Shokugeki no Souma bukan milik saya. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari sini.
.
.
.
"Akan tiba saatnya, ketika pelangi kehilangan seluruh warna yang memukau itu, buat atensi seluruh manusia menaik ke level teratas. Karena semua warna pelangi pindah kepadamu. Ya, kau... keindahan yang aku klaim sebagai milikku." | Keindahan yang kau maksud itu anggapan yang mustahil, kawan. Dia milikku! |
.
.
.
Persona
.
.
.
A/N : Oh, ya. Sebelumnya kalo merasa familier, saya pernah nulis ini dengan isi yang sama tapi judul yang beda. Tapi fict itu saya hapus di FFn dan di tambahin beberapa situasi. So... enjoy!
Aku datang ke Totsuki karena suatu masalah yang sebenarnya tak boleh aku ceritakan pada siapapun. Hanya kepala sekolah yang tahu alasanku berdiri di sekolah ini, dia memiliki alasan yang jelas, meski pada awalnya, Nakiri lain tidak setuju dengan kehadiranku.
Lalu, kukatakan pada mereka kalau aku ini anak dari seorang pendiri perusahaan Demian corp, Nekta Demian dan Ibu dari Huang Li Xin, mantan alumni Tootsuki. Tapi, sebenarnya itu tidak menjadi acuan yang memudahkan aku untuk sekolah di sini.
Jika aku mengatakannya lagi, aku tidak pantas ada di sini, bukan karena Tootsuki tidak sesuai levelku. Tapi, aku memang tidak memiliki bakat khusus. Aku tidak terlalu pandai memasak.
Jujur saja, jika masalah ini tidak datang kepadaku, aku tidak mau berdiri di sini, di belakang lelaki berambut merah yang membuat seluruh siswa marah. Aku tidak terlalu ingat apa yang di katakannya, meski ia nampak percaya diri dengan semua bahkan para murid yang menghadiahkan lemparan buku dan memaki-maki.
Ia tetap teguh pada pendirian, meski wajahnya tak menyiratkan bahwa ia adalah seorang jenius. Ia hanya anak lelaki berambut merah biasa, seperti kebanyakan remaja. Tutur kata naif dan belenggu ingin menjadi nomor satu dalam kesan pertama di atas podium.
Lantas, setelah lelaki berambut merah itu berbicara panjang lebar ia mempersilakan aku maju ke pondium di tambah senyuman manis yang membuatku sedikit gugup.
Jujur saja, dia menawan.
Berdiri di depan podium dan mengamati sekitar, seluruh murid langsung hening seketika. Mereka menatapiku dengan aneh di tambah bisik-bisik untuk menggunjing tentang penampilanku.
Membuat mereka bingung mungkin? Mereka sepertinya sedang berpikir apakah Rain Demian itu lelaki? Atau wanita?
Aku memiliki rambut pendek yang di potong garis lurus sebatas rahang, berwarna putih dengan mata jernih berwarna biru. Kau dapat membayangkan seperti apa rupaku. Jika penasaran, kau bisa menanyakan ini di kolom pencarian internet soal Ibuku dan Ayahku, wajahku tidak berbeda jauh dengan mereka.
Sepintas, mungkin aku terlihat seperti perempuan. Tapi, kalian bisa menebak bukan, Rain itu nama untuk lelaki?
"Namaku Rain. Rain Demian, sama seperti anak barusan. Aku murid pindahan. Sebenarnya aku tidak memiliki maksud tertentu untuk bersekolah di sini, mengambil hikmahnya pun tidak. Aku tidak punya rencana untuk sekolah di sini, karena aku punya prinsip lain yang aku tanamkan sejak kecil. Tak perlu capek-capek menganggapku saingan, aku tidak terlalu berbakat di bidang masak. Tapi aku harus bertahan, setidaknya sampai aku naik kelas 2."
"HA?"
Lelaki di belakangku terkesima, caraku menyampaikan pesan dan kesan pertama terlalu egois. Tapi, aku masa bodoh dengan semua ini. Aku juga tidak terlalu memikirkan akan memiliki teman atau tidak karena aku tahu pada nantinya aku hanya akan melibatkan mereka ke dalam masalah lain, hingga membuat mereka di depak dari Tootsuki.
Lelaki berambut merah itu berkomentar. "Oh, hei. Aku tidak tahu kalau kau laki-laki. Dengan penampilan dan wajah seperti itu. Orang akan menganggap dirimu itu seorang gadis."
Kupikir, ia mengomentari kesan dan pesanku barusan.
"Ngomong-ngomong, suaramu terdengar oleh pengeras suara loh." Gadis berhelai hitam di atas podium lain bergumam sok peduli, tapi tentu saja ia terdengar oleh murid lain.
"Kau juga." Aku menimpali, melanjutkan. "Lagi pula, kau ini siapa, hum?"
"Hey, jangan memotong ucapanku, Anak Baru. Kalian belum ada apa-apa di sini dan mungkin keberuntungan sedang memihak pada kalian. Seharusnya kalian harap-harap cemas."
Yah, mungkin aku hanya Anak Baru di sini. Tapi bagaimana melihat lelaki berambut merah itu aku sedikit lega dan lepas dari keraguan di dalam hati. Dia malah tak berhenti menatap dan tertawa seling tersenyum dengan cara aneh yang tak biasa.
Kurasa... aku akan terbiasa dengan hal ini, Tootsuki dan lelaki muda ini.
Seseorang dari seberang sana mengatakan sesuatu yang menggelikan juga melumpuhkan syarafku. Dia bilang, ada test lagi, dadakan sekali dan dia langsung heboh seperti sedang sekarat. Dia seorang murid. Untung saja aku membawa pakaian memasakku.
Jujur, test yang di proklamirkan guru aneh yang tiba-tiba muncul di ruangan yang aku pakai membuatku agak merinding. Dia dari luar Jepang dan membuat menu yang tak lumrah bagiku.
Selanjutnya adalah terkena sial.
Itu yang sekiranya di katakan para murid lain ketika aku dan peserta ujian lainnya memasuki area memasak, aku menyebutnya pantry. Seluruh kehebohan mulai terjadi di mana-mana apalagi ketika guru aneh itu bilang jika seluruh peserta harus membuat kelompok.
Sialnya, tidak ada yang ingin atau mengajukan diri untuk duo bersamaku, jumlah murid di sini menjadi ganjil akibat kesalahan panitia.
Ini buruk.
Lelaki berambut merah itu sudah mendapatkan pasangan, seorang gadis kecil berkuncir yang terlihat lemah. Tadinya aku ingin mengajak lelaki itu, tapi ia sudah terlebih dulu mengajak orang lain. Dan dengan terpaksa aku termangu sendiri yang entah harus melakukan apa.
Sebelum...
"Hei, kau!"
Tepukan hangat membias di bahu. Aku menoleh pelan, kudapati senyuman tipis yang ia buat dengan manis, membingkai bagai rangkai purnama di malam hari, memikat.
"Belum terbagi kelompok? Mau bersamaku?" Ia menawarkan.
"Jika kau bersedia, aku mau." Kujawab setenang mungkin.
"Hei, aku belum menyebutkan nama. Tapi aku tahu siapa kau, karena aku memperhatikanmu sejak awal kau masuk, kau... menarik."
Aku tersenyum walau merasa aneh dengan orang asing ini. "Um, jadi siapa namamu?"
Ia mengulurkan tangan, menyambar telapak tanganku dengan cepat. Aku sedikit kaget ketika tahu dia memiliki tangan yang hangat.
Jabatan tangannya seolah tidak mau terpisah.
"Takumi Aldini, salam kenal. Ngomong-ngomong, jika aku boleh jujur, kau tidak akan marah 'kan, Demian? Boleh aku memanggilmu Demian?"
Aku mengkeryit. "Tentang apa?"
Aldini memiringkan kepala. "Kau itu laki-laki 'kan? Tapi kau cantik sekali, tangamu halus, jarang ada di dapur ya? Dan sumpah! Awalnya aku mengira kau perempuan. Aku sebenarnya hampir naksir padamu, lho! Tapi, itu tidak apa-apa. Aku beruntung bisa bertemu denganmu."
"Yah, untuk sepersekian detik. Kau orang pertama yang berbicara panjang lebar begitu, Aldini-san."
Ia membelalakkan mata, membuat wajah seolah-olah ia terkejut, padahal aku tahu ia hanya berpura-pura. "Hei, panggil aku dengan cara biasa. Kita 'kan partner sekarang."
"Partner... mohon bimbingannya, Partner."
"Kau keren sekali tadi, biasanya aku tak terlalu suka Anak Baru, apalagi yang namanya Yukihira itu..." Aldini menatapku lembut, ia memiliki aroma kayu manis sekarang.
"Aku tidak menyangka kalau aku bisa menang jika berkolaborasi denganmu, Demian, dan mendapat nilai A. Tapi aku memang sudah biasa mendapat nilai segitu, hehe.."
Agak menyakitkan ucapannya, tapi aku tahu ia hanya bercanda. Senyum di bawah jingga membuat hati kian temaram, Aldini masih menatapku takjub akibat kejadian barusan. Mungkin, aku mengalahkan Tim Yukihira, sepertinya itu yang membuatnya senang.
Kami berjalan beriringan, mengantarkanku ke Asrama dengan bantuannya. Aku kesulitan untuk menemukan arah dan Aldini dengan tegas dan gentle menolongku, beserta senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Dan aku yakin, keriput di wajahnya akan hilang setelah melakukan ini dan itu.
Menyejukan hati, senyumnya itu. Kuharap ia akan selalu begitu.
Sembari menepuk bahu, ia berbisik di telingaku. Meninggalkan lamunan tentangnya. "Kuharap kau bakal akrab dengan adikku.." Pelan sekali suaranya.
"Aku suka anak kecil, Takumi.."
"Wow. Tapi kami kembar kau jangan naksir dia ya?"
"Hehe. Aku tidak akan melakukan itu, Takumi. Lagi pula aku kan anak laki-laki aku suka perempuan..."
"Ah, aku hampir lupa kalau kau laki-laki. Kau cantik sih. Tapi adikku itu kalau musim panas dia bakal jadi beda dan lebih keren ketimbang aku."
Secepat kilat. Aku terkesima untuk beberapa detik, memikirkan seperti apa bentuk wajah dan bagaimana hentakan aroma manis dari tubuh saudaranya itu. Bisa baik atau tidak. Itu tergantung dari caranya memilah kepribadian saat lahir.
"Semua orang selalu keren saat musim panas..."
"Lupakan. Eh, kau harus tahu, Demian. Ini adalah awal, akan ada test lagi setelah ini..."
"Test?"
"Yeah test, kalau kau butuh sesuatu aku akan membantumu. Aku 'kan Tour Guide-mu dan uhh... itu Asramamu..."
Konfirmasi itu terlalu cepat bagiku, buatku tak sadar jika aku sudah ada di depan Asrama. Aldini menjentikan jari, mengedipkan mata dan mengatakan ucapan selamat, selamat lainnya ala perpisahan.
Sesaat kemudian ia berbalik, berjalan mundur dan berkata. "Aku besok akan menjemputmu, Demian. Jangan kemana-mana, nanti nyasar lagi. Ingat, aku Tour Guide-mu."
"O-oke..."
Dia menghilang, bersamaan dengan itu ada sebuah pintu yang bertengger mesra di depanku, di hadapanku seolah mengalihkan pandang mata. Pintu ini menjulang tinggi melebihi kepalaku, bahkan untuk melihat ujungnya aku harus mendongak dulu.
Ada gagang berkepala aneh sebagai hiasan di sana, entah apa bentuknya, aku memprediksinya sebagai kepala Monster.
Aku baru memperhatikan sekitaran dan baru sadar ada kebun, buah-buahan yang menurutku pemikiranku malah tampak angker. Aku jadi ragu kalau ini asramaku. Ini lebih mirip seperti sarang setan.
Menyedihkan sekali...
Dingin akibat terlalu lama ada di luar, aku mengetuk pintu berharap mereka yang ada di dalam mengizinkanku masuk.
"Halo? Permisi? Aku Rain Demian. Ada orang?"
Tidak ada jawaban.
"Halo. Aku Rain Demian..."
Tak ada respons.
Kemana perginya orang-orang?
Kudorong pintu secara perlahan, bersikeras walau tak sopan untuk masuk. Tapi aku harus melakukan ini bukan? Kesopanan aku simpan belakangan.
Hal pertama yang kau selidiki jika masuk ke wilayah asing adalah memperhatikan sekitar, mempelajari dan mencari tahu. Tapi jika kau berada di hutan dan rumah setan, kalau ini lain lagi ceritanya.
Aku mencoba memperhatikan sekitar. Memprediksi apakah otakku mampu mencerna keadaan atau menemukan sedikit detak jantung manusia di dalam sini.
"Halo..." Panggilan selanjutnya aku utarakan. Namun hasilnya nihil.
Penampakan akan tempat ini sangat tak masuk akal, maksudku seluruh perabotannya, aromanya dan suasananya. Mau tak mau pemandangan ini tersaji di depan mata dan aku harus menikmatinya secara terpaksa, tentunya hanya kunilai dari sudut pandangku.
Gelapnya ruangan menjadi acuan pertama soal keanehan ini, ya seharusnya sekolah memodalkan lampu. Soal lampu kristal di atas yang menarik minat, aku mengecualikan itu.
"Selamat sore! Aku Rain Demi-"
Ucapanku terhenti begitu saja oleh sebuah insting jenaka ala manusia. Ya. Aku mendengar sesuatu yang ganjil tak kasat mata.
Ada sesuatu yang mencurigakan membuatku merinding dari ujung sana. Aku menyebutnya 'Ujung Sana' karena aku yakin suara itu berasal dari sana.
"Halo? Apa ada orang? Tolong jawab aku."
"Huhuhu"
Suara? Ada suara! Ada orang di sini! Tapi... suara macam apa itu?
"huhuhuhu"
Benar! Aku mendengar suara yang mengambang di permukaan udara bagai alunan Lagu Kematian.
Penasaran, aku langsung mencari tahu.
Perlahan, aku menyusuri suara itu suara lirih dingin yang menyapa. Kuberjalan mendekati sumber suara, hati-hati dan bimbang.
Di sana, di sebuah tempat dengan lampu runyam, duduk sosok hitam tak kasat mata dan mustahil terlihat besar dan tegap. Dia, sosok itu duduk di atas meja, memeluk toples kecil dan mengaduknya seperti Peri Penggiling.
"Ha-halo?"
Aku mendekati untuk sebuah respons. Tapi sosok itu asik sendiri dengan temuannya, seolah tak suka dengan kehadiranku.
"Halo, permisi?"
Kutepuk bahu milik sosok itu sebanyak tiga kali, pelan dan lembut, takut dia sosok lain dan bukan manusia. Tapi aku berharap kalau dia manusia atau penghuni Asrama yang iseng.
"Ya? Ada apa?" Sosok itu menjawab tenang, khas lelaki baik hati yang manis. Dia tak berpaling dan masih asik duduk di atas meja.
"Aku murid baru di sini, bisakah kau menunjukkan di mana kamarku?"
"Tentu..." Sosok itu menoleh slow motion, memperlihatkan seraut wajah polos porselen bermanik hijau yang terang. Tersinari cahaya senter yang dipegangnya.
Dan dia...
Benar-benar polos.
Ya. Polos.
Polos.
Kutarik napas dalam.
Lalu...
"HWEEEEEE ADA ORANG GILA DI ASRAMA!"
"Maafkan aku Demian-san, aku tak tahu kalau kau takut hantu."
"Demian tidak bilang hantu kok, tapi HWEEEE ORANG GILA. Lagian siapa lagi di Asrama yang bakal di sebut sinting kalau bukan kau, senpai?"
Bukan. Itu bukan soal hantu atau orang gilanya. Tapi soal penampilan orang ini yang membuatku kaget.
Tuhanku... siapa dia ini?
Kenapa dia aneh sekali. Entah seperti apa wajahku ketika sedang merona hebat kala melihat dia. Pasti memalukan. Pasti aku akan di tertawakan.
Aku teduduk keras di atas lantai, tertimpa satu karung kecil tepung dan lelehan cokelat yang mendingin. Tanganku ketumpahan air panas dan kepalaku dipenuhi oleh kuning telur dalam mangkuk akibat menyenggol meja.
Ah... hari burukku.
Beberapa anak di Asrama yang memergoki, bukannya menolong malah mengomel tak jelas, ada yang tertawa ada pula menceramah soal atom atau soal kegiatan rutinnya yang terganggu.
"Na... na... na... senpai, kau menakuti si Anak Baru."
"Ya, benar. Kami tak masalah dengan ini, tapi Anak Baru ini pasti shock melihat sosok seperti dirimu ada di dapur!"
"Maaf..." Dia sedikit membungkuk lalu mengulurkan tangan. Ada senyum hadir di sana. "Apa kau tidak apa-apa?"
Aku menyambut uluran tangan walau masih terkejut. Tangannya dingin sekali. "Maaf, Senior. Tapi aku tak bisa menyebutkan bahwa diriku tak apa."
"Namaku Isshiki, jangan panggil aku senior. Bicara soal Anak Baru... Aku sudah dengar apa yang kau katakan tadi siang. Hanya sampai kelas 2 dan kau pergi? Kau mau ke mana?"
Dia yang masih memegang tanganku menghadirkan senyum hangat walau sedikit usil ala penggoda. Kupergoki matanya sejenak dan dia langsung memalingkan wajah dengan alasan tak jelas.
"Senior... Isshiki-san, kalau soal itu aku punya al-"
"ASTAGA!" Di genggam erat tautan dari jabat tangan. Aku sedikit terkejut karena dia membuat gerakkan mendadak yang labil, seperti seorang penjambret.
"Aku minta maaf lagi, Demian-san! Aku melukai tanganmu."
Dibalikkan telapak tanganku ini oleh dirinya. "Kena air panas ya, Demian-san?"
Kuamati efek air panas di tangan kananku, ada bekas merah menjadi sinyal dari tragedi barusan. Panas rasanya. "Tidak apa-apa, Isshiki-san... aku akan mengobatinya nanti."
"Sepertinya ini akan melepuh..." Ia mendekatkan tanganku pada bibirnya dan menggumamkan sesuatu yang kurang jelas, aku tak dapat membaca gerak bibirnya atau apa maksudnya.
Tapi...
Yang selanjutnya dirasa oleh punggung tanganku adalah rasa mendalam dari sebuah dingin dan geli.
Geli oleh sapuan lidahnya di sana.
Kutarik tanganku sekuat tenaga meninggalkan bercak merah merona di kedua pipi. Langsung saja aku menghardik. "Wo-woi... a-apa yang kau lakukan?"
"Mengobatimu, Demian-san~ apa aku salah?"
"Hey, kau bukan Anjingku, berhenti menjilat tanganku..."
Oh, Tuhan. Lebih baik aku mati saja.
"Demian? Demian yang tadi ya? KITA ADA DI ASRAMA YANG SAMA!"
Aku menebak. "Yuki... hira?" Lalu melanjutkan. "Kau Yukihira Souma ya? Maaf kalau kurang formal. Aku mau mandi."
Yukihira mengamatiku dari atas sampai bawah untuk akselerasi yang fantastik. Mungkin dia heran kenapa aku belepotan, kusut, frustasi, setengah mengantuk, terlihat stress seolah menghindari sesuatu.
Aku bertemu dengan dia di lorong dekat kamar mandi, ia memakai handuk piyama dan wangi citrus dan barusan habis mengoceh tak jelas.
"Whoa, Demian. Sepertinya lain kali kau harus cepat-cepat, ok? Soalnya air mandi di sini gampang habis." Dia memamerkan senyum mencurigakan. "Kalau mau mandi bersama sih tak masalah, hemat air juga 'kan? Fumio-san tidak akan uring-uringan."
"Ke-kenapa aku harus mau?"
Yukihira mengkeryitkan dahi. "Apa-apa'an itu? Ada apa dengan ekspresimu, Demian? Bukankah sudah biasa ya? Di Onsen juga banyak orang yang berendam bersama."
Sialan. Apa yang kukatakan padanya barusan? Apa aku harus meralatnya? Atau mengalihkan perhatian?
"Yukihira, ba-bagaimana kalau..."
Anehnya dia malah tertawa, berjalan santai, menyentuh ujung rambutku dan memainkannya. "Sudah sana mandi dulu. Rambutmu itu... seperti habis kena kuning telur, atau kau ingin kumandikan? Kubantu keramas dan menggosok punggungmu?"
Aku memalingkan wajah. "Itu tidak mungkin."
"Hmm... kalau di pikir-pikir kau lembut sekali ya? Beda dengan anak cowok lain. Pasti kau anak orang kaya yang sering perawatan. Terlebih kau itu..."
Dia menghentikan ucapannya lalu menatapku serius.
"Kenapa?"
"Tidak jadi ah. Yah, kalau begitu Selamat Malam, jangan tidur terlalu malam nanti kau pusing."
Dan dia pergi...
..namun.
"Ngomong-ngomong, Demian." Kepala Yukihira muncul dari balik tembok. Aku yang baru setengah masuk kamar mandi keluar lagi.
"Ya, Yukihira?"
"Kalau kau butuh sesuatu... maksudnya seorang Tester. Aku mau jadi Testermu!"
"Gratis?"
"Kenapa kau harus bayar? Kita 'kan teman..."

2