hey guys,

aku berusaha yang terbaik di sini, tapi sepertinya tidak cukup baik. jadi mohon nikmati tanpa mencaci maki aku, hehe, thanks.

please enjoy.


Strawberries and Cigarettes


Matahari sudah menghilang dari horizon berjam-jam lalu, udara semakin dingin, dan malam semakin sunyi. Jantung Jimin berdegup kencang menanti kedatangan sahabatnya, Taehyung.

Malam ini, pukul 10, Taehyung berjanji akan membawanya ke gay bar di pojok kota. Sekarang sudah 9.48 dan beberapa saat lalu Nyonya Park mengucapkan selamat malam dan menutup pintu kamar Jimin. Tepat, Jimin berniat menyelinap malam ini.

Orang tuanya tidak akan menentang siapa dia- gay atau bi atau lainnya- bahkan ia sendiri belum yakin siapa dirinya. Tetapi, besar kemungkinan mereka akan melarang anak bungsu mereka ke Gay Bar. Sementara Jimin hanya ingin membayar rasa penasarannya dengan caranya sendiri, dan gay bar telah menjadi nomor satu listnya semenjak Taehyung dan Jungkook-kekasih Tae- coming out.

Jimin menyakinkan dirinya sendiri, malam ini dia hanya ingin mengetahui rupa dan isi gay bar yang sering Tae dan Kook ceritakan dan menikmati waktu disana. Tidak lebih. Tapi, apabila ternyata dia akan bertemu seseorang disana, Jimin dengan senang hati melepas gelar 18 tahun single-nya. Walau ia belum pernah menaruh hati kepada siapapun kecuali ibunya ia siap untuk pengalaman masa muda.

Handphone Jimin bergetar, sebuah pesan masuk, dari Taehyung.

Ready? Aku sudah di bawah.

Jimin mengintip dari jendelanya, di bawah lampu jalan mobil Taehyung terparkir apik tersembunyi dari zona pandang kedua orang tua Jimin.

Dengan senyum lebar Jimin mematikan lampu mejanya, memastikan jaketnya ter-zipper rapi, perlahan ia buka jendela kamarnya, menelan segala keraguan, meyakinkan diri bahwa semuanya akan menyenangkan, dan mengambil langkah keluar.

Sesaat kemudian Jimin sudah duduk di kursi penumpang di belakang Jungkook dan Taehyung yang tertawa riang, segera mereka meninggalkan kompleks rumah Jimin.

Sesaat kemudian, melalui perjalanan yang berisi peringatan dari Taehyung dan Jungkoon mengenai do and don't dan bagaimana menyenangkan nantinya, Jimin semakin ragu tentang pilihannya. Ia anak baik-baik yang dididik dengan sangat baik, kali ini adalah kenakalan pertamanya, tepat setelah seminggu lalu dirinya dan Taehyung dinyatakan lulus.

Sesaat keraguan muncul, sekejap kemudian hilang saat kaki Jimin sampai di lantai bar. Musik pop berderu keras, tapi tidak menyakiti genderang telinga. Bau minuman keras merembab di udara, tapi tidak menyengat dan memuakkan. Orang-orang bercakap dengan memikirkan urusan masing-masing. Beberapa di lantai dansa menari mengikuti irama dengan gerakan sesuka mereka.

Jungkook menarik tangan Jimin dan ketiganya duduk di meja menghadap rak-rak minuman, tempat para bartender bekerja. "Namjoon-hyung! Berikan kami sesuatu yang gratis!" Taehyung berteriak ketika seorang pria datang mendekat.

"Tae, aku bukan bartender, dan aku tidak bisa memberikan kalian minuman gratis terus, kalian sudah lulus, saatnya cari uang, pria muda." Namjoon memangku tangannya memperhatikan tiga orang di hadapannya.

Matanya jatuh ke Jimin yang berusaha duduk nyaman di kursinya sambil mengamati sekitar, "aku belum pernah melihatnya, temanmu, Kook?" Namjoon bertanya kepada Jungkook sambil menunjuk Jimin. Jungkok dan Taehyung saling memandang sejenak sebelum tersenyum lebar, "dia temanku dan Tae, hyung. Namanya Jimin." mendengar namanya dipanggil Jimin menatap Namjoon ragu dan membungkuk.

"Dia baru pertama kali datang disini, hyung. Jadi mungkin kau bisa memberikannya minuman selamat datang? Seperti yang dulu kau berikan kepadaku?" Taehyung menambahkan, dan senyuman kotaknya menjadi-jadi.

"Ha-hallo," Jimin menyapa malu, akhirnya menyadari bahwa pria di hadapannya mengenakan kemeja putih dan celana kain yang membentuk badannya dengan jelas. Jimin merasa minder, apa semua orang di bar ini memiliki badan bagus seperti Jungkook, Tae dan Namjoon?

"Jimin, bagaimana bisa kau berteman dengan dua iblis yang selalu buat masalah dan cari gratisan ini?" Namjoon bertanya dengan nada tidak percaya. Jimin hanya bisa terkekeh kecil sebelum menjawab, "Taehyung dan aku sudah bersahabat dari kecil, jadi aku terjebak dengannya."

"Bagaimana bisa kau berkata begitu? Kalau tidak ada aku, kamu tidak bisa kemari! Kukira kita sahabat sehidup semati, Jimin?!" Taehyung protes sambil memukul-mukul meja membawa tawa yang lainnya.

Tiba-tiba tawa mereka dihentikan dengan suara marah yang melengking, "Taehyung-ah! Sudah kubilang jangan kau rusak furniture kami!" omel seorang pria lainnya, kali ini mengenakan apron di pinggangnya dan - wow - Jimin mengakui dia cantik untuk ukuran pria. Dan Jimin semakin merasa kecil.

"Aku tidak merusaknya! Aku hanya membunyikannya, hyung! Untuk mengecek apakah masih berkualitas!" pria cantik itu, Jimin belum tau siapa namanya, menyerngit mendengar omong kosong Taehyung, seolah berkata berani sekali kamu membela dirimu dengan omong kosong.

"Aiigooo, berani sekali anak ini mengarang-ngarang hal. Jungkook bagaimana bisa kau jatuh cinta dengan otak dangkal begini, huh? Kau seharusnya tiru hyungmu yang jatuh cinta dengan pria jenius!" dia berkata dengan nada khas orang tua.

Jungkook tiba-tiba angkat suara, "Hyung! Namjoon-hyung memang jenius, tapi dia lebih sering merusak barang daripada siapapun di muka bumi! Bukankah dia lebih buruk daripada Taehyung?! Bahkan tadi sebelum aku keluar, aku melihatnya merusak kacamata bacanya!"

"Kenapa aku dibawa-bawa? Kook, kau janji tidak akan membahas itu!" Namjoon langsung protes alih-alih melerai. Jimin merasa seperti dia sedang menyaksikan drama sabun secara langsung. Ia tertawa, dirinya tidak menyangka bahwa bar yang keluarga Jungkook kelola akan semenyenangkan ini.

Jimin terkikik dalam diam dari kursinya, dan saat dia kembali dalam drama di hadapannya si pria cantik -sungguh Jimin ingin tau namanya- menatapnya dengan mata terbuka lebar. Jimin langsung tergagap diam.

"Siapa ini? Temanmu, Kook?"

"Seokjin-hyung perkenalkan ini Jimin temanku, dia baru di sini jadi berikanlah dia minuman gratis!" ujar Jungkook cepat, terutama di kalimat terakhir. "Dan Jimin, ini Seokjin-hyung, hyung-ku, pemilik, sekaligus bartender di sini!"

Jimin membungkuk lagi memberi salam, "Hallo," dan segera dibalas Seokjin dengan senyuman, "senang bertemu denganmu, Jimin, kuharap adikku dan pacar bodohnya tidak membuat masalah."

"Tidak, mereka tidak membuat masalah, justru aku senang mereka mau membawaku kemari," senyuman di bibir Seokjin semakin melebar. "Kuharap mereka sungguh tidak membuat masalah, kau terlalu baik untuk mereka."

Bibir Jimin hanya mampu tersenyum mendengar ucapan Seokjin. Setelah itu mereka berbincang dan akhirnya Jimin tahu bahwa Seokjin dan Namjoon adalah pasangan yang bersama mendirikan dan menjalankan bar tersebut sekaligus menjadi sosok kakak serta orang tua bagi Jungkook. Walau Namjoon sebenarnya manager yang sesekali menuangkan minuman, Seokjin menyakinkan Jimin untuk jangan pernah minum racikan Namjoon.

Pada akhirnya pun, Taehyung dan Jungkook berhasil mendapatkan minuman gratis untuk ketiganya. Margaritas racikan Seokjin. Setelah beberapa saat, dan dua gelas untuk Tae dan Kook, keduanya memutuskan untuk menapaki lantai dansa. Namjoon harus kembali ke posnya begitu pula Seokjin.

Jimin tidak apa ditinggal sendirian, karena memang ia datang hanya untuk menjawab rasa penasarannya. Dirinya memandang Jungkook dan Taehyung yang awalnya menari dengan penuh semangat semakin lama semakin dekat dan intim. Jimin memilih kembali menatap gelas margarita-nya yang hampir kosong. Ia bukan peminum.

Tiba-tiba saja dirinya berkelana dalam pikirannya. Dua hari lagi Jimin akan keluar kota untuk kuliahnya, meninggalkan kota dan semua yang ada. Jungkook dan Taehyung juga akan melanjutkan kuliah mereka meski di kota yang berbeda dengan Jimin.

Ia menghela nafas panjang, menyadari bahwa ia belum ingin masa remajanya berakhir secepat ini. Meski mahasiswa tetap dihitung remaja, tapi dirinya sadar bahwa semuanya tidak akan lagi sama.

Jimin mengosongkan gelasnya dalam sekali teguk, berharap dengan itu semua risalah pikirannya hilang juga. Alih-alih pikirannya hilang, muncul suara lain menyapanya. Kali ini suara asing, tapi dari hadapannya. "Hei, kamu baik-baik saja?"

Saat Jimin menatap sumber suara berat itu, dia terdiam, Jimin belum pernah melihat pria dengan kulit sepucat itu, matanya cokelat dan berbinar terang dengan jelas karena warna kulitnya. Nafas Jimin tercekat dua detik.

"Seokjin-hyung menyuruhku mengecekmu, apa kamu mau menyari udara segar atau ingin minum sesuatu?" Jimin tiba-tiba tersenyum menatap pria itu, entah kenyataan bahwa Seokjin-hyung khawatir tentangnya atau bagaimana pria di depannya bersuara.

Jimin masih diam, memperhatikan bagaimana kemeja putih kebesaran - sama persis seperti yang digunakan Namjoon dan Seokjin - membalut tubuh pria di depannya. Lengan bajunya ia tekuk, kerahnya ia buka, apron di pinggangnya memiliki noda kemerahan, dan ia mengenakan stripped jeans warna biru. Jimin penasaran kenapa tidak mengenakan setelan yang lebih pas dengan ukuran tubuhnya dan lebih rapi, pasti terlihat lebih tampan-

OhOHOH

Jimin memerah menyadari pikirannya. Ya, dia akui pria di hadapannya, yang masih menatap dengan selidik, tampan. Rambut hijau mint yang mencolok semakin menyempurnakannya. Semakin…

"Tampan," Jimin mengucapkan pemikirannya, Jimin baru saja memuji pria yang baru ia temui, dan pria itu tersenyum!

"Aku tahu aku tampan," ia tersenyum tampan -bagi Jimin- entah untuk sombong atau merasa terpuji, senyuman itu Jimin suka.

"Seokjin-hyung, dia mabuk!" pria itu berteriak, jelas bukan untuk Jimin yang sekarang meletakkan kepalanya di meja sambil terus melirik pria tersebut. Siapa namanya, Jimin ingin tahu. "Tolong urus dia Yongi, dia teman Jungkook, sekalian kau istirahat tidak apa." suara Seokjin terdengar dari jauh, dan Jimin bergumam untuk dirinya sendiri. "Yoongi, nama yang keren."

Sayangnya, gumaman itu terdengar oleh si pemilik nama. "Aku tau aku keren dan tampan, sekarang ikut aku, kita dinginkan kepalamu."

Jimin berdiri dengan kedua kakinya yang tiba-tiba terasa seperti jelly. Dia tidak paham bagaimana bisa margarita bisa membuatnya mabuk sementara seingatnya Jungkook dan Taehyung tampak tidak terpengaruh bahkan setelah minum lebih banyak darinya. Pria tampan tadi, Yoongi, memapahnya masuk ke ruang staff di sebelah ruangan Namjoon dan mendudukannya di sofa.

Jimin bersandar untuk mendapatkan penglihatan lebih baik. Yoongi membuka pintu dan angin malam masuk. Sekarang Jimin bisa melihat dengan jelas Yoongi. Bahunya tidak selebar Seokjin, tidak juga setinggi Namjoon, rambut hijau mint-nya tidak ditata rapi seperti milik Seokjin dan Namjoon, lebih berantakan seperti imilik Taehyung, tapi Jimin sadar dia sudah seperti gadis remaja yang jatuh cinta pandangan pertama.

"Ini, minum," Yoongi menyadarkan Jimin dengan menyondorkan sebotol air dingin. Jimin menerimanya dan segera meminumnya sampai habis, ia ingin meraih kesadaran totalnya agar bisa mengingat momen ini.

"Terimakasih, um.." Jimin ingin menyebut nama Yoongi, tapi ia ingin mereka berkenalan dengan benar.

"Yoongi, namamu siapa?"

"Jimin."

Jimin meruntuki dirinya sendiri, kenapa dia menjawab secepat itu? Sekarang mereka jatuh kedalam keheningan. Jimin menatap botol airnya yang kosong dan Yoongi bersandar dekat pintu meminum air dari botolnya sendiri. Jimin ingin mengucapkan sesuatu dan meneruskan perbincangan. Tapi apa?

Tiba-tiba botol minum setengah kosong muncul di hadapannya, "ini, mium ini biar mabukmu hilang." Yoongi menawarkan botol minumnya. Dan dengan senang hati Jimin menerimanya. "Terimakasih, Yoongi," dan meneguknya secara perlahan dengan pikiran indirect kiss. Jimin merasa pipinya memerah karena bersikap seperti gadis, tapi dia tidak peduli, dia tidak mau menyesal.

Yoongi tertawa pelan, lebih seperti terkekeh, dan Jimin menyelesaikan minumnya untuk menatap pria pucat tersebut. "Kurasa aku lebih tua darimu, kamu seusia Jungkook dan Taehyung, kan?" Jimin mengangguk. "Panggil aku hyung, Jimin-ah."

Rasanya seluruh pembuluh darah Jimin pecah mendengar namanya dipanggil dengan suara berat Yoongi. Rasanya juga Jimin sudah tergila-gila dengan suara Yoongi.

Yoongi lalu duduk menghadap luar, "pastikan kau mengatakan ke Seokjin-hyung bahwa aku merawatmu dengan baik, Jimin-ah."

Jimin memberanikan diri untuk duduk berdiri, mendekat, dan menempatkan dirinya duduk di sebelah Yoongi. Ketika angin malam menerpanya langsung, ia menyesal meninggalkan jaketnya di gantungan jaket dekat pintu masuk bar. Tapi, Jimin mencoba menahannya agar bisa duduk dekat, sangat dekat malahan, dengan Yoongi.

"Kau kerja di sini hyung?"

"Tidak, Namjoon memintaku membantu Seokjin selama aku di kota."

"Hyung bukan asli sini?"

"Aku hanya mampir selama liburan semester."

Jimin terdiam lagi karena tidak tau harus berkata apa. Sebenarnya banyak yang ia ingin tanyakan, dari tipe ideal Yoongi sampai apakah bumi akan merestui hubungan mereka? Tapi, Jimin tidak tau harus mulai dari mana.

Yoongi tiba-tiba mengeluarkan kotak rokok, mengeluarkan sebatang dan menggigitnya, lalu menawarkan ke Jimin, "kau merokok?" Jimin menggeleng, "rokok tidak baik untuk kesehatan, hyung."

"Aku tahu, aku sedang berusaha untuk berhenti, tapi malam ini terlihat sangat pas untuk merokok." Jimin menyerngit tidak suka dengan jawaban Yoongi, "Hyung, itu alasan konyol untuk merokok."

Yoongi tertawa, "baiklah, ini akan menjadi rokok terakhirku seumur hidupku jika kau yang nyalakan." Jimin terkejut mendengarnya, "sungguh? Terakhir?" nadanya senang, karena bagaimanapun jika dia bisa membuat pria yang ia suka berhenti merokok itu hal bagus.

Kepala Yoongi mengangguk yakin, ia lalu memberikan korek ke Jimin yang diterima dengan ragu. "Janji ya, ini terakhir kali hyung merokok!" Jimin agak melotot seperti memberikan ancaman, dan Yoongi tidak bisa tidak tertawa sambil mengangguk.

Asap yang keluar dari mulut Yoongi berbau mint, beruntung karena angin tidak membawa asap itu ke wajah Jimin hanya bau mint saja yang Jimin cium. "Merokok itu tidak baik untuk kesehatan, hyung harus memegang perkataan bahwa ini rokok terkahir hyung."

"Iya aku tahu Jimin, tidak usah kau ulang terus!" Yoongi terdengar jengah dengan ucapan Jimin tapi ada nada bercanda di kalimatnya sehingga Jimin tidak bisa tidak tersenyum. "Ini, makan." Yoongi tiba-tiba menyondorkan stroberi.

Mata Jimin melebar, penasaran barang apa saja yang disimpan di dalam apron Yoongi, namun ia tetap mengambil buah stroberi yang terlihat manis dari tangan Yoongi. "Terimakasih, hyung."

Gigitan pertama membuat mata Jimin semakin lebar, manis! "Hyung, ini enak sekali! Stroberi apa ini?"

Yoongi menghembuskan asap rokoknya lalu menaikkan satu ujung bibirnya, memasang ekspresi jahil, "itu storberi yang akan kuberikan lagi jika kamu janji tidak bilang Seokjin-hyung bahwa aku merokok."

"Ini sogokan?!" Yoongi hanya mengangguk bangga dan ekpresi jahil tetap ada di wajahnya. Sementara Jimin kehabisan kata-kata, kenapa Yoongi mengatakan bahwa merokok itu sebenarnya tidak boleh? Jika dia tidak berkata demikian, Jimin tidak akan tahu, dan itu jauh lebih baik untuk menjaga rahasia.

"Bagaimana aku akan memberimu stroberi lagi jika kau setuju," Yoongi menambahkan. Dan Jimin hanya bisa berharap bahwa dengan ia mengangguk ia bisa lebih dekat dengan Yoongi.

Yoongi tersenyum, gummy smile, lebar dan manis, lalu tiba-tiba di hadapan Jimin sudah ada beberapa butir storberi. Jimin menerima stroberi dengan senang hati dan menikmatinya. Sementara Yoongi diam menyesap rokoknya.

Awalnya Jimin khawatir karena hanya diam, namun ia justru menikmati hening di antara mereka. Sama sekali tidak aneh, justru menenangkan. Bau asap rokok Yoongi dan rasa stroberi dipadukan dengan nuansa malam hari yang anginnya sudah tidak lagi mengganggu Jimin.

Entah berapa lama mereka begitu. Hingga Jimin sadar stroberi di tangannya dan rokok Yoongi sudah sama-sama habis. Dan ia memberanikan diri untuk memulai percakapan.

"Jimin! Jimin-ah, dimana kamu?" suara Seokjin memecah momen yang ada.

Jimin segera berdiri, Yoongi menginjak putung rokoknya dan menutup pintu tepat sebelum Seokjin masuk. "Ada apa, hyung?" Jimin mendekati Seokjin yang ternyata membawa jaket Jimin.

"Jungkook dan Taehyung mabuk, mereka tidak bisa menyetir dan membawamu pulang. Taehyung akan menginap di sini, bagaimana kalau kau telpon orang tuamu dan bilang kau akan menginap di sini juga?" jelas Seokjin dengan perlahan, tapi adrenalin mengalir cepat di pembuluh darah Jimin.

Ia menyelinap keluar dari rumah, kedua orang tuanya tidak tahu, ia melihat jam dinding dan sudah hampir ham 12 malam tidak mungkin dia jalan sendirian dan sudah tidak ada bus semalam ini. Taksi? Dia tidak bawa uang sebanyak itu. Jimin kacau.

"Hey, bagaimana kalau aku mengantarnya pulang? Bar sudah sepi juga, kan?" Yoongi membuyarkan segala kerisauan Jimin.

Seokjin menaikkan alisnya bingung, "okay? Bagaimana menurutmu Jim? Yoongi bukan orang jahat, tapi kadang dia menyebalkan."

"Tentu, tidak apa, aku setuju, ini sudah malam juga, aku harus segera pulang." Jimin tidak bisa mengatur jawabannya, dia senang dengan kenyataan dia tidak akan ketahuan kabur oleh orang tuanya dan Seokjin serta bisa menghabiskan waktu dengan Yoongi lebih lama.

"Ok, ini jaketmu Jim. Namjoon sedang mengurus Tae dan Kook, terimakasih sudah mampir lain kali mampir laginya, kuberikan soda gratis," Seokjin tertawa dengan kalimatnya sendiri.

Sesaat kemudian, Jimin sudah mengenakan jaketnya, dan berjalan di belakang Yoongi menuju parkiran. Pipinya memerah menyadari ia akan diantar pulang Yoongi, namun kenyataan menghantamnya keras bahwa ia tidak bisa cerita bahwa dirinya menyelinap keluar.

Jimin jauh lebih kaget melihat mobil Yoongi, dia tidak tahu apa namanya tapi dia tahu mobil hitam di hadapannya tipe mobil yang mahal dan bukan sembarangan orang punya. Yoongi membukakan pintu, "masuklah," dan membiarkan Jimin masuk duluan.

Jimin semakin berdebar, bagaimana bisa Yoongi punya mobil sebagus ini. Dia harus bilang apa soal aksi kaburnya.

"You ok, Chim?" Jimin menatap Yoongi takjub. Chim, Yoongi memanggilnya demikian. "Aku ok, hyung."

Yoongi memosisikan badannya menghadap Jimin, wajahnya serius, "hey, ada apa? Kau murung." Jimin menggigit bibir bawahnya, dirinya ragu untuk bercerita atau tidak. Ia tidak bisa membuat keputusan, tapi Jimin tidak ingin membuat Yoongi khawatir.

"Aku tidak akan memaksamu cerita, tapi ada baiknya kamu berhenti menggigit bibirmu, amat disayangkan bila bibir bagus begitu luka, Chim." Yoongi tanpa sadar menjulurkan jemarinya untuk menghentikan aksi Jimin merusak bibirnya, tapi saat Jimin akhirnya sadar perlakuan Yoongi -dia sama sekali tidak keberatan- Yoongi sudah menarik jarinya dan bergumam maaf dan mengenakan seatbeltnya.

"Pakai seatbeltmu, dan beritahu aku arah rumahmu." Jimin hanya menurut dan tidak berani menatap Yoongi. Perlahan jarinya menyentuh bibirnya, Jimin berharap Yoongi tidak melihat merah wajahnya.

Di perjalanan mereka hanya berbincang untuk menanyakan arah. Jimin menemukan keadaan mereka sekarang menyesakkan karena canggung. Jimin yang sudah tidak di bawah kendali alkohol menyakinkan diri, sekali lagi, bahwa ia ingin tahu lebih tentang Yoongi.

Dan saat keberanian Jimin terkumpul, Yoongi bertanya, "rumahmu yang mana?"

"Parkir saja di bawah lampu jalan sebelah pohon depan." Akan tetapi, Yoongi justru berhenti, tepat di zona yang dapat dilihat orang tua Jimin.

"Chim, apa kamu tidak mau memberitahu tempat tinggalmu?"

Jimin bingung sekaligus panik, dia bisa ketahuan orang tuanya, tapi Yoongi justru menanyakan pertanyaan ambigu. "Maksudnya hyung, apa?"

"Dimana rumahmu? Kenapa kita tidak berhenti di depan rumahmu? Kau tidak percaya denganku?"

Mata Jimin melebar mendengar Yoongi. Apa ini artinya meski mereka belum terlalu dekat, belum saling bertukar informasi selain nama, apa Yoongi ingin tahu tentangnya? Apa Jimin bisa berharap dan terbuka?

Jimin menggigit bibirnya. Ragu kembali menghampiri dengan dilema. Tapi, dia mendorong semua pikiran itu dengan niat ingin mengenal Yoongi dan dekat dengannya bahkan mungkin berkencan dengannya!

"Ini rahasia, hyung," Jimin menggantung kalimatnya untuk melihat reaksi Yoongi. Dia hanya menanti dengan sabar untuk Jimin melanjutkan kalimatnya. "Sebenarnya aku menyelinap keluar rumah."

Yoongi hanya diam, dan Jimin tidak berani menatapnya entah kenapa. Sesaat mereka diam dan itu membuat Jimin tidak nyaman. "Baguslah, anak seusiamu memang harusnya mencoba hal baru, termasuk melanggar aturan," ujar Yoongi dengan wajah lega dan tersenyum. Jimin tidak menahan senyuman senangnya melihat hal tersebut.

Yoongi pun menjalankan mobilnya ke tempat dimana Taehyung memakiran mobil sebelumnya. Jimin tiba-tiba merasa isi perutnya turun semua sadar bahwa waktunya dengan Yoongi sudah diujung tanduk.

"Terimakasih, hyung." Jimin dengan berat hati melepaskan seatbeltnya. Tapi, tangannya tiba-tiba digenggam oleh Yoongi. "Hei, kamu mau menyogok aku dengan apa biar aku tidak memberitahu Seokjin dan Namjoon soal kamu yang kabur?" Yoongi menaikkan ujung bibirnya dengan apik sehingga menyulut rasa jengkel di diri Jimin. Tapi, Jimin tidak bisa kesal terhadap sisi jahil Yoongi.

"Sungguh? Tidak bisakah kau berbaik hati padaku?"

"Tidak bisa, Chim. Tadi kau sudah kuberi stroberi sebagai sogokan. Kau ingin menyogok aku dengan apa?"

Jimin memutar otak, dia tidak punya apapun pada dirinya sekarang kecuali uang, pakaian, handphone, dan itu nampaknya bukan hal yang akan Yoongi terima sebagai sogokan.

Pikiran Jimin berhenti ketika Yoongi menyondorkan handphonenya, "aku terima nomor teleponmu sebagai sogokan." Seketika Jimin memerah dan meraih handphone Yoongi.

"Caramu licik sekali hyung, kau bisa minta baik-baik." Jimin mengembalikan handphone Yoongi.

Yoongi tertawa penuh kemenangan, "tapi kalau begitu aku tidak bisa melihat wajah menggemaskanmu, Chimin."

Jantung Jimin berdetak keras ketikan mendengar Chimin, nama panggilan Yoongi untuknya. Wajahnya sudah sangat merah dan dia harus menyembunyikannya. "Ka-kalau begitu, a-aku masuk dulu, makasih hyung."

Akan tetapi, sebelum bisa membuka pintu mobil, tangan Jimin ditarik Yonggi. Sebelum Jimin bisa bereaksi bibir mereka berdua sudah bertemu. Saat sadar mereka berciuman, Jimin memejamkan matanya, ia bisa merasakan Yoongi perlahan dengan sangat lembut mengulum bibirnya.

Sebelum Jimin bisa membalasnya, Yoongi melepaskan tautan mereka dan tersenyum lembut menatap Jimin yang seutuhnya sudah seperti kepiting rebus. "Selamat malam, mimpikan aku, ya."

"Ma-malam, sampai ju-jumpa lagi, hy-hyung." Jimin terbata-bata sebelum segera keluar dari mobil Yoongi. Dengan andrenalin yang memuncak dengan detak jantungnya ia bisa dengar jelas, Jimin dengan mudah naik melalui pagar rumahnya, menyelinap ke atas rumahnya dan masuk lewat jendela kamarnya.

Jimin menyalakan lampu kamar dan menatap mobil Yoongi, ia melambai dan lampu sen mobil tersebut berkelip dua kali sebelum bergerak menjauh. Jimin menjatuhkan tubunya ke kasur dan bergerak-gerak bahagia hingga ia lelah sendiri. Jarinya menyentuh bibirnya yang terasa dingin, ia ingat bagaimana ciuman pertamanya terasa seperti asap rokok tapi juga manis seperti stroberi.

Handphone Jimin bergetar, pesan dari nomor tak dikenal.

Night, Chimin.Dream of me, sleep well.3

Jimin berharap dia bisa segera bertemu dengan Yoongi dan tidak terlalu mabuk atau takut atau ragu untuk berbincang panjang lebar. Mungkin lewat chat pun tidak apa, Jimin ingin lebih tau soal Yoongi yang dalam ingatannya berasa seperti Strawberries and Cigarettes.


continue

?


hampir lupa, aku mendengarkan lagu Strawberries and Cigarettes by Troye Sivan dan ingin membuat ini di tengah bulan ramadhan. dosa tanggung masing-masing.