"The Foodie Vloger"
A story by Fureene Anderson
BBB is own of Monsta
.
Warning : Plotless, Typo, dan kejanggalan yang bisa kamu temukan di sini ehee.
.
.
.
Drabble ini dibuat dari prompt "Makanan"
.
.
.
enjoy reading ...
Makanan itu seni. Bumbu, citarasa, tekstur, aroma, platting. Apabila semua unsur terkonsep sempurna, maka sajian sederhana seperti nasi goreng pun dapat menjadi hidangan berkelas yang menggugah selera.
Pelajaran itu Ying dapatkan setelah menetapkan hati menjadi foodie vloger. Sebuah perjalanan petualangan mengungkap rahasia di balik sepiring makanan. Berbekal kemampuan tata boga yang ia dapat sejak bangku SMP, juga hobi makan yang tak berkesudahan, Ying mampu mengemas konten videonya dengan apik dan menarik. Ditambah wajah cantik dan perawakan yang langsing dan mungil, Ying mampu mendapat jutaan follower dalam sepekan sejak debutnya akun milik Ying di UTube.
Halilintar tidak akan protes mengenai karir dan hobi kekasihnya. Ia cinta tanpa syarat pada Ying. Rela mengabdikan diri sebagai budak cinta demi kebahagiaan gadis itu seorang.
"Kamu mau makan berapa banyak lagi? Ini udah piring kamu yang ketiga, Ying."
"Nggak tau, aku masih belum kenyang. Terang bulan yang di sana aja belum aku coba," kata Ying seraya menggigit tusuk sate ikannya.
Terkadang Halilintar sampai tidak habis pikir dengannya. Bukan hanya di depan layar, kebiasaan makan Ying dibalik layar juga mengerikan.
Kencan bagi Ying bukan di mall, menonton film atau berdiskusi di taman hingga larut malam. Kencan bagi Ying adalah menyusuri jajanan kaki lima, mencicipi makanan satu per satu, dan duduk di sebuah pondok sambil berdiskusi ringan tentang makanan.
Halilintar nomor dua.
Makanan nomor satu.
Sabar. Memang ketulusan cinta itu dilihat dari seberapa sanggup ia bertahan dalam kerelaan.
"Kamu nggak makan, Hali? Ini enak lho. Kapan lagi coba kamu nemu streetfood korea di sini? Sumpah, aku nggak bohong. Kamu harus coba. Pasti ketagihan!"
Ying menggigiti corndog dan memainkan kejunya naik-turun. Wajahnya merona begitu makanan tersebut menyentuh lidahnya.
Mata Halilintar hanya mengawasi gadis itu lurus-lurus. Ying tidak begitu suka olahraga. Namun pertanyaan itu benar adanya. Bagaimana bisa tubuh Ying tetap stabil dengan mengonsumsi makanan dengan porsi berlebih setiap hari?
"Nggak deh," tolak Halilintar, menggeleng. "Ngeliat kamu makan aja aku udah kenyang duluan. Lagian ini nggak sehat, Ying. Daripada makan di sini, mending kita makan di restoran aja."
"Nggak sehat emang," sahut Ying. "Tapi enak. Murah lagi."
Kalau sudah begitu Halilintar hanya menghela napas. Ying memang tidak seperti vlogger kebanyakan, yang mengutamakan gengsi dan harga diri. Namun tetap saja, semurah-murahnya Ying makan, Halilintar tetap akan menguras dompetnya dalam-dalam.
Ying sudah meletakkan piring streetfood-nya yang ketiga.
"Kamu tunggu di sini sebentar ya, aku mau beli terang bulan dulu."
Halilintar ingat, ada yang tertinggal di laci kamarnya.
.
.
.
Hobi makan Ying ternyata berimbas baik pada kemampuannya dalam mencicip rasa. Meski tak begitu lihai dalam memainkan pisau dan spatula, lidah Ying cukup peka dalam memilah mana rasa berkualitas mana rasa ala-ala.
"Enak." Halilintar mengangguk, menoleh pada Gempa setelah mencicip kari buatannya. "Rasanya udah pas, nggak keasinan atau hambar kayak kemarin."
Mendapat pujian, Gempa nyengir seraya menggaruk pipinya. "Ini karena Ying sih," mata cokelat itu tertuju pada gadis yang tengah menyantap sepiring kari seraya merekam dirinya sendiri. "Dia yang kasih aku masukan rasanya harus gimana, kurang apa. Dia bener-bener pakar makanan ya? Kayaknya aku bakal rekrut Ying buat jadi pencicip profesional-ku."
Halilintar hanya mengawasi Ying yang tengah berkomentar tentang makanan di restoran Gempa.
"Ya coba aja kalau bisa. Ying udah banyak job."
Gempa tertawa. "Pasti bisa. Orang Cuma nyicip doang kok."
Halilintar mengedikkan bahu, dihampirinya sang kekasih yang tengah tersenyum di depan kamera yang disangga tripod mini.
"...Iya, kayak yang aku bilang. Restoran ini tuh punya banyak banget menu rumahan yang bakal bikin kalian ngiler sengiler-ngilernya. "
Halilintar menarik kursi. Agak menjarak agar dirinya tak mendapat jatah di kamera Ying. Di meja tersedia berbagai menu seperti daging cabai hijau, ayam rica-rica sandwich gulung, segelas air dan segelas susu.
"Oke. Sekarang aku mau review soap sandwich gulung ini," kata Ying. Gulungan alumunium foil itu diulurkan tepat di depan kamera. Ying memastikan agar gambarnya fokus dengan menaruh telapak tangan di belakang objek. "Katanya sih ini menu andalan restoran ini. Ngomong-ngomong maaf banget, di mejaku cuma ada makanan berat. Tapi tenang aja, habis ini aku juga bakal review dessert-nya kok."
Halilintar mendengkus, tersenyum miring. Walau ia berada di sampingnya, namun fokus gadis itu benar-benar tak terganggu.
"Oke. Kita mulai aja ya?" Ying justru tak sabar sendiri. Bungkus alumunium foil itu kemudian dibuka perlahan. Wajah Ying memerah begitu gulungan roti dengan kubis dan sayuran tebal menyembul dari dalamnya. "Wah ini kayaknya enak deh! Kalau dari porsinya, segini aja udah cukup kok buat makan siang."
Halilintar masih mengamati. Ying menggigit rotinya perlahan. Kubis-kubis itu dibaluri dengan mayonaise dan saus yang meleleh. Lidah Ying menjilat bibir, membersihkan sisa kubis yang menempel di mulutnya. Wajah merahnya yang semula perlahan mulai normal. Gadis itu memejamkan mata seiring lidahnya yang tak berhenti mencecap.
"Asin," komentar Ying. "Mungkin buat kalian ini nggak begitu asin. Cuma buat aku yang nggak begitu suka asin, ini rasanya udah asin banget."
Mata Ying melirik sekitar. Gempa dari jauh hanya menaikkan alis saat beradu pandang dengannya.
"Tapi .. untuk teksturnya, dia dapet banget," tambah Ying lagi. "Warnanya juga menggoda. Dan kurangnya ya cuma satu itu. Keasinan."
Ying masih menjelaskan panjang lebar tentang sandwich gulung yang ia genggam. Mendorong kursi, Halilintar beranjak menghampiri Gempa. Mereka berdiskusi sejenak sampai Ying bangkit dari kursinya. Gadis itu melangkah seraya menggenggam sandwich gulung yang tersisa.
"Gimana? Udah?" tanya Halilintar.
Ying justru mengulurkan sandwich gulung pada Gempa.
"Asin banget, Gem. Kamu pakai garem berapa sendok sih?" tanya Ying. Gempa menerima sandwich dari Ying dengan bingung. "Terus juga kubisnya masih keras dan mentah gitu. Kamu kurang lama numis kayaknya. Terus ... Sebelum ditumis ada baiknya kalau kubis sama wortelnya dipijet dulu, jadi agak empuk pas matang."
Gempa menggigit kecil sisa roti dari Ying, matanya sontak membeliak. "Oh iya, bener. Kok bisa asin gini ya?"
"Ya kan? Kamu bisa kurangin garem-nya, tambah lada kalau perlu. Supaya nggak asin doang."
"Oh, oke. Makasih, Ying!" Gempa tersenyum, kalem.
Ying mendongak pada kekasihnya, dan tersenyum. "Ada lagi yang harus hamba ulas, Yang Mulia?"
Halilintar menoleh pada Gempa, bertukar tatap lalu menggeleng. "Nggak. Segini cukup, kok. "
"Oke."
Ying kembali melangkah. Halilintar memperhatikan punggungnya. Ia kembali menoleh pada Gempa.
"Tenang aja, review Ying jujur. Habis ini pastiin kamu perbaiki rasa makanan kamu. Soalnya, fans Ying suka langsung datengin tempat dia nge-vlog."
"Oh gitu," Gempa mengerjap. "Hebat juga. Tapi makasih banyak ya, udah minta Ying buat review tempat ini."
"Ya kan buat bantu juga, asal kamu nggak lupa apa yang aku minta waktu itu."
Kening Gempa menekuk sesaat lalu tersenyum lebar. "Bisa kok. Kamu bawa cincinnya?"
Halilintar tersenyum, ia merogoh saku jaketnya. Tangannya menggenggam sesuatu yang kemudian diulurkan pada Gempa.
"Pastiin kamu taruh di posisi yang bener ya?"
"Siap."
Gempa berlalu. Halilintar kembali memperhatikan Ying yang tengah membuat video. Kali ini ia tengah mengiris ayam dengan sendok dan garpu. Wajah Ying memerah saat mengunyah.
Halilintar menarik napas. Ia berharap wajah Ying lebih merah saat menu yang ia pilihkan datang ke mejanya.
.
.
.
FIN
A/N : Itu aja sih ehe. Semoga suka. Kalau nggak juga nggak apa-apa. Nggak maksa kok
Ms. JeonJungkook

4