Title : Walking into Disaster
Pairing: SasuSaku
Disclaimer: Naruto isn't mine
Warning& Notes: AU, Multi-chapters. Typos. American High School-set. MATURE SCENES. NaruSaku pure platonic. SasuNaru pure demonic. no BL (at least not here)
Summary:
Sasuke adalah musuh bebuyutan Naruto, sahabat sejak lahir Sakura. Apa yang harus Sakura lakukan kalau Sakura tidak bisa menahan godaan untuk dapat menghabiskan sexy-times bersama musuh sahabatnya?
A: Katakan dengan keras pada Sasuke bahwa dia tidak akan melakukannya lagi dengan Sasuke karena itu adalah hal paling bodoh yang pernah ia lakukan.
B: Mengatakan yang sebenarnya pada Naruto, dan melihat Naruto membunuh Sasuke dengan tangan kosong agar Sakura tidak perlu pusing memikirkannya..
B: Menjelaskan dengan tenang pada Sasuke bahwa situasinya terlalu buruk dan hey, mungkin kalau kau bias berdamai dengan Naruto, kau dan aku bisa ciuman lagi, karena, duh, kau melakukannya dengan sangat baik.
C: Lupakan semuanya, langsung melompat masuk ke dalam api dan melakukan seks dengan Sasuke lagi.
D: Mengubur diri hidup- hidup dan menunggu belatung memakannya hingga habis.
.
.
.
Sakura mendongak dan memelototi matahari pagi dengan sebuah kerutan di bibir. Dia menggelangkan kepalanya perlahan sembari memutar bola matanya sampai rasanya hampir sakit. Kerumunan yang mengelilinginya sebagian besar melakukan hal serupa—memutar bola mata, mendengus kesal dan menyuarakan beberapa sumpah serapah.
Ino Yamanaka mengerucutkan bibir dan berjalan melewati adegan di koridor tanpa payah melirik. Hinata Hyuuga menempel di sebelahnya dengan sepasang mata jernih sarat akan kekhawatiran menatap Sakura dan dua sosok yang sedang berkelahi di dekatnya, setengah berharap gadis merah muda itu melakukan sesuatu seperti kejadian terdahulu.
Terakhir kali Sakura melerai, ia hanya membuat perkelahian itu lima puluh kali lebih buruk. Sakura sudah pernah mencoba. Sekarang dia hanya perlu berdiri bersama yang lain, melihat sambil merengut atau mengamati sekeliling untuk memastikan tidak ada guru yang mencoba memisahkan perkelahian di antara dua sosok ini untuk entah keberapa puluh kali sejak semester ini bermula.
Naruto terhuyung ke belakang, menerbangkan debu ke udara. "Kau pikir kau sangat kuat, ya?" Ujarnya sembari mengelap darah yang menetes dari bibirnya yang pecah.
Sasuke Uchiha menggeram balik, mulai memutari Naruto seperti singa pada mangsanya. Naruto tidak mau kalah mengikuti gerakan Sasuke. Dalam hati Sakura membandingkan dua pemuda di hadapannya bagai dua singa yang sedang berebut zebra.
Hanya saja dalam perkelahian ini, tidak ada zebra. Tak ada motif, tanpa sebab, hanya sejarah panjang kebencian yang sudah terjadi dari kelas satu sekolah dasar. Bermula saat Sasuke berjalan dengan santainya menginjak wadah krayon baru milik Naruto membuat Naruto mendorong Sasuke ke dalam bak pasir di halaman sekolah dan mencoba melembari wajah keturunan Uchiha itu dengan pasir. Sakura melompat ke punggung Naruto, mencoba melerai.
Dulu, dia masih mau melakukannya.
Sakura terus mencoba melerai mereka sampai sekolah dasar berakhir. Dulu pertengkaran mereka hanya menyangkut krayon, selai kacang dan roti isi untuk makan siang yang berakhir di tempat sampah atau Sasuke dan Naruto yang memperebutkan gadis yang sama. Walau Sakura curiga bahwa alasan Sasuke mengatakan dia menyukai Shion karena Naruto lebih dulu mengatakannya.
Di sekolah menengah, Naruto pernah sekali memukul kepala Sasuke dengan tongkat baseball setelah sebelumnya bercekcok tentang apakah Naruto bisa melewati base pertama karena Sasuke pasti sudah berhasil menangkap bolanya lebih dulu.
Sakura mau tak mau melibatkan diri saat itu—dia mendorong Naruto dan meneriaki sahabatnya itu saat Sasuke pura- pura tidak menangis(karena dia sudah kelas delapan!) lalu Naruto meneriaki Sakura. Disusul Sasuke meneriaki Naruto karena sudah meneriaki Sakura. Ketiganya berakhir di ruang kepala sekolah.
Pernah juga ketika Naruto mencoba merampas makan siang Sasuke, pemuda berambut gelap itu mendorong kepala Naruto ke dinding sampai hidungnya mimisan parah.
SMA semakin buruk. Sangat- sangat buruk.
Karena mereka tidak lagi butuh alasan seperti krayon, seorang gadis, atau uang makan siang untuk berkelahi. Hanya butuh dua detik tatapan agresif, lalu mulailah. Tak sengaja menyenggol bahu di koridor berakhir tinju. Sasuke melirik Sakura dua detik lebih lama berakhir Naruto dan Sasuke sahut menyahut sumpah serapah, mengabaikan seruan guru di depan kelas yang mencoba meminta mereka menjaga ucapan.
Para guru juga sudah mulai lelah, sama seperti populasi sekolah lainnya. Terkadang, Kakashi menjumpai dua muridnya itu selama makan siang (Sasuke menjejali tenggorokan Naruto dengan chicken nugget, mencoba membuatnya tersedak, Naruto mencakar lengan Sasuke, dan Sakura memakan apel di sebelahnya dengan wajah datar)guru bermasker itu hanya menggerutu melewati mereka, berpura- pura tidak melihat. Guru sejarah mereka hanya melipat tangan di depan dada melihat keduanya berteriak dari sisi lain ruangan.
Sakura pernah mempertimbangkan mengajak Naruto pindah ke sekolah di sini lain kota. Setidaknya dia tidak usah melihat perkelahian konyol dua orang remaja kekanakan lagi. Waktu makan siang dan jam kosong Sakura yang terbuang sia- sia kerena ulah mereka berdua sudah tidak bisa lagi dihitung.
Sakura lebih memilih menarik Naruto menuju arah berlawanan setiap kali ia melihat Sasuke tengah berjalan di koridor. Mengarahkan Naruto duduk di bangku paling jauh dari Sasuke di kelas yang mereka hadiri bersama. Kalau dia melihat Sasuke memasuki kantin, Sakura menahan Naruto dan mengajaknya mengobrol, memastikan Sasuke sudah mengambil makanan dan duduk di meja yang biasa bersama dengan teman- temannya sebelum memasuki kantin.
Sekarang, Naruto sedang mencakar leher Sasuke yang sedang memukul pelipis Naruto, hanya beberapa meter dari tempat Sakura berdiri. Setelah Naruto berhasil menyeimbangkan tubuhnya, ia memukul kepala Sasuke dengan modul kimia di tangannya. Membuat pemuda berambut hitam pekat itu terhuyung ke arah Sakura yang untungnya berhasil menghindar.
"Lihat ke mana kau bergerak, Uzumaki!" teriak Sasuke pada Naruto, seperti pemuda pirang itu baru saja membahayakan nyawa Sakura yang bahkan tidak apa- apa dan Sasuke bahkan tidak menyentuhnya.
"Hey!" teriak Naruto balik, melangkah mendekat. "Kau tidak usah cemaskan Sakura, biar aku saja."
Sakura menghela nafas.
"Seperti kau sudah melakukannya dengan benar saja! Kau hampir mendorongku ke arahnya!" Lanjut Sasuke seperti Sakura tidak ada di sana.
"Dia baik- baik saja, ya kan, Sakura?"
Sakura entah kenapa selalu dilibatkan akhir- akhir ini. Sasuke menatapnya sedikit lebih lama di setiap perkelahian, dan mulai menggerutu tentang bagaimana Naruto berkelahi di dekat seorang gadis, dan Naruto berteriak agar Sasuke jangan melihat ke arah Sakura walau sedetik saja dan seterusnya.
Sakura membuka mulutnya, namun Sasuke sudah melangkah mendekati Naruto untuk berteriak tepat di depan wajahnya. "Idiot..."
"Menjauh dariku..."
"Aku harap aku tidak pernah melihat wajah bodoh jelekmu lagi..."
"Aku jelek tapi sudah punya teman kencan untuk prom. Kau, siapa yang mau kau ajak, Brengsek?"
Sasuke melayangkan tinjunya kali ini, bersiap membelah wajah Naruto mengabaikan kerumunan teman sekolah mereka. Sakura memutuskan ini saatnya dia mencoba mengendalikan keadaan. Sebisanya.
Dia merangkul lengan atas Naruto dan berusaha menjauhkannya dari Sasuke. Naruto terhuyung ke sisi Sakura, sedikit jauh dari Sasuke yang memandangnya penuh dendam. "Kau menjauhlah dariku!"
"Kau yang mulai..."
"Diam!" desis Sakura masih menarik Naruto tanpa melirik ke arah Sasuke. "Jujur saja aku sudah muak dengan kalian berdua."
"Denganku juga?" Naruto tertawa melirik sinis Sasuke, "Aku tidak pernah memulainya duluan!"
Naruto memulai perkelahian sama banyaknya dengan Sasuke. Sakura ingin seratus persen memihak Naruto yang notabene sahabatnya sejak bayi, (seperti mengatakan: Yeah, Sasuke Uchiha, persetan dengan si brengsek itu! Tampan tapi brengsek, kan?) tapi kenyataannya, pembelaan Sakura berakhir di masa sekolah menengah. Saat Sasuke berhenti membenci Sakura hanya karena berteman dengan Naruto. Mungkin karena Sasuke menyadari tidak etis bertengkar dengan seorang gadis.
Kalau tidak ada Naruto, Sasuke baik- baik saja terhadapnya. Dia menatap Sakura dari atas ke bawah dengan cepat, terkadang pandangan mereka bertemu, sebelum pemuda itu memalingkan wajah tanpa sepatah kata pun. Sakura dan Sasuke sama sekali tidak pernah memiliki masalah (selain Sasuke memukuli sahabatnya 24/7). Tapi kenyataannya, perkelahian ini sudah berjalan begitu lama. Sakura sudah melihat Sasuke memukul Naruto begitu sering begitu juga sebaliknya, sampai adegan itu sudah tidak memiliki efek padanya.
Sakura sudah tidak lagi sebal melihat Sasuke Uchiha. Dia tidak bisa lagi memihak Naruto seratus persen seperti sahabatnya sama sekali tidak bersalah dan Sasuke lah penyebab semua ini, karena itu tidak benar.
Mereka sama saja. Sakura tidak bisa memihak. Untuk kebaikannya, dia hanya mengangguk saja setiap kali Naruto menjelek- jelekan Sasuke walau sebenarnya Sakura tidak mendengarkannya. Sakura juga tidak akan mengakui bahwa selama perkelahian, Sakura mulai fokus pada betapa kekarnya bahu Sasuke dan pergerakan otot di tubuh Sasuke di balik balutan baju. Betapa mahadaya tampannya wajah putih pemuda berambut hitam itu bahkan saat keringat mengalir dari rambutnya.
"Ya," Sakura menepuk pundak Naruto. "Lap dulu darah di wajahmu."
Naruto membersihkan wajahnya dengan bagian dalam kaos hitamnya. Sakura tidak pernah mengatakannya keras- keras, tapi dia berpikir Sasuke mungkin memenangkan sebagian besar—tujuh puluh persen—perkelahian mereka.
"Aku benci orang itu," kata Naruto pahit setelah selesai membersihkan wajahnya dan melangkah menuju kelas pertama mereka. "Aku tidak pernah membenci orang lebih dari aku benci si brengsek itu."
Sakura mengangguk. Itu adalah usaha perlindungan dirinya. Pernah sekali Sakura mencoba membela Sasuke, Naruto meneriakinya sampai kepalanya ingin meledak, walau saat itu Sakura mengatakan hal yang benar. Hal itu cukup membuat Sakura menutup mulutnya dan memilih tidak berkomentar. Walau menyebalkan, Naruto tetaplah sahabatnya dan mereka sudah melakukan semua hal berdua. Dia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Naruto.
Sakura menjaga jarak dari Sasuke, juga mencoba dengan keras menjauhkan Naruto darinya. Semua agar mereka dapat lulus SMA dalam keadaan utuh dan masih hidup.
Satu- satunya kelasnya yang sama dengan Sasuke tanpa adanya Naruto adalah Bahasa Inggris pada jam terakhir. Sasuke duduk sangat dekat dengan Sakura di kelas itu. Di kelas yang lain, Naruto selalu duduk di belakang Sakura, maka Sasuke menjaga jarak, menghindari pertengkaran sepanjang jam pelajaran. Namun pada kelas Bahasa Inggris, Sasuke duduk paling jauh dua kursi dari Sakura, terkadang tepat di belakangnya. Sakura tidak pernah berpikir terlalu jauh tentang hal ini.
Sakura sudah terbiasa dengan pria- pria yang berusaha mendekatinya, sampai dengan mudah ia mengabaikan saat ada yang mencoba duduk terlalu dekat dengannya, atau mencoba menyentuhnya. Dia tidak keberatan selama mereka tidak melewati batas.
Jadi Bahasa Inggris adalah lima puluh menit satu- satunya saat Sasuke dapat berada satu meter dekatnya dari Sakura tanpa adanya Naruto. Jadi masuk akal kalau Sasuke mencoba memanfaatkannya dengan duduk di dekatnya.
Hari ini Sakura memasuki kelas dan menemukan Sasuke sudah duduk tepat di belakang kursi yang biasa Sakura tempati. Sakura menatap Sasuke datar sebelum mendudukan diri, dia dapat merasakan sepasang mata di sisi wajahnya saat ia memiringkan tubuh untuk mengambil buku catatan dai tasnya. Saat Sakura mendongak untuk menatap balik Sasuke, pemuda itu sudah sibuk mencoret- coret bukunya, pandangannya menunduk.
Sakura menyandarkan punggungnya di kursi, mengabaikan rasa panas yang memancar dari tangan Sasuke di belakang lehernya.
Saat kelas hampir selesai, Kakashi mengumumkan bahwa mereka akan membentuk kelompok beranggota dua orang untuk mengerjakan tugas yang dikumpulkan minggu depan. Dan Sakura tahu. Dia mendapatkan firasat, dengan campur tangan tuhan, karma, keberuntungannya, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun dia tetap berdoa agar dia satu kelompok dengan Ino, atau bahkan Lee. Siapapun selain...
"Sasuke Uchiha," panggil Kakashi, "kau satu kelompok dengan temanmu Sakura."
Temanmu Sakura. Sakura memutar bola matanya, Kakashi tahu persis bagaimana hubungannya dengan Sasuke. Walau mereka tidak bermusuhan, mereka jelas tidak dalam hubungan yang baik Kakashi tahu persis apa yang sedang ia coba lakukan.
Dia pikir kelasnya akan menjadi tempat mediasi untuk menjadikan Sasuke dan Sakura menjadi BFF, yang mungkin akan mengakhiri masalah Sasuke dengan Naruto. Sakura selalu membayangkan para guru membuat papan skor untuk Sasuke dan Naruto di ruang guru untuk menghitung siapa yang lebih banyak memenangkan perkelahian. Tepat di hari kelulusan, mereka yang kalah taruhan harus mentraktir mereka yang menang. Sakura penasaran siapa yang Kakashi pihak—melihat Sasuke yang selalu mendapatkan nilai A di kelasnya, dia mungkin memihak Uchiha.
Sakura menghela nafas saat Kakashi melanjutkan membentuk kelompok lainnya. Dia menatap langit- langit kelas, berharap meteor jatuh tepat di tempatnya duduk sebelum berbalik menghadap Sasuke Uchiha.
...yang tidak terlihat kesal sedikitpun mendengar ia satu kelompok dengan Sakura. Dia mengira Sasuke akan membuat keributan untuk memrotes, namun dia hanya duduk tenang sambil memainkan ballpoint. Dia menatap balik Sakura dengan pandangan kalem.
"Apa kau sudah memikirkan topik yang akan kita kerjakan kali ini?" Tanya Sasuke kasual, menatap tepat di mata Sakura—seperti dia tidak baru saja berkelahi dengan sahabat Sakura pagi tadi. "Semua orang mungkin akan menulis tentang Nicholas Spark."
Sakura membersihkan tenggorokan dan mengangkat bahu. "Aku belum memikirkan apapun."
Sasuke menekan kembali ballpointnya, memundurkan tubuhnya sebelum menatap Sakura dari atas ke bawah. Teman sekelas mereka mengobrol dengan suara rendah di sekeliling mereka. Benar saja, saat Sakura mencoba mendengarkan, kebanyakan mereka membahas tentang buku Nicholas Sparks mana yang ingin mereka analisa. Yang menurut Sakura masuk akal, karena mereka sedang membahas Literatur Amerika, dan Nicholas Sparks sangat terkenal akhir- akhir ini. Plus mereka bisa menonton film- film yang dibintangi aktor tampan dengan alasan mengerjakan tugas.
"Kita harus menganalisa sesuatu yang out of the box. Seperti fanfiksi?"
"Fanfiksi." Ulang Sasuke sambil tersenyum. Sakura bisa menghitung berapa kali senyum Sasuke tertuju padanya.
"Fiksi yang dibuat penggemar tentang idola mereka dengan alur yang diinginkan penggemar itu. Kalau kita menganalisa sesuatu yang tidak dikerjakan yang lain, aku pikir nilai kita akan bagus." Sakura memutar tubuhnya menghadap Sasuke sepenuhnya, merasa percaya diri melihat lancar dan normalnya interaksi di antara mereka dan meletakan kedua tangannya di atas meja Sasuke.
Sasuke mengigit bibirnya sambil melihat ke arah jemari Sakura yang berada di atas bukunya yang terbuka sebelum kembali menatap wajah Sakura, seperti dia tidak ingin gadis itu mengetahui ia baru saja memandangi tangan Sakura. "Ide bagus. Kita bisa mulai mbahasan dari fiksi penggemar pertama yang dibuat sampai perkembangannya hingga hari ini."
Sakura mengangguk, "Walau kita tidak mungkin menjabarkan satu karya saja secara detail, fanfiksi secara general pasti adalah topik segar bahkan untuk Kakashi sekalipun."
"Aku juga memanfaatkan hal ini, menulis tentang topik yang jarang disinggung di kelas. Semakin baru pembahasan yang kau tulis, Kakashi akan sangat bersemangat dan memberikan nilai A tanpa pikir panjang." Kata Sasuke mencondongkan tubuhnya ke depan.
Sakura tersenyum ke arahnya. Tidak diragukan lagi, Kakashi pasti memihak Sasuke dalam taruhan itu.
Sasuke menekan ballpointnya bersiap menulis. Tanpa diminta, Sakura menarik tangannya dari atas buku catatan Sasuke untuk memberikan ruang. Namun Sasuke memilih menulis tiga baris di bawah bekas tangan Sakura, seperti ia tidak ingin menyentuh apa yang tangan Sakura sentuh.
Dia melihat Sasuke menuliskan 'Fanfiksi' dalam huruf kapital saat bel pulang berbunyi. Dari bising suara resleting tas dan buku yang ditutup cepat, Kakashi mulai berteriak tentang batas akhir pengumpulan tugas, seperti ada yang masih mendengarkannya saja.
Sasuke menutup bukunya dengan memegang hanya bagian bawah saja entah karena alasan, apa sebelum memasukannya ke dalam tas. Sakura menghela nafas, dia tahu dia harus mengatakan sesuatu.
"Jadi... um," Sakura memulai, menggaruk pipinya salah tingkah. "Mungkin kau sudah tahu tanpa aku harus bilang, tapi... jangan beritahu Naruto?"
Sasuke menatapnya bingung, "Beritahu apa?"
"Kalau kita... mengerjakan tugas bersama."
Hening beberapa saat sebelum Sasuke memutar bola mata dan menyampirkan tasnya di bahu. "Kalau Naruto bahkan mempermasalahkan kita mengerjakan tugas bersama, maka dia lebih buruk dari yang aku kira sebelumnya."
Sakura mendecak mendengar nada pahit dalam suara baritone itu. Rasanya seperti percakapan santainya dengan Sasuke barusan tidak pernah terjadi. Hanya karena Sakura menyebut nama Naruto. "Jangan mulai, deh. Kita mungkin harus menghabiskan banyak waktu bersama untuk menyelesaikan tugas ini, jadi..."
"Kau bisa datang ke rumahku besok," Sasuke menginterupsi sambil mengangkat bahu. "Kita bisa mulai mengerjakannya."
"Um...oke." Sakura setuju. Karena, kenapa tidak? Sabtu sore di kediaman Uchiha kedengaran sempurna untuknya. Kakak Sasuke cukup baik dan mereka punya kolam renang. "Tapi maksudku, Naruto tidak akan suka kalau tahu..."
"Aku tidak akan memberitahunya."Sasuke kembali menginterupsi, "Memangnya aku dan dia sahabat baik yang suka bergosip satu sama lain?"
Sakura mengerutkan wajahnya, dia baru tahu Sasuke Uchiha sesarkasme ini. "Aku hanya ingin mengatakan bahwa keadaan tidak akan menguntungkan kalau Naruto tahu kau bersamaku dan mulai menjadikan wajahmu sasaran tinjunya."
Sasuke menatap Sakura sekali lagi sebelum menggelengkan kepala dan melangkah keluar kelas. "Besok siang bisa?"
"Bisa." Cetus Sakura, meraih tas selempangnya dari kursi dan keluar mendahului Sasuke. "Sampai jumpa besok kalau begitu, Brengsek."
.
.
.
Sakura tidak bercanda tentang Naruto yang kebakaran jenggot jika tahu Sakura mengerjakan tugas bersama Sasuke. Naruto selalu mengatakan semua tentang Sasuke itu buruk, termasuk cara Sasuke memperlakukan seorang gadis. Walau Naruto sama sekali tidak tahu menahu tentang hal itu. Mengingat interaksinya dengan Sasuke hanya melibatkan tinju dan teriakan. Tidak ada waktu bagi Naruto untuk mengamati tingkah laku Sasuke di luar itu.
Jadi asumsi buta Naruto tentang Sasuke yang pasti akan memperlakukan gadis dengan buruk hanya dikarenakan pemuda pirang itu membencinya. Tidak ada argumen yang bisa mengubah jalan pikiran sang pemuda Uzumaki.
Kalau Sakura jujur dan memberitahu Naruto dia akan mengunjungi kediaman Uchiha hari ini, Naruto akan berlari ke rumah Sasuke lebih cepat daripada Sakura dan memukulinya di rumahnya sendiri. Tidak memedulikan di rumah itu ada ayah dan kakak Sasuke yang dengan senang hati menghabisi pemuda pirang itu sebelum membuangnya ke hutan.
Intinya, yang terbaik adalah Naruto tetap tidak tahu. Itulah mengapa dia mengatakan pada Naruto bahwa ibu mengajak Sakura berbelanja bulanan, sehingga ia tidak bisa pergi ke rumah Naruto seperti yang sudah mereka rencanakan.
Dengan hati- hati Sakura menuju rumah mewah Sasuke. Sedetik setelah Sakura memencet bel, Sasuke membuka pintu, seperti dia sudah menunggunya. Lucu melihat Sasuke di tempat selain sekolah dan tanpa alas kaki—dia berdiri dibalut celana jeans, kaos kaki dan t-shirt. Dia terlihat normal, tidak seperti seseorang yang memukuli sahabatnya setiap hari. Hanya seperti remaja pada umumnya. Walau masih super tampan.
Sakura menggesekan telapak sepatunya pada keset, sebelum masuk dan melepaskannya di tempat yang disediakan di balik pintu.
Kediaman Uchiha kaya dengan aroma panggangan kue, saos tomat dan pizza, mengingat ibu Sasuke adalah pemilik kedai pizza terbaik di kota mereka.
Fakta menyedihkan lainnya adalah; Uchiha membuat pizza terbaik yang pernah Sakura rasakan, namun ia jarang sekali berkesempatan memakannya karena Naruto melarang apapun tentang Uchiha. Walau beberapa kali Sakura sembunyi- sembunyi mendatangi kedai pizza Uchiha larut malam dan membeli seloyang pizza dan menghabiskannya secepat mungkin. Pizza mereka adalah yang terbaik. Persetan dengan Naruto.
Sasuke membawa Sakura ke lantai atas menuju kamarnya. Sakura tidak pernah membayangkan bagaimana kamar Sasuke, namun dia tidak menyangka seperti ini.
Sebuah ranjang besar yang terlihat nyaman di tengah ruangan, karpet lembut abu- abu yang terlihat seperti Sasuke memvakumnya setiap hari, sebuah rak buku yang tersusun rapi, lemari dengan baju dan koleksi sepatu yang dikelompokan berdasarkan warnanya, semuanya tertata tanpa cela. Kamar ini terlihat seperti kamar pembunuh berantai dalam sebuah serial televise yang pernah Sakura tonton.
Sakura mengatakan pendapatnya keras- keras. "Ini cukup creepy."
"Apa?" Tanya Sasuke sambil menutup pintu kamar.
"Apa kau bahkan tinggal di sini? Atau kau hanya masuk untuk bersih- bersih selama lima belas menit lalu keluar lagi sebelum sempat meninggalkan debu?"
Sasuke mengerucutkan bibirnya sebelum tersenyum. "Aku suka rapi."
Gadis merah muda itu melangkah lebih dalam memasuki kamar—merasa canggung bahkan untuk menginjak karpet, ia mengenakan kaos kaki dengan lubang kecil di bagian jari. Seperti Sakura takut ia akan mengotori tempat ini.
"Aku tebak kamarmu cukup berantakan, kalau begitu," respon Sasuke. Dengan cepat ia mendudukan diri di satu- satunya kursi yang tersedia di ruangan, kursi di depan meja belajarnya. Sakura tidak memiliki pilihan selain duduk di ranjang. "Tumpukan pakaian kotor selama seminggu."
"Tepat," Sakura mengedipkan mata pada Sasuke. "Apa tidak masalah aku duduk di..."
"Ya, Sakura. Apa kita akan membicarakan kamarku sepanjang hari, atau kita mulai tugasnya?"
Memutar bola mata, Sakura meletakan tasnya sebelum mendudukan diri di ranjang. Sasuke menatapnya intens, menyapukan matanya pada setiap bagian tubuh Sakura yang menyentuh spreinya. Pada jemari Sakura yang ia gunakan menahan berat tubuhnya di atas bantal di belakangnya. Mengabaikan cara menatap Sasuke, Sakura mengambil buku catatan dan beberapa lembar kertas yang ia gunakan merangkum beberapa point yang sudah ia kumpulkan sebelumnya.
"Aku menemukan sebuah postingan yang cukup mind blowing di Tumblr kemarin. Lihat..." Sakura menunjukan selembar kertas berisi tangkapan layar komputernya yang sudah ia cetak.
Jumlah huruf di novel seri Harry Potter:
Sorcerer's Stones: 96.944
Chamber of Secrets: 85.141
Prisoner of Azkaban: 107.253
Order of the Phoenix: 257.045
Half-Blood Prince: 168.923
Deathly Hollows: 198.227
"Wow." Respon Sasuke setelah membacanya.
"I know, riiiight?" sambung Sakura antusias. "Maksudku, aku selama ini selalu berpikir bahwa novel Harry Potter termasuk buku yang tebal- tebal dan membutuhkan waktu yang lama untuk membacanya, apalagi menulisnya. Walau aku pernah menyelesaikan The Order of the Phoenix dua kali dalam seminggu. Harry Potter saja word counts-nya sekitaran 100k bahkan ada yang kurang. J.K Rowling jadi salah satu orang paling kaya di Inggris karenanya. Dan aku biasa membaca fanfiksi yang word counts-nya berkisar 150.000-200.000an! Bayangkan! Postingan ini membuat aku berpikir bahwa author- author itu menulis karya setebal buku hanya untuk bersenang- senang dan menyalurkan hobi tanpa ada imbalan!"
Sasuke menggelengkan kepala menahan senyum melihat raut antusias Sakura. "Ini mengubah cara pandangku tentang fiksi digital secara general. Respekku pada mereka bertambah sepuluh kali lipat." Kata Sasuke. "Tapi jangan lupa juga ada beberapa author yang menghapus setengah terakhir cerita multi-chapter mereka yang sudah popular dan menjualnya di smashword." Lanjut Sasuke.
"Wow, kau juga sudah melakukan research sebelumnya, Tuan muda?" Sakura terlihat terkesan.
"Tidak ingin kau menganggapku bertempur tanpa persiapan." Sahut Sasuke.
Sore hari berlalu seperti itu, Sasuke dan Sakura fokus membicarakan tentang apa saja yang sudah mereka temukan untuk menunjang tugas dan tidak pada hal lainnya. Walau Sasuke menghabiskan cukup banyak waktu hanya menyandar di kursi sambil menatap Sakura membuat catatan di buku, atau mengetik sesuatu di laptop. Lagi, itu kedengaran creepy, tapi Sakura sudah amat biasa menghadapi hal seperti ini.
Dia tahu para pemuda menganggapnya menarik, dengan kulit putih porselen tanpa noda dan bentuk wajah mungil cantik, sepasang mata hijau emerald dibingkai bulu mata lentik, tubuh tinggi dengan lekukan yang cukup dan rambut merah muda pucat permen kapas.
Dia sudah biasa dengan semua mata yang tertuju ke arahnya. Rasanya seperti Sakura adalah makhluk paling menakjubkan yang pernah ada. Bahkan Naruto yang sudah memiliki kekasih, terkadang masih menghabiskan beberapa jam hanya duduk diam memandangi Sakura melakukan hal- hal biasa, lalu memeluk dan mencium pipinya.
Kalau ada sesuatu yang berbeda dan lebih dalam pada tatapan Sasuke padanya, pada beberapa bagian tubuhnya (mata Sakura, bibir, jemari dan leher jenjangnya) Sakura tidak peduli. Terserah, ia biarkan Sasuke melihat.
Sakura menyelesaikan setengah tugas mereka, membuat slide powerpoint, dan mengamati beberapa hal tentang Sasuke Uchiha. Pertama, dia tidak seburuk itu. Tidak semua yang Naruto katakan tentangnya benar. Sasuke sangat tenang dan penurut, apalagi kalau dibandingkan dengan Sasuke yang ia tahu biasanya. Dia juga ternyata sangat suka olahraga, entah mengapa Sakura tidak tahu itu sebelumnya. Dia tidak ingat pernah melihat Sasuke bermain basket atau sepakbola. Tapi sekali lagi, Sakura juga tidak ingat kapan terakhir kali dia menonton pertandingan olahraga di sekolahnya.
Sasuke suka olahraga dan membaca buku serta memiliki selera musik yang sama dengan Sakura. Dia ternyata cukup lucu—tipikal menggemaskan sekaligus menyebalkan. Sasuke jelas tahu dia tampan dan memanfaatkannya. Dia juga mengerjakan bagian tugasnya dengan baik, dan menyukai semua ide Sakura.
Sore itu bukan sore yang buruk.
Di tengah- tengah mengerjakan tugas, Sasuke turun ke dapur dan kembali membawa seloyang penuh berisi pizza panas. Makanan kesukaan Sakura, dan saat itu Sakura memutuskan bahwa dia menyukai Sasuke. Sulit untuk tidak menyukai seorang pemuda yang membawakanmu seloyang pizza dengan topping penuh daging dan paprika dan mozzarela leleh, dan saus tomat. Naruto tidak perlu tahu ini.
"Aku sudah mengharapkan ini sejak melangkah masuk ke rumahmu." Sakura mengakui di sela gigitan pada slice kedua pizzanya.
"Aku sengaja menyiapkan ini untukmu. Kami jarang menyetok pizza dough di rumah. Mereka mengerjakan semuanya di kedai. Oven di rumah biasanya hanya digunakan untuk memanggang kue atau memasak."
Sakura melihat Sasuke hanya memakan satu slice, walau ada sepiring penuh pizza. Dia memikirkan fakta bahwa Sasuke menyiapkan pizza di rumah karena tahu Sakura akan datangg –dan bukan rahasia bahwa gadis merah muda itu cinta mati dengan pizza,. Sakura bahkan sesekali membeli frozen pizza instan dari minimarket untuk dihangatkan di sekolah. Sasuke jelas melihatnya.
Jadi Sasuke membuatkan pizza untuknya, bukan hal besar.
Sakura melihat piring pizza yang kini kosong dan mengumumkan bahwa dia seharusnya segera pulang. Sasuke terlihat kecewa mendengarnya, merengut dan melihat jam di atas meja. Dia hampir terlihat ingin membuat argument bahwa ini masih jam empat sore, namun memutuskan untuk kembali menutup mulutnya melihat Sakura mengemasi barang- barangnya.
"Besok lagi?" Tanya Sasuke ragu. Saat Sakura mendongak, Sasuke menatap tepat matanya.
"Ya. Waktu yang sama?"
Sasuke mengangguk.
Beberapa saat Sakura hanya menyelempangkan tas di bahu dan meraba celana jeansnya. Memastikan ponsel dan kuncinya tidak tertinggal. Sasuke ikut bangkit membuat Sakura menyadari betapa tinggi dan berisinya otot Sasuke. Membuat Sakura bertanya- tanya, bagaimana bisa Naruto pernah menang melawan sosok di hadapannya ini.
Hening berlalu, Sakura mendapati Sasuke menatapnya. Lagi, Sakura bahkan tidak mengernyit, sudah terbiasa. "Kalau begitu, sampai jumpa besok!"
Sakura melangkah mendekati pintu dan meraih handel. Sebelum berhasil membukanya, Sasuke meraih lengan Sakura dengan tangan besarnya dan menariknya lembut agar berbalik menghadapnya.
Sakura menegang merasakan sentuhan tiba- tiba, namun merileksan diri setelah Sasuke mengendurkan pegangannya detik berikutnya. Dia seperti ingin memberitahu Sakura bahwa dia tidak akan menyakiti Sakura.
"Aku hanya ingin mengatakan," Sasuke memulai, tangannya masih menahan lengan Sakura. Gadis di hadapannya berkedip bingung, menatap jemari Sasuke di lengannya dan wajah Sasuke bergantian. Ini terasa sangat aneh, namun Sakura membiarkan Sasuke meneruskan. "...aku tidak sebrengsek yang kau pikirkan."
"Oh," pekik Sakura, sebelum membersihkan tenggorokan. "Aku tahu itu."
"Aku tahu aku melakukan banyak hal buruk pada Naruto..." dia menjeda, memalingkan wajah seperti ia malu. "Dan dia sahabatmu, jadi..."
"Hey, Sasuke," panggil Sakura dengan suara yang ia buat biasa, namun ia rasa masih terdengar canggung dan dipaksakan. Dia menepuk pelan bahu Sasuke, "Aku tidak menyimpan dendam padamu. Kalian berdua sama- sama kekanakan dan jujur saja aku sudah terbiasa."
Sasuke melihat Sakura menarik tangannya dari bahunya, mengerutkan alis dan kembali mengetatkan pegangannya di lengan Sakura. Seperti dia mengira Sakura akan pergi sebelum pembicaraan mereka berakhir. "Aku ingin meminta maaf."
Sakura merasakan matanya melebar—seperti rusa yang terkena spotlight. "Minta maaf?"
"Iya, aku sudah membuatmu terlibat dengan berbagai pertengkaran bodoh, dan aku hanya ingin..."
Sakura menarik tangannya, dan meletakannya di pinggul. Dia menatap Sasuke dari atas ke bawah; dari celana jeans, kaos hingga tatanan rambutnya. Percakapan ini tiba-tiba berubah serius.
Setiap Sasuke dan Naruto berkelahi, setiap Sakura harus terlibat di dalamnya, tidak sekalipun Sasuke pernah mengucapkan maaf. Pada siapapun. Begitu juga Naruto. Jadi jangan salahkan jika dia terkejut.
"Kenapa tiba- tiba?" tuntut Sakura, "Apa kau ingin mencoba berdamai dengan Naruto? Karena kalau iya, biar aku beritahu, kau terlambat sebelas tahun..."
"Aku tidak peduli dengan Naruto," Sasuke mengayunkan tangannya di udara untuk membuat poin. Sakura tahu maksud Sasuke adalah dia bahkan tidak keberatan membuat wajah Naruto bonyok detik ini juga. Sakura merengut melihatnya.
"Dialah yang lebih berhak kau mintai maaf."
"Memangnya aku tidak berhak?"
"Aku tidak bilang begitu!" Sakura mendebat, memicingkan mata dan menghentakan kaki ke lantai. Karena dia tidak memakai sepatu dan tengah berdiri di karpet, itu hanya membuat dia terlihat menggelikan. "Kalian berdua harus saling minta maaf, dan kubur dalam- dalam dendam!"
"Aku tidak peduli dengan dendam pada Uzumaki idiot." Kata Sasuke dengan suara dalam, memelototi pintu seperti wajah Naruto berada di sana menunggu ditinju. "Aku tidak peduli tentang apa yang dia pikirkan tentangku."
"Lalu kenapa," Sakura melangkah maju, "tiba- tiba kau meminta maaf kepadaku?"
"Karena," nada Sasuke seperti mengatakan bukankah semuanya sudah jelas, "Aku peduli dengan apa yang kau pikirkan."
Itu membuat Sakura terdiam. Bibirnya memekik sebelum dia menggigit bibir menahan suara memalukan meluncur dari sana.
Dari semua hal yang Sakura kira akan keluar dari mulut Sasuke Uchiha...
'Aku peduli dengan apa yang kau pikirkan' tidak pernah terlintas di benak Sakura. 'Aku peduli dengan apa yang kau pikirkan' adalah kalimat dari dunia lain, alternative universe, jika Sakura meminjam istilah dalam fanfiksi.
"Kenapa...?"
Sasuke menghela nafas, menekan dahinya dengan telapak tangan sambil bergumam ini tidak berjalan seperti yang ia rencanakan. "Aku cuma ingin minta maaf, oke? Aku tidak mau kau membenciku."
Sakura menelan ludah, tidak bisa membuat kontak mata dengan Sasuke, dia tidak tahu apa yang akan ia temukan di wajah pemuda itu. "Aku tidak membencimu."
Jeda. Sasuke mengedipkan mata menatap Sakura bingung. "Tidak?"
"Tidak..." jawab Sakura menggelengkan kepala pelan. "Karena kau... pandai membuat pizza?" hanya itu yang bisa ia pikirkan. Sangat bodoh dan membuat wajahnya terbakar malu, namun percakapan ini mengacaukan isi kepalanya.
"Kalau begitu," Sasuke mulai melangkah mendekat, "Kau dan aku, kita tidak punya masalah. Apapun yang terjadi di antara aku dan Naruto, itu..."
"Tidak ada hubungannya," Sakura mengangguk tegas, mencoba setenang mungkin melihat Sasuke semakin mendekatinya.
"Um," Sakura setengah melompat menuju pintu, membuat Sasuke membeku. "Anyway, aku sungguh harus..."
Sambil menyeringai, Sasuke melihat Sakura yang meraih gagang pintu dengan gugup, "Sampai besok." Seru gadis merah muda itu melirik Sasuke sekali lagi dari balik bahu.
Sakura berlari di koridor dan menuruni tangga dengan cepat. Menyelipkan kaki ke sepatu tanpa berhenti untuk menalinya. Secepat kilat ia masuk ke dalam mobil yang terparkir di halaman. Menggenggam keras setir kemudi, ia mendongak melihat jendela kamar Sasuke sambil merengut.
"Apa- apaan itu tadi?" gumamnya pelan pada diri sendiri.
Bagaimana bisa satu- satunya percakapan terbuka dan jujurnya dengan Sasuke berakhir seperti ini?
'Aku peduli dengan apa yang kau pikirkan'? apa maksudnya?
.
.
.
Saat Sakura datang ke rumah Sasuke hari berikutnya, ia diam saja mengikuti Sasuke yang kembali membawanya ke kamarnya. Sepertinya Sasuke menganggap kejadian kemarin tidak pernah terjadi.
Sakura mendudukan diri di ranjang sama seperti kemarin, dan mulai mengerjakan tugas.
Slide powerpoint, itu yang Sakura pikirkan. Powerpoint, dan fanfiksi dan tugas, hanya itu yang ia izinkan memenuhi kepalanya. Beberapa kali Sakura mengangkat kepalanya untuk melihat Sasuke menyandar santai di kursi, melihat gerakan lincah jemari Sakura di atas keyboard mengetikan informasi yang Sasuke sampaikan padanya.
Tatapan Sasuke rasanya tidak sama seperti tatapan pemuda lain padanya. Seketika, Sakura ingin menyembunyikan tangannya ke dalam saku agar Sasuke tidak bisa melihatnya lagi. Agar dia tidak perlu lagi berpikir alasan mengapa Sasuke tidak bisa melepaskan pandangan darinya. Sakura jadi membayangkan apa yang ada di dalam kepala Sasuke saat melihatnya.
Setelah percakapan mereka kemarin... Sakura tidak bisa mengabaikan begitu saja semua tatapan Sasuke. Kenapa Sasuke duduk di belakangnya di kelas Bahasa Inggris. Lirikan Sasuke setiap ia tengah berkelahi dengan Naruto.
Setelah percakapan mereka, rasanya semuanya menjadi lebih personal. Sakura mencoba untuk tidak berpikir begitu, namun sulit dengan semua tatapan Sasuke padanya sekarang.
Sakura mulai mengigit pensilnya untuk mengurangi rasa gugup, dan Sasuke mungkin bisa merasakan kegugupannya dan itu semakin membuat Sakura gugup. Sakura mendongak dan melihat Sasuke sedang melihat kea rah bibirnya yang tengah mengigit pensil, membuat jantungnya berdegup kencang...
"Okey," teriak Sakura, melempar pensilnya ke sisi lain ruangan, Sasuke mengikuti gerakan pensil yang jatuh ke lantai sebelum kembali menatap wajah Sakura. "Kita perlu bicara, dan bisa tidak kau jangan melihat tanganku terus?"
Ruangan membaku selama beberapa saat sebelum Sasuke mengalihkan pandangan sambil tersenyum, "Apa?"
"Jariku, Sasuke." Sakura mengangkat tangannya di udara, membuat Sasuke kembali menatap tangannya. "Kau menatapnya terus. Apa maumu, sih?"
Sasuke memandangnya seperti ingin menyampaikan jika saja Sakura tahu apa yang dia pikirkan saat melihat Sakura, gadis itu akan pingsan karena kaget.
Sakura kembali menyembunyikan tangannya dan berpaling dengan wajah merah menahan malu. "Oke, lupakan tentang tanganku. Kembali ke pembahasan."
"Aku bingung percakapan ini tentang apa."
Dan Sasuke hanya duduk di sana dengan wajah terhibur, dia jelas tahu apa yang sedang Sakura coba bicarakan.
"Kau membuatku bingung dengan ucapanmu kemarin. Tiba- tiba minta maaf dan mengatakan kau peduli dengan apa yang aku pikirkan tentangmu. Ada apa dengan semua itu? Aku butuh penjelasan."
"Sakura, tenang. Aku tidak memaksud membuatmu bingung. Aku hanya ingin memperbaiki hubungan kita." Kata Sasuke pada akhirnya.
"Oke," Sakura mengangguk pelan, "tapi jelaskan padaku kenapa kau ingin memperbaiki hubungan di antara kita?"
Sasuke kembali menyandar rileks di kursi, menatap Sakura sebelum mengangkat bahu. "Aku menyukaimu."
Kalimat itu hanya memantul di dalam kepala Sakura untuk beberapa saat, dia hanya bisa menganga. "Tapi kau benci sahabatku." Respon Sakura seperti itu relevan.
"Dia seperti tembok penghalang selama ini." Kata Sasuke ringan, seperti dia sedang membicarkan tentang cuaca hari ini.
Tembok penghalang. Maksudnya Naruto menghalangi Sasuke untuk menyukai Sakura selama ini. Mungkin Sasuke akan mengatakan sesuatu lebih cepat kalau saja Naruto tidak menghalanginya setiap kali ia melihat ke arah Sakura.
"Oh,"
"Aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk bisa berdua saja denganmu..." yang adalah benar, sangat benar. "Dan kalau aku mencoba berbicara padamu, dia akan menggila."
Benar. Benar. Benar.
"Dan aku tahu kau juga menganggapku menarik, karena aku bisa melihatnya di matamu." Oh Tuhan. Benar sekali! "Jadi aku pikir, kenapa tidak dicoba? Masa bodoh dengannya."
"Masa bodoh." ulang Sakura, mengangguk, masih tidak melihat Sasuke. "bagimu semudah itu."
"Aku menyukaimu," Sasuke menunjuk dirinya, "kau tertarik padaku," lalu menunjuk Sakura, "sesimpel itu."
"Bagaimana dengan ini," Sakura akhirnya menatap Sasuke. "Aku," dia mengangkat jari telunjunya, "kau," diikuti jari tengah, "dan sahabatku yang tidak segan- segan memenggal kepalamu kalau kau berusaha menyentuhku." Sakura menunjukan jari manisnya.
Sasuke tersenyum. Dia tersenyum. Seperti semua ini sangat menghiburnya. "Aku tidak tahu apa kau menyadarinya, tapi aku sama sekali tidak takut pada Uzumaki." Sasuke mengedikan bahu.
"Ha," Sakura menggelengkan kepala, dan melompat turun dari ranjang. "Kau pikir hanya karena kau memenangkan beberapa perkelahian.."
"Sebagian besar perkelahian, Sakura."
"...kau bisa mengatasi semuanya? Biar aku beritahu ya, Tuan muda," Sasuke menggeleng dan tersenyum mendengar Sakura memanggilnya Tuan muda. "Kalau menyangkut aku, Naruto akan berubah menjadi Godzilla. Kau tidak punya kesempatan untuk bisa bersamaku. Kau gila, tahu tidak? Aku setengah ingin pergi dan mengatakan tentang ini pada Naruto sekarang."
Sasuke bangkit dari kursi, namun masih menjaga jarak. "Dari tadi kau mengatakan apa yang akan Naruto pikirkan, bagaimana reaksinya, namun kau tidak mengatakan tentang apa yang kau pikirkan tentang semua ini."
"Apa?" desis Sakura melirik sebal.
"Lupakan tentang Naruto. Anggap dia tidak ada dan tidak relevans. Pikirkan saja tentang apa yang kau pikirkan tentang kau dan aku. Apa yang kau rasakan jika membayangkan aku menyentuhmu?"
Sakura memalingkan wajahnya membelakangi Sasuke, tidak ingin melihat wajah tampan bodoh Sasuke yang bisa mempengaruhi pikirannya.
Sasuke benar juga. Sakura terlalu sibuk memikirkan reaksi Naruto tentang semua ini sampai- sampai dia tidak memikirkan apa yang dia pikirkan tentang ini, tentang perasaannya sendiri.
Kenyataannya adalah, Sakura sama sekali tidak keberatan dengan semua tatapan Sasuke. Semua yang Sasuke pikirkan setiap kali menatap wajahnya, lehernya, tangannya. Mengesampingkan Naruto, Sakura tidak keberatan memikirkan Sasuke menyentuhnya. Satu- satunya masalahnya adalah kepala Naruto akan meledak jika tahu, tapi selama Sakura tidak memikirkannya...
Sakura menelan ludah, menggelengkan kepala. "Sial.
Sasuke melangkah mendekati tempat Sakura berdiri, menyisakan ruang jika gadis itu ingin menghindar kalau Sasuke melakukan sesuatu yang tidak ia sukai. Memberi waktu jika gadis itu ingin menolaknya. Sasuke memiringkan kepalanya, menatap Sakura lekat. "Kau tidak lagi sering melihat perkelahian kami."
Sakura bertanya bagaimana bisa Sasuke mengetahui apa yang Sakura lakukan saat ia tengah berkelahi dengan Naruto. "Tidak, aku tidak menyukainya."
"Jadi kau tidak pernah membayangkan," jarinya menyentuh lengan Sakura yang tidak tertutup kaos, membuatnya merinding. "bisa seberapa lembut aku, kalau kau mengizinkanku."
Kalimat Sasuke seperti stimulasi, membuat darah Sakura berdesir saat Sasuke mulai mengelus lengannya naik turun.
"Aku bisa memperlakukanmu dengan sangat lembut, Sakura." langkahnya mendekat, cukup dekat untuk membuat Sasuke dapat mencium aroma rambut Sakura, seperti dia sudah begitu lama menunggu untuk dapat melakukan ini—setiap dia duduk di belakang Sakura. Menatap punggung dan lehernya, seperti Sasuke sudah lama menunggu untuk dapat menghirup aroma Sakura, menyicipi dan menyentuhnya. "Katakan kau menginginkanku dan aku sepenuhnya milikmu." Sasuke menjeda sejenak.
"Atau katakan kau tidak menginginkanku," Sasuke menghirup dalam- dalam aroma tubuh Sakura, seperti dia sudah mengira Sakura akan menolaknya, dan mencoba mendapatkan sebanyak mungkin yang ia bisa dapatkan saat ini. "Dan kita bisa kembali mengerjakan tugas. Kau yang putuskan."
Pilihan ini seharusnya sangat sulit. Harusnya sulit bagi Sakura untuk memikirkan betapa Naruto membenci sosok di hadapannya ini, betapa Naruto akan sangat marah, bahwa ini akan berakhir dengan sangat buruk. Lalu membandingkannya dengan betapa dia juga sangat menginginkan Sasuke. Seharusnya itu adalah pilihan yang sulit.
Atau seharusnya ini adalah pilihan yang sangat mudah. Dia cukup mundur, mengangkat tangan dan mengatakan, 'ayo selesaikan saja tugasnya'. Karena Sakura tahu ini tindakan bodoh. Dia tahu itu.
Namun, alih- alih mundur, Sakura meraih kaos Sasuke, menariknya turun dan menciumnya keras.
Kejadiannya begitu cepat, Sakura meremas bagian depan kaos Sasuke, emmbuatnya semakin dekat dan Sasuke menyapukan lidahnya di mulut Sakura dengan begitu lapar. Seperti dia mencoba untuk menemukan sesuatu di sana—nafas keduanya berat dan cepat—lalu Sakura melepaskan diri.
"Sial," desisnya menjauh dari Sasuke, berjalan ke sisi lain ruangan. "Ya Tuhan,"
Sasuke hanya berdiri membeku di tempatnya dengan bibir terbuka dan tangan masih di udara, di mana leher Sakura berada sedetik yang lalu. Wajahnya kosong, seperti dia sedang linglung.
Sakura mulai berjalan ke sana ke mari dan berusaha untuk tidak memikirkan bahwa hanya dengan sepuluh detik ciuman darinya, dia dapat membuat Sasuke Uchiha linglung tak berdaya. Karena kalau Sakura mengizinkan dirinya berpikir terlalu jauh, betapa mudahnya baginya menaklukan Sasuke, betapa Sasuke sangat menginginkannya, maka dia akan...
Sakura melangkah cepat mendekati Sasuke dan dan kembali menariknya. Kali ini, dia merangkulkan lengannya di leher Sasuke yang mengikuti melingkarkan tangan besarnya di pinggang Sakura, tepat di bawah kaos Sakura yang terangkat.
Mencium Sasuke, rasanya menakjubkan. Seperti natal yang datang lebih awal. Sasuke sangat mahir dan tubuhnya terasa nikmat menempel pada tubuh Sakura. Ia ingin lebih.
Sakura mau semuanya.
.
.
.
TBC
.
.
.
A/N : Hello my fellow dear friend, i miss yaall.
Semoga masih ada yang mengenali tulisanku dan masih ada yang kangen-seperti kata beberapa dari kalian di PM Eve.
Jadi, laptop lama Eve rusak bersama dengan bejibun tulisan yang belum sempat dipublish, semenjak itu aku kaya kehilangan kemauan untuk menulis lagi... /frustasi gila banyak banget yang hilang, karena pas itu lagi getol banget nulis dan produktif/
One thing leads to others, life goes on, a baby on the way, baru sekarang deh berhasil mengumpulkan kemauan menulis.
Chapter 2 is on it's way... see you in the funny paper, people...
Anyway, Terimakasih sudah membaca.
Kritik, saran dan pendapat silahkan sampaikan lewat review.
-with cherry on top-
.the autumn evening.