Disclaimer: All characters belong to Masashi Kishimoto. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.

Warning: au; miss-typos, kinda rush, and other stuffs.

Note: ... alo? it's been a very long time and i miss this kind of stuff, and oh, i'm come back with this fluffy thingy (yES it's not angsty guys huhu) sooo happy reading?


[ wondrous day ]

.


Sasuke mengetuk pintu di depannya dengan tidak sabar.

Kepalanya pening dan rasa-rasanya ia tak lagi sanggup berdiri lebih lama dari ini. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari ketika Sasuke selesai bertugas. Operasi dadakan berhasil menyita pikiran dan emosinya. Ia tak pernah menyukai ini, bergegas di malam hari, menyiapkan peralatan dengan terburu, dan berkutat pada organ-organ seseorang yang menyesakkan. Dan, oh, ini akhir pekan. Beruntungnya—tak sampai lima detik kemudian, pintu terbuka dan satu sosok yang ia harapkan muncul di sana. Dengan netra melebar dan kerutan di kening.

"Sasuke?"

Sasuke mengangkat bahu, meringis singkat dan segera melangkah masuk. Ia curi satu kecupan di bibir itu, meski rasanya ia perlu beberapa lagi kecupan-kecupan lainnya. Tapi, Sasuke tak bisa lebih dari ini, ia harus menghilangkan peningnya dulu, hingga memutuskan untuk bergegas ke kamar mandi di kamar itu, dan membiarkan gadis di belakangnya berteriak bingung sembari menutup pintu.

Selang beberapa menit kemudian, Sasuke selesai membersihkan tubuhnya. Ia tahu ini terlampau larut untuk membersihkan diri. Namun hanya ini yang mampu membuat pening di kepalanya meringan. Mungkin ia juga butuh semangkuk sup hangat, serta teh hitam yang diseduh tanpa gula. Hanya saja, ketika ia menemukan kepala merah muda Sakura di tempat tidurnya, ada kehangatan lain yang lebih menjanjikan sehingga Sasuke memutuskan untuk melangkah mendekatinya.

Gadis itu belum tidur. Di antara cahaya lampu yang meredup, ada cahaya lain yang memenuhi ruang kamar. Televisi masih menyala, dengan suara sayup yang hanya bisa didengar jika mereka fokus kepada benda itu. Jika Sasuke tidak lelah, mungkin ia akan mengutukinya dan marah-marah, menasihati dengan dalih bergadang untuk menonton film itu tidak ada manfaatnya. Tapi, pasti Sakura akan balas marah, tidak mau kalah dan berakhir mengusir Sasuke dari apartemennya ini.

Jadi, Sasuke diam saja, memerhatikannya dari sebelah televisi.

"Apa?" Sakura menyahut. Wajah galaknya membuat Sasuke tersenyum. "Kau ini, ya, suka sekali muncul tiba-tiba."

"Kukira kau akan senang."

Sakura memutar matanya. "Tidak di pagi buta seperti ini."

Sasuke menghela napas. Tersenyum lagi. Mungkin gadis itu memang memiliki magis, sebab Sasuke lupa entah ke mana hilangnya ribuan beban di bahunya tadi ketika ia melihat wajah Sakura.

Sasuke kemudian memutuskan untuk melangkah lebih dekat. Mengabaikan delikan Sakura yang semakin menjadi, meski Sasuke tahu ini tak akan bertahan lama. Televisi masih setia menyala, James dan Alyssa di layarnya, tengah menyaksikan seorang pria tertusuk pisau mereka. Wajah dan baju Alyssa penuh darah, namun mereka tersenyum. Sakura seharusnya tidak menyukai serial ini, tetapi Sasuke tahu ia bertahan sampai tengah malam hanya untuk melihat James yang (mengaku) psikopat itu. Sakura bilang, itu untuk inspirasi bukunya, alasan yang sama ketika gadis itu menggilai Steve Harrington ataupun Peter Kavinsky yang membuat Sasuke kesal.

Sakura punya banyak mimpi. Dan ia menuangkannya dalam tulisan-tulisan indah di bukunya. Bukan tipe cerita kesukaan Sasuke, memang. Dongeng penuh mimpi, tapi, selalu ada hal yang menghangatkan ketika Sasuke membaca tulisan Sakura. Dan baginya, itu cukup. Di sela shift malamnya, atau jam-jam sibuknya, ketika Sasuke tak bisa menemui Sakura atau tengah menunggu teleponnya yang tak kunjung datang, buku Sakura sudah cukup menjadikan presensi gadis itu terasa dekat.

Maka Sasuke berpikir, ketika pada akhirnya ia punya kesempatan untuk bertemu, Sasuke rasanya ingin berlari saja. Supaya cepat sampai. Meski ketika sampai, ia akan mendapati wajah sewot Sakura, bertanya kenapa ke sini, kenapa tidak pulang, dan Sasuke tetap akan diam karena mereka sudah tahu jawabannya. Karena pertanyaan itu sudah terlalu lama berepetisi dan berakhir menjadi retoris.

Sasuke berhenti ketika sampai di samping gadis itu. Menambah beban pada tempat tidur Sakura yang berukuran kecil. Lampu redup semua, hanya cahaya layar televisi yang membantu penglihatan Sasuke melihat rambut merah muda Sakura, juga wajahnya yang tak terpulas apa-apa. Ia menarik tangannya, membuat gadis itu tak lagi bersandar di kepala tempat tidur—berpindah telak, kepada bahunya yang meringan.

Sasuke mengecup kepala Sakura. Membiarkannya bergerak tak nyaman dan mengambil posisi sekian kali demi tak melewatkan potongan-potongan scene di televisi. Sasuke terkekeh. Sengaja membawa semakin dekat, mengecupnya lagi, kini di dahi, kemudian pipi, dan sudut-sudut bibir.

Ketika Sasuke mulai mengecup bibirnya, Sakura mulai keberatan. Ia menggumam kecil, "Waiiit a minute," dan kembali berfokus pada televisi.

Sasuke mendecak pelan, mengalah, dan membaringkan tubuh. Benda elektronik itu selalu berhasil mengalahkannya.

Menghela napas, ia menatap pada langit-langit Sakura yang gelap, menghitung bintang-bintang tak terlihat dan mulai mengantuk. Mungkin, memang begini saja. Ini sudah cukup. Keberadaan Sakura di sebelahnya, sayup suara kecil dari serial yang ditonton gadis itu, tepukan-tepukannya yang terkadang datang di pipi Sasuke. Itu semua sudah cukup menghilangkan beban-bebannya. Meski terkadang ia menginginkan lebih, sentuh-sentuh kecil di kulit mereka, senyap yang digantikan suara kecup di malam hari, dan senyum Sakura yang terasa di atas bibirnya.

Ketika ia hampir terlelap, Sasuke merasakan sesuatu yang halus di sisi wajahnya. Ia membuka sebelah mata, menemukan wajah Sakura di sana, menyeringai kecil dan mengecup pipinya.

"Jangan ngambek," ujarnya. Tawa James dan Alyssa masih terdengar sayup dari televisi, tapi senyum Sakura di atas wajahnya membuat Sasuke tak ingin mendengar apa-apa lagi. "Aku juga kangen, kok," ujar gadis itu lagi, sebelum akhirnya mengecup bibir Sasuke.

Sasuke tak pernah merasa refleksnya lebih cepat daripada ini, ketika tubuhnya menegak dan tangannya menyambar pinggang Sakura. Mengecupnya hingga ia tak ingat apa-apa lagi. Ia terlalu mengantuk untuk semua itu, namun, ia masih bisa merasakan senyum Sakura di atas bibirnya (akhirnya), usapan lembut di punggung hangatnya, hela napas di ceruk lehernya. Ia masih bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak, cahaya televisi yang berkelap-kelip, dan tangan Sakura di sekitar tubuhnya.

Ia menghabiskan banyak waktu berat untuk berada di waktu-waktu seperti ini, dan bagi Sasuke, ia tidak apa-apa. Meski ia perlu melakukan puluhan operasi, meski Sakura akan marah berkali-kali, meski kasur Sakura terlampau sempit untuk mereka isi, Sasuke yakin, semua akan ia lewati dengan senang hati.

Sasuke hanya ingin kehangatan seperti ini di setiap hari.

.

.

[]


credits:
james and alyssa (the end of the fcking world)
steve harrington (stranger things)
peter kavinsky (to the boys i've loved before)
all hail, netflix series!