Banyak orang pikir lahir dalam keluarga kaya raya akan sangat menyenangkan.

Memang, dengan uang kau bisa mendapat hampir seisi dunia. Memakai pakaian branded yang kenyamanannya tidak perlu lagi dipertanyakan. Menapatkan fasilitas kelas satu untuk setiap perjalanan. Mengunjungi berbagai negara sudah jadi kegiatan rutin sejak aku masih kanak-kanak. Entah sudah berapa kali aku berganti paspor.

Aku tidak pernah merasakan rasanya tidak punya uang. Mereka bilang aku anak yang lahir dengan sendok emas di mulut. Mau apa tinggal tunjuk.

Ya, orang-orang berpikir itu sisi baiknya.

Tapi mereka tidak pernah tahu bagaimana ketatnya pengeluaranku dipantau oleh orang tuaku. Bahkan mereka lebih sering memantau arus kas rekeningku daripada nilai pelajaranku. Mereka selalu bilang kalau aku bisa mengendalikan uang, berarti aku bisa mengendalikan diriku, mengendalikan keinganku, dan juga mengendalikan pergaulanku.

Tidak, mereka tidak pelit. Hanya saja, ada hal-hal yang mereka anggap tidak berguna, seperti menghabiskan 70.000 untuk secangkir kopi. Tapi takkan marah ketika aku menghabiskan lima juta untuk sepotong dress yang mungkin hanya akan digunakan sekali atau dua kali dalam hidupku.

Waktu kecil aku selalu marah dengan hal itu. Tapi semakin dewasa, akupun sadar bahwa kata-kata orang tuaku memang benar. Mereka mengajarkanku untuk tidak bergantung pada uang. Aku belajar untuk bisa memanfaatkan uangku pada tempat yang seharusnya. Toh semua kopi rasanya sama, dan kalau dipikir-pikir, teman-teman sebayaku minum kopi di kedai waralaba hanya untuk pamer di sosial media. Sedangkan pakaian, meksipun mahal, aku menggunakannya dengan nyaman untuk tampil rapi di hadapan kolega orang tuaku.

Karena aku banyak melihat, orang-orang mengejar uang untuk mengamburkannya pada hal-hal tidak berguna. Akhirnya mereka sendiri yang terjebak pada gaya hidup mereka.

Hidup sebagai 5% orang terkaya negeri ini tidak lantas membuat hidupku terlihat menyangkan. Memang, aku bisa melakukan segalanya, tapi tentu saja orang tuaku—bahkan kakek-nenekku—sudah menggambar peta yang jelas akan jalur hidupku. Aku tidak perlu memusingkan harus masuk jurusan apa saat kuliah, harus bekerja apa setelah lulus, bahkan masalah jodohpun sudah ditentukan. Aku hanya perlu mengikuti.

Pertama kali aku bertemu dengannya saat umurku 15 tahun. Namanya Kim Kai, lelaki berdarah Korea yang sejak awal sudah diputuskan akan menjadi suamiku kelak. Pewaris tunggal Woojoo Group. Dia dua tahun lebih tua dariku. Saat itu tingginya tidak terlalu mencolok. Rambutnya hitam, berkulit agak gelap, dan bibir yang tebal.

Bohong kalau aku bilang dia tidak menarik. Bagaimanapun juga, aku hanya remaja yang sedang mengalami pubertas. Tapi itu semua tidak cukup menjadi alasan bagiku jatuh cinta padanya. Hanya kekaguman semata yang lekas hilang begitu kami terjebak dalam kecanggungan.

Pertemuan pertama kami berjalan sangat buruk. Rasanya tidak ada perkembangan apapun yang terjadi, terlebih setelah Kai memilih berkuliah di Amerika. Email yang kami kirimkan persis seperti rekan bisnis. Selamat tahun baru, selamat natal, dan selamat ulang tahun. Tidak lebih, tidak kurang.

Tapi bagaimanapun juga, aku tidak punya hak menolak.

Di sinilah aku berada, di depan altar dengan veil menutupi wajahku, mengucapkan janji sehidup semati dengan seorang yang masih terasa asing dalam hidupku.

"Do Kyungsoo, apakah kau bersedia?" tanya pastor.

"Ya, aku bersedia."

.

.

.

Kazuma House Production

present...

.

.

.

A Day Off

® 2018

.

.

.