A/N:
Hanya cerita yang diambil dari kehidupan sehari-hati Naruto dan Hinata. Tidak ada konflik, atau belum.
Disclaimer:
Karakter yang saya gunakan di cerita ini adalah milik Masashi Kishimoto.
ForgetMeNot09
mempersembahkan
.
.
.
Kepingan Kehidupan
.
.
.
I
Deru motor Honda Mega Pro lawas terdengar di halaman yang terbilang cukup luas. Seorang laki-laki berpakaian seragam berloreng khas tentara turun dari motor dan memasuki rumah.
"Aku pulang," ucapnya sedikit lantang.
Baru saja ia duduk untuk membuka sepatu, terdengar teriakan dari arah dapur. Jelas sekali, teriakan feminin itu adalah milik sang istri. Mendengar teriakan yang memilukan, laki-laki itu bergegas lari ke arah sumber suara.
"Hinata!"
Sudah bersiap ia dengan menarik lepas sangkur dari tempatnya. Larinya pun cukup membuktikan ia seorang prajurit infanteri.
"Ma-mas?"
Naruto tertegun melihat ternyata Hinata baik-baik saja. Bahkan ia saat ini sedang memegang sapu dengan posisi terayun di udara.
"Aku mendengarmu teriak tadi," ujar Naruto sembari menatap berkeliling, memastikan tidak ada apa pun yang membahayakan.
"A-ada kecoaaaa ..."
Naruto cengo.
...
II
"Ada apa Hinata?"
Naruto melihat Hinata yang berjalan keluar rumah sambil membawa ember berisi piring kotor.
"Air mati, Mas," jawab Hinata.
Naruto segera memakai kaus oblong dan membantu sang istri membawa ember. Mereka berjalan ke sumur umum yang terletak tepat di belakang rumah kontrakan mereka.
Naruto mulai menimba sedangkan Hinata membersihkan piring dan mencucinya.
"Hinata, kita sekalian mandi saja bagaimana?" tanya Naruto tiba-tiba
Hinata bingung, pasalnya ini kan tempat terbuka yang hanya dibatas tembok setinggi dada orang dewasa.
"Tidak mau ah Mas, malu."
"Kau mandi sambil berjongkok, aku akan berjaga. Nanti setelah selesai, gantian. Bagaimana?"
Ide cemerlang di tengah insiden matinya air, menurut Hinata. Akhirnya Hinata mengangguk dan menurut.
Untung masih subuh.
...
III
Naruto melihat ke arah ponsel sang istri yang bergetar.
"Hinata, telepon dari ibu," teriaknya dari ruang tamu.
"Iya."
Hinata datang tergopoh-gopoh. Naruto menatap geli wanita mungil itu. Pakaiannya hanya daster "kebesaran" dengan hiasan apron lusuh di depannya.
"Mas tolong gantikan goreng ayamnya sebentar."
Jantung Naruto mendadak berdegup kencang, wajahnya pucat pasi. Ia mengangguk sedikit gemetar.
Hinata yang tidak melihat perubahan mimik sang suami, mengangkat telepon dari ibunya yang tinggal berbeda kota. Cukup lama berbincang karena sang ibu mengatakan bahwa ayahnya sedang kangen. Sampai akhirnya Hinata pamit menutup telepon lebih dahulu.
Wanita itu melangkah ke dapur, dan seketika melongo.
Di sana, suaminya memakai jas hujan lengkap, helm di kepala dan tutup panci sebagai tameng. Hinata semakin nelangsa ketika dilihatnya ayam goreng di atas piring yang setengahnya gosong.
...
IV
"Hari ini piket?" tanya Hinata saat mendapati Naruto memakai seragam lengkap.
Naruto mengangguk. Lama tak ada tanggapan dari Hinata membuat laki-laki itu menoleh.
"Ada apa?"
Hinata menggeleng, tapi jelas ia tengah menggigit bibir.
"Tidak apa-apa, semoga lancar."
Mata Hinata yang menyipit saat tersenyum membuat Naruto gemas. Dicubitnya pipi tembam wanita itu, dan ditariknya wajah putih yang tengah merona, hingga bibir keduanya bertemu. Hinata merengut kesakitan.
"Mas sayang Adek," kata Naruto cepat sembari mengacak-acak puncak kepala Hinata.
Malam harinya Naruto dikejutkan dengan telepon dari Hinata.
"Halo?"
"Ma-mas, sedang apa?"
"Jaga kesatrian, ada apa?"
"Temani ngobrol sampai aku tidur."
Seketika Naruto ingat, istrinya penakut.
...
V
Sepasang insan itu saling menatap serius. Sesekali melirik ke arah lantai. Ketegangan jelas terasa, bahkan jika dianimasikan, mungkin akan ada awan kelabu di sekeliling mereka.
"Hinata!" geram Naruto dengan suara rendah menakutkan.
Namun Hinata tak gentar, ditantangnya sang suami dengan menatap tak kalah tajam ke arah laki-laki itu. Tangan gemulai sang wanita mulai mengayun ke atas dan dengan kecepatan tinggi mengarah ke sasaran.
"Aku menang lagi," seringai Hinata penuh kemenangan sambil membanting kartu di tangannya.
"Aarrghhh!"
Sepertinya akan semakin tebal bedak di wajah Naruto.
...
VI
Naruto membanting ponselnya ke kasur. Bosan, dia terus-terusan kalah dalam permainan daring yang diikutinya.
"Maass."
Tiba-tiba terdengar panggilan Hinata dari arah ruang tamu. Ia pun bergegas menemui Hinata.
"Ada apa Hinata?"
"Sini, duduk di sebelahku."
Naruto mengerutkan dahinya keheranan, tapi tetap saja ia tak punya alasan untuk menolaknya.
"Hmm?"
"Temani aku!"
Cengiran pucat Hinata cukup memberitahu Naruto apa yang sedang dilakukan wanitanya.
"Kalau penakut tidak usah baca cerita horor lah! Dasar!"
Hinata mesam mesem.
...
VII
Kepanikan terjadi di rumah Namikaze Naruto. Terdengar teriakan kesakitan yang membuat siapa pun yang mendengarnya merasa pilu. Naruto terlihat keluar tergopoh-gopoh sembari menggendong Hinata dan kemudian menaikkannya ke angkot yang sudah disewa. Di belakang mereka Kushina dan Hikari tak kalah panik, dan di belakang kedua wanita itu pula Minato dan Hiashi berjalan santai.
"Tidak bisakah kalian lebih cepat?" teriak Kushina.
Kedua pria paruh baya itu hanya tersenyum kikuk.
Sesampainya di rumah Bidan Sakura, Hinata segera dibawa ke ruang persalinan. Tak butuh waktu lama bagi wanita itu untuk mengejan hingga sebutir kepala kecil muncul dari vaginanya. Naruto yang ada di samping Hinata, hanya mampu terdiam dan ...
pingsan.
...
VIII
Naruto terbangun karena suara tangisan bayi. Dibukanya mata itu setengah mati. Bagaimana pun ia lelah, latihan dengan kesatuan tetangga siang tadi membuatnya nyaris kehabisan tenaga. Diliriknya sang istri yang tengah tertidur pulas di sampingnya. Laki-laki itu merasa tidak tega membangunkan. Hinata pasti jauh lebih lelah dari dirinya. Sejak awal malam pun, ia masih melihat wanita itu begitu telaten menyusui sang anak.
Naruto bangkit dan menghampiri bayinya. Niatnya jika memang hanya pipis, ia akan bertindak sendiri tanpa membangunkan Hinata. Namun jika ternyata bayi itu lapar, apa boleh buat, Hinata terpaksa dibangunkan. Kan tidak mungkin ia menyusui?
Menit itu Naruto dibuat menyesali keputusannya. Ternyata sang bayi buang air besar, dan Naruto sama sekali tak tahu bagaimana menyikapi persoalan yang menurutnya rumit ini.
...
IX
"Mas?"
Hinata terbangun mendengat suara kasak kusuk di dekatnya. Dilihatnya Naruto sedang kesulitan mengganti popok bayinya. Hinata tersenyum geli, lucu juga melihat tentara yang biasanya gagah berani menghadapi lawan kini justru kerepotan menghadapi bayi.
"Sini biar aku saja!" ujar Hinata lembut.
Naruto menghela napas lega dan menyerahkan pekerjaannya pada sang istri. Meski begitu, ia tidak mau tidur. Paling tidak ia temani dulu Hinata sampai beres mengganti popok dan menyusui.
Laki-laki itu mendadak iri, saat melihat sang bayi yang tengah menyusu ibunya. Pikiran mesumnya berkeliaran dan seenaknya mengeluh tentang jatah yang belum ia terima sejak Hinata melahirkan.
...
X
Laki-laki itu memperhatikan bagaimana Hinata membacakan cerita untuk kedua anak mereka, Boruto dan Himawari. Kadang-kadang tersenyum mengingat betapa bahagianya dirinya bisa memiliki mereka sebagai keluarga.
Lantas mata biru itu terpaku pada dua buah mangga yang teronggok tak tersentuh sejak pagi tadi. Apa Hinata tidak suka mangga? Apa anak-anak juga begitu?
Naruto berjalan ke dapur dan mengambil pisau, lalu mulai mengupas mangga dan memotong-motongnya. Belum selesai kegiatan itu, mendadak sebelah-sebelahnya terisi kumpulan manusia, Hinata dan anak-anak.
Naruto menatap bingung, sementara mereka bertiga tersenyum penuh harap ke arah mangga yang sudah terkupas.
Selesai memotong, barulah Naruto tahu, ternyata mereka menunggu ada yang mengupas dan memotongkan mangga itu.
...
XI
"Aku pulang!"
Hinata berteriak sebelum masuk rumah. Seluruh tubuhnya terasa copot akibat perjalanan bolak balik ke kota kelahirannya. Kemarin ayahnya menelepon dan meminta ia datang karena sang ibu sedang sakit. Hinata menyanggupi meski harus pulang pergi dalam hari yang sama. Pagi hari ia terpaksa menitipkan rumah dan anak-anak pada Naruto yang kebetulan sedang libur.
Mata yang setengah mengantuk itu mendadak lebar. Di hadapannya adalah kondisi rumah yang berantakan, di sana sini tersebar mainan, Boruto dan Himawari tidur telentang tak tentu arah. Ini persis kondisi pasca terjadi penyerangan.
Wanita itu mendesah lelah sebelum berjalan ke kamar dan mendapati sang suami tengah tidur pulas dengan suara dengkuran yang keras.
...
XII
"Hinata!"
Hinata merasa heran. Bukankah harusnya Naruto sedang piket? Kenapa mendadak dia pulang dengan muka merah luar biasa?
"Mas kenapa?" tanyanya.
Disambutnya sang suami dengan membantu melepas baju seragam. Dahinya berkerut saat mendapati malah Naruto langsung melucuti seluruh baju dan menarik Hinata ke kamar.
Tanpa ba bi bu, Naruto mendorong Hinata ke ranjang dan menyerangnya. Hinata yang masih kebingungan, menuruti saja kemauan suaminya karena ini adalah kewajiban bukan? Namun untung saja anak-anak sudah tidur.
Esok harinya barulah Hinata tahu alasan di balik sikap suaminya.
"Ada pertunjukan dangdut erotis di dekat kantor, dan Naruto bukannya ikut maju memberikan saweran malah lari terbirit-birit."
Itu penjelasan Sasuke, teman piketnya semalam.
...
XIII
Hinata meringis saat pijitan tangan Naruto di punggungnya tepat mengenai bagian yang sakit. Sesekali ia bahkan melenguh.
"Lagipula siapa suruh kamu betulkan genteng sendiri Hinata?" tanya Naruto kesal.
Pulang-pulang tadi ia disuguhi kenyataan bahwa istrinya baru saja jatuh dari tangga kayu.
"Aku kan takut hujan terlanjur turun sebelum genteng dibetulkan."
"Kau bisa meneleponku."
Hinata diam. Aslinya dia tidak mau mengganggu Naruto saat sedang bekerja, dan lagi, ia ingin bisa mandiri sebagai bentuk latihan jika suatu saat harus ditinggal tugas oleh Naruto.
Sementara Naruto dengan telatennya memijit punggung mungil sang istri. Bukan rahasia bagi mereka jika pijitan laki-laki itu sangat manjur untuk meredakan atau bahkan menghilangkan sakit. Buktinya sekarang Boruto dan Himawari tengkurap berjajar di sebelah ibu mereka, dengan mengangkat kaus.
"Kalian sedang apa?" tanya Naruto heran.
"Setelah ibu, aku ya Yah," ujar Boruto dengan mata berbinar-binar.
"Lalu habis Boruto, aku," lanjut Himawari.
Narito mendengus sedangkan Hinata tertawa melihat tingkah laku anak-anaknya.
...
XIV
Hari ini keluarga Namikaze tengah berbahagia. Alasannya adalah sang ayah yang baru saja mendapat cuti dan mereka akan berwisata ke kebun binatang di tepi kota. Setelah membereskan perbekalan, mereka dengan antusias berjalan ke luar. Naruto meletakkan tas ransel di bagian depan motor, lalu menaikinya. Setelah itu Boruto naik dan duduk di depan Naruto. Hinata yang menggendong Himawari, meletakkan anak bungsunya di belakang Naruto, barulah di bagian belakang wanita itu duduk sembari membawa tas selempang.
Setelah memastikan semua terbawa termasuk memakai helm untuknya dan Hinata, Naruto berteriak, "Berangkaaaatt!"
Kata siapa harus punya mobil untuk bisa jalan-jalan?
...
XV
"Ahh ..."
Hinata mendesah saat ciuman Naruto mulai merambat sepanjang lehernya. Ia memang selalu terbuai, dan menyerah ketika kungkungan posesif sang suami sudah mulai terlihat. Naruto pun menikmati setiap inci kulit halus wanitanya. Ya, inilah bagian favoritnya dari tubuh Hinata, bukan terfavorit sebenarnya.
Pria itu terbakar birahi. Dibukanya dengan gemas kancing daster Hinata yang sedikit bau asap. Tak apalah, sesekali seperti ini, mengingat biasanya Hinata selalu mempersiapkan diri saat hendak berhubungan. Berbeda malam ini karena cukup mendadak. Naruto yang mendadak ingin ketika melihat paha mulus Hinata lewat lubang di daster. Beruntung anak-anak sibuk main di ruang tengah.
"Hinataaaa," desahnya lirih.
Naruto tidak tahan melihat payudara Hinata yang langsung menyembul tanpa terhalang bra. Dengan tatapan yang menggelap, ia bawa bibirnya turun untuk menyesap kenyalnya benda terfavorit nomor dua.
Hinata terpaksa menggigit bibir setiap kali Naruto menyentuh titik sensitifnya. Bagaimana pun anak-anak masih bangun, jangan sampai mereka mendengar.
Saat merasa bagian bawahnya mengeras, Naruto segera memosisikan diri pada bagian terfavorit nomor satu di tubuh Hinata.
"!"
"Ibuuuu!"
Teriakan Himawari yang berlanjut dengan tangisan membuat sepasang suami istri itu bengong dan ...
nggantung.
.
.
.
TAMAT dulu