We Have Faith on You

Chapter 13

~Eyeshield 21 is Not Mine~

Summary:

Youichi Hiruma melakukan kesalahan di final Rice Bowl, sebuah KESALAHAN. Titik awal yang baru dari kepercayaan, cinta dan persahabatan. Dapatkah mereka meyakinkan Hiruma bahwa dia tidak berjuang sendirian.

"Kau tidak akan mengerti apa yang aku rasakan selama ini."

Inspired Song by Danity Kane "Stay With Me"

Warning : OC, OOC, dan overdrama ga jelas

.

.

.

"Tuan Hiruma, dia anakku. Jiro. Dia yang akan menemanimu selama di rawat disini."

Hiruma kecil, 6 tahun, yang duduk di kursi rodanya hanya menatap lurus pada lelaki tua dihadapnnya. Pelayan utama keluarga Hiruma, Junji Ishiya, baru saja datang membawa putranya yang berusia sekitar 13 tahunan. "Kaa-san dan Tou-san?" suara Hiruma kecil terdengar parau. Dia baru saja melewati kemoterapi untuk minggu ini. Tubuhnya terlihat pucat dan kurus, ini kemo ke -3 nya.

Jiro Ishiya yang sejak tadi berdiri di samping ayahnya terus menatap kasihan pada anak kecil dihadapnnya. Dia terlihat lebih kecil dari anak seusianya yang lain. Anak itu memandang penuh harap pada ayahnya ketika menanyakan keberadaan orang tuanya. Tetapi ayahnya hanya tertunduk dan diam tidak menjawab apapun. Jiro awalnya berpikir bukan hal yang sulit untuk mengatakan kebenarannya pada anak itu, tetapi ketika melihat kondisinya, Jiro mengerti kenapa ayahnya meminta dirinya untuk menjaga dan menyembunyikan kondisi keluarga anak itu saat ini.

Dua hari yang lalu, ibu anak itu meninggal karena penyakit yang hampir sama dengan yang diderita sang anak. Dan Jiro yang tidak sengaja mendengar pembicaraan ayahnya dengan tuannya, sang ayah anak itu, begitu terkejut karena ayahnya memilih menyalahkan putranya atas meninggalnya sang istri. Sang ayah memilih lepas tangan dan menyerahkan seluruh perawatan sang anak pada pelayannya. Tidak kah hal itu terdengar menyedihkan, anaknya masih kecil dan harus menjalani perawatan penuh di rumah sakit sendirian. Jika Jiro bisa memilih, dia akan memilih sang ibu untuk disalahkan karena menurunkan penyakit yang sama ke putranya.

"Aku mengerti, mereka akan datang saat aku sudah sembuhkan, Ishiya-san?"

"Kenapa anda berpikir seperti itu, Tuan?"

"Itu yang dikatakan Tou-san saat terakhir datang menjengukku, dia bilang Kaa-san akan datang jika aku sembuh. Karena sampai sekarang aku belum sembuh, pasti Tou-san juga tidak ingin datang 'kan?"

Ayahnya menatap anak itu dengan mata yang berkaca-kaca, mencoba menahan tangisnya. Jiro sendiri hanya dapat tertegun mendengar penuturan anak itu dan berbalik menatap sang ayah yang sudah berlutut dihadapn anak itu dan menggenggam erat tangannya.

"Tuan, aku berjanji akan menjagamu, aku dan anakku berjanji akan merawatmu hingga kau sembuh."

Mengerti maksud dari perkataan sang ayah, Jiro muda juga ikut berlutut di samping sang ayah dan membuat janjinya sendiri untuk anak yang tersenyum penuh harap kepada ayah dan anak Ishiya tersebut.

Suasana hening kamar perawatan VIP Hiruma membuat Jiro yang baru saja datang sedikit bernostalgia pada masa kecilnya. Hampir 2 tahun masa mudanya, dia hanya berputar pada siklus yang sama, rumah-sekolah-rumah sakit. Tentu saja Jiro tidak akan mengeluhkan hal itu, Hiruma muda bahkan memiliki masa kecil lebih menyakitkan, hampir 3 tahun masa kecilnya hanya berakhir di rumah sakit. Bahkan saat anak itu berkesempatan pulang, tidak akan ada yang menyambutnya di rumah atau dia hanya akan menginap di rumah pelayannya.

"Hiruma-san, aku datang membawakan makanan kesukaanmu." Ujar Jiro yang mengetahui bahwa Hiruma hanya sedang menutup matanya.

"Aku akan menaruhnya di meja, itu buatan Tou-san, dia datang dari Kanto ketika mengetahui kondisimu. Selain itu, aku melihat Anezaki-san di lobi rumah sakit jadi aku akan kembali ke kantor."

Jiro melihat Hiruma yang perlahan membuka matanya dan menunjukkan mata emerald-nya yang kian hari kehilangan cahayanya itu. "Ishiya-san, apa kabarnya?"

"Tidak baik, dia begitu menghawatirkanmu sampai jatuh sakit dan memaksakan diri ke Kyoto. Tetapi jika anda terus membaik, saya yakin kondisinya pun akan sama."

"Katakan padanya, aku sudah sembuh. Pulang lah ke Kanto, kau sendiri pasti sudah repot kan harus mengurusiku apalagi kau baru saja menjadi seorang ayah, jadi minta lah dia kembali dan beristirahat saja di rumah anak perempuannya itu."

"Hiruma-san, aku rasa aku tidak bisa membohonginya tentang kondisimu."

"Ah ya— tentu saja, kau sudah menjadi ayah. Aku yakin kau akan jadi ayah yang baik." Jiro tidak mengerti arti dari perkatan Hiruma, tetapi satu hal yang dia yakini, Hiruma sedang merutuki kemalangannya. Bagaimanapun juga, walaupun ayahnya telah berusaha menjadi sosok ayah yang baik, tetap saja perlakuan ayah kandungnya selalu terngiang diingatannya.

"Ba-baiklah, Hiruma-san. Aku akan kembali besok, beristirahatlah dengan baik."'

Jiro membungkukkan badannya dan berbalik ke luar kamar. Tetapi ketika dia akan membuka pintu, suara Hiruma yang bergerak dari ranjangnnya membuat langkahnya terhenti. Dia belum berbalik, barangkali Hiruma hanya merasa tidak nyaman dengan posisinya. Namun, pertanyaan Hiruma lah yang membuatnya berbalik dan menatap lurus pada pemuda yang tengah duduk tersebut.

"Apa maksud anda, Hiruma-san?"

Mamori hanya bisa tersenyum ketika melihat Hiruma tengah duduk dan memakan sekotak bento di kasurnya, "Kau sudah sadar."

Dia duduk di kursi yang berada di samping kasur, menaruh semua barangnya dan memandang Hiruma lembut. Sang kapten Saikyodai itu masih mengabaikannya dan asik memakan bentonya. Tetapi Mamori tidak mengambil hati, melihat Hiruma makan dengan lahap saja sudah membuatnya sangat senang. "Pagi ini aku bertemu dengan Profesor Munakata, dia menitipkan minuman herbal dan jurnal kalian yang sudah diterbitkan. Selamat ya, lagi-lagi kau berhasil melakukan sesuatu yang terlihat mustahil bagiku."

Beberapa saat berlalu dengan Mamori yang hanya memerhatikan Hiruma dan Hiruma sendiri yang tetap asik dengan makannya. Terlalu tenang, tetapi lebih baik begitu. Diakuinya, Mamori sangat merindukan suasana tenang diantara dirinya dan Hiruma yang dulu. Seperti saat dia membersihkan ruang klub dan Hiruma yang sibuk dengan laptopnya.

"Kau mulai terlihat seperti stalker, manajer sialan."

"Ah, kau memanggilku dengan sebutan itu lagi. Senangnya. Tapi Youichi, aku bukan stalker-mu." Mamori menunjukkan wajah kesalnya, tentu saja hanya pura-pura. Dia sebenarnya sangat senang ketika Hiruma mulai memanggilnya dengan julukan itu lagi.

Setelah menghabiskan makannya, Mamori dan Hiruma larut dalam pembicaraan mengenai amefuto dan latihan tim Saikyodai Wizard. Sebenarnya Mamori sedikit bingung ketika Hiruma mulai membuka pembicaraan mengenai perkembangan tim amefuto tetapi dia membiarkannya. Mengetahui Hiruma masih peduli dengan kondisi tim saat ini memberikannya harapan bahwa Hiruma semakin membaik. Ditambah lagi beberapa masukan yang diberikan Hiruma mengenai strategi dan latihan anggota tim sangat membantunya menjelang kompetisi X League minggu depan.

Menaruh pulpen dan buku catatannya ke tas, Mamori tersenyum lega memandang Hiruma. "Sudah kucatat semua, besok aku akan memberitahu pelatih dan anggota yang lain tentang masukanmu ini."

"Tidak juga tidak apa, masukanku tidak terlalu berguna jika tidak benar-benar mengetahui kondisi lapangannya langsung."

"Selama pertandingan, kau selalu memintaku mengamati setiap orang dari luar lapangan agar kau bisa fokus dengan permainanmu. Lalu karena hasil pengamatanku, kita menyusun strategi mengalahkan lawan. Jadi, ini sama saja bagiku. Aku memberitahumu kondisi di lapangan dan kau yang menyusun strateginya."

"Heh, aku tidak tahu kalau kue sus itu membuatmu senaif ini manajer sialan."

Mamori kembali mengulas senyum diwajahnya. Dia tahu, Hiruma pasti menganggapnya stres atau apapun itu saat ini. Karena biasanya dia akan membalas dengan wajah dan nada yang kesal kalau Hiruma menghinanya bukan malah tersenyum seperti ini.

"Aku juga tidak tahu, ternyata aku sungguh merindukan hal seperti ini darimu, Youichi."

"Baka."

Mamori tidak dapat melihat ekspresi Hiruma saat ini, Yang dia tahu adalah kedua tangan Hiruma yang mulai memeluk tabuhnya dengan erat dan membawa Mamori duduk di samping Hiruma di atas kasur. Kedua tangan yang semakin kurus itu melingkar erat dipinggangnya. Dia sendiri entah kapan telah membalas pelukan itu, menenggalamkan kepalanya pada bahu Hiruma dan menyesap setiap aroma mint yang samar terganti oleh aroma khas rumah sakit.

"Kau menangis sambil tersenyum lagi, apa kau tahu?"

Mamori tidak tahu jika dia menangis, dia pikir dia hanya tersenyum. "Ini air mata bahagia, seharusnya kau tahu."

"Baka."

Menganggukkan kepalanya, Mamori semakin membenamkan wajahnya pada pundak Hiruma. Merengkuh tubuh yang terasa lebih kurus setiap kali dia memeluknya. Sungguh, dadanya sesak. Seperti yang dikatakannya, seharusnya air matanya adalah air mata bahagia. Tetapi dia tidak tahu, kenapa kebahagiaannya itu membuat dadanya sakit seperti ini.

"Kau tahu, pagi ini Kurita memarahiku. Bahkan dia tidak pernah marah pada siapapun sebelum ini."

"Makanya aku bilang kau itu bodoh."

Tangis Mamori semakin kencang, tangannya semakin memeluk erat tubuh kurus itu. Ini seharusnya hanya kunjungan biasa, tetapi entah kenapa dia menjadi emosional. Sejak pagi tadi emosinya tidak teratur mulai dari senang karena mengetahui keberhasilan Hiruma dan beralih menjadi sedih melihat kemarahan Kurita yang merasa dibohongi mengenai kondisi Hiruma.

"Iya aku bodoh, sangat bodoh. Makanya kau jangan pergi lagi, aku mohon. Jangan pergi!"

"Kau terdengar sangat egosi, manajer sialan. Kalau kau bisa melepas si cebol sialan seharusnya mudah bagimu untuk melepas setan sepertiku."

"Karena aku itu bodoh."

"Hah, aku tidak tahu kenapa aku bisa menyukai orang bodoh sepertimu."

.

.

.

*End of Chapter 13*