All Characters aren't mine. They Belong to Mangaka Eyeshield 21.

Original Fiction Story by Diyari De (Do not duplicate, translate to other language, or copy it to some other site)

Diyari De Present : Stuck On You

.

.

Chapter 1

.

.

Kaki yang panjang menuruni bis yang berhenti di halte. Seorang lelaki berjalan menuju gerbang kampusnya yang berjarak dua ratus meter dari halte. Dengan tas gendongnya, lelaki itu berjalan dengan santai seraya membetulkan earphone di telinganya. Rambut merah tersibak dari balik tudung jaketnya. Lelaki itu berhenti di depan toko buku dan melirik ke koran di sebelahnya. Dia menurunkan tudung jaket lalu mengambil koran itu.

"Aku beli ini Paman," ujar Akaba mengeluarkan uang dari saku jaketnya.

"Dua piala tahun ini? Selamat. Kalian memang hebat," balas pemilik toko buku.

Akaba memamerkan senyum cerah sambil memberikan uangnya. "Terima kasih."

Akaba melanjutkan perjalannya lagi sambil mengapit koran itu di lengannya. Hari masih pagi dan kampus masih terlihat sepi. Gedung kampus masih jauh di depannya, karena itu seperti biasa Akaba selalu berbelok ke ruang klub yang ada di samping lapangan amefuto, tidak begitu jauh dari gerbang kampus.

"Yo senpai," sapa seseorang dari tempat parkir sepeda.

Akaba menoleh dan melihat ke Jumonji yang tengah berlari ke arahnya. "Sudah lihat berita pagi ini?"

Akaba menggeleng. "Makanya aku beli koran ini."

Jumonji menyamakan langkahnya. "Walaupun kita sering diliput televisi, tapi tetap saja senang rasanya."

Akaba ikut tersenyum mendengarnya.

"Tapi tumben, biasanya selalu terpasang spanduk ucapan selamat setiap kita menang rice bowl?"

"Kita datang terlalu pagi. Mungkin belum dipasang."

Jumonji mengangguk-angguk. Dia lalu membuka pintu ruang club.

"Selamat pagi," sapa Jumonji melihat juniornya menurunkan koran dengan wajah lesu. "Ada apa Satoshi?"

Satoshi, junior mereka di tingkat dua, menghela napasnya. "Kritikus itu lagi-lagi mengoceh."

Akaba menutup pintu di belakangnya dan duduk membuka koran yang sama seperti yang dipegang Satoshi. Sementara Jumonji duduk di sebelah Satoshi ikut membacanya

KEMENANGAN SAIKYODAI MEMPERTAHANKAN JUARA MUSIM DEPAN 20%

"Kau masih percaya apa yang dia bilang? Tahun lalu pun dia bilang kemenangan kita lima puluh persen," ujar Jumonji.

"Hei Satoshi," alih Akaba. "Kau adalah quarterback. Hiruma percaya padamu. Maka kamu harus percaya pada dirimu."

"Senpai benar. Buktinya kita bisa bermain tanpa senpai-senpai kita di perempat final kemarin. Lawannya pun tidak mudah," ujar Jumonji.

Akaba tersenyum mengiyakan. Alih-alih dia memberi semangat, namun kecemasan juniornya ini juga sudah menjadi pikiran olehnya. Sebagai wakil kapten, dia harus memosisikan diri sebagai penyemangat tim sekaligus pencari solusi.

"Akaba-san benar," sahut Mamori keluar dari pintu ruang loker yang bisa mendengar obrolan anggotanya dari dalam. "Percaya dirilah yang penting."

Satoshi menghela napas. "Bahkan Anezaki Senpai pun sudah lulus dari kampus," keluhnya.

"Kalau kau mengeluh terus bocah, aku akan menyuruhmu menyikat lapangan!" sahut suara di belakang Mamori sambil membanting pintu ruang loker.

"Hiruma Senpai! Sejak kapan ada di dalam?" kaget Satoshi.

"Apa yang kalian lakukan di dalam?" tanya Akaba.

"Aku membantu mencari bajunya," jawab Mamori santai.

"Memangnya dia ibumu, Hiruma," sahut Akaba.

"Oh ya. Dua bulan lagi sudah mulai Amefuto League Japan." ujar Jumonji.

"Mau kemana Hiruma? Tidak ikut latihan pagi?" tanya Akaba yang melihat Hiruma berjalan keluar.

"Dia mau segera ke asrama," jawab Mamori, mewakili Hiruma.

"Kau juga mau pergi Anezaki-san?"

"Aku mau membantunya berkemas," jawabnya tersenyum. "Sampai nanti semuanya." Mamori lalu menutup pintu.

Jumonji menghela napas dan menggelengkan kepala. "Mamori Senpai itu, dia itu sebenarnya manajer club atau asisten Hiruma..," decaknya heran.

.

.

Suara air mengucur dari kamar mandi sudah berhenti, sementara Mamori masih di dalam kamar Hiruma mencari pakaian di lemarinya.

"Cari apa, heh ?" tanya Hiruma dari pintu sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Tanpa menoleh, Mamori masih sibuk mencarinya. "Turtleneck hitammu. Kenapa cuma ada satu?"

"Oh.. Yang satu aku tinggal di asrama," jawab Hiruma santai dan duduk di kasurnya. "tidak usah bawa itu."

Mamori berbalik menghadap Hiruma dan bertolak pinggang. "Jadi kau hanya mau bawa tiga kaos lusuh ini?"

"Bukan kaos lusuh, bodoh. Itu kaos keberuntungan."

"Tetap saja lusuh," balas Mamori. "Mana jaket birumu?"

Hiruma mengangkat bahu. "Mana aku tahu. Makanya aku menyuruhmu."

"Itu kan jaketmu. Harusnya kau tahu dimana terakhir menyimpannya."

Hiruma tidak peduli dan kembali mengacak-acak rambutnya. Dengan jengkel Mamori keluar kamar dan melihat ke tumpukan keranjang pakaian. Dibanding Hiruma, Mamori tentu lebih tahu seluk beluk apartemen ini. Dari pinggir keranjang Mamori bisa melihat jaket biru itu. Dia lalu menarik keranjang itu dengan kesal.

"Aku kan sudah bilang padamu jangan menumpuk jaket yang sudah dipakai di keranjang. Apa susahnya menggantung kembali di lemari?"

"Kau berisik," balas Hiruma.

Mamori tambah menggerutu dan menarik keranjang itu ke depan lemari. Dia menggantungkan kembali semua jaket itu satu per satu. Setelah selesai Mamori lalu keluar kamar. Dia membuka laci rak sepatu dan mengambil tas untuk menyimpan sepatu. Setelah itu mengambil sepatu Hiruma kemudian memasukkan sepatu itu ke dalam tas.

"Kau kan bisa membeli satu untuk ditaruh di asrama. Jadi tidak bolak-balik dibawa seperti ini," keluh Mamori sambil memasukkan tas itu ke koper.

"Ada dua disana. Tapi tidak bisa. Karena itu sepatu ke-"

"Keberuntunganmu. Aku tahu," lanjut Mamori. "Tapi tetap saja menyebalkan."

"Itu kau tahu," balas Hiruma memamerkan senyuman khasnya.

"Apa lagi yang belum?" tanya Mamori.

"Cerberus."

Mamori melirik ke anjing yang sedang tidur di sofa. "Dia tidak usah dimasukkan ke koper."

"Sepertinya cukup," ujar Hiruma.

"Oke."

.

.

Jam kuliah pertama Jumonji sudah selesai. Mahasiswa yang lain sudah keluar satu per satu, sementara Jumonji penasaran dengan berita yang ditulis di koran tadi, karena itu dia membawanya ke kelas.

Dia membaca tentang analisis kritikus itu mengenai nasib tim nya. Disitu tertulis semua fakta yang memang akan terjadi di tahun depan. Seperti hal nya tahun kemarin diprediksi kemungkinan lulusnya Banba, masuknya Hiruma dan Agon ke klub liga nasional, dan Yamato yang pulang pergi ke Amerika membela klub disana. Tahun ini pun persentase tambah menurun dikarenakan pemain tingkat empat yang akan lulus tahun depan. Seperti Hiruma, Agon, Ikkyu, dan Akaba. Ditambah Yamato yang masih sibuk dengan liga Amerika.

Hal itu memang sesuatu yang mengkhawatirkan. Tapi bukan berarti mereka tidak punya pemain berkualitas lainnya. Jumonji ingat Hiruma pernah bilang, saat mereka akan bermain tanpa senior lagi, maka dengan begitu mereka akan menyadari kemampuan mereka yang sesungguhnya.

Selain para pemain yang dibahas oleh kritikus ini, dia juga menuliskan faktor terpenting yang tidak akan bersama Sang Wizards lagi di musim depan. Ya, tentu saja Anezaki Mamori. Mengingat dia sudah lulus dua bulan kemarin. Dia lulus lebih cepat daripada angkatan yang lain. Karena itu, kritikus itu menuliskan penurunan drastis itu disebabkan oleh otak dari Saikyoudai Wizard, Hiruma dan Mamori, sudah tidak bersama mereka lagi musim depan. Disana tertulis kalau Mamori kemungkinan akan dibawa Hiruma sebagai asisten pribadi di Tokyo Storm.

"Apa?" kaget Jumonji. "Aku belum pernah mendengar ini."

.

.

Hiruma mengeluarkan kartu id dari dalam laci kamarnya. Disana tertulis nama Anezaki Mamori dan tulisan Asisten di bawahnya.

"Kau masih tidak mau menerimanya, heh ?" tanya Hiruma menyodorkan kartu id itu ke Mamori.

"Aku sudah bilang padamu kalau aku tidak bisa," balas Mamori.

"Kau tidak bisa waktu itu karena sedang mengurus tugas akhirmu, tapi kau sekarang sudah lulus. Jadi kenapa lagi?"

"Aku ingin bekerja," jawab Mamori.

"Kalau begitu kerja padaku."

"Aku sudah diterima di sekolah Chiba. Minggu depan aku mulai bekerja."

"Aku akan membayarmu berapa pun yang kau mau."

Mamori menghela napas. "Bukan itu masalahnya..."

"Jadi apa masalahnya, sialan?"

Mamori melotot dengan panggilannya itu. "Aku tidak ingin kuliahku terasa sia-sia. Aku kuliah pendidikan karena aku mau jadi guru. Kalau aku lulus lalu bekerja jadi asistenmu, untuk apa aku kuliah susah payah seperti ini?" jelasnya.

"Keh... Kau bisa jadi guru dan jadi asistenku," balas Hiruma.

"Aku tidak bisa mengerjakan keduanya sekaligus."

"Kau bisa. Buktinya kau bisa jadi manajer klub sambil kuliah dan mengerjakan tugas akhir."

"Itu beda." Mamori mengerutkan dahinya. "Kenapa kau begitu memaksa?"

"Karena aku sudah membuat id ini atas namamu."

"Harusnya kau tanya dulu," balas Mamori.

"Kalau begitu simpan saja," ujar Hiruma menyerahkan kartu id itu ke Mamori. "Kau mau bekerja atau tidak, namamu sudah tertulis sebagai asisten di data klub."

Mamori melihat kartu id itu di tangannya lalu melihat ke Hiruma lagi. "Begitukah?"

"Aku malas mengurus dan menggantinya ke klub karena namamu sudah tercatat. Jadi simpan saja itu seolah kau asisten sialanku."

"Jadi memang apa fungsi dari kartu ini?"

"Kau bisa gratis masuk stadion saat Tokyo Storm bertanding. Kau bisa masuk ke kantornya, keluar masuk asrama atlet dan tempat latihannya."

Mamori mengangguk-angguk tersenyum. "Baiklah aku akan menyimpannya. Mungkin akan berguna nanti."

.

.

Malam hari Mamori baru saja selesai melipat bajunya, teleponnya berdering. Mamori lalu mengangkatnya.

"Halo Ma," sapanya.

"Halo Mamori, mama mendengar berita, apa itu benar?" tanya Mama Mamori langsung.

Mamori mengerutkan keningnya berpikir. "Berita... Apa Ma?"

"Ayahmu membaca koran tadi pagi, katanya kamu akan menjadi asisten Hiruma-san di Tokyo Storm?"

"Oh tidak Ma. Itu tidak benar. Lagipula aku sudah diterima bekerja.."

"Ah... Ya... Mm.. Syukurlah kalau kamu sudah dapat kerja."

Mamori mendengar nada tidak biasa dari Mamanya. "Memangnya kenapa Ma?"

"Ah tidak... Cuma tadi ayahmu senang sekali membaca berita itu. Kamu tahu, dia pasti akan bilang ke teman-teman kantornya. Seperti saat kamu jadi manajer Saikyoudai Wizards."

"Maaf Ma. Youichi memang memintaku, tapi aku menolaknya."

"Tidak apa Mamori. Tidak perlu memikirkannya. Jalani saja sesuai keinginanmu. Kalau begitu sudah ya. Sudah malam, kamu istirahat."

"Ya ma. Selamat malam."

Mamori lalu mengeluarkan dari laci kartu id yang diberikan Hiruma tadi. Dia lalu memandangi kartu itu lama dan berpikir.

.

.

Side Note :

Haai... Selamat Tahun Baru 2019 ! Tahun Baru, Cerita Baru. Ada yang nunggu-nunggu comeback saya ga nih? (Serasa artis aja, pakai kata comeback XD)

Okee.. Sebagai permulaan, sesuai sinopsis dan judul fic ini, sepertinya sudah bisa ketebak ya ceritanya akan seperti apa. Yup! Walau pun biasa dan pasaran mirip dengan fic saya yang lainnya. Saya akan buat cerita ini 'berwarna' dan menarik untuk dibaca.

Saya tidak akan membuat fic ini begitu drama, karena dua cerita saya yang terakhir sudah terlalu drama. Jadi 'mungkin' fic SOY ini akan saya buat santai XD

So guys... Harap bersabar menunggu update chapter selanjutnya. Dan seperti biasa I love Friday, So I'll update on friday~ ! Not every week but every month, on friday. See you next update~

Jangan lupa review dan favorite cerita ini. Ditunggu..

Salam : De