STAY WITH ME
EPITOME
.
.
Bagian Satu
Baekhyun mengingat setiap detiknya.
Saat itu, matahari tenggelam di ufuk barat. Sinar hangatnya menyinari wajah seseorang yang beberapa menit lalu mengucapkan janji padanya atas nama Tuhan. Baekhyun melirik lelaki yang menggenggam jemari demi jemarinya dengan erat itu—perlahan membawanya duduk di bawah pohon rindang di luar gereja.
Biarpun langit semakin gelap seiring dengan tenggelamnya sang surya, Baekhyun tetap menuruti Chanyeol untuk duduk di bawah pohon yang mana daun yang tergantung di dahan dahan keringnya mulai berguguran. Sore hari di Rusia yang begitu indah, Baekhyun bertanya tanya di dalam hati dari mana Chanyeol mengetahui gereja dengan pemandangan seindah ini.
"Baekhyun."
Baekhyun menolehkan kepalanya, menatap Chanyeol yang terduduk di sampingnya. Lelaki itu masih memakai jas hitamnya, lengkap dengan setangkai bunga mawar yang di selipkan pada saku. Ketampanan lelaki itu tidak berkurang sama sekali, itu membuatnya iri karena dirinya yakin wajahnya sudah terlihat letih dan kacau layaknya seorang gelandangan.
"Genggam tanganku."
Baekhyun mengernyit, namun tetap menuruti permintaan seseorang yang mana pada hari ini sudah resmi menjadi pendamping seumur hidupnya. Ia menjulurkan tangannya pelan pelan, menggenggam tangan Chanyeol sehingga logam mulia yang kini melingkar rapi di jemari tengah mereka berdua menyatu dan mengeluarkan bunyi samar karena benturannya.
Baekhyun mengamati dua cincin mereka yang bertemu dalam genggaman sebelum menarik pandangannya agar dapat menatap Chanyeol kembali.
Lelaki itu, tampaknya juga memikirkan hal yang sama. Ia juga memandang jemari mereka yang bertautan dengan manik yang dalam. Baekhyun tersenyum sehingga rasanya bibirnya nyaris terobek, dan memanggil nama kekasih hidupnya itu dengan lembut ;
"Chanyeol," Bisiknya, "Kita akhirnya sampai disini."
"Ya." Chanyeol menyetujui, masih belum mengalihkan pandangnya barang sedikit pun, "Kau akhirnya menjadi milikku sepenuhnya."
Baekhyun terdiam, menikmati langit yang menjingga beserta hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan. Pergerakan Chanyeol pada tangannya menarik perhatiannya kembali, lelaki itu mengelus jemari demi jemari miliknya.
"Kau datang padaku pertama kali," Chanyeol menyandarkan kepalanya pada bahu miliknya, berbisik pada telinganya sedangkan maniknya menerawang ke depan.
"Kau berlari, ke sana kemari. Seperti kupu kupu, dengan sepasang sayapnya yang indah. Kau memanggilku dengan suaramu yang lebih nyaman daripada dentang piano mana pun. Dan seperti anak bodoh, aku mengejarmu." Chanyeol menjeda, tertawa.
"Aku mencintaimu. Kau yang seperti sebuah hujan dalam gersang di dadaku. Biarpun aku sering kali membuatmu menangis, kemudian jatuh, dan putus asa. Namun aku sungguh mencintaimu. Kau yang pertama datang padaku, sehingga dirimu-lah—hanya kau, satu satunya yang aku cintai."
Angin berembus, mengisi jeda di antara mereka berdua. Chanyeol meraih satu tangan milik Baekhyun yang bebas dan menyatukan kedua tangan mereka dalam satu genggaman.
"Kau yang datang pertama kali padaku," Lirihnya, "Maka, biarkan aku menjadi tempat berlarimu yang paling akhir. Jangan pernah tinggalkan aku lagi—"
Chanyeol menarik kepalanya dari bahu milik Baekhyun dan menyentuh dengan lembut dagu anak itu sehingga parasnya yang cantik dapat sepenuhnya memasuki pandangan miliknya. Chanyeol tersenyum, sehingga itu menular pula pada Baekhyun.
"—Bahkan bila aku, yang memintamu."
...
"Ahh-Chan—Pelan, J—Jullie.. Ahh-Ada—ahh—"
Chanyeol menggeram, meraih pinggul Baekhyun dan mengentak miliknya lebih dalam. Mengabaikan desahan Baekhyun yang mati matian di tahan. Baekhyun memejamkan mata, melihat surganya di depan mata.
"Damn, Baek—Shit." Chanyeol mengumpat, "Kau—Hh.. Sempit sekali, sial."
Baekhyun melirik perlahan pada gadis kecilnya yang ada di kasur bersama mereka. Kelopak mata mungilnya tertutup—sepertinya malaikat manisnya masih pulas di mimpinya. Baekhyun mengalungkan kedua tangannya pada leher Chanyeol dan menjulurkan leher untuk mengamit bibir milik suaminya itu dalam ciuman dalam yang erotis. Desahan mereka bercampur di antara pertautan kedua bibir. Menciptakan bunyi penuh nafsu yang bahkan bila terdengar oleh malaikat, mereka akan merona malu.
"Lebih—hh.." Baekhyun mendongak, melepas kontak bibir mereka, "Disana—hh, Ahh—!"
Chanyeol mempercepat gerakannya karena tahu mereka akan segera mencapai puncak namun pergerakan nyata dari putri kecilnya membuat mereka membeku.
"Mommy?" Serak gadis itu, maniknya mengerjap dengan tidak fokus.
Chanyeol menarik miliknya yang sudah sangat merah dan keras—tentunya, tegang, itu dari rektum Baekhyun. Membuatnya meringis sebelum mendekat pada putri kecilnya yang baru saja terbangun.
"Ada apa sayang?" Baekhyun berbisik lembut.
"Jullie mimpi buruk, Mommy." Bocah kecil itu merengek, "Jullie benci mimpi buruk."
Baekhyun menenangkan putri mereka dengan tepukan lembut di punggung dan melirik Chanyeol yang terengah di atas kasur dengan kejantanan yang masih mengacung keras. Chanyeol membalas tatapannya, tersenyum.
"Tenangkan Jullie." Bisiknya lembut dengan suara serak dalamnya, "Dia prioritas paling berharga bagi kita, bukan?"
Baekhyun balas tersenyum dan mendekap Jullie dalam dadanya sementara ia mendengar Chanyeol berjalan ke arah kamar mandi di kamar mereka.
...
Itu bukan pertama kali.
Ada banyak waktu, dimana mereka akan bercinta hanya untuk terhenti di tengah kemudian. Itu semua karena malaikat kecil mereka yang belakangan ini lebih jarang tidur dengan pulas—menjadi lebih aktif. Baekhyun sudah menidurkannya dengan sebaik mungkin, berpikir bahwa ia akan mengajak Chanyeol pergi ke kamar tamu untuk melakukan'nya', namun gadis kecil itu terbangun dan memanggil namanya dengan isakan keras yang membuat siapa pun tidak tega mendengarnya.
Chanyeol mengusap wajahnya, masih tersenyum walau di paksakan. Mereka dalam posisi tanggung yang canggung, dimana Chanyeol sudah tidak memakai apapun sebagai atasan dan Baekhyun juga—hanya memakai kemeja kebesaran milik si mafia. Baekhyun duduk di pangkuan Chanyeol dan tadinya mereka mengulum bibir satu sama lain dengan hebat—tidak lagi, karena Jullie kecil kesayangan mereka itu sudah patah patah melangkah dari kamar dan memanjat lutut Chanyeol, mendesak untuk duduk di pangkuan ayahnya.
Baekhyun bangkit dari pangkuan suaminya dan membantu Jullie agar dapat memanjat ke dalam pangkuan ayahnya.
Baekhyun melirik milik Chanyeol yang benar benar sudah tegang itu, meneguk ludah karena rasanya bersalah sekali. Namun apa yang bisa ia lakukan? Malaikat polos titipan Tuhan itu ada disini, ia tidak tega mengusirnya kembali ke kamar, apalagi melakukan adegan senonoh di depan putrinya ini.
"Daddy," Gadis kecil itu berbisik, setengah mengantuk ; "Mengapa kau bernafas keras sekali?"
Chanyeol terkekeh, "Tidak apa sayang, tidurlah."
"Jullie tidak bisa tidur," Keluhnya, "Ada monster besar di mimpi Jullie, Jullie takut."
"Monster mana yang berani mengganggu putri kesayangan Daddy, hm?" Chanyeol memasang tampang serius, mengulas surai coklat putrinya.
"Monster belalai satu, Daddy."
"Kalau begitu Daddy akan memukul monster nakal itu. Kau tidurlah sekarang oke? Daddy akan menyusulmu, Tuan Putri."
Jullie mengangguk, terantuk antuk. Manik kecilnya perlahan terpejam karena goyangan pelan dari ayahnya yang turut menyenandungkan nada nada lirih agar ia tertidur.
Akhirnya putri kecil itu tertidur di lengan Daddy nya.
Baekhyun mengambil alih Julliete, membawanya ke kamar dan kembali ke ruang tengah saat yakin putrinya itu sudah terselimuti dan aman. Dilihatnya Chanyeol masih duduk disana, menatapnya dengan raut wajah datar.
Tidak bergairah, seperti tadi.
"Chanyeol—"
"Pergi dan jaga Jullie." Chanyeol menolak saat Baekhyun akan duduk di pangkuannya, "Lagi pula aku tidak lagi bergairah untuk melanjutkan apapun."
Sesuatu berbunyi retak di dadanya saat si mafia itu dengan mudah melangkah masuk ke kamar. Meninggalkannya yang seperti pelacur bodoh.
'Tidak bergairah', katanya. Baekhyun menunduk dalam rasa kecewa dan kekalutan yang menusuk bagai karang tajam.
Ia tidak bergairah padaku, katanya.
...
Pukul dua tiga puluh pagi, ia terjaga.
Dan yang pertama ia rasakan adalah kehangatan dari selimut tebal miliknya. Baekhyun mengerjap dan menghitung satu satu nafasnya, bersyukur diam diam karena ia masih dapat terjaga sementara mungkin saja ribuan orang lain tidak. Pandangnya bertemu dengan gorden yang mana menutupi indahnya rembulan yang bersinar mencari perhatian disana ; bersama bintang.
Langit selalu menawarkan kegelapan, namun tetap saja, di antara mereka masih terselip indah. Terselip nada dan hiburan yang tidak dapat di temukan dalam partitur mana pun, nyanyian apa pun. Malam yang menjelang pagi itu adalah indah, namun tidak seindah itu lagi saat ia tidak dapat menemukan Chanyeol di sisi lain dari kasurnya—sebagaimana seharusnya ia ada.
Baekhyun menatap sisi yang kosong itu—Chanyeol tidak ada disana. Itulah mengapa kehangatan ini sekarang berasal dari selimut tebalnya. Biasanya ia akan terbangun di pelukan Chanyeol, dengan dada bidangnya sebagai pemandangan pertama yang bisa ia lihat.
Mengusap pipi Jullie yang masih tertidur, Baekhyun memutuskan bangkit dan berjalan perlahan ke luar kamar. Dia mendengar samar samar dentingan gelas kaca, pembicaraan beberapa orang yang mana terjadi di lantai atas—tempat dimana Chanyeol mengadakan pertemuan ataupun bersenang senang.
Baekhyun tahu sama sekali tidak baik mencuri dengar pembicaraan apapun dari sana, namun naluri manusia adalah mutlak. Ia hanya merasa harus mendengarkannya.
Akhirnya ia berakhir membungkuk di depan pintu ; telinga menempel pada kayu mahoni itu.
"Chanyeol, kau tahu kita harus mendapatkannya."
Samar samar ia mendengar. Baekhyun menyimpulkan bahwa seseorang yang berbicara barusan ialah Kris Wu—Si tiga besar nomor tiga.
Apa yang sedang mereka bicarakan semalam suntuk? Tanpa mengundangku?
Baekhyun memutuskan untuk mendengar lebih banyak.
"Ya, Chanyeol. Sekarang mereka sudah meluaskan ekspansi ke wilayah timur. Teritori kita di perbatasan akan terancam apabila kita tidak bertindak."
Itu Oh Sehun. Baekhyun mengernyit, tidak mengerti siapa yang sedang mereka bicarakan.
"Lalu apa yang harus ku lakukan?"
Itu dia, Park Chanyeol. Ternyata dia, Kris, dan Sehun mengadakan pertemuan rahasia tanpa dirinya.
Namun mengapa? Baekhyun termenung. Di setiap keadaan, bahkan bila masalah itu hanya sekecil tikus yang mencuri keju di kulkas, Chanyeol akan tetap memberitahu padanya. Namun sekarang, dari nada serius yang mereka keluarkan, Baekhyun tahu ini bukanlah hal sepele yang mana bisa mereka selesaikan dalam satu kata.
Pernyataannya adalah ; mengapa Chanyeol tidak mengatakan apapun?
"Satu satunya cara adalah," Kris membuka suara, "Salah satu dari kita harus memiliki pewaris, secepat yang kita bisa."
Deg.
Tidak ada yang menjawab selama beberapa waktu dan Baekhyun menunduk untuk menatap jemarinya. Ia mengerti sekarang. Kelompok Barat mulai melakukan pelebaran teritori dan ingin merebut teritori Timur—yang mana sudah dimenangkan oleh Tiga Besar dalam pertempuran sesama Timur. Kini kelompok Barat, ingin mencari celah agar mereka dapat mendapatkan seluruh teritori timur dalam satu langkah yang paling mudah ; membunuh.
Tentu saja mereka butuh seorang pewaris, Baekhyun menyetujui. Bukankah kehadiran seorang pewaris akan membuat mereka urung menjarah wilayah karena itu adalah sia sia? Bahkan bila mereka berhasil membunuh Chanyeol—Noires, Tiga Besar akan tetap hidup dengan adanya pewaris. Tidak bisa dilakukan perang dalam skala besar karena akan menarik perhatian pemerintah, mereka hanya bisa membunuh secukupnya, mundur terhadap risiko yang mungkin akan terjadi.
Tiga Besar, salah satu di antara mereka harus memiliki pewaris agar memberhentikan langkah kelompok Barat itu.
"Aku dan HuangZi, kau tahu dia masih di bawah umur. Membuatnya mengandung anakku, aku khawatir akan menyebabkan tekanan psikologis yang terlalu berat baginya—apalagi bila dia tahu ia akan mengandung demi suatu kepentingan. Lagi pula kita tidak tahu dia bisa dibuahi atau tidak. Tidak juga untuk mengambil simpanan, mentalnya masih terlalu lemah untuk menerima hal seperti itu."
Baekhyun berbalik, bersandar pada pintu sementara jantungnya berdentum begitu resahnya.
"Luhan tidak dapat mengandung. Bahkan bila dia bisa, tidak akan ada yang bisa menjamin putra yang dia lahirkan akan di akui menjadi seorang pewaris. Aku bukan Tiga Besar, aku tidak bisa menempatkan putraku ke dalam susunan kalian."
Hening lagi, ludah terteguk. Baekhyun mengerti benar ke mana akhirnya pembicaraan ini bermuara ;
"Hanya kau yang bisa, Chanyeol." Samar, ia mendengar Kris berkata.
"Buat Baekhyun hamil dalam waktu dekat, buat dia mengandung pewarismu."
Baekhyun menatap perutnya secara refleks, jadi inikah sebabnya—mengapa Chanyeol begitu sering melakukannya' seakan ia sedang melakukan tugas harian?
". Atau jalan terakhir yang tersisa, membuat aliansi. Nikahkan Julliete pada—"
"Tidak. Aku akan memikirkan cara yang lain."
Baekhyun melangkah pelan menjauhi kamar. Turun sementara maniknya kabur, kosong. Ia kembali ke kamarnya yang hangat dan menatap langsung pada Jullie kecilnya yang sedang tertidur pulas di atas kasur besarnya. Baekhyun menutup pintu di belakangnya dan merangkak naik ke kasur. Membetulkan letak selimut yang membungkus tubuh anak itu, sebelum ikut tertidur di samping tubuh mungilnya.
"Buat dia mengandung pewarismu."
Baekhyun menunduk, air mata tertumpuk.
Jemari lentiknya perlahan meraih laci di nakas tempat tidurnya. Merogoh beberapa saat sebelum menemukan apa yang ia cari—sebuah amplop putih beserta isinya.
Baekhyun tersenyum paksa, meyakinkannya untuk memeriksanya satu kali lagi.
Ia membuka amplop itu. Mengeluarkan isinya yang ternyata berupa surat pemeriksaan dari rumah sakit.
Byun Baekhyun, 25
Male
Begitu tulisnya, ia menghela nafas dan melanjutkan untuk membaca ke bawah.
Infertil.
Ia mengingat dengan jelas, bagaimana raut wajah pria berbaju putih yang duduk di hadapannya enam bulan setelah kebahagiaan kecilnya terlahir ;
"Maaf, Mr. Park. Di karena kan terdapat banyak perbedaan fungsi, antara organ reproduksi anda dengan milik para wanita yang memang di ciptakan untuk mengandung seorang anak, anda mungkin tidak dapat mengandung lagi. Putri anda, adalah satu satunya yang dapat terlahir sempurna dari rahim anda."
Jullie adalah satu satunya.
Satu satunya yang dapat ia lahirkan, setelah itu ; tidak lagi.
Ia hanya dapat satu kali mengandung, satu kali melahirkan pula. Karena ia adalah kali laki, bagaimanapun ia tidak mempunyai organ reproduksi yang memadai untuk terlahirnya seorang bayi lagi ..
Dan Chanyeol tahu itu.
...
Setelah itu, seberapa keras Baekhyun mencoba untuk tidak memikirkan perkataan mereka, dia tetap mengingat setiap frasa kata yang terlontar kala itu.
Bagaimana bayangan ekspresi Kris saat mengatakan itu, atau bagaimana perasaan Chanyeol saat dewan mendesaknya untuk seorang pewaris, semua itu berkumpul di kepalanya dan membuatnya ingin mual sepanjang hari.
Baekhyun mungkin tidak menyadari, namun pikirannya itu mempengaruhi raut wajahnya dan tingkahnya setiap waktu. Tanpa sadar pun, ia perlahan membangun bentengnya sendiri, perlahan, menjauh dari Chanyeol. Dari segala kontak yang dalam, dengan segala kontak mata.
Dan yang menyakitkan baginya adalah, biarpun ia sudah menunjukkan perilaku yang berbeda setelah malam dimana ia mendengar pembicaraan rahasia mereka ; Chanyeol tetap berlaku seakan tidak terjadi apa apa.
Mengapa?
"Baekhyun, Jullie menangis di kamarnya. Apakah kau tidak mendengar?"
Baekhyun tersentak, segera berbalik tanpa membalas kalimat Chanyeol. Lelaki yang lebih jangkung mengernyit, tapi tidak menyatakan apapun.
"Jullie, kesayangan mum, apa yang membuatmu menangis, hm?"
"Huk—Huks.. Mum-!"
"Ya, sayang, mum disini."
"Jullie bertemu monster—Hiks.." Gadis manis dengan rambut yang terkuncir itu terisak keras, "J—Jullie benci monster!"
"Sayang, monsternya hanya ada di mimpimu, eum? Jangan menangis.." Baekhyun akhirnya mendekap putrinya di dadanya, menimangnya ke kiri dan ke kanan sehingga tangis gadis kecilnya perlahan mereda. Chanyeol mendekat dan mencoba untuk menggendong Jullie agar ada di dalam dekapan lengannya namun Baekhyun menepis tangan lelaki itu.
"Tidak, kau lelah."
Chanyeol terpaku, sementara Baekhyun keluar dari kamar masih dengan Jullie di dekapannya. Lelaki itu berbalik, menatap punggung kecil milik suami mungilnya dan diam diam, bertanya tanya kapan dia pernah mengeluh tentang keletihannya di depan lelaki itu.
...
"Jullie, anak baik.. Tidurlah, eum? Mum sudah lelah.."
Jullie tidak mendengar, ia terus melompat ke sana kemari dengan energi bertambah, membuat keributan dan menyebabkan beberapa bantal empuk terjatuh ke bawah. Baekhyun berusaha mencegah putri kecilnya berulah namun gagal, ia bahkan sudah terlalu lelah untuk membuka mata.
"Mum! Mum! Temani Jullie bermain!"
"Tidak Jullie, ini sudah malam. Saatnya tidur, atau monster akan datang dan menangkapmu."
"Daddy akan menangkap monsternya untukku!" Jullie terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan dengan kepala mungilnya yang dimiringkan, "Ini sudah sangat malam Mum, mengapa Daddy belum pulang?"
Baekhyun perlahan membuka matanya, yang membuat irisnya langsung bersihadap dengan gorden yang setengah terbuka ; langit gelap sebagai latarnya. Ia tersenyum ,setengah terpaksa. Lalu patah menjawab ;
"Daddy punya banyak sekali pekerjaan."
Gadis kecilnya masih memiringkan kepalanya, sepertinya tidak bisa menerima alasan sederhana seperti itu saja. Manik polos yang menatapnya penuh penasaran itu malah membuat air mata yang sedari kemarin ia coba untuk tahan merebak. Baekhyun memejamkan mata dan memutuskan bahwa ia tidak bisa menyembunyikan segala kegundahannya dari malaikat hatinya, bagaimanapun Jullie adalah buah hatinya, keluarganya, dia berhak tahu apa yang Baekhyun risaukan, karena dia pernah menjadi satu dengan dirinya, karena dia adalah keluarga.
Baekhyun memutuskan untuk luruh, membuka semuanya, membongkar satu persatu lukanya di hadapan putri kecilnya yang bahkan masih belum pandai menghitung dengan jemari nya yang mungil. Gadisnya, tentu kebingungan, menatapnya panik sambil mencoba menghapus air mata yang turun terus menerus dari pelupuk mata Mum-nya dengan kedua telapak tangannya yang mungil.
"Mum! Jangan menangis, kumohon! Jullie akan tidur, Jullie tidak akan bermain lagi! Jangan menangis!"
Baekhyun mendengus, ia masih menangkup telapak tangan putru kecilnya dan terisak keras keras,
"J—Julie, dengarkan Mum." Ia berbisik, "Jika kelak, daddy akan membawa seorang adik kecil yang manis dan dia adalah lelaki, kau akan tetap mencintainya, bukan?"
"Apa Mum sedang mengandung adik bayi untuk Jullie?"
"Tidak sayang, tidak " Baekhyun terisak lagi, lebih pelan kali ini. "Mungkin Daddy akan menemukan mum lain untuk adik bayimu."
Gadis kecilnya yang masih perlu ditepuk pantatnya untuk dapat tertidur memiringkan kepalanya, tidak mengerti mengapa Mum-nya menangis. Mengapa akan ada Mum baru dan Adik bayi yang akan dibawa oleh daddynya, tidak mengerti.
Tapi Baekhyun tidak peduli, dia hanya meluruhkan jiwanya, kegundahannya, beban pikirannya, kepada seorang malaikat yang pernah menjadi satu dengannya, pernah berbagi detakan jantung dan kehangatan yang sama dengannya.
Chanyeol, yang baru sampai beberapa menit lalu diambang pintu dengan pemandangan putrinya yang berusaha menenangkan istrinya yang menangis, tidak mengerti. Mengapa Baekhyun harus memikirkan semuanya sejauh itu, mengapa dia tidak masuk segera dan menenangkan kekasih hatinya, mengapa ia hanya berdiri dan pergi seperti seorang pecundang, mengapa dia tidak mendekap belahan jiwanya sama sekali.
Baekhyun tidak peduli, bahkan jika hari itu Chanyeol—untuk pertama kalinya, menutup pintu rumah mereka yang nyaman setelah sudah membukanya sekali. Chanyeol pergi dari rumahnya yang hangat setelah memutuskan untuk pulang, tapi Baekhyun tidak punya cukup waktu untuk peduli. Ia tidak peduli.
...
Semuanya berjalan begitu cepat. Baekhyun akhirnya memutuskan untuk mendinginkan hati, tidak peduli pada kelompok barat yang akan menumpahkan darah demi teritori, atau pada Chanyeol yang semakin sibuk dengan Noires ; ia tidak peduli. Perlahan, dunia nya yang sebelumnya penuh dengan kebahagiaan, perlahan menghilang seakan tidak pernah benar benar ada.
Baekhyun termenung, menatap satu dua potret dirinya dengan Chanyeol pada hari pernikahan mereka. Diam diam, hatinya mempertanyakan mengapa ia harus gelisah karena masalah sepele seperti ini? Mereka bisa membicarakannya, ini semua bukan akhir dunia.
Tapi kalian tidak mengerti, baginya, ini tidak semudah kau meminta maaf saat menyinggung perasaan temanmu, tidak semudah lari ketika kau dikejar, tidak semudah berkata terima kasih saat kau mendapat pelukan.
Tak pernah semudah itu.
Hati kecilnya jelas tahu, diamnya Chanyeol adalah bentuk ketidak-percayaan lelaki itu untuk membagi beban dengan dirinya—bagaimana mereka mengadakan pertemuan khusus tanpa dirinya pun sudah menjadi sepotong fakta. Mengapa Chanyeol tidak ingin berbagi segelas kopi dan membicarakan ini semua? Setidaknya dengan begitu semua akan lebih muda untuk dirinya yang sekarang merasa diragukan.
Namun, dirinya pun tahu. Bahwa itu bukanlah satu satunya alasan mengapa ia menjauh, bukan satu satunya alasan mengapa ia memilih untuk makan sendirian di meja nya yang besar, bukan satu satunya alasan mengapa ia membelakangi Chanyeol sementara mereka berbagi selimut yang sama. Bukan.
Salah satu baginya, alasan terbesarnya mengapa ia merasa kecewa pada dirinya adalah ;
Bahwa ia tidak bisa memberikan apa yang Chanyeol inginkan, apa yang lelaki itu butuh kan.
Bahwa ia tidak mampu, membahagiakan lelaki itu seperti mimpinya dulu.
...
Matahari demi matahari, minggu demi minggu, semua terlewati seperti sedang dalam suatu perang dingin.
Tentu saja, pengecualian untuk malaikat mungil kita : Julliete. Si mungil menjalani rutinitasnya seperti biasa, walaupun dalam insting anak anaknya, ia cukup sadar bahwa ayah dan ibunya sedang bertengkar ; sama seperti yang dilakukan Tom dan Jerry—salah satu kartun kesukaannya dalam televisi ruang tengah.
"Julliete, apa kau mau muffin?" Chanyeol muncul dari balik dapur, membaca senampan penuh kue kering coklat, "Daddy pergi membelinya di toko kesukaanmu."
Jullie menatap ragu pada Mum-nya yang terdiam tanpa kata disampingnya, tanpa ekspresi. Chanyeol mengikuti arah pandang Jullie, sehingga kini tatapannya jatuh pada Baekhyun yang termenung menatap jendela besar di ruang tengah mereka.
Gadis kecil itu menggerus telapak kaki mungilnya pada lantai, "Mum, bolehkah aku makan beberapa muffin?"
Yang ditanya masih terdiam, sama sekali tidak terganggu—atau mungkin malah tidak mendengar.
"Tak apa sayang, Daddy akan meminta izin pada Mum. Sekarang pergilah ke kamarmu dan bawa ini untuk Daddy, Ok? Dad akan menyusulmu dengan Mum."
Jullie mengangguk patuh sehingga poni coklat miliknya bergoyang, jemari miliknya yang lentik—menurun dari Mumnya itu meraih piring putih berisi kue itu dengan hati hati. Lantas berjalan pelan menuju kamar dan menutup pintu setelah memberi satu lirikan takut-takut pada Chanyeol.
"Daddy, jangan buat Mum marah lagi, ya?" Bisik gadis kecil itu di ambang pintu.
"Ya, sayang." Chanyeol tersenyum hangat, ingin mengudak rambut putrinya namun urung, "Tunggu kami, oke?"
"Okie."
Hening menyergap setelahnya.
Chanyeol menghela nafas. Ia perlahan mendudukkan tubuhnya disamping Baekhyun, membawa jemarinya yang besar dan hangat itu ke jemari Baekhyun yang ada di pangkuan. Baekhyun yang bahkan tidak menyadari ia sudah mengabaikan putrinya, terkejut. Secara refleks menoleh sambil menepis jemari Chanyeol yang berada di permukaan tangannya.
"K-Kau—"
Chanyeol tersenyum tipis, "Apa yang kau pikirkan?"
"T—Tidak ada." Baekhyun membuang muka, mengalihkan pandangan, "K—Ke mana Jullie?"
"Di kamarnya."
"Aku akan pergi menyusulnya—"
Ia terjatuh secepat ia mengatakannya.
Chanyeol mendekap pinggangnya, dan diantara deru nafas mereka berdua, ia baru sadar bahwa sudah lama sekali Chanyeol tidak memeluknya seperti ini. Baekhyun akhirnya berbalik dan menunduk untuk membalas pelukan yang sebelumnya sepihak itu ; memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang yang dahulu selalu melindunginya.
"Aku merindukanmu.." Chanyeol akhirnya mengaku, lirih sekali seakan tidak ingin Baekhyun marah.
"Aku juga." Baekhyun balas berbisik. "Mungkin ribuan kali lebih parah darimu."
Chanyeol menghela nafas, berusaha untuk tidak mencecar Baekhyun dengan berbagai pertanyaan yang ada di pikirannya dan memutuskan untuk memancing Baekhyun agar menceritakan kegelisahan ladanya dengan perlahan.
".. Mengapa kau menjauhiku?" Chanyeol mengelus surai lembutnya, "Kau bahkan tidak mengucapkan selamat malam padaku."
Baekhyun terdiam, lama sekali sampai Chanyeol sempat berpikir bahwa dia tertidur.
"Kau adalah satu satunya yang memulai."—Ia menjawab dengan rahang terkatup dan wajahnya yang dingin.
"Kau mengadakan pertemuan tanpaku—seperti sedang merencanakan pemberontakan, kau tahu? Dan lagi lagi, kau membahas sesuatu tanpa aku—"
"—Aku hanya tidak ingin membuatmu—"
"—Persetan dengan itu semua! Aku tetap harus tahu! Kau tidak tahu betapa itu semua menggangguku. Kau tidak tahu betapa aku meragukan diriku sendiri karena itu!"
Baekhyun terengah engah sementara Chanyeol terdiam. Mereka tidak bersuara selama beberapa saat sebelum Baekhyun kembali melanjutkan ;
"Aku berharap kau bisa mengatakan segalanya padaku." Lirihnya dengan kecewa, "Karena aku bukan si bodoh yang dulu, aku bukan si bodoh yang selalu menunggu cintamu di belakang."
"Baekhyun, kau tahu ini bukan seperti itu—"
"Kau memilikiku dan Jullie," Sanggahnya cepat, "Apa yang membuatmu berpikir kau bisa menghadapi ini tanpa kami?"
Ia bungkam kemudian karena yang Baekhyun katakan sepenuhnya adalah benar.
...
Malam itu, Chanyeol beringsut pada kasurnya untuk mendekap pinggang Baekhyun lebih erat.
Baekhyun membuka matanya, menemukan Chanyeol yang menatapnya penuh puja walaupun dalam gelap.
"Apa?" Bisik Baekhyun, tidak ingin mengganggu Jullie yang sedang terlelap di antara lengannya.
"Apa yang apa?" Balas Chanyeol dengan senyum jenaka, "Apakah sekarang aku sudah tidak boleh menatap Istriku?"
"Dasar gila." Baekhyun tersenyum geli, "Lebih baik kau tidur, sudah sangat larut."
"Tentu aku akan." Chanyeol mengangguk, "Tapi sebelum itu, kau tahu Baekhyun? Kurasa aku sudah menemukan caranya."
".. Cara apa?"
"Cara untuk mempertahankan Tiga Besar."
Seringai tercipta, Baekhyun balas tersenyum miring. Baekhyun menghadiahkan sebuah kecupan manis pada pipi kasihnya setelah ia membisikkan ide cemerlang pada telinganya.
TO BE CONTINUED
Cieeeee SWM ada sequel kereta wkwkwkwk.
(Maaf banget yaa, udah sampe buat kalian nunggu satu tahun lebih satu bulan wkwkwk. Semoga masih pada inget, okeee wkwkw)
Cara apa ya kira-kira? Ada yang bisa baca pikiran ceye?
Next? Leave your review below