CHAPTER ONE: SIN
"Apakah aku dipanggil untuk melawan vampire?"
Suara lari gadis berambut pirang dikepang ke belakang itu terus menggema. Mengesampingkan suara benturan, teriakan, erangan yang dihasilkan dari pertarungan-pertarungan di sekitarnya. Dia terus berlari cepat menggunakan sepatu boot-nya yang terbuat dari besi dan melewati setiap celah hingga batu yang ada.
Sebagai ruler, seharusnya dia memiliki pengetahuan yang cukup untuk para servant dan master yang berpartisipasi di Great Holy Grail war ini. Tapi, semuanya terus berjalan di luar perkiraannya. Mulai dari kedatangan homunculus, kematian salah satu servant kelas hitam tanpa melibatkan pertarungan, kedatangan monster vampire yang memiliki kekuatan penghancur luar biasa, hingga akhirnya para servant merah yang tiba-tiba kehilangan kekuatan mereka karena sesuatu telah terjadi pada master mereka entah dimana.
Jeanne d'Arc mengernyitkan kedua alisnya semakin dalam seiring dengan langkahnya yang semakin keras dan cepat.
Ada yang... tidak beres di dalam perang suci ini.
Kedua iris mata berwarna violet itu melihat pintu yang terbuka di ujung pengejarannya pada Lancer hitam yang telah kehilangan jati dirinya tersebut. Merasa telah sampai pada tujuannya, Jeanne segera meninggikan kecepatannya hingga dia berhasil masuk melewati pintu itu.
Dan dia berhenti seketika melihat pemandangan yang cukup mengejutkannya.
Vampire yang seharusnya dia adili itu... kini telah menjadi abu arang dengan api biru yang mengelilinginya.
Bersama dengan seorang pemuda berambut putih yang berdiri di hadapannya, memegang pedang di tangannya sebelum melemparnya ke arah vampire yang sekarat tersebut sebagai sentuhan terakhir.
"Kyrie eleison."
Setelah pedang dilemparkan, tubuh vampire itu sepenuhnya hancur. Menandakan akhir perjuangan Lancer of Black.
Jeanne tak bisa terlalu lama fokus dengan salah satu kematian di depannya itu tatkala pemuda yang membunuh sang vampire bernama asli Vlad III itu mengalihkan perhatian padanya. Dengan senyum yang tenang, laki-laki itu menatap Jeanne, "Kau telah datang."
Jeanne belum bisa terlepas dari rasa terkejutnya, "Kenapa—"
"Senang bertemu denganmu, ruler," masih dengan postur tubuhnya yang tegap, tanpa memperlihatkan kecanggungan sama sekali, dia terus berbicara, "aku adalah master merah yang kau cari, Kotomine Shiro."
Ucapan itu entah mengapa terdengar sangat tidak masuk akal. Jeanne masih belum bisa melepaskan ekspresi terkejut dari wajah cantiknya. Melihat ini, lelaki bernama Shiro itu tersenyum lebar hingga menyipitkan kedua matanya.
"Apakah segitu mengejutkannya? Kau membuatku tersipu."
Di sini, Jeanne mulai menggertakkan giginya. Tidak. Dia harus kembali mengingat tugas yang sesungguhnya di perang yang suci ini. Perlahan tapi pasti, Jeanne terus mengucapkan apa yang ada di kepalanya seperti bagaimana dia tak menyangka bahwa masih ada servant ke-16 di perang yang seharusnya hanya melibatkan dua pihak dari kubu merah dan hitam.
Namun, dengan tenang Shiro masih menyangkal, bahwa justru dialah servant pertama.
"Aku juga adalah ruler... sama sepertimu."
Begitu katanya.
Jeanne tidak akan percaya begitu saja. Terlebih dengan kenyataan jika Shiro memang ruler, lantas mengapa dia turut ikut campur pada Great Holy Grail war yang seharusnya hanya melibatkan perang antara master dan servant.
Sebagaimana dirinya adalah seorang perempuan yang berasal dari zaman dimana kepercayaan adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi, Jeanne tidak tahu lagi apa yang harus dirasakannya sekarang. Tak peduli berapa kalipun dia akan terus dan terus kembali mempercayai sesuatu, pada akhirnya pasti ada sisi lain dunia yang akan mengkhianatinya.
Apakah kehadiran laki-laki di depannya ini juga akan menjadi salah satunya?
Namun, pasti ada alasan mengapa laki-laki bernama Shiro itu bisa mendapatkan gelar ruler atau pengatur yang seharusnya memiliki hati yang bersih agar bisa menjadi pengawas perang dengan adil.
Pasti... ada.
Jeanne d'Arc setidaknya masih ingin mempercayai itu.
Meski dia harus berdiri dan kembali melumuri tangannya dengan darah.
Meski dia harus mengibarkan benderanya dengan hinaan yang mengelilinginya.
Meski dia harus kembali berakhir di tiang yang mengikatnya pada kematiannya bersama api yang berkobar.
Dia akan mencoba mendengarkan pria di depannya. Sesama ruler sepertinya. Alasannya, prinsipnya, kejujurannya, dan keteguhan hatinya.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan, Amakusa Shiro Tokisada!?"
Mendengar nama aslinya disebut, membuat pria berambut putih spike itu akhirnya tersenyum. Mungkin itu senyuman jujur pertamanya sejak perang ini dimulai. Karena meski sekilas... dia terdengar lega.
Seolah ada suatu mantra yang melepaskan bebannya ketika nama aslinya disebut oleh mulut perempuan yang seharusnya bisa mengerti dirinya.
Perempuan suci yang tak kalah keras kepala seperti dirinya.
"Bukankah itu sudah jelas?"
Kedua matanya menatap lurus perempuan yang berdiri tak jauh di depannya. Dengan senyum yang penuh keyakinan, dia mengatakannya.
"Aku ingin menyelamatkan seluruh manusia, Jeanne d'Arc."
Entah Shiro menyadarinya atau tidak...
...ketika nada kesedihan masih dapat terdengar dari kalimatnya itu.
Di perang ini, mereka berseberangan. Tak akan pernah bisa saling mengerti. Tak akan pernah bisa bersatu.
Namun, perang ini... adalah awal cerita mereka berdua.
.
.
.
.
.
Fate/Apocrypha & Fate/Grand Order © TYPE-MOON
Story (crack-missing-scene) © Kira Desuke
Main Pair : ShiroJeanne (Amakusa Shiro Tokisada x Jeanne d'Arc)
Genres : Romance/Angst/Hurt/Comfort
Rate : M
Warnings : Sexual & Violence scene, semi-OOC, harsh languages
.
Fanfic Commission for Rei
.
.
.
SAINTS
.
.
.
Setelah rapat untuk membahas siapa musuh mereka yang sebenarnya, Jeanne berjalan berdampingan dengan pemuda berambut cokelat di sampingnya.
Pemuda yang dia ketahui adalah seorang homunculus yang kini telah menjadi salah satu master di perang ini, Sieg.
Melirik Sieg di sampingnya beberapa kali, Jeanne menahan dirinya untuk tidak menghela napas. Mencoba mereka ulang bagaimana mereka semua bisa berada di situasi ini. Dari berserker of black yang tiba-tiba mengamuk setelah berpihak ke pihak merah hingga rider of black yang kehilangan master-nya lalu membawa mereka ke situasi yang memaksa untuk menjadikan Sieg sebagai master baru-nya.
Meski itu adalah pilihan Sieg sendiri, tetap saja—
"Ruler?"
Tersentak kaget dengan pemikirannya sendiri, Jeanne menoleh dengan ekspresi syok yang kentara. Laki-laki yang memiliki rambut cokelat dengan model yang sedikit berantakan ke belakang itu mengernyitkan kedua alisnya.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya lagi. Kali ini dia berhenti sehingga Jeanne juga ikut berhenti dan menatapnya.
Jeanne mengangkat kedua tangannya lalu tertawa hambar, "Aku baik-baik saja, hanya sedikit... berpikir?" tanyanya balik entah pada siapa. Ketika melihat Sieg terus menatapnya lurus dengan intens, Jeanne sedikit panik dan melirik ke kiri, "Tidak... ada apa-apa. Kita harus kembali lebih cepat, Sieg—"
"Apakah ini ada hubungannya dengan aku yang menjadi master rider?"
Pertanyaan yang sebelumnya sudah dibahas itu membuat Jeanne sedikit lengah, "Bukan itu—"
"Aku sudah menyusahkanmu ya? Maaf, ru—"
"Makanya kubilang bukan, 'kan!?" teriak Jeanne kesal pada akhirnya. Meski dengan cepat, dia mengangkat kedua tangannya dan menurunkan volume suaranya, "Bu-Bukan maksudku berteriak, tapi—uh, lupakan..." ucap Jeanne diakhiri dengan helaan napas panjangnya yang membuat Sieg mengedipkan kedua matanya dan menatapnya penasaran.
"Sieg, seperti yang sudah kubilang di awal, semua sudah terlanjur terjadi. Tidak ada yang bisa kulakukan sekarang selain mengakuimu dan Astolfosebagai master dan servant. Kalian sudah menjadi bagian di perang besar cawan suci ini," jelas Jeanne dengan dua tangan di depan tubuhnya, kedua alisnya mengernyit dalam.
"Sebagai ruler, aku hanya bisa mengawasi agar jangan sampai kalian melewati batas, tapi di sisi lain aku juga harus netral dan tidak bisa mencegahmu untuk ikut dalam pertarungan yang dapat membahayakan nyawamu. Aku memang tidak marah, tapi aku sedikit kecewa apalagi aku masih yakin seharusnya bukan ini jalan yang kau pilih. Kau mengerti, Sieg?"
Mendengar namanya disebut kembali, Sieg mengedipkan kedua matanya sebelum tersenyum lembut. Dia tertawa kecil sebelum berkata, "Bagaimana bisa aku tidak mengerti jika kau sudah mengatakan ini berulang kali," wajah Jeanne sedikit memerah mendengar ini sebelum dia menundukkan kepalanya sedikit, "aku yakin kau juga sudah tahu jawabanku 'kan, ruler? Aku harus menggunakan kesempatan yang diberikan Siegfried padaku ini sebaik-baiknya untuk melanjutkan tekad yang kami percayai." Tambahnya.
Sieg memberi tatapan yang sangat meyakinkan dan tidak goyah, membuat Jeanne kembali menarik kedua alisnya lagi. Jeanne menghela napasnya sebelum dia kembali tersenyum kecil.
...Dasar keras kepala.
"Apa boleh buat. Jangan membuatku memperingatkanmu lagi ya, Sieg," ucap Jeanne yang hanya diablas Sieg dengan senyuman polosnya. Wanita dengan rambut pirang panjang dikepang itu kembali berjalan, "lekas kembali. Kita tak ingin rekan-rekan baru kita menunggu dengan khawatir di rumah. Lagipula masih banyak homunculus yang perlu dirawat."
"Sebelum itu..." Jeanne bisa merasakan tangan kanannya digenggam erat oleh Sieg yang menahannya untuk berjalan lebih jauh, "...bagaimana dengan pertanyaan pertamaku?" tanyanya.
"Pertanyaan?"
"Saat kau bilang kau baik-baik saja, kau bilang sedang berpikir, 'kan?" balas Sieg langsung cengan cepat. Dia menggenggam tangan Jeanne lebih erat, "Jika itu bukan tentang aku dan rider. Lalu... tentang siapa?" jeda sesaat, suara Sieg semakin menurunkan volume suaranya seolah berhati-hati seandainya ada yang mendengarkan mereka.
Kedua iris violet Jeanne sedikit membulat ketika dia mendengarnya, "Itu..."
Sieg melepaskan tangan Jeanne dari genggamannya, "Apakah ini menyangkut seseorang yang kau temui di markas mereka kemarin?"
Pertanyaan ini membuat Jeanne membuka mulutnya namun tak mengeluarkan suara apapun. Jeanne sedikit menundukkan kepalanya ke depan sehingga bayangan poni menutupi kedua matanya. Kini bibirnya kembali terkatup rapat dengan sedikit bibir atasnya yang terlipat ke dalam ketika dia menggigitnya.
Tidak. Sebenarnya Jeanne sendiri harus mengakui bahwa memang hanya Sieg yang sedari tadi dia pikirkan. Pihak yang datang tanpa diundang seperti Sieg ini rasanya adalah yang pertama kalinya dalam sejarah perang cawan suci yang diketahuinya.
Tapi, jika dia sudah terlanjur mengelak, apakah dia masih diperbolehkan untuk mengelak yang kedua kalinya?
Lagipula, jika Sieg menyinggung soal siapa yang dia temui saat bertarung di taman gantung Babylon buatan Semiramis—Assassin of Red—beberapa waktu lalu, maka yang terpikirkan sekarang adalah—
"...Laki-laki yang kau sebut bernama asli Amakusa Shiro Tokisada itu?"
...
...Ah.
Jeanne mengangkat kepalanya dan menatap Sieg marah, "Kenapa aku harus memikirkan dia?" tanyanya dengan nada sedikit keras secara reflek.
"Eh..." Sieg melirik ke kanan dengan sedikit keringat mengalir di sisi wajahnya, "...entahlah... memangnya bukan?"
Kedua bola mata Jeanne kembali membulat mendengar ini. Dia langsung membuka mulutnya dan berniat mengucapkan tidak untuk mengelak. Namun, kata-kata ruler selain dirinya itu kembali terngiang di dalam kepalanya.
"Kita memiliki kepercayaan yang sama. Kau seharusnya tahu."
Dan sekarang wajah pria yang masih bisa tersenyum tenang meskipun setelah mengambil nyawa orang-orang di sekitarnya itu kini kembali terbayang di kepalanya. Perasaan marah yang seharusnya tidak dia rasakan sebagai seorang ruler kembali membelenggunya. Jeanne memejamkan kedua matanya erat.
Tidak.
"Aku mengharapkan keselamatan untuk seluruh umat manusia."
Aku... tidak sama dengan dia.
Mengambil langkah mundur, Jeanne masih mempertahankan posisinya sementara Sieg bisa kembali menegakkan tubuhnya. Dia melihat Jeanne mengepalkan kedua tangan di samping-samping tubuhnya. Tak butuh waktu lama hingga dia bisa kembali melepaskan kepalan tangannya itu dan tubuhnya telah kembali tenang.
Jeanne mengangkat kepalanya dan kembali menatap Sieg. Sampai homunculus itu kembali bertanya, "Kau bilang sebelumnya, bahwa dia seharusnya ruler yang sama seperti dirimu... 'kan?" Jeanne tidak memberi respon apapun sampai Sieg mengernyitkan kedua alisnya, "Lalu... kenapa?"
Memegang lengannya sendiri, Jeanne menjawab, "Amakusa Shiro, dia adalah servant yang selamat di perang ketiga cawan suci." Jeda sejenak, Jeanne seperti memikirkan apakah dia harus menjelaskan atau tidak. Sebelum kembali melanjutkan, "Banyak sekali yang harus kau ketahui, Sieg. Aku akan menjelaskannya lebih lengkap di depanmu dengan yang lain. Yang jelas, satu hal yang perlu kau ketahui..."
Sieg membuka mulutnya ketika Jeanne berdiri tegap.
"Aku yakin... aku dipanggil ke perang ini untuk menghentikan dia."
Kata-kata itu membuat Sieg sekilas membulatkan kedua bola matanya. Jeanne mengernyitkan kedua alisnya.
"Shiro telah melakukan suatu kesalahan fatal yang seharusnya tidak boleh dia langgar. Yang mati tidak boleh memimpin yang hidup. Itulah hukum terbesar heroic spirit."
Jeanne mengangkat tangan kanannya dan mengepalnya erat.
"Shiro adalah musuh yang berbahaya. Aku harus bisa mengalahkannya, aku harus menjalankan tugasku." Memejamkan kedua matanya erat, Jeanne menempelkan tangannya yang mengepal dengan erat dan bergetar itu di depan dahinya, "Aku tahu itu! Tapi... Tapi..."
Merasa ada yang aneh, Sieg menjulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Jeanne yang mulai ikut bergetar, "Ruler?"
Suara Sieg membuat Jeanne kembali tenang dan dia memundurkan kepalan tangan dari wajahnya. Dia membuka tangannya lalu menatap telapak tangan yang memerah berkat kepalannya yang terlalu kuat, "Tapi, harapannya setelah mendapatkan cawan suci itu... memiliki daya pikat yang sulit diabaikan."
Tangan Sieg telah menyentuh bahunya. Namun pria beriris merah gelap itu tak dapat melihat wajah wanita yang masih menunduk di depannya.
"Keinginannya untuk menyelamatkan semua umat manusia... tentu saja tidak salah. Tidak. Mana mungkin salah."
—Sampai Sieg bisa melihat air yang jatuh di atas tanah di dekatnya, dia segera menyadari apa yang terjadi.
Jeanne mendongakkan kepalanya, menatap Sieg yang lebih tinggi darinya. Menunjukkan air mata yang telah mengalir entah sejak kapan. Sieg terpaku di tempatnya, tak tahu apa yang harus dilakukannya ketika melihat seorang wanita yang menangis di depannya.
Tapi, tentu saja Sieg tidak diberi kesempatan untuk melakukan apapun. Jeanne langsung menyeka air matanya menggunakan lengan jas yang dikenakannya sekarang. Meski tak dapat langsung menghapus bekas jejak air matanya, setidaknya Jeanne terlihat tegar lagi seperti biasanya.
"Maaf kau harus melihat ini, Sieg. Aku tidak boleh merasa ragu sedikitpun dalam menjalankan amanah yang telah diberikan padaku. Seharusnya aku tahu."
Memegang tangan Sieg yang menyentuh bahunya, Jeanne menggenggamnya erat di antara tubuhnya dan tubuh Sieg.
"Keraguan ini akan menjadi dosaku. Bahkan meskipun aku sudah tidak memiliki hak lagi di dunia yang fana ini, aku tidak bisa mengabaikan kesalahan fatal yang kubuat."
Apakah salah jika Sieg terlalu fokus dengan jejak air mata wanita yang selalu terlihat tegar itu?
Dia tidak tahu.
Genggaman Jeanne pada tangannya semakin erat dan wanita itu mulai menaikkan volume suaranya.
"Sieg, aku mohon padamu... dan juga pada semua rekan kita nanti. Aku harap kalian mau mengerti. Apapun strategi kita nanti untuk mengalahkan masters dan servants of red—"
Yang jelas, sekarang Sieg akan menahan dirinya untuk tidak bertanya...
"—biarkan aku yang melawan Amakusa Shiro Tokisada."
...bagaimana wanita suci itu terlihat kehilangan arahnya meski hanya sekilas.
Sesuatu yang mungkin tidak akan diakui oleh pahlawan yang telah mengorbankan segalanya demi umat manusia tersebut.
#
.
.
.
#
"Amakusa Shiro, jika kau tidak mengharapkan keselamatan dan kebaikan untuk semua manusia yang ada sekarang, maka kau sudah bukan lagi seorang pahlawan."
Angin yang bertiup di dekatnya itu membuat pria berambut putih dengan bagian atasnya yang berbentuk spike itu membuka kedua matanya perlahan. Seolah sama seperti sebelum-sebelumnya jika dia jatuh tertidur, maka hal yang pertama kali dia lihat ketika matanya masih memburam adalah...
"...Semiramis," wanita berambut hitam panjang yang cantik itu tersenyum. Tangannya yang sedari tadi mengelus rambut Shiro mulai berhenti. Lalu dia membiarkan sang master bangkit dari posisi tidurnya, "maaf, aku tertidur lagi ya?" tanyanya sekedar berbasa-basi.
Semiramis, caster of red itu tersenyum penuh arti dengan dua matanya yang ikut menyipit, "Kau terlihat lelah sejak kemarin, jadi aku memberikan pahaku padamu. Bersyukurlah," ucapnya tenang dan penuh kharisma elegan selayaknya seorang Ratu.
Tertawa kecil di balik senyumannya, Shiro yang telah duduk di samping Semiramis itu bergumam pelan, "Kau benar, aku harus bersyukur." Jeda sejenak, mereka terdiam beberapa saat sampai Shiro yang menatap kosong pemandangan di depan mereka kembali melanjutkan, "Membuat Ratu Assyria mau membantuku untuk mencapai perang cawan suci... jika aku mendengar ini enam puluh tahun lalu, rasanya seperti mimpi kosong yang tak akan terwujud." Gumamnya.
"Kau pintar sekali menggunakan kata-katamu, master," ucap Semiramis dengan tawa gelinya yang biasa dia gunakan sendiri untuk menggoda para pria di kehidupan sebelumnya. Shiro tak terlihat terpengaruh, hanya memberi senyuman tenangnya pada servant tersebut, "tak perlu khawatir, cepat atau lambat, para servants of red juga akan mengerti maksud perbuatanmu. Kami akan merebut cawan suci itu untukmu, master."
"Untuk kita semua." Ucap Shiro dengan nada yang seolah memperbaiki kata-kata Semiramis. Wanita itu melirik dalam diam sebelum kembali memejamkan kedua matanya dengan senyuman di bibir ranumnya.
Angin kembali datang meniup bagian belakang taman gantung Babylon yang merupakan noble phantasm milik Semiramis tersebut. Rambut putih dan anting hitam di kedua telinga Shiro kembali bergerak mengikuti arah angin.
Keadaan yang terlalu tenang di sini selalu berhasil membuatnya berpikir jernih untuk tetap fokus dengan tujuannya.
"Semiramis, bagaimana menurutmu?" pertanyaan Shiro yang ditujukan padanya meski laki-laki itu tidak melihatnya, membuat Semiramis menoleh, "Apakah... harapanku untuk menyelamatkan semua umat manusia itu salah?"
Pertanyaan ini membuat Semiramis kehilangan senyuman cantiknya. Dia kembali melihat depan sebelum menjawab, "Mengapa kau tiba-tiba ragu seperti ini, master?" tanyanya pelan. Tidak ada jawaban, dia kembali melirik Shiro.
"Apakah karena ruler?"
Shiro memejamkan kedua matanya dan tersenyum, "Jika kau hanya menyebut 'ruler', aku bisa salah mengartikannya sebagai diriku," ucapnya dengan tawa kecil, "bagaimana jika kita memanggilnya langsung dengan nama... Jeanne?" tanyanya.
Semiramis mendengus, "Aku tidak begitu suka menyebut nama wanita lain dengan mulutku," ucapnya dengan ekspresi jengkel yang sedikit kentara. Shiro hanya tertawa pelan seolah dia tidak berniat membalas, sampai tiba-tiba Semiramis melanjutkan, "terutama jika dia bisa menarik perhatian pria yang seharusnya kuincar." Gerutunya cukup keras hingga Shiro bisa mendengarnya.
Tentu saja Shiro berhenti tertawa dan memiringkan kepalanya bingung, "Hm? Apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura, master," Semiramis kembali menyeringai dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi di belakangnya, "aku adalah Ratu Assyria yang ahli dalam hal menggoda pria agar mereka bisa mencintaiku dan memberikan apapun padaku."
Menggeser posisi duduknya, Shiro bisa merasakan Semiramis menempelkan buah dadanya dengan lengan pria di sampingnya.
"Dengan kemampuanku itu, kau pikir aku tidak bisa mengetahui mana pria yang benar-benar tertarik denganku dan mana yang tidak?"
Dengan senyum yang berhasil menaklukan para pria itu, Semiramis membuka mulutnya dan menunjukkan dua taringnya.
"Lalu kau pikir, aku tidak bisa mengenali ancaman yang bisa saja menghalangi keinginanku terwujud?"
Pada akhirnya Shiro menoleh, membuat kedua iris hitam keemasannya bertabrakan dengan kedua mata berwarna emas tersebut, "Semiramis, jika kau memang ada keinginan lain selain melayaniku sebagai servant, katakan saja terus terang." Ucap Shiro dengan serius.
Mendengar ini, Semiramis reflek tertawa dan melepaskan lengan Shiro yang dipeluknya, "Oh master, kau telah menolakku jadi aku sudah tidak memiliki niat tersembunyi lagi selain membawakan cawan suci untukmu." Kata-kata Semiramis hanya membuat Shiro mengedip pelan tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajah wanita cantik tersebut, "Aku hanya sedikit khawatir." Gumamnya pelan.
"...Khawatir?"
Senyuman Semiramis tidak terlihat menghilang meski sekilas telah berubah arti. Wanita yang merupakan Assassin of Red itu menatap depannya kembali, "Kau yang sudah mengetahui nama asliku, pasti mengerti," Semiramis menggenggam tangannya di atas kedua lututnya, "betapa banyaknya pria yang kulihat telah hancur karena wanita."
Menoleh melihat Shiro yang sempat lengah hingga sedikit membuka mulutnya, Semiramis sedikit mengernyitkan kedua alisnya.
"Meski bukan karena aku... tapi jika aku melihatmu menjadi salah satu dari para pria bodoh itu, aku akan marah, master."
Ekspresi marah yang jarang sekali ditunjukkan Semiramis padanya itu membuat Shiro mengatupkan bibirnya lagi. Mereka tetap dalam posisi itu, menatap satu sama lain sampai akhirnya Shiro yang memejamkan kedua matanya lebih dulu. Memutuskan kontak mata di antara mereka. Shiro kembali menatap taman di depannya.
"Tenang saja, Semiramis," Semiramis tidak bisa melihat ekspresi mata Shiro yang tertutupi oleh rambutnya, "tidak ada perasaan seperti itu. Mungkin aku hanya sedikit sentimental karena bertemu ruler yang sama seperti diriku di perang kali ini. Apalagi..."
Suasana di antara mereka sempat hening ketika Shiro memberi jeda.
"...ketika aku mulai sadar bahwa mungkin saja dia dipanggil untuk menghentikanku."
Menoleh melihat Semiramis lagi, Shiro menyipitkan kedua matanya, "Jadi, wajar saja jika aku secara otomatis langsung terfokus padanya, 'kan?" tertawa kecil, dia bergumam pelan, "Lagipula aku yakin... Jeanne d'Arc juga pasti merasakan hal yang sama."
Mungkin.
"Sebagai ruler, kau seharusnya mengerti! Paling tidak, kita hanya bisa menyelamatkan dunia dengan orang-orang di dalamnya! Arwah pahlawan tidak diperbolehkan begitu saja menghancurkan batas dan membawa keselamatan pada seluruh umat manusia!"
Suara Jeanne kembali memenuhi kepala pria yang seharusnya suci itu.
...Apakah perasaan ambigu ini... disebut keyakinan? Ataukah sebaliknya?
Kedua bola mata Semiramis yang memiliki pupil seperti kucing itu membulat, "Tapi, master—"
"Kau tidak perlu khawatir."
Ucapan Shiro menghentikannya. Namun bukan hanya itu, Shiro langsung menyentuh kepala Semiramis di sampingnya dan membelainya pelan. Perlakuan yang membuat tubuh wanita yang menegang itu kembali rileks.
Meski tidak sepenuhnya... karena senyuman Shiro yang dia lihat kini menyembunyikan terlalu banyak arti.
"Aku sudah menyiapkan diri sejak aku dihukum mati setelah pemberontakan yang kulakukan bertahun-tahun yang lalu..."
Aah...
...seandainya Shiro tahu.
"...untuk membuat keinginanku terwujud, aku harus membunuh semua yang bisa menjadi penghalangku."
Betapa wanita di sampingnya yang mati-matian menahan air matanya itu—
"Termasuk hatiku sendiri."
—telah jatuh cinta terlalu dalam padanya.
#
.
.
.
.
.
#
Setelah mengalahkan Jack The Ripper, para master dan servant hitam—dengan tambahan satu ruler dan sepasang master-saber of red—untuk sesaat bisa bernapas lega. Setidaknya mereka masih memiliki waktu sembari menyiapkan rencana berikutnya agar bisa menyerang langsung ke taman gantung Babylonia itu untuk yang kedua kalinya.
Menatap pemandangan di luar kastil tempatnya tinggal sementara sekarang, Jeanne menunggu Sieg dan Astolfo pulang dari kegiatan mereka di kota. Kemudian Jeanne bisa merasakan angin kembali datang untuk meniup wajahnya. Wanita yang telah mengenakan kemeja putih dengan jas, dasi, dan rok biru tuanya itu menyelipkan sebagian helai rambut pirangnya ke ke belakang telinganya.
Lama dia melihat padang rumput di bawahnya sebelum dia mendongakkan kepalanya dan melihat ke atas langit sana.
Di balik awan berwarna abu-abu itu... ada tempat yang harus mereka semua datangi untuk mengakhiri perang besar ini.
Kedua alis Jeanne mengernyit dalam. Iris violet miliknya sekilas terlihat mengilat, menunjukkan cahaya penuh dedikasi di sana. Sampai tiba-tiba dia tersentak kaget seolah merasakan sesuatu dan langsung menoleh cepat ke arah padang rumput di depannya. Kedua tangannya langsung memegang sisi jendela batu yang terbuka lebar.
Di saat yang sama, kedua homunculus yang mendapat tugas jaga mengelilingi kediaman Yggdmillenia ini menyadari posisi Jeanne yang sedikit menjulurkan tubuh bagian atasnya ke luar jendela, "Ruler? Eh!?"
Mereka bergerak terlambat ketika Jeanne tiba-tiba mengangkat sebelah kakinya ke atas sisi jendela lalu melompat dari lantai dua tersebut ke bawah. Para homunculus itu berlari lalu melihat ke luar dimana Jeanne yang telah berhasil mendarat itu berlari ke suatu arah. Dia menoleh ke belakang ketika berteriak.
"JIKA AKU BELUM KEMBALI SETELAH SEPULUH MENIT, KABARI YANG LAIN UNTUK SEGERA WASPADA!" teriak Jeanne tanpa menghentikan larinya.
Dua penjaga itu hanya melihat satu sama lain dengan bingung sebelum akhirnya hanya bisa mengangguk lalu kembali masuk ke dalam mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
Jeanne terus berlari dengan keringat dingin yang mengalir di sisi wajahnya. Dia menggertakkan giginya sementara kedua matanya terus melihat ke sekelilingnya untuk mencari sumber yang membuat dirinya merasakan firasat buruk yang berbahaya ini. Hingga akhirnya dia sampai di dekat salah satu pohon besar yang mengarah ke hutan yang tak jauh dari kastil.
Langkah wanita yang masih mengenakan baju biasanya itu mulai menurunkan kecepatannya perlahan. Dia berjalan hingga berhenti tepat di depan jalan masuk hutan besar di depannya. Jeanne mengulum bibirnya dan melihat ke kanan lalu kiri—
"Mencari sesuatu, ruler?"
Tersentak kaget, Jeanne langsung berbalik ke belakang dan reflek memegang senjata yang langsung muncul di tangannya. Kedua matanya langsung mengernyit tajam ke arah sumber suara. Menangkap sosok pria yang berdiri menyandar di bawah pohon rindang satu-satunya di depan jalan masuk hutan rimbun.
Pria itu tak begitu terlihat karena bayangan pohon yang menutupinya. Sampai akhirnya dia berdiri tegak lalu membuka kedua matanya yang berwarna hitam keemasan. Seolah bersinar di dalam kegelapan, mata itu tak bisa lepas dari Jeanne yang balik menatapnya dengan waspada. Terlihat sekali dia tersenyum sebelum berjalan maju hingga bayangan yang menutupinya menghilang perlahan tapi pasti.
Jeanne memegang erat gagang benderanya yang memiliki ujung tajam itu, "Amakusa Shiro," ucapnya hati-hati.
Mendengar namanya disebut oleh suara wanita itu, membuat Shiro tersenyum lebih lebar. Dia menyipitkan kedua matanya ketika dia mengangkat sebelah tangannya, "Turunkan senjatamu, ruler. Aku hanya ingin bicara," ucapnya dengan suara yang sangat tenang.
"...Bicara?"
Shiro mengangguk, "Kau sendiri tahu jika seandainya aku berbohong, 'kan? Dan tidak mungkin aku mengambil resiko keluar dari noble phantasm servant-ku hanya untuk pertarungan yang tidak menguntungkanku."
Jeanne membuka mulutnya hingga perlahan tapi pasti tubuhnya mulai rileks. Jeanne kembali berdiri tegak dan menghilangkan senjatanya. Shiro yang masih mengenakan baju khas pendeta miliknya itu tersenyum lagi seolah mengucapkan 'terima kasih'.
"Ada apa?" tanya Jeanne dengan nada yang sangat menuntut, "Sejauh ini aku juga tidak melihat ada keuntungan yang bisa kau dapat hanya dari berbicara denganku, Amakusa Shiro." Ucapnya.
Shiro terdiam sejenak hingga angin kembali datang meniup rambut mereka masing-masing, "Kau benar..." dia membuka kembali matanya yang sempat terpejam, "...aku datang ke sini atas keinginan egoisku sendiri."
"Apa maksud—"
"Jeanne d'Arc," Shiro memotong ucapannya dan menghilangkan senyumannya ketika berbicara, "apapun yang akan kau dan teman-temanmu lakukan percuma. Sudah terlambat. Cawan suci sudah dipastikan akan menjadi milikku." Lanjutnya.
Mendengar ini, Jeanne membulatkan kedua bola matanya, "Soal itu—"
"—belum tentu?" lanjut Shiro cepat. Jeanne melihat Shiro dengan ekspresi yang campur aduk, "Ah tapi, aku mengatakan percuma bukan tanpa alasan, Jeanne. Kau juga pasti tahu. Sama seperti kelompok hitam yang sedang menyiapkan diri, kami juga sama. Kau tidak mungkin berpikir bisa menghalangi kami semudah itu, 'kan?"
"SHIRO, KAU!" Jeanne langsung merubah baju yang dikenakannya dengan seluruh armor untuk bertarung. Dengan seluruh cahaya menyilaukan yang mengitarinya, Jeanne memutar gagang bendera yang berujung pedang di tangannya dan menebas angin.
CLAANG
Ujung tajam pada gagang bendera itu kini telah berada tepat di depan wajah Shiro yang tidak bergerak sedikitpun. Bahkan meskipun Jeanne bisa saja menusuk atau menebasnya kapan saja, dia tidak menunjukkan gerakan mencurigakan untuk menghindari atau bahkan membalasnya.
Seolah dia sudah siap menerima serangan apapun yang akan diberikan Jeanne padanya.
Melihat ini, Jeanne semakin tak tahu harus melakukan apa. Keringat dingin mengalir di sisi wajahnya melihat kedua mata Shiro hanya lurus menatap kedua matanya. Jeanne biasa menghadapi musuh yang membencinya meskipun perasaan itu tersembunyi jauh di lubuk hatinya yang terdalam. Dia juga biasa menghadapi berbagai macam perasaan yang dituduhkan padanya seperti kekecewaan, kesedihan, kemarahan, dan sebagainya.
Tapi... Shiro sama sekali tidak menyimpan perasaan-perasaan menyedihkan itu padanya...
...lalu sebenarnya apa yang dia rasakan?
Bagaimana Jeanne bisa mengalahkan lawan yang tidak menyimpan rasa benci kepadanya?
"Aku harus... menghentikanmu," bisik Jeanne. Entah dia menyadarinya atau tidak ketika tangannya mulai bergetar, "Shiro, kau salah. Kita tidak bisa menyelamatkan seluruh umat manusia. Kita tidak boleh mengatur mereka yang masih hdiup. Karena itu..."
Kata-kata Jeanne menggantung di udara.
Kenapa... dia merasa bingung?
Melihat tatapan Jeanne yang terlihat kehilangan keyakinannya perlahan tapi pasti, Shiro membuka mulutnya, "Kau bukan musuhku, Jeanne d'Arc."
Kedua bola mata Jeanne membulat.
"Dan aku yakin kau juga perlahan tapi pasti mulai menyadari itu," Shiro mengangkat tangannya dan menyentuh bagian bendera yang masih terlipat di gagang tersebut, "sebagai sesama ruler, kau mengerti keinginanku, kau juga pasti menginginkan itu meski kau mati-matian menyangkalnya, jauh di dalam hatimu... kau sebenarnya ingin membantuku."
"Tidak..." Jeanne menggeleng pelan. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. "...itu tidak benar!" teriaknya dan mencoba menggerakkan senjatanya yang telah dipegang Shiro meski tahu itu percuma.
"Aku harap... kita tidak perlu bertarung."
Shiro mulai mengambil langkah pertama untuk mendekat. Kemudian langkah kedua dengan tangannya yang masih memegang gagang bendera yang panjang itu. Terus berjalan mendekati Jeanne.
"Mengertilah, ruler."
Menghilangkan jarak, kedua ruler itu kini hanya berjarak beberapa centimeter.
"Aku mencintai manusia juga... sama seperti dirimu."
Wanita berdarah Prancis tersebut membuka mulutnya, namun tak ada suara yang keluar. Senyuman Shiro seakan membutakannya. Kedua alis Jeanne bertaut tanpa bisa mengalihkan perhatiannya dari pria di depannya.
Shiro mengangkat tangan kanannya dan menyentuh pipi Jeanne pelan. Dengan senyumannya yang tenang dan tanpa rasa takut, Shiro kembali berbisik pelan.
"Aku akan menjamin kebahagiaan manusia dan juga kebahagiaanmu," dengan jempolnya, Shiro mengelus pipi wanita di depannya, "tidak ada lagi yang akan saling membunuh, saling menyakiti. Tidak ada lagi yang akan mengkhianati kita."
Dan Jeanne bisa merasakan detak jantungnya berhenti meski hanya sekilas.
"Aku akan membuatkan tempat itu. Surga tanpa kejahatan. Kau mau membantuku, 'kan?"
Entah sejak kapan Jeanne tidak bisa melihat Shiro dengan jelas, kedua matanya memburam.
"Datanglah ke sisiku, Jeanne."
Pupil Jeanne bergetar. Mulutnya terbuka dan tertutup, mengingat kembali traumanya yang membuatnya jatuh menjadi arwah. Kejadian yang membuatnya terbunuh di dunia ini... sebelum menjadi saint ruler.
Jeanne mengangkat tangannya yang bergetar. Memperhatikan ini, Shiro kembali tersenyum. Mengira Jeanne akhirnya meruntuhkan bentengnya. Tapi—
PLAK
"Tidak... TIDAK TIDAK!" teriak Jeanne histeris. Dengan tangannya yang telah menampar tangan Shiro sebelumnya, dia mencoba memegang dada pendeta di depannya itu dan mendorongnya, "Aku harus menghentikanmu, Amakusa—"
Lalu bibir Shiro menghentikan kata-katanya.
Pria berambut putih itu sempat menggertakkan giginya lalu meraih tangan Jeanne sebelum memajukan bagian atas tubuhnya. Dia memiringkan kepalanya dan langsung mencium bibir Jeanne yang sempat lengah. Kedua iris violet Jeanne sempat bergetar sebelum membulat sempurna merasakan bibir dingin di atas bibirnya.
"Hmph!?" teriak Jeanne di tengah ciuman mereka. Di saat yang sama, air mata wanita itu mengalir tanpa alasan yang jelas di sisi wajahnya. Sesuatu rasanya seperti mencekiknya dengan panggilan 'suci' yang selama ini mengikatnya.
Jika perasaan aneh terhadap Sieg selama ini dimiliki oleh Leticia...
...lalu perasaan aneh terhadap Shiro ini... milik siapa?
"Shi... ro—" dan kata-kata yang akan dikeluarkannya lagi kembali terpotong oleh ciuman Shiro berikutnya. Pria itu telah memeluk tubuh Jeanne yang lebih kecil darinya. Sementara tangan Jeanne yang tidak memegang senjata itu mencengkeram bagian belakang baju Shiro dengan erat.
Air mata itu terus mengalir. Terlebih ketika kedua alis Jeanne mengernyit dalam, berusaha mencari cara untuk mengumpulkan tenaganya yang menghilang entah kemana. Hanya suara bibir yang saling bertemu mengisi keheningan di antara mereka.
Shiro melepaskan ciumannya lebih dulu dan tanpa mengatakan apapun, dia langsung memeluk Jeanne. Dia menggunakan tangannya untuk memegang belakang kepala Jeanne dan mendekatkan tubuh mereka di dalam pelukannya. Laki-laki itu terus menurunkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan kepala Jeanne yang masih berusaha berontak di sampingnya.
"Lepaskan... Shiro—"
"Apakah kau benar-benar tidak akan merubah pikiranmu, Jeanne?"
Mengernyitkan kedua alisnya, Jeanne kembali meremas erat kain baju Shiro, "Tentu... Tentu saja! Aku ini ruler! Aku memiliki amanah dan tanggung jawab yang harus kujalankan!" teriaknya parau dengan tangan yang bergetar.
Memejamkan kedua matanya erat, Jeanne menjedukkan dahinya pada bahu Shiro yang memeluknya.
"Tolong... jangan membuatku bingung lebih dari ini," bisiknya pelan. Dia tidak peduli seandainya air matanya membasahi pakaian yang Shiro kenakan, "kumohon Shiro... berhentilah. Bertarunglah secara adil... demi perang ini, demi dirimu sendiri, demi kita semua..."
Seolah membalas pelukan pria di depannya yang masih belum mengatakan apapun, Jeanne menggertakkan giginya dan semakin menghilangkan jarak di antara mereka.
"...kumohon."
Sepatah kata itu membuat Shiro yang sedari tadi hanya diam akhirnya membuka mulutnya. Namun tanpa mengatakan apapun, dia kembali menutup bibirnya lalu menurunkan tubuhnya sehingga wajahnya tepat tenggelam di tengkuk Jeanne yang kembali menahan tangisannya. Meski suara Jeanne sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan perasaan terdalamnya.
Tersenyum kecil, Shiro memejamkan kedua matanya, "...Begitu."
Jeanne menghentikan getaran tubuhnya ketika dia melirik, "Shiro?" panggilnya pelan.
"Sayang sekali, padahal aku benar-benar berharap kau mau mengerti," ucap Shiro dengan suaranya yang masih tenang seperti sebelumnya itu, "tapi, kau sangat menyusahkanku, ruler. Padahal kau menghalangiku." Bisiknya pelan sembari memegang punggung Jeanne yang tidak memiliki pertahanan tersebut.
Kedua iris hitam keemasan itu seolah ingin melubangi punggung yang dia sentuh.
"Lalu mengapa..."
Tapi, ada sisi lain yang seolah berteriak pada tubuhnya.
"...aku tidak mau membunuhmu?"
Jeanne terkesiap dan secara reflek mengikuti instingnya, dia mengambil lompatan mundur yang cukup tinggi. Seolah mengikuti keinginan Jeanne, Shiro juga menarik tangannya sehingga dia dan Jeanne kembali memiliki jarak yang cukup jauh. Jeanne sedikit membungkuk dengan posisi bertarungnya sementara Shiro masih berdiri di sana melihatnya dengan ekspresi datar yang entah kenapa sulit diartikan.
Terus mengernyit dalam, Jeanne mencoba membaca arti tatapan Shiro padanya. Sampai tiba-tiba Shiro memejamkan kedua matanya lalu membalikkan tubuhnya, membelakangi Jeanne dan berjalan menjauhinya.
Melihat ini, Jeanne tersentak dan segera berdiri tegak. Dia menjulurkan tangannya ke depan, "TUNGGU—"
Dengan cepat, entah bagaimana Semiramis sang servant utama Shiro muncul menghalangi pandangan Jeanne pada punggung master-nya. Kedua iris violet Jeanne membulat kaget, terlebih ketika wanita cantik berambut hitam panjang itu menatapnya dengan penuh kebencian yang tak tersampaikan.
Tidak.
Bukan rasa benci biasa.
Apakah itu... kecemburuan?
Namun tanpa bisa Jeanne cegah, Semiramis telah menggertakkan giginya dan mengibaskan tangannya. Membuat lubang hitam besar dengan gelombang di sekelilingnya. Dengan sihirnya yang luar biasa, Semiramis kembali mengibaskan tangannya sehingga dia dan Shiro langsung menghilang begitu saja bersamaan dengan angin kencang yang meniup tubuh Jeanne hingga terdorong ke belakang.
Begitu Jeanne berhasil duduk dan melihat ke arah Shiro pergi, semua sudah menghilang tanpa jejak. Keberadaan yang menyesakkan di sekelilingnya juga ikut lenyap entah kemana. Jeanne menarik napasnya sebelum dia berdiri lalu menghilangkan armor dan senjata yang digunakannya.
"Amakusa Shiro... Tokisada," bisiknya pelan. Melihat telapak tangannya yang memerah ketika dia menarik baju Shiro terlalu keras sebelumnya, "aku juga... tidak bisa menjawab pertanyaan terakhirmu."
Jeanne memejamkan kedua matanya erat lalu mengepalkan tangannya.
Pada akhirnya, wanita itu harus setuju bahwa sang pria yang merupakan ruler itu juga... tak jauh beda darinya.
Ego dan obsesi telah menutup pintu hati mereka.
"Maafkan aku."
#
.
.
.
.
.
#
"Mungkin, bertarung untuk menolong mereka yang meminta pertolongan adalah pilihan yang salah."
Melangkah menuju pintu keluar di depan mata.
"Aku membenci musuhku!"
Laki-laki itu membiarkan rambut putih yang telah kembali panjang seperti dulu saat dia hidup bergerak mengikuti gerakannya.
"Tapi, mereka masih manusia. Karena itu... aku memaafkan mereka."
Kembali mengingat mengapa dia berada di sini sekarang...
...permohonannya telah dikabulkan, 'kan?
Membuka pintu keluar ruangan yang dibuat sebagai bentuk nyata dari cawan suci tersebut, Shiro melihat tiga orang yang sudah dikenalnya berada di bawah tangga tempatnya berdiri sekarang.
Dengan salah satu dari mereka yang selalu berada di dalam kepalanya.
Hingga saat ini tiba.
"Jeanne d'Arc," kedua alisnya mengernyit dalam melihat ekspresi kesakitan yang sangat tertera jelas di wajah wanita cantik itu, "sihir ketiga telah aktif." Ucapnya, merujuk pada permohonannya pada cawan suci yang dapat mengabulkan segala jenis permohonan di dunia tersebut.
Berharap dengan ini, Jeanne akan menyerah dan—
"SALAH! ITU SALAH!" berdiri dan menampik tangan mantan rekannya dulu, Jeanne berteriak, "Hidupnya adalah tanggung jawabku! Aku tidak akan menyerahkannya pada dunia!"
Kata-kata itu membuat Shiro mengernyitkan kedua alisnya semakin marah.
Sampai saat ini pun, kau masih lebih memilih dia?
Tanpa menghentikan langkahnya yang menuruni tangga, Shiro mengeluarkan suaranya lagi, "Jeanne d'Arc, aku tidak berharap untuk bertarung denganmu," langkahnya masih belum berhenti, "seperti yang kukatakan sebelumnya, kau bukan musuhku lagi setelah aku mendapatkan kekuatan cawan suci."
Jeanne tersentak dan mengambil langkah mundur sekali.
"Bekerja samalah denganku, Jeanne," langkah terakhir, Shiro telah sampai di lantai dasar atas tangga tersebut, "jika kau di sampingku, kita tidak perlu mengkhawatirkan berapa banyak korban yang akan jatuh lagi."
Dan semua itu terasa semu... namun nyata.
Jeanne tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah.
"Ruler!"
Hingga teriakan itu kembali menyadarkannya.
Jeanne menoleh dan melihat Sieg yang berlari dengan membawa pedangnya. Saat Sieg masih berlari, ekspresi Jeanne seolah dia merasa bersyukur dan sedih di saat yang bersamaan. Berkebalikan dengan Shiro yang menatapnya marah entah mengapa.
Dia pengganggu. Homunculus itu sungguh hanya seorang pengganggu.
Dan Shiro hanya tahu dia begitu marah, meski entah kenapa dia yakin rasa marah ini tidak hanya sekedar dilandasi alasan karena pemuda homunculus itu mengganggu rencananya.
Tapi, pilihan telah jatuh ke tangan Jeanne d'Arc sekarang.
"Terimalah kontrak ini dan kita tidak perlu menumpahkan darah lagi."
Kata-kata Shiro yang masih mencoba meyakinkannya itu hanya membuat Jeanne memejamkan kedua matanya, "Apa kau akan membunuhku jika aku menolak?" tanyanya.
Sekilas, Shiro bisa merasakan tengggorokannya tercekat.
"...Ya."
Walau apapun yang terjadi, dia akan mengabaikannya.
"Aku tidak akan memaafkan siapapun yang menghalangi keselamatan manusia."
Karena inilah tekadnya, inilah jalan yang dipilihnya.
"Tidak ada pengecualian, tidak untukmu maupun homunculus itu."
Amakusa Shiro Tokisada tidak akan mundur lagi.
Keduanya telah kembali ke dalam sisi keras kepala mereka lagi. Oh, dua pahlawan yang sebelumnya adalah manusia itu... telah membutakan kedua mata mereka. Tak peduli apapun yang sekitar mereka katakan pada akhirnya...
"Kalau begitu, aku akan membunuhmu di sini."
"Kalau begitu, aku akan menghancurkan mimpimu."
...mereka berdua tetap pada pilihan mereka masing-masing.
Mengeluarkan senjata terkuat masing-masing, kedua manusia itu saling melindungi kepercayaan mereka sendiri dan orang-orang yang percaya pada keyakinan mereka. Melakukan apapun hingga menghancurkan tangan sendiri atau bahkan memberikan nyawa sebanyak apapun. Mereka tidak akan berhenti.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"
"JATUHLAH, JEANNE D'ARC!"
DHUAAAAAARRR
Ledakan besar terjadi dan seluruh waktu terasa berhenti. Api dan lubang hitam menutupi kedua mata mereka. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Kedua tangan yang tak akan bisa saling meraih itu... hilang perlahan tapi pasti.
Meski begitu, di tengah pertarungan ini, Shiro masih bisa peduli pada satu hal. Obsesinya. Cawan suci yang dapat mengabulkan permohonannya selama ini. Namun setelah memastikan keamanan benda suci itu, akhirnya dia menyadari sesuatu dan berdiri dengan cepat, meninggalkan Shakespeare yang membantunya bangun.
Dan dia melihat wanita itu telah terbaring kaku, dengan seorang pemuda berambut cokelat yang menangis sembari memeluknya. Melihat armor yang sudah tidak berada di tubuhnya, telah memastikan kematian arwah pahlawan yang telah menjadi musuh utamanya di perang cawan suci ini.
Dia telah menang.
Amakusa Shiro Tokisada telah menang.
Jeanne d'Arc telah tiada.
Tersenyum pada dirinya sendiri, Shiro tahu dia harusnya merasa senang. Tidak. Justru dia seharusnya tidak merasakan apapun. Ini adalah kewajiban yang memang harus dilakukannya. Sesuatu yang tidak bisa dihindarinya. Sesuatu yang pasti akan terjadi dan mungkin sekarang adalah saatnya.
Perasaan yang mengganggu ini... harus dia buang.
"Master?" panggilan Shakespeare—Caster of Red—di sampingnya membuat Shiro membuka mulutnya meski hanya sekilas. Tanpa menoleh untuk menunjukkan ekspresi kedua matanya, Shiro menutup mulutnya lagi.
"Kau tidak... menulis ending tragis untukku, 'kan?"
"Hah? Tentu saja tidak! Kau sudah memberiku perintah, mana mungkin bisa kutulis!?" ucap Shakespeare dengan sedikit panik dan bingung. Pria yang memiliki rambut dan jenggot berwarna cokelat itu menoleh untuk memperhatikan wajah tuannya, "Apa ada yang salah, master?"
Pertanyaan ini membuat Shiro yang terus menatap wanita berambut pirang di depannya terdiam.
"Tidak."
Dia memejamkan kedua matanya.
"Bukan apa-apa."
Mengabaikan ekspresi bingung yang masih dipasang Shakespeare, Shiro berjalan mendekati punggung Sieg yang telah meletakkan tubuh Jeanne di atas tanah. Sekarang tinggal homunculus ini. Bunuh dia dan semuanya akan kembali seperti yang dia inginkan sedia kala.
Menyiapkan pedang di tangannya, Shiro mengernyitkan kedua matanya dan melihat Sieg yang telah berdiri.
Menyedihkan sekali.
"Kau pasti menyimpan dendam padaku sekarang."
Tapi, entah mengapa... Shiro tidak bisa menyalahkannya. Terlebih ketika Sieg menatapnya dengan penuh rasa amarah yang tidak seharusnya dimiliki makhluk buatan tanpa emosi seperti dirinya.
Dosa yang tidak bisa dimaafkan ini—
"Tentu saja."
—akan dia terima.
.
.
.
.
.
"Sampai nanti... bertemu lagi."
.
.
.
Oh, can you tell me... can you tell me...
...the way the story ends?
A monster in my heart
A ghost inside my chest
.
I'm broken down
The world around us surrounds my suffering
You smile and laugh at me...
.
...but you don't see a thing
- Jonathan Young (Unravel [English Version])
.
.
.
To be Continued
.
.
.
Akhirnya part 1 selesai kak aaaaaa ;;w;; Maaf lama, risetnya memakan waktu lebih dari yang diperkirakan ternyata, mengingat aku tidak memainkan game-nya sih orz #yeuh Part 2-nya diusahakan bisa lebih cepat wahahaha. Oh ya sekedar informasi saja, part 2 akan bertempat di setting Fate/Grand Order.
Terima kasih untuk kak Rei yang sudah commish! I hope you like it! Jalan ceritanya bener-bener ngikutin dari anime-nya, aku cuma ngasih tambahan di bagian yang kira-kira bisa diisi wehehe #plok Sebenarnya rada bingung mau pake panggilan di anime-nya atau ngikutin sudut pandang mereka sebagai orang-orang berdarah negara tertentu (like Jeanne kan cewek Perancis, masa' manggil Sieg pake 'Sieg-kun'?) ;w;
Terus kalau ada yang ngerasa apa yang di-warning-in gak muncul di sini, well mungkin di chapter 2? Wkwkwk #heh Anyway, fic ini terdiri dari twoshots. Jadi, jangan khawatir lama :"))
Udah itu aja sih, selebihnya semoga para readers sukaa dan feel-nya kerasa. Maaf jika ada typo yang terlewat dan segala jenis kekurangan yang tidak bisa dihindarkan. Fave, review, and alert are really appreciated! Thanks before! :D