Sekolah Sakit Jiwa

.

Disclaimer : Naruto characters belong to Kishimoto-sensei

Warning : AU, OOC, TYPOS, ETC...

Genre : Drama, Romance, Psychologycal, Hurt/comfort

.

Chapter 3 : Hari Pertama

# # # # # #

Sakura POV

Aku menatap cermin dengan tidak bersemangat. Bukan karena seragam baru yang kukenakan hari ini tergolong umum dengan kemeja putih berhias dasi, rompi dan rok abu-abu. Tapi karena sebuah lambang yang terukir jelas di bagian rompi, menyatakan dengan jelas jika aku seorang murid Sekolah Konoha.

Ya, sekolah yang terkenal dengan murid bermasalahnya.

Dan ini adalah hari pertamaku. Kuharap aku bisa melewati hari ini tanpa ada masalah yang merepotkan atau aku tidak akan dapat menyelesaikan masalahku dengan cepat, yang entah apa itu. Atau, seperti yang dikatakan oleh Ino dan Karin, Rumah Sakit Jiwa menungguku.

Memikirkannya saja sudah membuatku entah harus merasa kesal atau sedih.

"Ayo, berangkat!"

Aku menoleh pada teman sekamarku, Ino. Gadis yang sangat amat kurus hingga seragam yang ia kenakan terlihat seakan menggantung di tubuhnya.

"Ino, kau bisa mengantar ke kelasku?"

"Oh, soal itu. Aku sudah melihat jadwalmu dan ternyata kita satu kelas!" jawabnya dengan semangat

"Benarkah?"

Jujur saja, aku merasa sedikit lega karena ternyata sekelas dengan Ino. Menjadi seorang anak baru pasti akan mengundang perhatian, apalagi di sekolah seperti ini, semua orang pasti penasaran apa masalah yang membuatku masuk ke sekolah ini, persis yang ditanyakan oleh Ino dan Karin sebelumnya.

Aku mengikuti Ino keluar dari kamar setelah menguncinya dan kami masing-masing mempunyai kunci untuk kamar. Baguslah, karena aku tidak perlu menunggu Ino jika ingin langsung kembali ke kamar dan mengunci diri di sana.

Saat melewati ruang santai, aku melihat tiga orang gadis sedang tertawa. Dengan penampilan mencoloknya, aku melihat Karin sedang mengatakan sesuatu yang menghibur kedua temannya. Untungnya, kedua orang yang bersama Karin terlihat berpenampilan normal.

"Hey!" sapa Ino yang membuat ketiganya langsung menoleh

"Halo, Ino!" balas gadis yang bercepol dua

Gadis lainnya, terlihat sedikit malu-malu dan mengangkat tangannya sambil menarik senyum tipis. "Selamat pagi."

Kulihat Karin berdiri dari tempatnya dan melompat ke arah kami, "Kalian lama sekali, kami menunggu hampir sepuluh menit!"

Aku tersenyum tidak mengerti, "Kenapa menunggu kami?"

"Ino tidak memberitahumu?" tanya si gadis bercepol

"Kukira akan lebih baik jika itu menjadi kejutan," sahut Ino terkikik

Apa ini?

Entah kenapa aku punya firasat yang tidak beres.

"Yah, kita semua yang ada di sini teman sekelas!" ujar Karin

Aku terdiam.

Aku memang lega karena akan sekelas bersama dengan Ino. Tapi dengan Karin? Melihat penampilannya saja aku bisa tahu jika gadis itu penuh dengan masalah! Lihat saja penampilannya, bahkan setelah sekolah di tempat ini selama setahun, tidak ada perubahan sama sekali!

Walaupun, aku tidak tahu bagaimana gadis itu dulunya. Tapi yang jelas, lebih parah atau tidak berubah sama sekali.

"Omong-omong kita belum berkenalan," kata si gadis cepol. "Aku Tenten. Salam kenal, Sakura!"

Aku tersenyum canggung pada gadis itu, "Salam kenal juga."

Tidak perlu bertanya darimana gadis itu mengetahui namaku karena bagaimanapun juga, Tenten berteman dengan Karin. Atau memang karena aku seorang murid baru, sudah dipastikan namaku akan menyebar luas dengan cepat seperti yang dikatakan oleh Ino.

Mengenai Tenten, gadis itu terlihat cukup normal. Penampilannya tidak ada yang terlalu mencolok dan cara bicaranya juga menyenangkan. Kecuali dengan perban yang berada di kedua tangan dan kakinya.

Apa yang terjadi padanya?

"Uhm, salam kenal juga... Sakura."

Mendengar suara kecil yang malu-malu itu membuatku langsung menoleh pada gadis di samping Tenten. Gadis manis yang memiliki mata cukup menenangkan jiwa siapa pun yang melihat ke dalamnya dan sebuah senyuman yang mampu membiusmu untuk mencicipinya.

Entah apa yang dilakukan oleh gadis secantik itu di sini.

"Oh, salam kenal juga. Siapa namamu?" tanyaku

Gadis itu memainkan jari-jari tangannya dengan gugup sambil menunduk, "Hyuuga Hinata."

Hyuuga? Nama itu tidak asing. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu di suatu tempat tapi tidak dapat mengingatnya. Mungkin saja hanya perasaanku?

"Hinata itu pemalu, jadi jangan dipikirkan. Dia bukan tipe ansos tapi orang tuanya berpikir jika anak dari keturunan Hyuuga sepertinya merupakan sebuah aib dan berharap sekolah ini dapat mengubahnya," jelas Karin melipat kedua tangannya

Aku mengeryit, "Keturunan Hyuuga?"

Hinata yang terlihat tidak nyaman dengan pertanyaanku langsung menundukkan kepalanya sekali lagi, seakan ia menjatuhkan sesuatu di lantai dan tidak akan menemukannya jika tidak menunduk seperti itu.

"Kau tidak tahu Hyuuga corp?" Ino terlihat terkejut. "Perusahaan yang terkenal itu, tahu!"

Sekarang aku ingat.

Tidak heran kenapa nama itu tidak asing lagi untukku. Aku menatap Hinata yang masih menunduk dan sedikit merasa kasihan terhadap gadis itu. Sepertinya memang benar sifat pemalunya sedikit mengganggu, apalagi untuk sebuah keluarga yang seharusnya menjadi sorotan dan panutan di mata masyarakat luas.

Tapi setidaknya aku tahu, gadis itu senormal diriku. Tidak ada yang berbahaya dari diri gadis itu dan aku yakin seratus persen dapat berteman dengannya.

"Berhenti berbicara tentang Hinata," ucap Ino tiba-tiba sambil merangkul Hinata yang akhirnya mengangkat kepalanya. "Sekarang, ayo kita ke kelas sebelum terlambat."

"Terlambat?" aku melihat jam yang tergantung. "Kita masih mempunyai waktu setengah jam. Kau tidak mau sarapan?"

Meski hanya samar-samar, aku melihat jika tubuh Ino mematung untuk sedetik. "Tidak. Aku tidak lapar."

Aku mengangkat alis dengan skeptis, "Tidak lapar?"

Yang benar saja!

Kami tidak makan malam semalam karena aku tidak mempunyai nafsu untuk makan bersama dengan para murid bermasalah lalu menjadi pusat perhatian sebagai murid baru. Sedangkan Ino beralasan jika dirinya tidak pernah makan malam.

Aku mengira jika Ino pasti akan merasa lapar dan membutuhkan sarapan sepertiku sekarang yang sudah merasa lapar dan tidak peduli dengan tatapan mata yang akan kuhadapi nanti. Tapi gadis itu masih mengatakan jika dirinya tidak lapar?

Astaga, tidak heran tubuhnya sekurus itu!

"Ino, kau harus makan." Kata Karin dengan nada memerintah. "Kau tidak mau berakhir di ruang bimbingan sendirian lagi, bukan?"

"Jangan cerewet, Karin. Selama mereka tidak mengetahuinya, aku tidak akan berakhir sendirian keluar dari ruang bimbingan."

"Kau keras kepala, Ino." Kali ini Tenten membuka suara. "Tubuhmu memberitahu mereka jika kau berbohong."

Ino terlihat tidak suka, "Bagaimana kalau kau bercermin saja?"

Aku tidak tahu harus mengatakan apa dan terlebih lagi, aku tidak tahu apa masalahnya. Entah kenapa aku merasa jika membuka mulut dan memaksa Ino untuk makan sekarang ini bukanlah ide yang bagus.

Hinata yang sedaritadi hanya diam, tiba-tiba saja mengangkat tangannya dan menepuk bahu Ino. "Tapi setidaknya makanlah sedikit bersama kami. Roti, mungkin?"

Jade milik Ino terlihat kesal, tapi tidak mengatakan apa pun pada Hinata alih-alih menoleh padaku, "Aku tidak mau. Lupakan saja, aku akan pergi duluan ke kelas. Sakura, jika kau mau sarapan, kau bisa pergi bersama mereka."

Ino pergi begitu saja sebelum aku mengatakan apa pun. Entah apa yang membuat gadis itu terlihat menakutkan, dengan punggungnya yang kurus, berjalan menjauh dari kami ke arah pintu keluar asrama.

Karin menghela nafas keras, "Gadis itu akan berakhir di RSJ."

"Hey, jangan katakan seperti itu. Bukankah kau temannya?" sahutku tidak suka

"Kurasa akan berat untukmu pergi bersama Ino jika merasa lapar," kata Tenten menepuk punggungku sambil tersenyum lebar. "Kau bisa mencari kami ke kantin kalau kau mau."

"Apa? Kenapa Ino tidak menyukai kantin? Apa karena makanannya seburuk itu?" tanyaku tidak mengerti

Karin, Tenten dan Hinata saling berpandangan untuk sesaat sebelum menjawabku, "Kau tidak melihat kenapa tubuhnya bisa sekurus itu? Bukankah itu sudah jelas?"

Aku menatap ketiganya, masih tidak mengerti dengan maksud dari perkataan mereka. Aku tahu Ino kurus, tapi tidak mungkin hal itu membuatnya bisa masuk ke sekolah ini, bukan? Masih banyak manusia-manusia kurus di luar sana tapi tidak masuk ke sekolah seperti ini atau akan berakhir di RSJ.

Sebenarnya, aku tidak mau tahu apa yang terjadi pada Ino atau kenapa tubuhnya sekurus itu. Tapi karena gadis itu adalah teman sekamarku dan teman pertamaku di sekolah ini, aku harus mengetahuinya.

"Hey, katakan saja padaku. Sebenarnya Ino kenapa?" tanyaku pada mereka

Karin memutuskan menjawabku, "Ino itu... Anoreksia."

# # # # #

Aku mengira jika makanan yang akan disediakan untuk murid di sekolah seperti ini akan tergolong menjijikan dengan para staff dapur yang hanya ingin menyelesaikan tugasnya tanpa memperdulikan rasa.

Tapi lagi-lagi aku salah.

Makanan di kantin tergolong enak dengan roti panggang, berbagai selai pilihan dan salad yang terlihat menggoda di meja penyajian. Meski kantin ini tidak terlalu besar, tapi cukup bersih dan nyaman dengan meja-meja dan kursi yang cukup untuk menampung kira-kira lima puluh orang.

Aku memutuskan untuk mengambil salad buah dan jus jeruk untuk sarapan lalu bergerak menuju meja kosong yang tidak jauh dari jendela kantin sambil menunggu Karin, Tenten dan Hinata mengambil sarapan mereka.

Emeraldku menatap sekeliling saat menyadari tatapan dari murid lainnya yang menyadari jika ada murid baru diantara mereka. Aku menghela nafas dan berusaha untuk mengabaikan mereka semua dengan menatap ke arah luar jendela yang menampilkan pemandangan sebuah taman sederhana.

"Hey, Sakura-chan!"

Aku menoleh saat mendengar namaku disebut hanya untuk melihat pria berambut pirang berantakan yang meninggalkanku kemarin di lorong sendirian.

"K-kau," Aku tergagap saat melihat pria itu. "Mau apa lagi kau?"

Naruto terlihat tersinggung dengan sapaanku, "Masih ketus saja ternyata. Aku hanya ingin menyapa dan kulihat kau sarapan sendirian, bagaimana kalau aku bergabung denganmu?"

Aku mendengus lalu menunjuk ke arah Karin dan yang lainnya, "Sayang sekali aku tidak sendirian, tapi bersama dengan mereka."

Pria itu mengikuti arah yang kutunjuk lalu menoleh padaku dengan ekspresi terkejut, "Kau berteman dengan Karin? Aku tidak pernah menyangka murid baru kita yang mengira dirinya normal dan tidak pantas bergaul dengan murid sekolah ini bisa berteman dengan orang seperti Karin."

Lagi-lagi sindiran itu menamparku.

"Dengar ya, meski penampilan Karin seperti itu, aku bisa melihatnya jika gadis itu jauh lebih baik daripada orang sepertimu!"

Rasa malu dan marah bercampur di dalam diriku membuat kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku dan menyadari jika kami sudah menjadi tontonan di kantin. Apa kata-kataku keterlaluan? Karena saat ini Naruto tidak mengatakan apa pun.

Aku berdehem untuk memecahkan keheningan diantara kami, "Uhm... jadi, bisakah kau berhenti menggangguku?"

Safir Naruto menatap lurus padaku lalu tiba-tiba saja tersenyum tipis. Senyum yang tidak menyentuh matanya dan terlihat jelas sekali jika itu palsu. "Kau salah sangka lagi, Sakura-chan. Di sekolah ini, tidak ada kata 'lebih baik' dari siapa pun karena semua yang berada di sini berada di level yang sama. Kita semua bermasalah."

Aku sedikit merasa bersalah saat melihat ekspresinya yang terlihat bersungguh-sungguh, "Uhm, aku mengerti."

"Hey, Naruto!"

Tiba-tiba saja suara feminin di belakang Naruto membuat kami menoleh pada Karin, Tenten dan Hinata yang sudah membawa sarapan mereka masing-masing. Ketiganya menatapku dan Naruto secara bergantian dengan penasaran.

"Apa kau menggoda murid baru lagi, Naruto?" tanya Karin menaikkan alisnya

Tiba-tiba saja ekspresi Naruto berubah seratus delapan puluh derajat. Pria itu kembali ke dirinya yang ceria dengan senyum lebar yang khas, "Aku tidak menggoda Sakura-chan! Aku hanya menyapanya."

"Kalau begitu kenapa semua orang menatap kalian?" kali ini Tenten bertanya

"Mana aku tahu!" sahut Naruto tak acuh. "Mungkin karena mereka ingin melihat seperti apa murid baru, kan?"

"Dan lagi, kau terlihat akrab sekali dengan Sakura. Bahkan sudah mengetahui namanya, heh?" cerca Karin tidak menyerah

Aku memutar mata, tidak tahan lagi dengan perdebatan mereka. Belum lagi perutku sudah berbunyi menuntut untuk diisi, "Sudahlah. Aku hanya ingin sarapan dengan tenang sebelum memulai kelas pertamaku. Jadi, tidak bisakah kita menyelesaikan ini?"

"Sakura lapar," kata Hinata meletakkan nampan sarapannya di sebelahku. "Ayo kita makan. Naruto mau sarapan bersama kami?"

"Kau memang yang terbaik, Hinata!" Naruto langsung mengambil nampan makanannya yang ternyata ia letakkan di meja sebelah. "Aku akan makan bersama kalian!"

Entah kenapa suasana selama kami sarapan bersama, aku tidak merasa mereka semua berasal dari kalangan sekolah dengan rumor murid bermasalah. Bahkan aku bisa mengobrol dengan mereka selayaknya teman normal di luar sana.

Apa semua rumor itu tidak benar?

BRAAAAK!

Aku berhenti makan saat mendengar suara keras yang berasal dari meja makan di bagian belakang kantin. Semua orang langsung menatap dengan penasaran pada apa yang terjadi di sana saat melihat sebuah meja terbalik dengan kursi yang sudah tidak beraturan di lantai, bersamaan dengan seorang pria berdiri diantaranya memunggungi kami semua.

Entah kenapa, aku mengenal punggung itu. Tapi tidak bisa mengingatnya.

"Lagi-lagi Uchiha," gumam Hinata di sebelahku

Uchiha siapa?

Pria itu menarik kerah pria lainnya yang ternyata terduduk di depannya dengan kasar agar berdiri, entah apa yang mereka perdebatkan karena jarak kami cukup jauh, tapi sepertinya sesuatu yang membuat pria bernama Uchiha itu cukup marah.

BUG!

Tiba-tiba saja Uchiha melayangkan tinjunya hingga pria yang di depannya terhuyung ke belakang beberapa langkah dengan bibir mengeluarkan darah. Aku menutup mulutku saat menyadari jika ini benar-benar serius dan bukan candaan.

"Hey, hey! Bukankah seharusnya kita memanggil seseorang?" tanyaku panik

"Tenang saja," Karin melanjutkan sarapannya dengan tenang. "Sudah biasa Uchiha mengamuk dan menghajar seseorang."

Aku meringis, "Yang benar saja. Kita harus memanggil seseorang-"

"HEY ADA APA INI!" seru sebuah suara dari pintu kantin

Aku menoleh ke arah suara menggelegar itu yang ternyata seorang guru bertubuh besar dengan wajah menakutkan yang dipenuh dengan bekas luka gores. Ada apa dengan guru-guru di sekolah ini memiliki wajah luka-luka?

Kemarin Pak Iruka, sekarang guru besar ini.

"Habis sudah kalau Pak Ibiki turun tangan," gumam Naruto

Aku mengeryit, "Kenapa memangnya?"

Tenten menghela nafas, "Pak Ibiki itu salah satu guru yang bertanggung jawab dalam kedisiplinan. Jadi jika ada pertengkaran seperti ini, Pak Ibiki akan memberi hukuman yang tergolong sadis."

Aku tidak ingin bertanya hukuman apa yang akan diberikan karena yakin jika aku tidak akan mendapatkannya. Mana mungkin aku akan bertengkar seperti yang Uchiha itu lakukan?

Pak Ibiki langsung turun tangan memisahkan Uchiha dengan pria yang dipastikan sudah hampir pingsan karena menerima tinju secara sepihak itu. Aku melihat wajahnya yang sudah penuh dengan lebam kebiruan dan cukup mengenaskan.

"Kuperingatkan Sakura," kata Karin tiba-tiba. "Jangan pernah mau berhubungan dengan Uchiha atau kau akan mendapatkan masalah. Dia itu salah satu murid yang paling berbahaya di sekolah ini."

Aku mengeryit, "Berbahaya?"

"Baik dari masalah dan pribadinya, dia itu bermasalah."

"Aku mengerti," jawabku sambil melihat Uchiha yang diseret oleh Pak Ibiki

Pria itu melawan dengan menepis kasar tangan Pak Ibiki yang berusaha menenangkannya, namun dengan cepat guru berbadan besar itu menggunakan tenaganya dan mendominasi Uchiha dengan mengunci kedua tangan pria itu di punggungnya hingga tidak dapat berkutik untuk dibawa pergi.

Aku yang penasaran dengan wajah Uchiha, tetap memperhatikan pria itu saat diseret oleh Pak Ibiki keluar dari kantin. Dengan jarak yang cukup dekat karena melewati meja kami, aku dapat melihat wajah Uchiha dengan jelas.

Rambut itu, mata itu dan wajah itu.

Detik itu juga aku terdiam. Tentu saja, bagaimana mungkin aku bisa lupa pada pria yang sudah membuatku gagal melarikan diri dari sekolah ini kemarin?

Sial, Uchiha itu Sasuke.

"Hey," aku harus memastikannya. "Siapa nama panjang Uchiha?"

Hinata terlihat penasaran, tapi tetap menjawab. "Uchiha Sasuke."

Sial.

Itu memang dia.

"Kenapa Sakura-chan?" tanya Naruto mendekatkan kepalanya. "Kau tertarik dengannya? Para gadis selalu tertarik karena wajah tampannya. Apa kau juga?"

"Ini peringatan untukmu, Sakura!" Tenten menunjukku dengan garpu miliknya. "Jangan pernah mendekati Uchiha Sasuke atau kau akan terjebak masalah. Dia itu berbahaya, kau sudah melihat sendiri apa yang terjadi, bukan?"

"Yah, kami tidak bisa sepenuhnya menyalahkanmu karena menyukai wajah tampannya. Siapa yang tidak?" Karin mengangkat bahunya sambil tersenyum memaklumi. "Aku juga menyukai wajah tampannya. Tapi setelah mendengar masalahnya... aku lebih baik mundur."

Ugh. Ada apa dengan mereka semua menuduhku menyukai bajingan yang sudah mengagalkanku untuk kabur demi sebuah nilai?

Aku menyuap salad terakhirku, "Tenang saja. Aku tidak akan pernah tergoda oleh wajah tampan."

Naruto tiba-tiba saja tertawa, "Itu memang benar. Untuk orang normal sepertimu, tidak mungkin menyukai pria bermasalah seperti Uchiha, bukan?"

"Itu benar." Meskipun sindirian itu membuatku kesal, kali ini aku harus setuju dengannya. "Lagipula, kami tidak akan berada di kelas yang sama, bukan? Jadi, tidak akan ada kesempatan untuk kami berbicara."

Entah kenapa keempatnya saling memandang, membuatku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Aku tidak ingin bertanya, tapi sepertinya rasa penasaranku hari ini tidak dapat terkontrol dan mengkhianati otakku.

"Ada apa?" tanyaku akhirnya

"Sepertinya harapanmu akan sia-sia saja, Sakura." Karin menarik nafas dalam-dalam sebelum mengatakannya, "Uchiha Sasuke itu berada di kelas yang sama dengan kita semua."

Aku memang sial.

# # # # #

"Ini kelas kita."

Aku menatap kelas yang dimasuki oleh Karin dan Tenten dengan tidak bersemangat. Aku bisa melihat keadaan di dalam ruangan yang terlihat seperti campuran antara kelas dengan penjara serta para murid yang terlihat normal, namun aku tahu jika mereka semua tidak seperti penampilannya.

Dan aku tidak bersemangat karena mengetahui fakta jika Uchiha Sasuke yang terkenal sebagai murid paling bermasalah di sekolah ini ternyata berada di kelas yang sama denganku. Kebetulan, pria itu juga orang yang sudah mengagalkanku untuk kabur pada hari pertama masuk ke tempat ini.

"Sakura?" panggilan Hinata menyadarkanku dari lamunan. "Tidak masuk?"

"Uhm, aku bingung harus duduk dimana." Kilahku agar ia tidak curiga lalu melirik seluruh kelas. "Dimana Ino?"

Naruto yang sedaritadi berdiri di samping Hinata mengangkat bahunya, "Mungkin bersama dengan Chouji."

Aku mengeryit, "Siapa Chouji?"

Kekasihnya kah?

Hinata tertawa merdu seakan mengingat sesuatu, "Chouji itu teman sebangkunya Ino dan mereka berdua cukup unik karena bisa berteman."

Bahuku langsung merosot saat tahu Ino sudah memiliki teman sebangku, "Unik bagaimana maksudmu?"

"Kau akan tahu nanti," sahut Naruto lalu mendorongku untuk masuk ke kelas. "Ayo, masuk dan sapa teman sekelasmu yang baru."

Saat Naruto mendorongku masuk, detik itu juga seluruh pandangan mata yang penasaran langsung menatapku. Seharusnya aku sudah tidak merasa apa pun lagi setelah semua tatapan mata penasaran yang kurasakan di kantin tadi, tapi entah kenapa saat berada di kelas segalanya terasa berbeda.

Aku merasa gugup.

"Hey, ini dia bintang baru di kelas kita! Haruno Sakura-chan!" teriak Naruto memperkenalkanku dengan mencolok

Sialan.

Aku melotot ke arah pria itu dan menepis tangannya yang sedaritadi masih berada di punggungku lalu menoleh ke arah Hinata, "Kurasa kau juga sudah mempunyai teman sebangku?"

Gadis itu tersenyum menyesal, "Naruto teman sebangkuku."

"Lalu siapa teman sebangkuku?" tanyaku bingung

Alih-alih menjawabku, gadis itu menoleh ke arah Naruto seolah meminta bantuan untuk menjawab. Entah kenapa aku mempunyai firasat buruk tentang siapa teman sebangkuku saat melihat senyum jahil di wajah Naruto.

"Lupakan saja," kataku membuang muka

Emeraldku melihat sebuah meja dengan dua kursi yang masih kosong di bagian sudut belakang dekat jendela yang terlihat belum ada pemiliknya karena tidak ada tas di tempat itu. Kakiku langsung melangkah ke meja tersebut dengan melewati tatapan penasaran yang mengikuti.

"Kau yakin mau duduk di situ, Sakura?" tanya Karin yang berada dua meja di depanku

Aku mengeryit, "Mau dimana lagi? Apa di sini ada yang tidak mempunyai teman sebangku?"

"Sebenarnya ada," jawab Tenten yang duduk di sebelah Karin. "Dan kau berada di tempat yang tepat."

"Kalau begitu tidak ada masalah, bukan?" tanyaku duduk dengan santai

Karin mengangkat bahunya, "Yah kuharap kau bisa nyaman di sana."

Entah apa artinya, aku tidak ingin bertanya lebih lanjut dan memutuskan untuk melihat ke arah jendela yang memiliki terealis besi seperti asrama. Pemandangan yang disajikan pun cenderung tidak menarik karena ternyata hanya sebuah taman yang tak terawat dan menakutkan.

Kapan sih mulai kelasnya? Aku ingin cepat-cepat mengetahui siapa guru pembimbingku dan bertanya padanya apa masalahku hingga bisa masuk ke sekolah ini karena aku yakin sekali, pasti ada kesalahpahaman yang membuatku berada di tempat ini.

Aku tidak akan pernah percaya jika orang tuaku yang benar-benar melakukannya karena mereka tidak terlihat seperti menyembunyikan sesuatu dariku.

TEEEEEETTTTTTTTTT TEEEEEEETTTTTTTTTTT

Aku menutup telingaku dengan kedua tangan saat mendengar suara nyaring yang menyakiti telinga dan sepertinya bukan hanya aku yang melakukannya karena hampir seluruh penghuni kelas menutup kedua telinga mereka sambil menggerutu.

Jangan katakan jika itu belnya?

Aku melihat Ino muncul dari pintu kelas bersama dengan seorang pria di belakangnya sambil tertawa. Yang membuatku terkejut adalah ukuran tubuh pria itu yang benar-benar berbanding terbalik dengan Ino. Jika teman sekamarku itu sangat kurus, pria bernama Chouji itu benar-benar gemuk seperti balon udara yang memiliki kaki.

Tidak heran jika Hinata mengatakan mereka berdua unik karena bisa berteman.

Tidak lama setelah Ino dan Chouji masuk, pintu kelas kembali terbuka dan kali ini bukan seorang murid karena pria itu cukup terlihat dewasa serta tidak memakai seragam sepertiku. Jelas sekali, pria itu seorang guru.

Tapi, apa guru sekolah ini tidak normal? Kenapa pria itu memaki masker untuk menutupi setengah dari wajahnya? Dan apa-apaan matanya yang terlihat mengantuk dan tidak bersemangat itu?

"Selamat pagi," sapanya yang terlihat terpaksa lalu melirik buku yang ia bawa. "Hmm, sepertinya kita mempunyai murid baru."

Aku kembali merasakan tatapan dari kelas yang membuat guru tersebut mengetahui keberadaanku di kelas. Entah kenapa perasaan gugup kembali menguasaiku hingga tanpa sadar tanganku sudah terangkat dengan senyum canggung ke arah semua orang.

"Itu saya."

"Haruno Sakura, bukan?" tanyanya

Aku menggangguk, "Benar."

Guru itu meletakkan buku yang ia bawa, "Aku Kakashi. Guru yang akan bertanggung jawab untuk kelas ini. Kurasa kau sudah tahu peraturan sekolah ini dengan membaca buku peraturan yang diberikan padamu, bukan? Kuharap kau bisa mematuhinya atau aku terpaksa bekerja lembur."

Dan suara sorakan tidak setuju langsung menggema di kelas yang terlihat setengah bercanda karena ucapan Pak Kakashi. Aku hanya bisa tertawa canggung lalu melirik ke arah kursi kosong yang berada di sebelahku dan menyadari jika ada satu orang yang belum berada di kelas ini.

Astaga.

Kenapa aku baru menyadarinya?

Cepat-cepat aku mengangkat tanganku sebelum Pak Kakashi berbalik ke arah papan tulis, "PAK!"

Pria itu menatapku, namun tidak mengatakan apa pun. Kurasa ia menungguku untuk mengatakan kepentinganku.

"SAYA MAU PINDAH TEMPAT!"

Pak Kakashi menghela nafas, kedua tangannya langsung terlipat di dada. "Sepertinya kau sudah tahu siapa yang akan menjadi teman sebangkumu."

"Itulah alasan saya mau pindah tempat," sahutku

Mata Pak Kakashi langsung mengelilingi seluruh meja yang berada di depannya, "Sayang sekali, kau bisa lihat sendiri sudah tidak ada tempat kosong selain yang kau tempati."

"Apa boleh seseorang bertukar tempat denganku?" tanyaku pantang menyerah

Detik itu juga aku mendengar suara tidak nyaman dari teman sekelasku serta tatapan tidak suka yang jelas sekali tertuju ke arahku. Mungkin mereka semua juga tidak mau berada di tempatku ini.

"Hmm," Pak Kakashi melirik ke arah murid-muridnya. "Bagaimana pendapat kalian? Siapa yang mau bertukar tempat dengan Haruno?"

Hening. Tidak ada yang menjawab bahkan semua orang terlihat tidak ingin menatap mata sanng guru agar tidak ditanya atau mendapatkan kesan jika mereka ingin bertukar tempat.

"Seperti yang kau lihat, Haruno. Tidak ada yang bersedia, jadi kau bisa duduk disana selama satu tahun ke depan."

Aku tidak akan membiarkannya!

"Tapi, Pak-"

Brak!

Suara pintu kelas yang dibuka dengan kasar memotong kalimatku dan detik itu juga semua pandangan berpindah ke arah orang yang baru saja muncul di kelas. Aku menelan ludah saat melihat siapa yang masuk.

"Uchiha Sasuke," tegur Pak Kakashi. "Kau terlambat?"

Pria itu terlihat tidak suka dengan pertanyaan Pak Kakashi, "Aku ditahan oleh Pak Ibiki."

Alih-alih marah dengan nada kurang ajar dari pria itu, Pak Kakashi menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya seakan hal itu sudah biasa. "Lagi-lagi kau membuat masalah?"

Tanpa menjawab, pria itu langsung melenggang begitu saja ke arahku. Tidak ada jalan untuk melarikan diri lagi dan aku hanya bisa pasrah duduk sambil berharap jika pria itu tidak menggenalku.

Namun ternyata, saat berjalan ke arahku mata hitam itu langsung terkejut mengetahui jika mejanya yang selama ini ditempati olehnya sendiri ternyata sudah ada orang lain. Wajah dingin yang penuh dengan kekesalan saat masuk ke dalam kelas itu berubah dalam sekejap.

Karena Uchiha Sasuke berjalan mendekati dengan senyuman kejam sambil menyapa dengan nada yang entah kenapa membuatku merinding.

"Sepertinya kau memutuskan untuk tinggal di sekolah ini, gadis liar?"

Sial. Dia mengingatku.

# # # # #

TBC

Halooo XD

Btw Risa mau minta masukan atau kritikan yang sopan dari kalian untuk cerita ini mengingat tema yang diambil cukup dalam dan berbeda dari sebelumnya. Ditambah, Risa minta ampun karena semua typo yang bertebaran :( dan kalau kalian menemukannya, kalian bisa memberitahu kita kok di review atau PM.

Love you all *KissHugKissHug*