kelopaknya membuka, cahaya amarah muncul seketika.
Pagi tadi, sebelum ia memutuskan pergi ke kota ini, Kakashi memberikan wejangan. Kakashi sedih, padahal ia sudah berusaha memberikan pengertian pada Hinata untuk melepaskan saja dendamnya. Namun gadis itu bersikeras, dengan dalih, jika ia tidak membunuh Naruto, pemuda setan itu yang akan membunuhnya bahkan Kakashi juga karena pria itulah menyelamatkan hidup Hyuga Hinata.
Sekarang, di jalanan kota Ame langkah kaki kuat itu menapak. Sebulan sejak pertemuan mereka di lapangan, menjadi waktu yang memaksa Hinata melatih diri. Meski setelah matahari tergelincir, sang Hyuga akan melanjutkan pencariannya.
Semalam Hinata mendapat informasi dari seorang gadis penjaja seks, yang mengatakan bahwa Naruto menaiki kereta ke arah Ame. Bagaimana penjaja seks itu bisa bertemu dengan si rubah, Hinata tak peduli.
Sebab itulah Hinata berada di sini. Ame, kota yang terkenal lantaran curah hujannya tinggi. Hinata menerobos derasnya hujan di tengah kota. Penduduk Ame tidak terlihat berlalu lalang saat malam berhujan. Namun restoran dan kedai makanan di kota itu penuh orang.
Satu per satu kedai Hinata kunjungi, berharap mendapatkan info keberadaan Naruto. Ya, di mana ada perkumpulan manusia, di situlah letak berita. Di setiap restoran, gadis itu hanya memesan minuman. Sekadar untuk mendapatkan izin duduk.
Mendapatkan tatapan aneh lantaran penampilannya, tak membuat Hinata acuh. Tubuhnya basah dalam balutan haori dan hakama hitam. Sepasang wakizashi menjadi hiasan di pinggang. Klasik, dengan rambut gelap yang diikat tinggi.
Tubuhnya sama sekali tidak lelah, padahal sudah hampir separuh hari ia habiskan mencari.
Gadis itu sudah akan memutuskan untuk mencari penginapan dan melanjutkan pencariannya esok hari, tatkala tetangga mejanya saling berbisik.
"Kenapa banyak orang aneh akhir-akhir ini?"
"Oh maksudmu gadis itu?"
"Ya, membawa-bawa pedang di tengah kota. Dia pikir ini zaman kerajaan?"
"Seperti pemuda tadi ya?"
"Pemuda pirang yang tampan itu?"
"Hihihi … kau benar, sayang, wajahnya tidak ramah. Aku melihatnya saja sudah takut."
Perbincangan mereka seketika terhenti. Hinata sudah berdiri di samping meja dan memberikan tatapan tajam.
Para gadis yang sedang berkumpul berjengit, mengira sesuatu akan terjadi dengan leher mereka.
"Di mana?"
Suara Hinata pelan tetapi tegas, nada intimidasi terlihat jelas.
"A … apa?" jawab salah satu gadis itu.
"Di mana rubah pirang itu?"
Mereka saling menatap bingung sesaat.
"Kami … berpapasan dengannya saat keluar dari pemandian air panas."
Setelah sang gadis berambut cokelat itu mengatakan nama pemandian air panas, Hinata melesat. Bak harimau kelaparan yang mencium aroma mangsanya.
Hinata berlari meski belum tahu sejauh apa jarak dari restoran ke pemandian air panas. Beruntung hujan telah reda. Tatapan mata rancung itu bertemu dengan kokohnya gunung yang terlihat samar di gelap malam. Sang Hyuga memanjat dinding dan melompat, berlari di atas atap. Ini lebih mudah dibanding menghindari manusia lain yang mulai menampakkan diri di jalanan.
Bibirnya menyeringai, tatkala mata menemukan bangunan kayu tradisional. Gadis itu melompat turun tepat di depan pintu pemandian.
"Selamat datang."
Sapa yang percuma, Hinata berjalan lurus setelah meletakkan lembaran sepuluh ribu yen yang membuat penjaga pemandian ternganga di balik meja.
Langkah gadis itu menuju onsen pribadi pria, sama sekali tidak membuat wanita penjaga keberatan. Toh wanita itu paham, sepuluh ribu yen yang telah membuat senyumnya terkembang memiliki arti "Jangan ganggu aku!"
Hinata menyusuri setiap pintu bambu, meletakkan tangannya dan memejamkan mata. Seperti tengah merasakan keberadaan si rubah. Sampai di pintu terakhir, terletak paling ujung dari selasar, Hinata menyeringai tajam.
"Tentu saja kau akan memilih tempat yang paling tersembunyi, Rubah," gumam Hinata dalam hati.
Gadis itu mengintip. Pemandangan di dalam sana membuat pipinya merona merah. Naruto tampak damai, nyaris terlelap dalam hangat air pemandian.
Hinata terbawa murka, pembunuh itu menikmati hidup dengan damai setelah menghabiskan nyawa satu klan?
Gadis itu menarik pelan sebilah pedang. Membawanya ke atas bahu, dengan posisi gagang ditarik ke belakang.
Senyap, Hinata mulai bergerak cepat. Menendang pintu dan mengayunkan pedang.
Tak disangka, sebuah kaki menjegal, menjatuhkan tubuh gadis itu. Hinata berbalik cepat, tetapi tendangan Naruto membuat gadis itu terdorong dan tercebur keras.
Naruto menyeringai dari atas.
Hinata melompat cepat. Pedang di genggaman terasa berat seirama dengan napasnya. Riak air pemandian masih tampak sejak Hinata mengangkat tubuhnya. Asap hangat menembus penglihatan keduanya. Hinata melepaskan semua pemikiran dan menarik napas. Sebagaimana yang diajarkan oleh sang guru, ia menumpukan berat pada ujung pedang dan membiarkannya mengambil kendali. Jari-jari kaki sang gadis menekuk ketika dia mendorong tubuhnya ke depan. Jeritan lolos dari mulutnya. Keringat mengaliri dahinya. Ekor rambut bergerak pelan di belakang kepalanya.
Di arah sebaliknya, Naruto melakukan hal yang sama. Chokuto dan wakizashi kebanggaan beradu, menjauh, dan beradu lagi, saat sang pemilik mendepak lantai dan terbang di udara. Suara dentingnya memekakkan telinga. Bagai api yang membara. Hyuga dan Uzumaki, sepasang klan besar yang sama-sama hancur oleh dendam tak berkesudahan.
Keduanya sama mengerikan. Memusatkan tenaga pada telapak kaki dan kini mereka bertarung di atas air. Bunyi kecipak menjadi pengiring benturan logam.
Hinata memutar pinggul dan menahan tubuhnya dengan kedua kaki sementara Naruto melakukan kuda-kuda dan menyerang lagi. Gerakan mereka bagai tarian yang menyatu dengan jiwa.
Pedang Naruto nyaris terlepas, ketika kaki Hinata menghantam pinggangnya. Pemuda itu menceburkan diri ke air, menyusun waktu dalam hitungan detik untuk kembali ke atas dan mengarahkan ujung pedangnya tepat pada leher Hinata.
"Hiyaaa!"
Hinata memang tak mampu mengalahkan kecepatan Naruto, tetapi pendengaran tajamnya mampu membaca pergerakan rubah itu. Pendengaran yang dilatihnya selama satu bulan lalu. Hinata melakukan kayang untuk menghindari serangan mematikan.
Hinata terdesak, Naruto melayangkan pedangnya secepat kilat. Mata Hinata membulat, dengan cepat ia gunakan ha (sisi pedang yang tajam) untuk menahan terjangan pedang Naruto. Pemuda itu masih terus menyerang. Tubuh Hinata terdorong ke belakang, menumpu pada dinding di belakang.
Tawa Naruto menggema. Tak sedikit pun berat pada pedangnya berkurang, Naruto tersenyum sinis. Pemuda itu menarik benda lain dari pinggangnya.
Hinata lupa, Naruto punya lebih dari satu senjata.
"Sampai jumpa lagi, Sayang."
Getokan gagang belati di tengkuk, berhasil melenyapkan kesadaran Hinata.
The Slaughterer
"Kau?"
Pertemuan kali ini benar-benar tidak disengaja. Hinata yang sedang membantu Kakashi mengirimkan barang, dalam perjalanan pulang malah bertemu Naruto. Hinata tersenyum sinis. Beruntung ia tak pernah lagi terpisah dengan wakizashi warisan klan Hyuga.
Merasa mereka berada di keramaian, Naruto berlari, memancing sang gadis untuk mengikutinya. Langkah cepat mereka terhenti di daerah yang sepi. Seperti sebuah pusat kota yang telah lama ditinggal dan dibiarkan tanpa penghuni.
Deretan toko dengan cat pudar, sarang laba-laba melebar, dan atap yang hampir roboh. Suasana ini kian mengerikan saat malam.
Tak membiarkan Naruto barang sedetik, Hinata mengambil langkah awal, memasang kuda-kuda dan melesat maju. Bilah wakizashi-nya melewati sisi kepala Naruto. Luput, tetapi beberapa helai rambut pirang si pemuda melayang jatuh. Hinata berbalik arah, mengambil pedang yang lain dan kembali melompat sembari mengayunkan keduanya. Naruto menyambut dengan tatapan tajam, sedang pedangnya menghadap ke bumi, ia ayunkan dari bawah.
Ketiganya bertemu di udara, dengan dengkung sisi pedang menggema. Gerak tiap gerak seolah berpadu, menimbulkan keharmonisan dua hal yang kontradiktif.
Hinata terlihat lebih tenang. Pertemuan yang tak disengaja alih-alih justru membuatnya menanggalkan seluruh emosi yang buta. Mata gadis itu masih menajam. Elakan dan serangan berlarasan. Setiap rasa yang datang, mengantarkan bayangan. Bagaimana kehidupan tenangnya sebelum pembantaian. Ia diperlakukan layaknya putri. Tak seperti Neji, sang kakak sepupu, yang selalu berlatih bersama ayahnya. Hinata kecil hanya mampu menatap kagum. Tak sedikit pun dibiarkan kulit halusnya tergores. Hinata dijaga, bagai barang berharga yang mudah pecah.
Hyuga Neji juga memanjakannya. Setiap pulang dari perjalanan bisnis, selalu ada oleh-oleh mahal untuk sang adik. Menjadi pelindung saat Hinata berada di luar rumah. Dialah, sosok yang dipuja oleh Hinata.
Di sisi lain, pertarungan ini terasa lebih lama bagi Naruto. Pemuda itu bisa merasakan tenangnya emosi sang gadis dibanding pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya. Fokus yang sama sekali tak terbagi dengan riuhnya keadaan. Angin bertiup cukup kencang, menambah tekanan pada setiap serangan yang ia lakukan. Denting benturan permukaan pedang, gemeresak helai kain yang mereka kenakan, dan debum saat kedua tubuh itu bertubrukan, menjadi irama pengiring kematian. Seolah di sana, di sudut bangunan yang terabaikan, Shinigami tengah menunggu tugasnya.
Tiba-tiba tiupan angin semakin kencang, menerbangkan dedaunan pohon maple di tepi jalan. Naruto sempat terkejut, jeda yang dimanfaatkan dengan baik oleh Hinata. Gadis itu menendang lengan si pemuda sampai chokuto-nya jatuh. Sebelum menyentuh tanah, Hinata menendang jauh pedang itu. Naruto berdecak kesal, tangannya mulai menarik belati. Namun ternyata Hinata lebih cepat. Ia menendang selangkangan sang rubah.
"Auch!"
Naruto berlutut. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Hinata sama sekali tidak memberikan celah bagi Naruto. Gadis itu mengayunkan pedangnya ke leher Naruto.
"Gkkkhh!"
Darah memuncrat, mengotori wajah sang gadis. Tak ayal, pemuda itu roboh.
-x-
Fajar menyingsing di ufuk. Memberikan rona bagi langit yang kelam. Pada batas antara langit dan bumi, cahaya itu menjadi penerang. Udara terasa dingin, sebab angin malam masih berembus. Sesekali, udara bergerak itu membawa aroma kematian, memberitakannya ke dunia luar.
Hinata terduduk, tangannya melingkar pada lutut yang ditekuk. Dagunya bertumpu. Netra amethyst menatap kota yang lengang.
Hatinya bahagia tak terkira, saat sang pembunuh meregang nyawa. Tawanya menyesak pada rongga dada. Air mata tak elak turun, seiring dengan luruhnya beban di bahu.
Namun ….
...
Adegan Kilas Balik
"Ukh!"
Hinata menjatuhkan pedangnya. Tubuhnya merendah, berjongkok di samping sang rubah. Wajah gadis itu pucat lantaran terlalu bahagia. Kebahagiaan yang memenuhi dan menyesakkan dada.
Bibirnya menoreh senyum miring, melayangkan ejekan bagi pemuda itu. Kepalanya meneleng, dan sang gadis Hyuga tertawa keras layaknya orang kesetanan.
"Aku membunuhnya! Lihat, aku membunuhnya Ayah! Aku membunuhnya Ibu! Aku membunuhnya Neji! Hahahahaha …."
Alam seakan mengangguk mafhum. Mengerti bagaimana nafsu selalu menjadi alasan manusia bahagia.
Hinata berdiri lalu melompat-lompat. Merasakan kelegaan luar biasa. Gadis itu terus tertawa. Kebahagiaan seperti ini tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sesekali ia duduk, lalu berdiri lagi, sampai suara tercekat Naruto memanggilnya.
Hinata mendekat, ditendangnya kaki pemuda itu dengan keras. Naruto terbatuk, darah bermuncratan dari mulutnya. Lantas gadis itu berjongkok, sebelah tangannya mengelus pipi si pemuda, "Sebentar lagi kau mati kan? Apa tidak ada yang ingin kau sampaikan? Hm?"
Kuku jemarinya yang tajam, menggores pipi itu hingga berdarah.
Seringai puas tak juga meninggalkan wajah ayu yang berubah beringas. Hinata tertawa lagi. Membawa kukunya yang dipenuhi darah Naruto ke mulut. Hinata menjilat darah itu seperti maniak.
Hinata mendekatkan wajahnya pada wajah Naruto, "Darahmu manis."
Dilihatnya Naruto menggerakkan bibir.
"Hm? Aku tidak mendengarnya!"
"Hi … nata …."
Naruto meraih pipi pucat sang gadis, mengusapnya pelan, sesisa tenaga.
"Ini me … mang hukuman un … untukku."
Hinata mengerutkan dahinya. Tangannya kembali menari-nari di wajah Naruto.
"Rantai ke … kebencian itu, se … semoga berhenti."
Angin berembus lagi, seakan ingin menertawakan takdir kejam yang menimpa manusia.
"Hinata …," suara itu kian lemah, "sa … yang …."
Napas terakhir Naruto terhela.
Sementara Hinata masih menatap penuh tanya. Pikirannya berkelana, mencari makna dari setiap kata, yang diungkapkan oleh Naruto.
...
"Apa maksudnya?" gumam Hinata.
Sang Hyuga berdiri, lantas berjalan meninggalkan mayat pemuda itu di belakang. Pedang yang masih dihiasi darah, ia masukkan ke wadah.
Langkah gadis itu tertawa lagi. Memaki dan mengumpat Naruto sesuka hati.
"Ayah, aku sudah membunuhnya! Hahahahaha …."
"Rasakan Naruto! Rubah bedebah! Mati kau di neraka hahahahaha …."
The Slaughterer
"Silakan masuk, Nona Hyuga."
Pria tua itu tersenyum ramah. Kedatangan Hinata ke perpustakaan tua yang ia kelola seakan memang telah ia nantikan.
Hinata menoleh ke arah Kakashi, yang mengantarnya.
"Aku menunggu di sini saja Hinata."
Hinata mengangguk, ia memasuki perpustakaan dan duduk di tempat yang ditunjuk, menatap punggung lebar pria berbadan besar itu datar. Tempat ini, mirip sekali dengan rumah Hyuga. Bangunannya dari kayu dan batu, warna hitam dan cokelat mendominasi. Atapnya tinggi, dengan lantai bertatami. Hinata mengamati, tatami ini bahkan terlihat kuno, bersih tapi usang.
Buku-buku tebal berjajar di deretan rak yang tinggi, sama sekali tidak menarik minat sang putri Hyuga. Bibirnya tak berhenti berkedut senang. Perasaan meluap-luap tak meninggalkan benaknya sejak kemarin. Sampai akhirnya teka-teki itu menyadarkannya, meminta dirinya mencari jawaban.
Gadis itu menoleh, kala gesekan uwabaki dengan lantai terdengar. Pria tua yang masih belum melepas senyumannya, meletakkan sebuah buku di meja.
Alis Hinata meninggi, apa ini?
Jiraiya, sang pria tua, menepuk buku itu, "Kau ingin aku menjawab pertanyaanmu?"
Hinata mengangguk.
Tujuannya datang ke perpustakaan tua di Suna bukan tidak beralasan. Uzumaki adalah klan besar di kota ini, dan tentu saja, catatan tentang sejarah atau peristiwa apa pun yang terjadi di kota ini, akan diarsipkan. Bukan kantor polisi, tempat yang paling tepat untuk menyimpannya adalah perpustakaan kota. Karena itulah Hinata yakin akan menemukan apa yang dicari.
"Pernah mendengar tentang sekte Omekata?" tanya Jiraiya.
Hinata menggeleng. Jiraiya tersenyum dan menyodorkan buku yang dibawanya.
"Buku yang menjelaskan tentang Omekata. Karangan Senju Hashirama, peneliti pemerintahan yang sudah mengumpulkan data selama setengah abad."
Setelah mengucapkan itu, Jiraiya pamit ke kantornya. Hinata mulai membuka buku usang itu dengan hati-hati. Pikirannya yang sedang bahagia dengan mudah terisi bait-bait bahasa Jepang kuno. Tidak sia-sia, sang ayah memaksa setiap anggota keluarga menggunakan bahasa itu di dalam rumah.
Mata ungu sang gadis, memancarkan rasa ingin tahu yang begitu besar. Semangat untuk tahu tumbuh, di setiap baris kalimat yang terbaca.
Sekte Omekata, berasal dari kota kelahiran Hinata sendiri, Konoha. Pertama kali muncul pada zaman Showa dan masih berlanjut sampai sekarang. Awalnya sekte itu hanyalah sebuah kumpulan kecil pejabat pemerintahan yang membelot, yang merasa tidak puas dengan kebijaksanaan kerajaan. Sekte ini dikenal kejam, karena menghalalkan segala cara untuk menumpas mereka yang menentang, pun jika harus membunuh. Alasan lain yang membuat sekte itu menerima predikat kejam, adalah tradisi keji keluarga yang secara turun temurun mencuci otak setiap generasi penerus kepala keluarga, untuk menjadi orang yang ambisius dan kejam. Doktrin-doktrin tentang kejayaan keluarga di atas segalanya, memandang rendah klan lain, dijejalkan begitu saja.
Klan yang memegang tampuk kepemimpinan sekte, haruslah klan yang paling tegas, dalam artian lain bersifat kejam dan dilaksanakan dengan diktator. Klan pemimpin ini yang bertanggung jawab memastikan bahwa setiap keluarga yang tumbuh dalam sekte, harus tetap berada di jalurnya, demi mencapai tujuan sekte Omekata.
Hinata tidak mengerti, kenapa ada sekte semacam ini? Untuk apa mempertahankan keegoisan golongan jika sampai mencelakakan manusia lain?
Lebih heran lagi, untuk apa pak tua itu memberinya buku tentang Omekata?
Hinata berdiri, menenteng buku itu di tangannya dan berjalan menuju ruang pribadi kepala perpustakaan.
"Masuklah."
Sebuah jawaban Hinata terima setelah mengetuk pintu. Gadis itu membuka pintu dan melangkah masuk.
"Silakan duduk Nona Hyuga, apa kau sudah selesai membacanya?"
"Iya."
"Apa ada yang tidak kau mengerti?"
Hinata melirik buku yang sudah diletakkan di meja, "Kenapa Anda memberi saya buku ini?"
Jiraiya tertawa pelan. Pertanyaan itu sudah dia duga, bukan, tetapi memang itu tujuannya.
"Apa kau percaya, Nona, bahwa," Jiraiya sengaja menggantung ucapannya, menarik tatapan tajam dari Hinata, "keluargamu adalah penganut setia sekte itu."
Mata ungu Hinata membola. Dadanya mendadak berdentum-dentum. Lantas gadis itu memandang curiga pada sang pria tua.
"Apa maksud Anda?"
Jiraiya menghela napas dalam, jemarinya dikaitkan dan dijadikan tumpuan dagu.
"Hyuga adalah klan pemimpin sekte Omekata, dengan Hyuga Hiashi sebagai pengendalinya."
Hinata merasakan amarah yang telah luntur kembali mencuat.
"Jangan bercanda, Tuan!"
Jiraiya tak bersuara, beranjak dari tempat duduknya dan mengambil tumpukan berkas di lemari paling besar dalam ruangannya. Matanya menyusur tiap lembar map cokelat. Lantas ia tersenyum, mengambil salah satu map dan meletakkannya di hadapan Hinata.
"Kiriman dari kepolisian Konoha, berkas ini sudah diverifikasi oleh Monbukagaku Daijin. Di baliknya adalah bukti-bukti keterlibatan, bukan, kepemimpinan Hyuga dalam sekte Omekata. Kepala kepolisian mendapatkan itu, sehari sebelum malam pembantaian klan Hyuga."
Hinata membaca lembar usang itu satu per satu.
Dunia yang dipijaknya seakan ambles. Semua yang Jiraiya katakan, diceritakan secara gamblang dalam berita acara kepolisian Konoha. Hinata tak pernah membayangkan, sang ayah yang dikenal tegas adalah orang yang biadab. Neji yang dikaguminya, adalah eksekutor lapangan Hiashi. Perjalanan bisnis hanyalah kedok, apa yang Neji lakukan di luar sana tak lain dan tak bukan adalah usaha memastikan keluarga penganut Omekata tetap berjalan pada lajurnya dan tak membelot.
Air mata Hinata menitik, tangannya gusar membolak-balik lembar demi lembar berkas lampiran di belakang. Surat perjanjian, surat pengaduan, berkas-berkas kesepakatan bahkan foto-foto digital menjadi bukti yang mengerucut pada kepastian yang telah dipaparkan Jiraiya sebelumnya.
Hinata bahkan mengusap stempel di bagian bawah setiap kertas, memastikan bahwa itu asli. Jika Monbukagaku Daijin saja sudah membubuhkan cap itu, artinya semua ini adalah kebenaran. Kebenaran yang merusak segala pikiran Hinata, mengombang-ambingkan emosinya. Pikirannya kalut.
"Da … dari mana Anda mendapatkan ini?" tanya Hinata dengan suara bergetar.
Gadis itu masih berusaha mengelak.
"Aku memintanya pada seorang teman di kepolisian. Aku mengatakan dengan jelas, alasanku meminjam adalah, untuk menguak kenyataan pada ahli waris yang bersangkutan," jawab Jiraiya.
Isak tangis Hinata mulai terdengar. Awalnya pelan lalu terguguk. Bahu gadis itu bergetar hebat, membuat Jiraiya ragu, haruskah ia mengatakan kenyataan lain yang lebih menyakitkan? Pria itu menatap tubuh mungil yang berguncang di depannya.
"Hinata …."
Pada akhirnya Jiraiya memutuskan untuk menunda kalimatnya.
-x-
Savana, sebuah restoran Eropa di jantung kota Suna. Gaya barat kental menghiasi bagian luar hingga ke dalam restoran itu. Kursi dan meja yang mengambil tema abad pertengahan tertata rapi.
Di sana, Hinata duduk berhadapan dengan Kakashi. Setelah Jiraiya selesai berbicara, Hinata pamit pulang. Dalam keadaan menyedihkan gadis itu keluar menemui Kakashi. Sang pria yang mengetahui kondisi tak baik ini, segera membawa Hinata ke restoran ini. Dengan dalih dirinya lapar, padahal Kakashi tak ingin Hinata berjalan seperti mayat hidup.
"Katakan Kakashi!" titah Hinata.
Sejak tadi, gadis itu terus mengulang-ulang kalimat yang sama. Kakashi terenyuh.
"Apa yang harus kukatakan Hinata?"
"Itu tidak be … nar kan? Dia bilang ayahku sekte Om … pembunuh! Dia bilang ayahku pembunuh."
Kakashi melirik gadis yang masih menunduk itu. Lalu pandangannya beredar, mendapati tak banyak orang di dekat mereka. Wajar, karena tempat mereka duduk letaknya di sudut yang sama sekali tidak strategis.
"Aku tidak tah …."
"Jangan bohong! Katakan saja yang sebenarnya Kakashi, katakan kebenaran padaku!"
Kakashi menelan ludah gugup. Sorot mata ungu Hinata jelas menuntut. Mungkinkah ini saatnya?
"Baiklah," ujar Kakashi menyerah.
"Hinata, apa kau mengingat Ko?"
...
Adegan Kilas Balik
"Ko!"
"Nona Hinata! Kau dari mana saja?"
Hinata kecil berlari memeluk Ko. Pemuda itu membawa sosok mungil Hinata dan mengangkatnya. Memutar-mutar sambil tertawa. Hinata ikut tertawa.
"Lagi Ko … lagi …."
"Baiklaahhh, mau cepat atau lambat?"
"Cepaaaattt!"
Dan suara tawa mereka menggema di ruang tengah rumah Hyuga.
…
Ko mengelus rambut gadis di pangkuannya perlahan, berharap tidur. Namun alih-alih Hinata semakin membuka matanya.
"Ayo Ko, apa pelajaran cerita tadi?"
Ko terkekeh. Pemuda dari klan cabang Hyuga itu mencubit hidung Hinata pelan.
"Pelajarannya, kita tidak boleh jahat kepada orang lain. Kita harus jadi orang yang baik, suka menolong, agar Tuhan menyayangi kita, Nona."
Hinata mengangguk cepat, "Memangnya jahat itu bagaimana?"
"Merebut barang orang lain, membu …," Ko terdiam, "maksud Ko, Nona tidak boleh merebut apa yang bukan milik Nona."
"Hmmmm … bagiamana kalau kita cerita yang lain?"
"Besok lagi Nona, sekarang saatnya tidur!"
Hinata merajuk.
…
"Nona kenapa?"
Ko berlari menuju Hinata yang baru saja terjatuh lantaran tersandung batu besar. Lutut gadis itu berdarah.
"Ko sakiittttt, huaaaaaaa …."
Ko menggendong gadis yang sudah dianggapnya anak sendiri dan berlari ke ruang keluarga.
…
Bertahun-tahun berada dalam pengasuhan Ko, membuat sulung Hyuga itu dekat dengannya. Setiap hari bahkan Hinata bertumbuh dalam pengawasannya, melebihi Hiashi sendiri.
"Ko bagaimana penampilanku?"
Akhir-akhir ini Hinata sering mendapati Ko berwajah muram. Namun, pengawal pribadinya itu langsung tersenyum setiap saat melihatnya.
"Cantik. Nona Hinata sudah besar ya …."
"Iya dong Ko, aku sudah sekolah menengah."
"Jadi … tidak perlu dibacakan cerita sebelum tidur lagi ya?"
Hinata menarik senyumnya.
"Tidak mau! Ko harus tetap menceritakannya padaku!"
Ko terkekeh.
…
"Apa?"
Hinata menggumam tak percaya, setengah kecewa.
"Ini bohong kan?"
Ko menggeleng. Dengan raut sedih pria itu mengusap pipi Hinata.
"Maafkan aku Nona. Ini sudah keputusan Tuan Hiashi."
Hinata baru saja mendengar Ko berpamitan. Katanya sang ayah memindahkan tugasnya tidak lagi sebagai pengasuh Hinata, berganti menjadi pengawas perkebunan milik Hyuga di Iwa.
"Tidak Ko, aku tidak mau. Aku akan membujuk ayah Ko, tenang saja."
Gadis itu gusar. Namun Ko hanya menggeleng.
"Tidak Nona, jangan seperti ini. Keputusan ini sudah dipertimbangkan matang-matang oleh Tuan Hiashi. Lagi pula, Nona kan sudah besar, sudah tidak lagi membutuhkan pengawasan."
Ko tersenyum, merengkuh gadis itu dalam dekapan. Memeluk erat seakan mereka memang tak akan bertemu lagi.
"A … aku akan mengunjungimu nanti," ujar Hinata terisak.
...
Potongan demi potongan kenangan bersama orang terkasih muncul di benak Hinata saat Kakashi menyebut nama Ko.
"Ko tidak dipindahkan ke mana pun. Malam ia berpamitan denganmu, ia pergi ke kebun belakang dojo tua. Di sana … Tuan Hiashi mengakhiri hidupnya."
"A … apa?"
"Ko satu-satunya Hyuga yang menentang Omekata. Tuan Hiashi akhirnya tahu itu meski Ko tidak pernah menunjukkannya."
"…."
"Apakah kau sadar Hinata, selama menjadi pengawasmu, Ko selalu mengajarkan hal-hal baik. Pemuda malang itu selalu menanamkan nilai-nilai kebenaran padamu. Itu semua dengan tujuan agar kau tidak menjadi seperti mereka. Agar kau tidak terjebak dalam kungkungan Omekata."
Titik air mata mulai menuruni pipi Hinata.
"Itulah yang membuat Tuan Hiashi marah. Tuan Hiashi tidak mau kau menjadi lembek di matanya. Tuan Hiashi mau kau menjadi penerus untuk memimpin Omekata. Namun, Ko yang dipercaya mengawasimu, malah melakukan hal yang sebaliknya. Tuan Hiashi sangat marah saat itu," Kakashi menghela napas, "berakhir dengan membunuh Ko setelah menyiksanya dengan kejam."
Isakan Hinata kian keras. Pipi yang sudah mulai mengering saat keluar dari perpustakaan Jiraiya, kini kembali basah.
Ujungnya, gadis itu pingsan saat Kakashi mengatakan, ia yang dipaksa membantu Tuan Hiashi untuk memotong-motong tubuh pemuda malang itu.
-x-
Setelah pingsan di restoran, Kakashi memutuskan untuk menunda ke Konoha. Pria itu menyewa dua kamar di hotel dan meminta pegawai hotel untuk menelepon dokter.
Kakashi merasa lega, saat dokter mengatakan bahwa Hinata hanya pingsan. Gadis itu pingsan cukup lama. Baru sadar menjelang malam. Namun tetap membuat Kakashi bersyukur.
Pagi hari, Hinata terbangun karena dikejutkan oleh ketukan di pintu hotelnya. Gadis itu menatap wajahnya di cermin. Pucat dan mengerikan. Namun Hinata tak peduli. Setelah ini, ia bahkan tidak yakin masih bisa menjalankan hidup normal.
Hinata membuka pintu.
"Ka … kau?"
Jiraiya mengangguk, "Saya Nona, bolehkah saya berbicara denganmu?"
Apa lagi kali ini? pikir Hinata, tetapi gadis itu tetap mengangguk.
Hinata membuka pintu balkon kamar hotel, mendudukkan diri di kursi santai yang tersedia. Jiraiya mengikuti.
"Apa yang ingin kau bicarakan Tuan?" ujar Hinata.
Suara gadis itu lirih, membuat Jiraiya harus menajamkan telinganya. Tak heran, sebab kenyataan perih tentang keluarga yang ia sayangi ternyata malah menghancurkannya.
"Kemarin aku belum selesai berbicara, tapi karena kondisimu yang terpukul, aku memutuskan untuk tidak mengatakannya. Namun, tadi malam aku berpikir, bahwa kau harus tahu tentang ini.
Hinata masih bergeming, menatap hamparan langit dengan jiwa kosong. Meskipun setitik harapan mencuat saat Jiraiya mengatakan hal itu.
"A … apa? Katakan saja Tuan."
"Uzumaki Naruto …"
Hinata menoleh.
" … melakukan pembunuhan itu untuk menyelamatkanmu," lirih Jiraiya.
Tubuh Hinata menegang. Ragu dengan apa yang ada di benaknya, ia bertanya, "A … apa maksudnya?"
Fakta bahwa keluarganya adalah sekte Omekata, fakta bahwa pengasuh kesayangannya dibunuh dengan kejam oleh ayahnya, sekarang fakta apa lagi?
Jiraiya menghela napas dalam, "Naruto tidak ingin kau meneruskan kepemimpinan Omekata, Naruto ingin kau terbebas dari kungkungan kejam Hyuga. Naruto tidak ingin kau disiksa dan dicuci otak karena Naruto tahu, Hyuga Hinata adalah gadis yang akan selalu menolak apa yang bertentangan dengan kebenaran."
Bola mata Hinata membulat. Rasa tak percaya dengan apa yang didengarnya, menyeruak, tetapi … bahkan tak ada sirat kebohongan dari mata Jiraiya.
Jiraiya melanjutkan kata-katanya, melantunkan lagu sedih yang menusuk sukma. Bagaimana pria itu paham, sejak lama Naruto menyukai si sulung Hyuga, teman masa remajanya. Perasaannya semakin kuat, ketika pemuda itu harus kembali ke Suna. Cita yang tak tersampaikan, sengaja disimpan oleh Naruto, bersama memori kebersamaan mereka selama berada di sekolah yang sama.
Pada satu malam pemuda itu tak sengaja mendengar percakapan sang ayah dengan beberapa petinggi klan. Tentang konspirasi tengik yang direncanakan klan Hyuga selama satu abad lamanya. Minato sebagai pemimpin klan Uzumaki, merasa mereka harus dihentikan. Sayangnya, klan ini satu-satunya yang berani secara langsung menentang Hyuga. Berkedok persaingan bisnis, permusuhan mereka ternyata jauh lebih dari itu.
Naruto terkejut, tidak menyangka Hinata hidup di dalam keluarga yang terikat setan Omekata. Perang berkecamuk di hatinya. Ingin sekali pemuda itu menyelamatkan sang kekasih hati, tetapi tak tahu bagaimana caranya. Mengatakan itu pada Hinata, jelas tidak mungkin Hinata percaya. Otaknya berkata, Hinata tak akan pernah lepas dari kurungan Hyuga.
Sampai akhirnya ia menemukan sebuah cara.
Cara yang ironisnya ia dapatkan setelah seluruh keluarganya habis terpanggang dalam kebakaran yang diberitakan sebagai kecelakaan.
Naruto bukan pemuda yang lemah, yang dengan mudahnya berkutat pada keterpurukan. Seminggu setelah menghabiskan air matanya, pemuda itu bangkit. Berjalan dengan niat yang baru, untuk menghentikan lingkaran dendam yang tak berujung serta menyelamatkan Hinata.
Pemuda itu memikul tugas yang berat di pundaknya, dengan mengumpankan nyawanya sendiri.
-x-
Embus angin menyapu rambutnya yang tergerai. Ekor hakama-nya terlihat berayun. Kendati kaki melangkah, tatapannya tak fokus. Kepalanya dipenuhi ingatan tentang masa lalu, tentang kenangan indahnya bersama seorang pemuda.
...
Adegan Kilas Balik
"Tampan ya?"
Bisik-bisik teman sekelas berhasil menarik perhatiannya. Di depan sana, seorang murid pindahan, berdiri dengan senyuman secerah mentari. Rambutnya pirang berantakan, pipinya bergurat seperti kucing, membuat dirinya geli.
"Perkenalkan, namaku Uzumaki Naruto."
Suara bariton itu membuatnya seperti orang dewasa. Hinata menatap kagum sebelum terkejut. Iruka-sensei meminta anak baru itu duduk di belakangnya.
Matanya mengintip di balik poni tebal, sayangnya ternyata Naruto memergoki. Pemuda itu memberikan senyuman tampannya yang seketika membuat Hinata gugup.
…
"Hai kau Hyuga Hinata?"
Sudah seminggu, pemuda itu baru menyapa secara verbal. Bukan dia tidak ramah, tetapi setiap akan menyapa, gadis itu selalu lari menjauh. Seperti ia ketakutan melihat Naruto.
Untungnya saat ini, gadis itu belum sempat lari, atau tidak akan sempat sebab Naruto mencekal lengannya pelan.
"Jangan lari dong, kau satu-satunya yang belum berbicara padaku sejak aku datang."
Hinata pingsan.
…
"Jadi kau tinggal di rumah besar itu?"
Hinata mengangguk. Sekarang ia mulai terbiasa dengan keberadaan Naruto di sampingnya. Pemuda itu bahkan sering memaksanya pulang bersama. Padahal, walau searah, rumah mereka berjarak cukup jauh. Baru kali ini Naruto mengantarnya sampai rumah.
"Ya sudah, masuk sana! Aku pulang dulu ya, sampai jumpa lagi Hinata."
…
Sudah dua tahun mereka berteman, dekat, sampai tak terasa ada sesuatu yang berbeda. Pemuda itu tidak tahu sejak kapan dadanya berdebar hebat jika berada di dekat Hinata. Berkali-kali ia mencengkeram dadanya itu hanya agar berhenti berdetak kencang.
Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, duduk di belakang gadis itu memaksanya untuk menatap rambut gelap yang tergerai. Kadang muncul keinginan konyol, untuk membelai rambut itu, merasakan tekstur halusnya dengan jemari. Sontak pemikiran itu kembali menggebrak sistem peredaran darahnya.
"Apa aku jatuh cinta padanya?"
…
Ia tak mampu mengelak, saat tubuh yang lebih besar darinya memeluknya erat. Hinata menumpahkan air matanya di dada sang pemuda. Sudah nyaman, kenapa harus terpaksa dipisahkan? Kenapa harus begini?
"Tak … bisakah kau tinggal Na … ruto?"
Naruto menggeleng pelan, "Tidak mungkin Hinata. Aku harus menemani ibuku saat ayah sedang sibuk kan?"
Hinata meremas erat pinggang pemuda itu.
"Aku janji akan menemuimu lagi, Hinata."
...
Sepuluh tahun berlalu, janji itu memang terlaksana. Namun dengan cara yang sama sekali tidak diinginkan.
Air mata yang menetesi pipi Hinata semakin deras. Segala emosi bercampur jadi satu. Kebencian, penyesalan, bahagia, dan sedih tak terkira, beraduk di dalam hatinya. Entah, tak ada kata yang tepat mengungkapkan bagaimana perasaannya saat ini. Semua seolah bergerombol menanjak naik hingga rongga dadanya. Sesak, ini sesak dan menyakitkan.
"Naruto … dia itu, tak berhenti membicarakanmu kepadaku, Hinata. Bocah bodoh itu … jatuh cinta padamu."
Naruto ….
Pemuda itu ….
Betapa dia tak akan pernah tahu Hinata juga memiliki perasaan yang sama.
Kenapa takdir mempermainkannya?
Tak bisakah waktu berulang kembali untuknya?
"AARRGGHHHHHHHHHHHH! Huaaaaaaaaaaaaaa!"
.
.
.
TAMAT