Disclaimer:
Naruto dan karakter yang dipakai dalam cerita ini adalah milik Masashi Kishimoto.
A/N:
Cerita ini ditulis oleh SiHitam, didedikasikan khusus untuk Hinata.
Mengimbangi side story tentang Mei.
Mungkin ada side story lain ke depan?
Terima kasih atas kesediaannya membaca, dan mohon maaf apabila menimbulkan ketidaknyamanan pembaca ^^
Unbreakable Promise Side Story - Hinata Chapter
.
.
.
Penulis:
SiHitam
.
Editor:
ForgetMeNot09
.
Tak ubah dari malam-malam sebelumnya, selama 10 bulan ini, di ruang keluarga rumah pemilik korporasi terkaya di Jepang, Mizu Grup, selalu ramai. Selalu, tidak pernah absen satu hari pun. Ruangan yang minim perabotan, tanpa sofa maupun meja atau lemari. Hanya ada satu televisi layar datar yang menempel di dinding dan sebuah pengatur suhu ruangan. Menjadikan ruangan ini terasa luas sekali, tetapi tetap nyaman berkat permadani lembut di setiap jengkal lantai.
Di tengah-tengah, ada futon kecil tempat seekor… maksudnya seorang bayi yang mulai terlelap karena malam sudah agak larut. Bayi itu ingin tidur, tapi para perempuan dari berbagai umur yang mengelilinginya seperti tak ingin membiarkan itu terjadi. Siapa yang tidak tahan coba, untuk tidak bermain dan mengganggu bayi mungil yang lucu dan menggemaskan.
Kushina si nenek tidak usah diceritakan bagaimana tingkahnya. Mei pun tak kalah, seperti bayi ini adalah anak kandungnya sendiri. Shizune si kepala pelayan kelihatan sangat antusias, seperti sudah ngebet ingin punya anak juga yang sayangnya ia belum juga menikah padahal sudah hidup lebih dari tiga dekade. Pun Konan yang sangat sering berkunjung ke rumah ini. Sejak lama Konan adalah asisten pribadi Mei, mengurus semua keperluan wanita itu di rumah dan di kantor. Namun sejak menikah dengan Naruto, Mei berhenti dari pekerjaan dan mengabdikan diri di rumah mengurus suami. Otomatis Konan kehilangan pekerjaan, seharusnya. Kenyataannya tidak ada yang berubah. Konan masih mengurus beberapa pekerjaan penting di Mizu Grup. Ada pula Fuu, si pelayan muda yang polos tetapi energik. Dia yang sangat suka bayi kecil, tapi harus menahan hasratnya karena sudah tak punya tempat. Bersabar dia menunggu kesempatan di balik punggung kushina, yang sayangnya tak kunjung datang.
Tersisalah Hinata, yang duduk seiza agak jauh dari kerumunan orang itu. Tatapannya nanar. Itu anaknya, dia lah yang paling berhak. Namun ... ah sudah lah. Apa mau dikata?
Anaknya sendiri, dikuasai orang lain. Kenapa pula Boruto dikelilingi banyak perempuan. Apa nanti saat Boruto dewasa, bakal punya istri lebih dari satu sama seperti ayahnya? Hinata tertawa.
Sejak kelahiran Boruto, pengurusan bayi itu mungkin hanya seperempat yang dikerjakan Hinata sebagai ibu kandung. Sisanya orang lain, ya mereka itu! Mei yang saking suka dengan Boruto, paling banyak mengurus bayi itu. Sejak proses persalinan malahan, yang mana ayahnya sedang tak ada waktu itu. Mengganti popok, memandikan, memakaikan baju, dan semua hal lainnya. Andai saja payudara besar dan kencang punya Mei itu mengeluarkan ASI, pasti akan disusuinya juga. Jadi, hanya memberi Boruto ASI lah, satu-satunya tugas ekslusif Hinata sebagai ibu.
Hinata menghela napas. Untuk apa memikirkannya, ia sudah terbiasa.
Lamat-lamat ia dengar mesin mobil berderu dari arah garasi. Hinata tahu siapa yang datang, tapi ia tak tampak akan beranjak dari duduknya.
Sampai akhirnya Mei menegur, "Tidak ingin menyambut suamimu, Hinata?"
"Eh?"
Hinata terkesiap. Dia salah dengar kan?
"Bukannya .…"
Malam ini adalah jatah Mei, giliran Mei. Seperti biasa, yang dapat giliran lah yang menyambut suami ketika pulang.
"Kau saja," ucapnya, tak mengalihkan mata dari Boruto. Mei sedang asik dan tak ingin diganggu rupanya.
Sedangkan empat wanita yang lainnya, mana peduli.
Hinata bergegas. Karena sudah kebiasaan disambut ketika pulang, pria itu pasti menunggu di depan pintu.
"Okaeri, Naruto-kun," ucapnya setelah membukakan pintu.
"Tadaima, Me … eh, Hinata."
Tuh kan, Naruto pasti heran.
"Mei sedang asyik bermain dengan Boruto."
Bibir Naruto membulat tanpa mengeluarkan suara. Tak ingin ambil pusing, ia pun masuk.
Hinata mengambil tas kerja dari tangan suaminya, membawakannya. Setelah sang suami duduk di sofa ruang depan, Hinata membantu melepas sepatu dan meletakkkannya di rak. Naruto menyandarkan kepala ke sandaran sofa, memejamkan mata, seakan ingin mengusir lelah setelah sehari bekerja. Hinata yang menatapnya tersenyum.
"Apa ada masalah di kantor?"
Naruto membuka mata, "Tidak, biasa saja Hinata, karena terlalu banyak laporan yang harus diperiksa, mataku sedikit lelah."
Hinata mengangguk, ia turut menyandarkan tubuh, mendekatkannya pada Naruto.
"Kau kenapa Hinata? Sepertinya ada yang sedang mengganjal pikiranmu?" tanya Naruto. Heran dia, masa menyambut suami pulang kerja dengan wajah masam dan tingkah uring-uringan begini?
Hinata menggeleng, "Tidak, hanya cemburu."
"Cemburu kenapa?"
Naruto mengerutkan dahi heran. Cemburu dengan siapa istrinya ini?
"Boruto, dikelilingi para wanita, sampai-sampai ibunya sendiri tak punya banyak waktu menyentuhnya."
Naruto tertawa. Sejak kehadiran putra pertamanya, rumah menjadi heboh. Tidak Mei, Kushina, bahkan para pelayan ikut-ikut bergembira dengan kelahiran sang bocah yang memang sudah lama dinanti keluarga di rumah ini. Mereka berebut mengasuh, mencari perhatian, kadang mengabaikan Hinata yang sejatinya adalah ibu sang bayi. Jatah waktu Hinata yang tidak bisa digantikan oleh wanita lain adalah ketika sang bayi lapar dan butuh ASI.
"Sudahlah, yang penting saat malam tiba, Boruto sepenuhnya milikmu kan?" hibur Naruto.
"Hm."
Hinata makin cemberut. Ucapan kasih suaminya tak mempan. Iya memang, semalam penuh Boruto bersamanya, tidur di boks bayi dalam kamar yang sama dengannya. Namun Boruto kalau sudah tidur pulas sekali, bangunnya jam sembilan pagi pula. Di mana senangnya memandangi bayi tidur sepanjang malam setiap malam? Ia juga ingin kan, bermain dengan Boruto yang sedang terjaga.
Pria itu memeluk erat tubuh mungil sang istri, menenggelamkan wajah pada ceruk lehernya dan mengisap aroma yang membawa ketenangan.
"Hinata, mumpung mereka sibuk, bagaimana kalau kau memijit punggungku sebentar? Rasanya pegal sekali."
Hinata mengerucutkan bibirnya, tetapi tetap menuruti kemauan sang suami.
Naruto merasa dia harus melakukan sesuatu.
"Duh duuuh, Hinata sayaaaang. Senyum dong," pinta Naruto.
Tidak ada respons. Naruto tak menyerah, tangan jahilnya menarik kedua sisi pipi istrinya. "Nah, kalau senyum begini kan cantik."
Masih tak ada respons. Sampai kapan pun Naruto tidak akan menyerah. Ia tersenyum, juga mengedipkan mata.
"Karena bayimu yang di sana dimonopoli orang, bagaimana kalau bermain dengan bayimu yang di sini saja. Aku jadi bayimu, bayi besarmu."
Wajah Hinata tertekuk heran, ide konyol macam apa itu?
Naruto senang, akhirnya ia mendapat respons.
"Hm ... bagaimana?" tanyanya lagi, beserta kedipan genit.
Suaminya ini benar-benar sudah gila. Jadi, didorongnya badan kekar itu di sofa.
Naruto dengan sigap menangkap tangan istrinya. Lalu mencuri ciuman dari bibir manis istrinya ini, dengan hisapan dalam yang .…
"Enghh!"
Hinata memaksa lepas, hingga tubuh suaminya terjungkal di sofa. Naruto menganga, sebegitu tidak diinginkan kah dirinya oleh Hinata?
"Mulutmu bauuu!"
Setelah berteriak di depan wajah Naruto, ia melengos pergi. Dengan wajah yang makin tertekuk kesal tentu saja.
Naruto menutup mulutnya dengan telapak tangan, mengembuskan napas, lalu mencium aromanya.
"Oh, benar bau ternyata."
Tentu saja, setelah seharian bekerja, mulut mana yang tidak bau?
"Pff … ahahahaaa."
Laki-laki itu pun tertawa kencang. Rupa-rupanya dia beneran gila sekarang.
Unbreakable Promise Side Story - Hinata Chapter
Hari minggu saat libur kerja, adalah hari paling ditunggu dan paling menyenangkan bagi semua penghuni rumah ini, karena pada hari itu lah semua anggota keluarga lengkap berkumpul. Sebenarnya semua orang berkumpul setiap hari di rumah ini, hanya Naruto seorang yang pergi bekerja. Namun tetap saja, kurang satu orang itu tidak bisa ditoleransi, apalagi dia kepala keluarga.
Rencananya keluarga itu akan piknik, di sebuah peternakan rusa di kaki gunung sebelah barat daya Konoha. Peternakan itu sebenarnya sudah mau tutup, tapi Mei meinginkannya. Dia pernah bersantai di sana dan merasa tempatnya nyaman. Jadi, Naruto mengakuisisi semua aset peternakan itu dibawah Korporasi Mizu Grup, merombak kepengurusan dan pengelolaannya agar lebih baik. Bahkan dibangunkan onsen karena gunung itu ternyata memiliki sumber air panas.
Makanya, pagi-pagi sekali para wanita sudah sibuk di dapur. Sibuk membuat beraneka macam makanan dan kudapan untuk dibawa piknik. Sedangkan di depan rumah, sebuah bus mewah sudah nangkring sejak pagi-pagi buta. Kenapa pakai bus, karena yang piknik pesertanya banyak. Separuh pelayan di rumah, yang sudah lama bekerja diikut sertakan oleh Mei. Bahkan Neji dan istrinya yang baru menikah 2 bulan lalu, serta Hanabi, datang jauh-jauh dari Ame karena undangan dari Mei.
Minato, Neji, dan Naruto sudah selesai memasukkan perlengkapan piknik. Daripada menganggur, Naruto meninggalkan ayahnya yang serius berbincang dengan Neji, menuju dapur barangkali masih ada yang bisa dibantu. Begitu sampai, ia memilih duduk di kursi, melihat-lihat saja karena tidak ingin kalau dirinya malah mengacau di sini.
Naruto melihat ibunya yang sangat akrab dengan adik iparnya, Hanabi. Keduanya tampak senang menata isian untuk sandwich. Mei mencuci buah-buahan agar nanti bisa langsung dimakan. Fu menyiapkan peralatan makan untuk piknik sedangkan Konan dan Shizune menemani Boruto agar tidak rewel dan mengganggu. Balita dua tahun itu hiperaktif, harus ada yang menjaganya.
Hinata lah yang paling berjuang, pagi yang dingin begini dia malah bercucur keringat. Ada banyak yang ia siapkan, gerakannya gesit dari sudut ke sudut dapur. Memanggang cookies, membuat berbagai lauk untuk makan siang, sampai memindahkan nasi yang sudah matang ke termos panas agar tetap hangat. Tak ketinggalan memotong-motong sayur dan daging, menusuknya dengan tusuk sate, lalu menyimpan ke dalam cooler box agar tetap segar dan enak saat nanti pesta barbaque. Katanya, biar nanti di tempat piknik tidak perlu repot lagi.
Uh, Naruto puji kesungguhan istri mudanya itu.
...
Sudah 3 jam mereka semua berada di lokasi piknik. Matahari tak terlampau terik di tempat ini. Hamparan rumput menghijau, pepohonan rindang dengan angkuhnya merentang. Pepohonan itu, menghadap ke arah gunung, memberikan perlindungan untuk para anak manusia yang sedang bersantai di bawahnya. Suasana ramai, karena ada banyak orang dalam acara santai ini.
Hanabi, yang sedang asyik bermain dengan Boruto. Konan dan Shizune tengah merumpi bersama pelayan-pelayan lain. Neji tampak mesra dengan istrinya, mengambil tempat paling sudut, Minato bernostalgia dengan Kushina.
Di salah satu pohon, Mei bersandar, menyelami ketenangan yang jauh dari ingar bingar kota. Dia terlihat mengantuk setelah berbincang dengan Naruto, membahas rencana anak perusahaan baru di bawah Mizu Grup. Melihat sang istri yang mulai memejamkan mata, Naruto tersenyum. Diambilnya jaket yang tadi ia kenakan untuk menutup tubuh Mei, melindunginya dari angin.
Sejenak pria itu ikut menyandarkan tubuh di samping sang istri. Sebelum matanya menangkap sosok Hinata yang sedang diam, seperti tengah memikirkan sesuatu. Apa lagi kali ini? Naruto beranjak dari posisinya. Melangkah mendekati sang istri kedua.
"Hei," sapanya.
Hinata melihat Naruto yang datang, tersenyum. Ia bergeser dan menepuk tempat di sebelahnya.
"Mana Mei?"
"Tidur."
Hinata mengangguk, "Suasananya memang mendukung untuk tidur. Aku juga heran kenapa belum mengantuk."
"Karena kau sedang ada beban?"
Hinata terkejut, tapi ekspresinya lekas datar kembali.
"Naruto-kun benar," lirihnya.
Kali ini pria itu peka, ia memahami apa yang sedang membebani Hinata, setelah mengamati tingkah wanita itu sejak pagi.
"Kulihat kau berusaha keras untuk piknik ini."
"…."
"Jangan terlalu memaksakan diri Hinata. Kau tidak harus melakukan semuanya sendirian."
"Maksud Naruto-kun?"
Naruto menoleh, "Aku tahu tadi kau begitu ingin melakukan semuanya sendirian, untuk keluarga ini. Berbagi tugaslah, tidak harus kau yang melakukan semuanya. Ibu, Mei, bahkan para pelayan juga sudah punya porsi pekerjaan masing-masing."
Hinata terdiam. Matanya memilih menikmati garis hamparan rumput yang menjadi batas antara tanah dan gunung.
"Tidak ada yang menuntutmu untuk seperti itu. Lihatlah! semua orang memiliki perannya masing-masing," lanjut Naruto.
Mau tidak mau Hinata menatap berkeliling, pada satu per satu orang yang ikut piknik, dan berhenti pada sosok Mei yang tampak nyaman dengan posisi tidurnya. Hinata tersenyum simpul.
"Kalau kau ingin mengambil banyak pekerjaan dalam peranmu di keluarga ini, tidak ada yang keberatan. Ibu, Mei, dan yang lain pasti akan mempersilahkanmu mengerjakannya, tanpa protes. Hanya saja itu bukan hal bagus, nanti dirimu yang kelelahan sendiri. Kerjakanlah sesuatu sesuai porsinya, dan yang lain pun melakukan hal yang sama. Kita semua punya tempat masing-masing. Tidak akan terganti, tapi saling melengkapi."
Hinata mengangguk mengerti, semua orang yang ikut dalam piknik ini memang terlihat menikmati. Bukankah seharusnya Hinata juga begitu? Menikmati saja sepenuhnya berkah kebahagiaan yang selalu tercurah untuk keluarga ini. Tidak perlu lagi merasa sangat kecil, di keluarga yang besar ini.
Unbreakable Promise Side Story - Hinata Chapter
"M-Mei .…"
"…."
"A … aku ingin menunggang kuda. Ma ... malam ini?" tanya wanita muda itu, terbata-bata.
Wanita berambut maroon itu ternganga lebar. Dia tergesa bangun untuk membuka pintur kamar yang diketuk, padahal tadi sedang nyaman-nyamannya rebahan di kasur, hanya untuk mendengar keinginan adik madunya yang tidak masuk akal.
Tidak ada kuda di rumah ini! Lagi pula kenapa ingin menunggang kuda malam-malam? Kalau sungguhan ingin, besok dengan senang hati Mei mengantarkan Hinata ke perternakan dan arena pacuan kuda di pinggiran kota.
"Bo … boleh tidak?" suara Hinata kian memelan.
Wajahnya memerah pekat dan bercucur keringat. Ekspresinya bercampur antara malu, takut, gugup, dan seperti … ngebet ingin sesuatu.
Ngebet ingin sesuatu?
"Oh."
Seketika Mei paham, ia menyeringai. Kepalanya memutar ke arah pintu kamar mandi, di kamar tidurnya ini.
"Naruto baru saja mandi, paling tidak 10 menit baru selesai. Ayo masuk dulu!"
Ditariknya tangan Hinata. Mei mengajaknya duduk di kasur.
Sungguh, Mei sebenarnya sangat ingin tertawa kencang melihat tingkah lugu Hinata. Namun ia tahan sekuat tenaga, tak akan ia lakukan hal yang membuat Hinata bermuram durja.
"Aku tidak keberatan, tahu."
"…."
Hinata tak menyangka, semudah itu Mei mengabulkan keinginannya.
"Malam ini kau tidur di kasurku, tutup dengan selimut agar Naruto tidak tahu. Biar Boruto tidur denganku, bagaimana?"
Sampai diberi ide aneh begitu, Hinata makin tak menyangka.
Mei sepertinya harus bicara sedikit lebih lama dengan Hinata, karena wanita muda itu tak kunjung memberi jawaban iya. Padahal kan dia sendiri tadi yang meminta? Apa mungkin Hinata menyesal, merasa bersalah karena ketahuan ingin memonopoli suami mereka?
Setelah menghirup napas dalam dan memasang wajah santai, Mei mulai menjelaskan.
Hinata sayang, dengarlah! Aku tidak keberatan misalnya kau ingin lebih banyak tidur bersama Naruto. Usiaku kian mendekati senja, gairah seksualku makin pudar. Meski kita berbagi jatah tidur yang sama, tapi malam yang Naruto habiskan denganku akhir-akhir ini sudah sangat jarang untuk bercinta."
Hinata bingung, antara perkataan Mei dan keinginannya tadi hubungannya apa?
Mei melanjutkan, "Dulu memang, awal aku menikah dengan Naruto, kami selalu sangat menggebu-gebu. Setiap malam sejak aku mengambil keperjakaannya, aku tidak pernah absen menunggang kuda."
Mei mengembalikan perkataan Hinata tadi. Apa itu untuk menggoda Hinata? Namun itu agak berlebihan, lihat saja wajah Hinata yang seperti … sedikit saja, seperti orang cemburu. Hinata terus menunggu, mendengarkan sampai Mei selesai bercerita.
"Namun aku sadar kalau aku tidak bisa terus menerus memberikan layanan sebagai istri. Beberapa tahun lagi umurku sampai 50, kisaran umur di mana masa menopause bagi wanita akan tiba. Sedangkan Naruto masih sangat muda, 30 tahun saja belum sampai. Umur segitu pastilah laki-laki masih energik dan perkasa. Kasihan dia kan jadinya kalau aku sudah sampai masa itu. Hati Naruto bersih, pikirannya pun mampu dia kendalikan, tetapi tubuh tak bisa berbohong. Kebutuhan biologis wajib dipenuhi bagaimana pun caranya. Makanya, aku mencarikan gadis muda yang segar untuk dia. Agar dia selalu punya tempat menyalurkan hasrat sampai dia tua."
Baru sekarang Hinata menyadari. Bukan hanya tentang anak, tapi sampai urusan begini pun jadi pertimbangan Mei dahulu untuk mencarikan Naruto seorang istri lagi, yang muda dan segar, yang mana takdir itu jatuh pada dirinya. Ia akui, Mei itu … sangat memikirkan orang lain.
"Mei, yakin dirimu tidak apa-apa?"
"Hmm?"
Mei menduga bahwa Hinata mengira dirinya sengaja mengalah malam ini.
"Sejak keluarga ini kian besar dan lengkap, aku memikirkan ulang keinginanku. Dahulu memang, aku senang dan bahagia ketika Naruto berjanji menemaniku sampai ajal agar tidak kesepian, tapi kupikir sekarang itu saja tidak akan cukup. Tidak hanya Naruto, tapi dari kalian semua, berkat kalian semua di keluarga ini aku tidak mungkin kesepian. Kebahagiaanku ada pada kalian semua. Nee, kamu percaya padaku kan, Sayang."
Hinata mengangguk pelan, mendadak suasananya berubah dramatik begini.
Suara shower dari kamar mandi berhenti terdengar.
"Nah, ayo cepat!"
Mei menyuruh Hinata berbaring di kasurnya, sampai menyelimuti seluruh tubuhnya pula.
Mei sudah mau pergi, tapi urung.
"Ada apa lagi?" tanya Hinata, bingung karena selimutnya dibuka lagi.
"Kau memakai lingerie di balik baju tidurmu yang agak longgar itu kan?"
Hinata mengangguk, dari mana coba Mei tahu hal seperti itu?
"Lepas dulu baju tidurmu!"
Lakukan saja lah, pikir Hinata. Hanya butuh beberapa detik bagi wanita muda itu melepas pakaian tidurnya yang kini dipegang Mei.
"…."
Ia hendak menarik selimut tetapi ditahan oleh Mei.
"Kalau tidak salah, tanggal ini masa suburmu kan?
Hinata mengangguk. Mei ini penguntit atau cenayang? Lagi-lagi dia hafal rahasia pribadinya.
"Aku pesan satu bayi perempuan yang manis dan imut," ucap Mei, dengan jari yang membuat tanda 'O.K'.
Memangnya makanan, bisa dipesan semudah itu?
Pintur kamar mandi mulai berderit, secepat kilat Mei pergi.
Tersisa, di dalam selimut Hinata dengan gugup menyembunyikan diri.
Butuh beberapa saat bagi Naruto untuk mengeringkan tubuhnya, lalu memakai kaus tipis. Sementara itu, Hinata menunggu di dalam selimut tanpa suara.
Ranjang tidak berdecit meski bebannya bertambah, Naruto sepertinya naik dengan pelan. Pria itu masuk ke dalam selimut dengan hati-hati. Mungkin dia tidak ingin Mei terbangun kalau misalnya sudah tidur.
Hinata merenung sejenak, cara Naruto memperlakukan Mei ini sama saja dengan dirinya ketika lebih dahulu di dalam selimut karena mengantuk. Perhatian pria itu pada mereka tidak berbeda.
Tubuh Hinata kaku sesaat, ketika bahunya yang tak tertutup kain diusap lembut oleh sang suami.
"Mei, kau sudah tidur?"
Naruto berbisik, memastikan istrinya sudah tidur atau belum. Mana mungkin Hinata menjawab dengan suara, pasti akan ketahuan jadinya.
Karena tak mendapat jawaban, Naruto menganggap istrinya sudah tidur. Jadi dia sedikit mengeratkan dekapannya, lalu segera menyusul ke alam mimpi.
Lama tak ada gerakan apa pun lagi. Akibatnya, Hinata makin tak keruan rasa. Sebelum mengetuk pintu kamar ini, ada perang antara hati dan nafsu di dalam diri Hinata, antara tetap menjaga rasa malu atau memuaskan nafsu. Yang ujung-ujungnya, dia berakhir seperti ini. Salahkan saja berahinya yang menggebu-gebu tak terbendung itu.
Sebab Hinata berakhir di sini oleh dorongan nafsu berahi, tentu saja ia tidak mempunyai rencana. Setengah jam berlalu tanpa terjadi apa-apa. Hinata merasa pegal karena posisi berbaringnya yang tak berubah sejak tadi. Ia ingin bergerak.
bergerak?
Ahhaa, Hinata baru menyadari, seharusnya ia bergerak, memberi stimulus-stimulus pembangkit gairah di badan suaminya. Kenapa tidak ia lakukan sejak tadi?
Yep, tangan Hinata mulai bergerak nakal meraba di sana sini. Tak menunggu lama, langsung dapat respons dari suaminya.
Ops, tangan Hinata tertangkap.
Kalau begitu Hinata pun menggesek-gesekkan badan, pada badan suaminya.
"Mmm … Mei, kau belum tidur kah?"
Bukannya berhenti, Hinata makin menjadi.
"Hn?" terdengar dengusan bingung dari mulut Naruto.
Semakin liar tindakan Hinata. Tangan dia yang satunya berani menelusup ke balik celana.
Mendadak, Naruto menyibak selimut. Duduk, lalu bersedekap dada. Ia tatap wanitanya. Sebagai suami, tentu saja ia tahu beda belaian istri pertama dan istri kedua.
"Hyaaaaa .…" teriak Hinata sambil menutup mata, "silaaaauu."
Apa-apaan respons yang telat itu? Lagi pula lampu tidur kamar ini redup, hanya ada cahaya remang-remang.
Mendapati tatapan tegas dan serius dari Naruto, Hinata bangun takut-takut, lalu duduk menghadap dan menunduk. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, sambil mengigit kuku ibu jari karena kepergok mentah-mentah oleh sang suami.
Mendapati tingkah menggemaskan istrinya ini, yang hanya memakai lingerie, tentu saja Naruto ingin langsung menerkam. Namun, kejadian ini kejahatan serius, harus diselesaikan dahulu duduk persoalannya.
"Katakan padaku apa alasanmu berada di kamar ini?" kata Naruto menunjuk ke bawah, "di kasur ini?"
Hinata kehilangan kata-kata. Rasanya ia seperti diinterogasi polisi garang yang botak dan bercodet di bawah mata.
Merasa agak keterlaluan, sikap Naruto melunak.
"Katakan Hinata!"
Bukannya bermaksud kasar. Sebelum dilangsungkan pernikanan antara Naruto dan Hinata, ada kesepakatan tidak tertulis yang wajib ditaati, termasuk dalam perkara ini. Tentu saja itu semua dibuat dengan tujuan yang baik, demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Hinata sadar, dirinya salah, "Maafkan aku."
"Iya," ucap Naruto lembut.
"Hmm …."
"Bicara saja! tidak akan ada yang memarahimu, Hinata."
Kemudian Hinata menceritakan perang batin yang jadi awal mula ia ke sini, mengetuk pintu kamar, bicara dengan Mei, lalu Mei yang mengambil baju tidurnya dan meninggalkan dia sendirian di dalam selimut. Tak ketinggalan curhat Mei tentang gairah seksualnya.
Setelah Hinata bercerita, tahu hasilnya apa?
Naruto tertawa terpingkal-pingkal. Menungging di atas kasur, kepala dia tekan ke bantal demi menahan suara tawa tapi tak berhasil. Saking kerasnya tertawa, Naruto menekan erat perutnya yang sakit dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan menepuk-nepuk kasur.
Lelah tertawa, Naruto berhenti sendiri. Meski harus sepuluh menit lamanya Hinata menunggu, dengan wajah cemberut karena malu tentu saja.
Tiba-tiba saja, hawa udara kamar ini berubah. Hinata dapat merasakan bulu kuduknya berdiri.
"Nee, Hinata."
Ia lihat suaminya berdiri di kasur, dengan tangan terkepal di depan dada, juga bibir yang mengulas seringaian keji. Hinata meneguk ludah kasar.
"Sekuat itu keinginanmu menunggang kuda. Baiklah, malam ini aku akan jadi kudamu sampai kau puas. Kuda terkuat dan terliar yang tak bisa kau lupakan selamanya."
"Kyaaaaaaaa .…"
Hinata ditindih tanpa aba-aba.
Hinata meracau tak jelas karena beribu serangan mendera.
Pasti semua penghuni rumah akan bangun, andai kamar ini tak kedap suara.
TAMAT
.
.
.
Quote hari ini:
~Kebenaran memang menyakitkan, tapi harus disampaikan~