Haloo... Surprise! Siapa yang beruntung mendapati saya update Jumat ini ? Hehehe... Saya update sesuai permintaan sang guest-san yang minta update cepat2 XD

Mengingat sekarang hari puasa pertama. Selamat berbuka dan semoga bisa menjalankan puasa dengan keadaan sehat walafiat.

Okeey... Inilah update kejutan yang kalian tunggu-tunggu. Enjoy!

.

.

Chapter 6

.

.

Bagi anggota Deimon Devil Bats, melihat Mamori dengan Hiruma berdua saja di ruang klub bukan hal yang aneh bagi mereka. Karena mereka semua tahu, sesering apa pun mereka bertengkar, keberadaan Mamori memang selalu tidak lepas dari Hiruma. Tapi lain halnya dengan anggota The Wizards. Mereka tahu kalau Mamori dan Hiruma sama-sama berasal dari SMA yang sama dan mereka adalah bekas Kapten dan Manajer dahulu. Tapi tidak ada yang mengira kalau mereka ternyata seakrab ini. Karena kenyataannya, Hiruma dan Mamori jarang terlihat bicara bersama, mengobrol atau hanya berduaan saja jika ada orang lain di sekitarnya.

Hiruma mendengar suara-suara berisik di depan pintu. Beberapa anggota tim masuk ke ruangan klub dan melihat ke arah mereka. Seketika itu mereka langsung terdiam dan membuat Hiruma menengok ke arah mereka.

"Kenapa, heh?" tanya Hiruma.

Hiruma lalu melihat ke arah pandang mereka ke Mamori yang tengah tertidur dan bersandar di lengan Hiruma.

"Ya ya... Manajer sialan ini kembali lagi. Jadi tidak usah heran melihatnya," ujarnya sambil kembali ke laptopnya.

Bukan itu. Fakta bahwa melihat Mamori kembali memang membuat mereka senang. Tapi bukan itu alasannya yang membuat mereka terpaku dan menghentikan langkahnya. Ya. Mereka masih terheran-heran, kalau ternyata Mamori bisa senyaman itu berada di dekat Hiruma. Berdua saja. Bahkan mereka sendiri yang sesama laki-laki merasa canggung jika bersama Hiruma. Karena aura lelaki itu yang begitu menusuk. Tapi Mamori. Dia bahkan bisa terlelap dan bersandar dengan nyaman di sebelah Hiruma.

"Wah wah... Tumben kalian cepat datang," sahut Segawa di belakang mereka berdiri. "Ada apa?"

"Oh Kapten," ujar salah satu dari mereka dan membuka jalan untuk Segawa lewat.

Segawa melihat ke Hiruma dan Mamori yang duduk di sofa. "Wah... Anezaki-san kembali," ujarnya sambil masuk dan duduk di kursi panjang. Sementara anggota yang lainnya juga ikut masuk dan menuju ke ruang ganti. "Kau yang membujuknya Hiruma?"

"Kau pikir aku kurang kerjaan, heh?"

"Yah... Apa pun itu. Terima kasih sudah membawanya kembali," sahut segawa sambil bangun dari duduknya dan menuju ruang ganti.

Mamori terbangun mendengar suara-suara. Dia membuka matanya perlahan dan menyadari ke sekelilingnya. Hiruma menoleh ke arahnya dan bertatapan dengan mata Mamori.

"Sudah bangun, heh?' ujar Hiruma. "Bagaimana kau tidak gemuk kalau habis makan langsung tidur."

Mamori mengangkat kepala dari lengan Hiruma dan membetulkan posisi duduknya. "Harusnya kamu bangunkan aku," keluh Mamori.

"Kalau nanti aku bangunkan sebelum waktunya, kau pasti marah-marah," balas Hiruma.

Mamori menutup dirinya dengan jaket saat angin dari pintu masuk menghembus ke arahnya.

"Aku cuci muka dulu," ujarnya. Dia lalu bangun sambil memakai jaket itu dan berjalan ke luar ruangan klub.

.

.

"Akhir pekan nanti ada pertandingan persahabatan antara Enma dengan White Knight. Apa ada di antara kalian yang ingin menonton?" tanya Pelatih sebelum memulai latihan.

Pelatih melihat ke anak buahnya yang sama sekali tidak ada minat dengan pertanyaan itu. "Hosokawa? Kau mau menemani Manajer menontonnya?" tanya Pelatih lagi.

Ikkyu memasang wajah tidak tahu harus berkata apa. Kenyataan bahwa dia senang karena bisa berdua saja dengan Mamori membuatnya kebingungan. Anggota lain hanya menggelengkan kepalanya heran melihat tingkahnya.

"Oke... Hosokawa dan Hiruma. Kalian bertiga akan bertugas menonton pertandingan tersebut."

Hiruma melihat ke Pelatih saat mendengar namanya disebut.

Ikkyu hendak protes karena kenapa dia harus bertiga dengan Hiruma. Namun, barisan terlanjur dibubarkan untuk segera memulai latihan.

Mamori berjalan menghampiri Hiruma dan menepuk pundaknya. Hiruma pun menoleh.

"Padahal aku sudah bilang pada Pelatih kalau aku akan menontonnya bersamamu saja," ujarnya, hampir seperti berbisik.

Hiruma menatap ke Mamori. "Dan apa yang membuatmu berpikir aku akan setuju menemanimu tanpa persetujuanku dulu, heh?"

Mamori balas menatap tajam. "Tentu saja karena kamu tidak mungkin membiarkanku jalan sendirian kan? Kamu tidak mungkin tega."

"Itu karena Pelatih ragu kalau hanya kalian saja. Dia ragu kalian akan pergi menontonnya atau malah pacaran," sahut Agon di belakang mereka.

Mamori menoleh melihat Agon. "Kamu juga mau ikut Kongo-san?" ajaknya kepada Agon seolah tidak menggubriskan perkataannya barusan.

"Tidak terima kasih," balas Agon. "Lebih baik aku bersantai dan menikmati waktu luangku. Kau mau ikut Manajer? Kita bisa bersenang-senang," ajaknya sambil merangkul pundak Mamori.

Mamori balas tersenyum. Dia lalu melepaskan diri dari Agon dan berpindah ke belakang Hiruma, seolah berlindung disana. "Terima kasih, Kongo-san."

"Jangan macam-macam dengannya, brengsek," sahut Hiruma mulai terpancing amarahnya.

"Kenapa? Kau tidak senang?" balas Agon dengan senyum menjengkelkan.

"Kau—"

Mamori menghentikan Hiruma dengan menarik lengannya agar menjauh dari Agon. "Ayo Hiruma segera mulai latihan," ajaknya. "Kamu juga Kongo-san," ujar Mamori tersenyum dan menganggukkan kepala seraya pergi darinya.

Mamori berhasil membawa Hiruma ke pinggir lapangan. "Tenangkan dirimu. Jangan mudah terpancing."

Hiruma menatap kesal ke Mamori. "Jangan terlalu ramah padanya bodoh. Untuk apa kau senyum-senyum di depannya."

"Lalu kamu mau aku ketus padanya? Dia malah akan tambah seram," bela Mamori.

"Sudahlah. Jangan dekat-dekat dengannya," balas Hiruma lalu berlari masuk ke lapangan.

Mamori menghela napas. "Tanpa kamu suruh pun, aku tidak mau dekat-dekat dengannya."

.

.

Maaf Anezaki-san. Aku ada keperluan mendadak pagi ini. Aku tidak bisa ikut. Maaf ya.

Mamori membaca pesan yang baru saja diterimanya dari Ikkyu. Dia lalu melihat ke Hiruma yang berdiri di depannya yang sudah menjemput Mamori di rumahnya.

"Ada apa?"

"Hosokawa-kun tidak bisa ikut," jawab Mamori. Entah dia harus senang atau kecewa. Tapi karena rencana awalnya dia hanya ingin mengajak Hiruma, jadi tidak masalah baginya.

"Keh. Kalau begitu kita naik motor saja," ujarnya.

Sesaat Hiruma menatap ke Mamori dan mendapati gadis itu yang menyadari arti tatapannya.

"Tenang saja Hiruma. Bajuku lengan panjang," sahutnya sambil merentangkan kedua tangannya.

Hiruma berdecak dan menggelengkan kepalanya.

Dia memberikan helm ke Mamori dan memakai sendiri helmnya. Mereka lalu naik ke motor melajukan motornya ke stadion universitas Enma. Jarak yang ditempuh dalam waktu yang cukup lama, sekitar sembilan puluh menit.

Akhirnya mereka sampai dan masih ada waktu dua puluh menit sampai pertandingan dimulai. Mereka sudah berjalan masuk ke stadion untuk mencari kursi strategis. Penonton yang lain pun sudah mulai berdatangan. Lumayan ramai karena ini adalah pertandingan persahabatan perdana di musim ini. Tentunya orang-orang dari berbagai universitas juga datang menontonnya. Dan Mamori tidak bisa membayangkan jika nanti Saikyoudai Wizards melakukan pertandingan perdananya. Tentunya akan sangat ramai. Dan lawan tandingnya pun pasti akan mengantri.

Pertandingan segera dimulai. Para pemain telah memasuki lapangan. Peluit panjang menandakan mulainya pertandingan. Mamori membuka roti yang dibelinya di jalan tadi. Dia lalu membuka satu memberikannya ke Hiruma. Setelah itu dia membuka untuknya sendiri.

Hiruma menonton pertandingan dengan santai. Walau di dalam otaknya sudah merekam setiap gerakan dan celah-celah lawan. Sesekali dia berdiskusi dengan Mamori dan meminta pendapatnya. Dia juga meminta Mamori mengingat setiap perkataannya. Karena itu, Mamori sedia catatan kecil di tasnya..

Enma kalah telak dari White Knight. Tidak ada yang menyangka bahwa pertandingan akan berat sebelah seperti ini. Tapi hal ini bisa jadi data yang bagus. Karena Hiruma bisa melihat tentunya White Knight ternyata punya strategi baru walaupun itu belum lima puluh persen diperlihatkannya.

"Ayo," ajak Hiruma.

Mamori pun ikut berdiri dan berjalan di belakang Hiruma untuk keluar dari stadion.

"Apa kau lapar?" tanya Hiruma.

"Hiruma!" panggil Kurita dari pinggir lapangan.

Dia lalu lari menghampiri Hiruma dan Mamori.

"Ada Mamori-chan juga! Kalian sudah berbaikan?" tanyanya. "Syukurlah."

"Jelek sekali permainanmu gendut," sahut Hiruma.

"Jangan bicara seperti itu Hiruma. Kau tahu aku grogi sekali," jawab Kurita.

"Semangat Kurita-kun. Latihan lebih giat lagi," ujar Mamori tersenyum menyemangati.

Kurita tersenyum ceria. "Terima kasih Mamori-chan!"

"Kurita!" panggil seseorang dari tengah lapangan. Kurita lalu menoleh. "Ayo!"

"Aku harus ke dalam dulu. Dah Hiruma, Anezaki-san!"

"Sampai nanti Kurita-kun," balas Mamori dan melambaikan tangannya.

Hiruma dan Mamori lalu melanjutkan jalannya lagi. Penuhnya para penonton membuat mereka berjalan berdesakkan. Mamori melingkarkan tangannya ke lengan Hiruma sembari berjalan beriringan bersamanya.

Hiruma menunduk melihat lengannya digandeng Mamori. "Memang kau anak kecil, heh?"

Mamori yang berjalan sambil menghindari kerumunan, menyadari pertanyaan Hiruma. "Aku takut kamu hilang."

Hiruma tersenyum meremehkan. "bilang saja kau yang takut nyasar."

Mamori mengangkat bahunya tidak peduli mendengar kebenaran yang dikatakan Hiruma. "Kalau aku hilang di kerumunan, kamu pasti meninggalkanku."

Hiruma menoleh memandang ke Mamori. "Rasanya baru kemarin kau bilang kalau 'aku tidak mungkin tega membiarkanmu jalan sendirian'"

"Yah... Siapa tahu kamu berubah pikiran," balas Mamori.

Hiruma lalu menurunkan tangan Mamori dan berganti menggengam tangannya sambil melihat ke jalan di depan. "Dasar bodoh. Kau pikir aku tega."

Mamori menunduk melihat tangannya yang digenggam Hiruma. Dia merasakan tangan Hiruma yang hangat, yang membuat hatinya ikut menghangat. Mamori hanya tersenyum lembut mendapati kelembutan Hiruma.

Si iblis ini memang selalu kejam. Tapi Mamori mengenalnya. Dia adalah iblis yang hangat. Yang selalu mengomel dan mengkhawatirkannya. Walau kata orang Hiruma terlalu mengandalkan Mamori, tapi bagi Mamori Hiruma lah yang selalu bisa diandalkan. Di saat dia tidak bisa minta tolong orang lain, Hiruma akan siap menolongnya.

Ya. Mamori tentu tahu itu. Hiruma tidak akan mungkin tega meninggalkannya.

.

.

Hari sudah mulai gelap saat mereka sampai di depan rumah Mamori. Mamori turun dari motor dan melepaskan helmnya.

"Mau masuk?" ajak Mamori sambil memberikan helmnya.

"Aku langsung pulang saja," jawab Hiruma.

"Hati-hati. Terima kasih Hiruma," ujar Mamori dengan senyum tulusnya.

Hiruma terdiam memandangi Mamori. Memperhatikannya beberapa detik.

Mamori menyadari tatapan Hiruma dan bertanya, "ada apa?"

"Kenapa kau selalu tersenyum seperti itu, heh?"

Mamori bingung dengan pertanyaan itu. Entah apa yang dipikirkan Hiruma sampai dia bertanya hal itu, membuat Mamori tambah bingung.

"Memangnya ada yang salah?" tanya Mamori.

"Tidak ada yang salah. Tapi apa kau tidak pegal tersenyum terus," jawab Hiruma.

"Jadi maksudmu, aku harus bermuka masam terus begitu?" balas Mamori lalu memasang wajah masamnya. "Seperti Musashi-san?"

"Yaah... Tidak seperti dia juga."

Mamori melipat kedua tangan di depan dadanya. Siap untuk melancarkan protesnya. "Dan kenapa pula kamu keberatan Hiruma? Ini wajah, wajahku. Terserah aku mau pasang wajah seperti apa."

"Entahlah. Menyebalkan saja melihatmu tersenyum begitu."

Mamori terdiam mendengar perkataan Hiruma. Ya. Entah kenapa itu terasa menyakitkan.

"Oke. Aku tidak akan tersenyum di depanmu," sahut Mamori, terdengar dingin dari suaranya. "Kamu tidak perlu sejahat itu bilang kalau tidak suka senyumanku."

Hiruma menyadari perubahan raut wajah Mamori. "Bukan begitu maksudku."

"Pulanglah," potong Mamori. "Aku masuk dulu," lanjutnya, sudah berbalik membuka pagar, masuk ke dalam rumah, dan menutup kembali pagarnya.

"Sial!" kesal Hiruma kepada diri sendiri.

.

.

Selesai jam kuliah kedua, seperti biasa Hiruma akan menjemput Mamori setiap hari Senin ini. Dia menunggu sekitar sepuluh menit namun tidak ada tanda-tanda Mamori keluar dari kafe. Begitu pun dengan temannya.

Hiruma lalu mengambil ponselnya dan mulai menelepon Mamori. Terdengar nada sambung, tapi Mamori tidak kunjung mengangkatnya.

Hiruma lalu memakai helmnya lagi dan mulai melajukan motornya. Dia menuju perpustakaan kampus. Masih jam istirahat, jadi perpustakaan terlihat sepi dan mudah mencari Mamori. Namun kursi yang biasa ditempati Mamori kosong. Hiruma menengok ke semua penjuru tempat duduk, tapi Mamori juga tidak ada disana.

Perasaan bersalah itu datang lagi. Saat terakhir bersama Mamori kemarin malam, dia sudah punya firasat itu. Tapi dia tidak menyangka akan berakhir seburuk ini. Hiruma berbuat kesalahan lagi karena sebuah kesalahpahaman.

Rasa lelah dan berat di kepala Hiruma kian menumpuk jika sudah berurusan dengan Mamori. Hiruma tidak mengerti jalan pikiran wanita itu. Tidak bisa ditebak. Dan suka seenaknya. Ya. Mamori seenaknya mengumbar senyuman itu kepada semua orang. Hiruma hanya ingin bilang kalau dia tidak suka melihatnya tersenyum dihadapan orang lain, terkhususnya laki-laki.

Demi apapun, jika Mamori merasa Hiruma tidak menyukai senyumannya, itu kesalahan besar. Hiruma terlalu menyukainya. Itu adalah penyemangatnya. Tapi jika senyum itu ditujukan kepada lelaki lain, hanya akan membuatnya kesal. Dan Hiruma hanya ingin menyampaikan hal itu kemarin.

"Sialan..." umpatnya kepada diri sendiri.

.

.

To Be Continue

.

.

Lagi-lagi mereka bertengkar. Ya.. Ga apa-apa. Biar seru XD

Oke. Terima kasih yang sudah rajin me-review sampai sejauh ini. Sudah masuk chapter pertengahan. Jadi jangan bosan-bosan review-nya. Ditunggu.

Salam : De