Hubungan saling membutuhkan memaksa mereka untuk saling memanfaatkan. Namun, siapa sangka hubungan itu akan terus berlanjut ketika kebutuhan lain memaksa mereka untuk terus bersama. Akankah percikan bernama cinta benar-benar singgah? Atau malah sebaliknya?

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Sasuke Uchiha x Sakura Haruno

Save Me, Baby ! © Biii Uchiha

.

.

Chapter 1 : Problem for both of you. Solve it !

.

Happy reading ..

..

Cahaya mentari musim semi perlahan menerangi bumi, menyinari tanah dan makhluk diatasnya. Secercah sinar menyilaukan lolos melalui celah-celah tirai jendela berwarna merah muda yang kemudian mengusik mimpi indah seorang gadis. Dengan sebelah tangan, gadis itu menutupi matanya dari silaunya cahaya sang surya. Dan tangan lainnya menggapai nakas samping tempat tidurnya.

Zaman sekarang, tentu saja sebagian besar manusia akan mencari dan mengecek gadget-nya sebagai rutinitas pagi yang terkecuali gadis bersurai pink ini. Kedua emerald yang semula masih setengah terpejam, kali ini benar-benar terbelalak lebar. Iris hutannya bolak-balik menelusuri kalimat demi kalimat yang menjadi berita tak menyenangkan diawal paginya hari ini.

Pagi sayang. Kudengar setahun belakangan ini kau sibuk menghindariku, sampai kau sendiri tidak sadar jika aku selalu ada didekatmu. Tenang saja, kalau kau mengikuti kata-kataku, akan kupertimbangkan lagi. Kalau begitu, temui aku di the Cherry's, Cherry.

-Akasuna Sasori senpai-mu-

Yang benar saja, dengusnya dalam hati.

Sakura segera bangkit dan bergegas menuju kamar mandi. Kantuknya benar-benar hilang pagi ini. Padahal dihari minggu ini dia berencana akan tidur sepanjang hari mengingat segala tetek-bengek urusan sebagai editor sudah dikerjakannya untuk dua hari kedepan.

Tak bisakah dunia membiarkannya bebas sehari saja? Sepertinya tidak.

Dengan cepat Sakura mengenakan blazer putihnya dan menyambar tas tangan Louis Vuitton miliknya. Berkendara dari rumahnya menuju the cherry's cafѐ memang tidak memakan waktu lama, tapi sepertinya Sakura sengaja menginjak pedal gas lebih dalam. Dia ingin segala urusannya dengan mantan senpai sekaligus mantan kekasihnya itu benar-benar selesai. Dia sudah tidak ingin sembunyi dan lari lagi. Sakura ingin kehidupannya kembali normal.

Gadis itu tiba lima belas menit lebih awal. Dia memarkirkan mobilnya bersebelahan dengan sebuah sedan mewah yang ia taksir seharga dengan gajinya selama lima tahun tanpa makan. Sakura yakin bahwa tidak mungkin ini mobil Sasori. Pria itu tidak akan sanggup membeli mobil semahal ini dengan gaya hidup foya-foyanya.

"Oh Tuhan. Siapa yang akan membeli benda ini jika kau hanya duduk diam didalamnya?", gumamnya berlalu pergi.

Alunan dentingan lonceng pintu menyambut langkah Sakura ketika dia perlahan kembali memasuki tempat kenangan yang sudah lama tak disinggahinya. Tata ruangnya masih sama, hanya berbeda dengan tambahan beberapa dekorasi seperti akuarium besar di sudut ruangan dan ruangan cafѐ yang sedikit lebih besar dari sebelumnya.

Sakura memilih kursi kosong untuk empat orang disamping jendela kaca lebar yang memperlihatkan lalu lalang kendaraan dijalan raya dan bunga-bunga taman pinggir jalan yang sudah mulai mekar. Bibirnya menyunggingkan senyum, Sakura memang selalu menyukai musim semi.

Just like her name.

Tak lama lonceng pintu masuk terdengar, menandakan seseorang baru saja memasuki cafѐ. Sakura merasakan percikan yang tidak disenanginya. Dia tahu bahwa Sasori telah datang.

"Kau benar-benar datang, Cherry." Ucap seorang pria tampan dengan seringai liciknya.

"Tsk, jangan panggil aku dengan mulut kotormu. Kau menjijikkan." Decih Sakura menatap rendah lawan bicaranya.

"Oh, ayolah sayang. Kau ingat kita pernah berkencan disini 'kan? Dibangku ini?" Sasori mengambil tempat didepan Sakura, membuat gadis itu memalingkan wajahnya. Terang-terangan merasa terganggu dengan eksistensi pria itu.

Pria berkepala merah itu hanya menyeringai sejak kedatangannya, menunjukkan ketertarikan yang tak Sakura sukai. Siapapun yang melewatinya akan segera tahu isi pikiran kotornya, tak terkecuali gadis itu. Sakura menyesal pernah menyerahkan hatinya pada Sasori yang kemudian diketahuinya hanya menginginkan tubuhnya saja.

"Benar, dan disini juga aku akan mengakhiri segalanya." Ucapnya tegas. Sasori hanya menaikkan alisnya dan terkekeh, merasa penjelasan yang diberikan Sakura merupakan lelucon yang lucu.

"Pfft.. benarkah? Apa kau yakin kau bisa mengakhiri segalanya?" cibirnya angkuh. Tangannya yang semula terlipat diatas paha, kini beralih menyentuh dagu Sakura dengan air muka serius.

"Dengar, Sakura. Kau tidak akan pernah bisa lari dariku. Berterima kasihlah selama ini aku tidak menunjukkan diri terang-terangan dan memasuki kehidupanmu dengan paksa. Jika kau tidak bisa melindungi diri sendiri, setidaknya kau bisa membayar penjaga untuk melindungimu." Desisnya sinis yang hanya dibalas Sakura dengan delikan marah.

Sasori sadar keputusannya untuk menyentuh Sakura tadi adalah kesalahan besar. Alasannya selama ini tidak pernah menampakkan diri secara nyata karena dia tahu sampai dimana batasan dirinya jika sudah menyangkut tentang gadis itu.

Sakura tersentak tatkala tangannya ditarik paksa oleh pria merah itu bangkit dari kursinya. Dirinya melawan, tidak ingin berurusan dengan Sasori lebih dari ini lagi. Tapi perbedaan kekuatan mereka terpaut jauh, Sakura bangkit dengan lutut kanan menghantam kaki meja. Gores dan memar membekas dikulit putihnya, tapi Sasori tak hiraukan keadaannya. Yang pria itu tahu sekarang adalah membawa gadis itu pergi dari sini dan memikirkan tindakan yang akan dilakukannya kemudian.

Benar, menyentuh Sakura adalah kesalahan besar dan keputusan Sakura untuk datang adalah kesalahan yang lainnnya.

"Singkirkan tangan kotormu dari tunanganku, brengsek!"

Deg ...

Disaat Sakura hampir putus asa akan nasibnya ke depan, sebuah tangan kekar menyambar tangannya dan menyentakkan tangan Sasori yang menggenggam tangannya yang lain, hingga Sakura berakhir dipelukan pria itu. Gadis itu mengernyit, rasa ngilu pada lututnya memaksanya melingkarkan sebelah tangannya pada orang asing itu. Sasori sungguh keterlaluan kali ini.

"Uchiha?"

Apa? Uchiha? Apa Sasori baru saja menyebut nama Uchiha?

Rasa ngilu yang menyerangnya terasa sirna tatkala Sakura ketahui jika orang asing yang baru saja menyelamatkan nasibnya dari genggaman Sasori adalah seorang Uchiha Sasuke.

Uchiha Sasuke.

Salah satu siswa ter-paling disekolahnya dulu. Kakak kelasnya. Senpai seangkatan dengan Sasori. Senpai dingin yang digilai banyak gadis. Senpai kaya yang diincar para janda. Senpai cuek yang mempunyai banyak teman. Senpai tampan yang menjadi musuh Sasori. Dan yang paling penting, senpai yang kini sedang memeluk dirinya.

Oh, Tuhan. Mimpi apa Sakura semalam?

Tidak, pikirannya berkata untuk mengikuti saja skenario dadakan yang sedang berlangsung ini. Kita lihat saja.

.

.

.

Dua jam sebelumnya ...

Deru mesin mobil menggebu membelah jalanan Konoha tatkala seorang pria raven chicken butt memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi setelah lampu hijau menyala, menandakan setiap kendaraan yang berhenti diperbolehkan kembali melintasi aspal jalanan.

Putra bungsu pewaris Uchiha's Company itu berniat mendatangi kediaman kakeknya di kawasan perumahan elit Konoha residen guna memenuhi panggilan yang dilayangkan sang kakek kepadanya. Entah apa yang akan diperintahkan si kakek fungky kepadanya kali ini, setelah tiga bulan yang lalu memaksa sang kakak untuk segera melaporkan kabar kehamilan istrinya, Izumi, dengan tenggat waktu yang telah kakeknya tentukan.

"Harus jadi dalam dua minggu, Itachi." Ucap si kakek, Madara, dengan entengnya kala itu. Sontak saja hal itu membuat duo penerima titah kaget bukan kepalang. Menikahnya saja baru dua hari yang lalu, masa pesanan cicitnya harus jadi dalam dua minggu? Akhirnya, setelah melalui mediasi panjang, si kakek akhirnya menyetujui dalam waktu satu bulan.

Entah sudah berapa kali Sasuke mendengar derit ranjang bergeser dari kamar sebelah yang berpenghuni pengantin baru itu. Tak terhitung lagi tiap malam dirinya terbangun hanya karena bunyi debaman tubuh seseorang di dinding kamar dan desahan tertahan yang terdengar frustasi. Karena itu pula Sasuke memutuskan untuk pindah ke apartemen yang dihuninya sekarang. Sasuke berpikir, kakak iparnya bisa amandel jika tiap malam harus menahan suara karena tak ingin mengusik penghuni sebelah kamar mereka.

Tsk, Itachi ganas sekali.

Itu pula yang mendasari perasaan tak enak hati pria dua puluh tiga tahun ini untuk menemui kakek tercintanya. Pria tua itu selalu saja memberikan perintah-perintah yang membuat si penerima tugas dan pendengar menjadi kelabakan. Jika tidak dituruti, anehnya, penyakit jantung koroner dan muntaber-nya bisa tiba-tiba kambuh saat itu juga. Dan dokterpun menyarankan agar keinginan kakeknya sebisa mungkin dilaksanankan agar masa umurnya tidak memendek drastis.

Sasuke membelokkan mobilnya memasuki halaman rumah yang luas. Penjaga gerbang depan selalu siaga 24 jam nonstop dengan tiga pertukaran shift untuk menjaga lingkungan sekitar perumahan. Jadi tidak perlu khawatir harus turun dan mendorong sendiri gerbang setinggi dua setengah meter itu.

Ketukan langkah kaki Sasuke terdengar nyaring diruang tamu yang sepi. Kakeknya berpesan untuk segera menuju ruang pertemuan keluarga, dan perasaan pria itu makin tak enak walau kakinya terus melangkah membawanya ke lantai dua rumah megah itu.

Krieett ..

Pintu terbuka dan Sasuke dapat melihat kedua orang tuanya dan sang kakek sedang bercengkrama ringan entah membahas masalah apa, dia tidak peduli. Pria itu membungkukkan sedikit kepalanya memberikan hormat kepada kepala keluarga dan kakeknya dan satu kecupan sayang dikening sang bunda, baru kemudian mengambil tempat diseberang kedua orang tuanya.

"Hoho~ kabarmu, nak?" tanya pria tua itu sambil menyeruput tehnya dengan tangan sedikit bergetar. Kau memang benar-benar sudah tua, kek.

"Hn, aku baik. Bagaimana dengan kakek?" jawabnya sesopan mungkin.

"Hah, seperti biasa. Punggungku terkadang masih terasa sakit jika terlalu lama duduk. Jadi aku meminta Obito sesekali untuk membawaku berkeliling taman belakang. Akan sulit untuk melakukan hal mudah jika kau sudah peyot." Candanya. Sasuke hanya mengulum senyum, pelit ekspresi seperti biasa.

"Hn. Dimana paman? Aku tidak melihatnya di kantor pagi tadi." Sasuke melirik kopi yang disajikan pelayan untuknya, meraih cangkir berwarna golden itu dan mengendusnya. Tidak tercium bau gula. Baru kemudian sedikit menyeruputnya.

"Oh, Obito harus menyelesaikan beberapa masalah di distrik Konoha utara terkait isu penggelapan dana perusahaan. Dia sampai menyewa pengacara hebat untuk mempidanakan pelakunya."

"Hn. Baguslah." Sasuke mulai gerah dengan basa-basi ini. Bukan karena dia tidak menyukainya, tapi lebih kepada berita yang akan didengarnya diruangan ini membuatnya tak tenang hati. Ruangan KELUARGA. Ruangan yang khusus diperuntukkan untuk menyampaikan petuah si empu Uchiha ini. Berarti ini masalah serius, walau pada akhirnya terkadang isi berita yang disampaikan terdengar konyol.

"Baiklah, Sasuke. Aku sudah terlalu tua untuk memperpanjang basa-basi ini, yang ingin aku sampaikan yaitu berkenaan dengan rencana perjodohanmu dengan salah satu putri kolega Fugaku dari Osaka. Ayahmu akan menghubungi ayah Shion untuk pertemuan keluarga malam ini." Ucapan Madara tentu saja membuat Sasuke yang mendengarnya shock. Tapi pria tampan itu berhasil mempertahankan topeng stoic-nya.

"Maaf sebelumnya Kakek. Tapi bukankah lebih baik membicarakan masalah ini dulu denganku sebelum memutuskannya secara sepihak seperti ini?" oh, demi kerutan wajah Itachi, yang benar saja. Perjodohan? Itu bukan Sasuke sekali. Terlalu banyak gadis diluar sana yang rela mengantri demi cinta semalam dengannya dan dia hanya perlu memilih mereka. Tapi satu kata 'perjodohan' dapat menghilangkan pesonanya.

"Hoho~maafkan aku cucuku. Kau lihat sendiri kan kakek sudah renta, dan kita tidak tahu apakah kakek masih bernapas hingga besok lusa. Setidaknya jika kakek mati besok, kakek sudah tahu kau sudah mempunyai calon istri." Tukas Madara dengan wajah keriputnya yang masih menampilkan senyum pengharapan. Membujuk Sasuke bukanlah hal mudah.

"Tapi setidaknya kakek harus tahu kalau aku sudah punya kekasih dan aku sudah melamarnya." Terlambat sudah. Pernyataan Sasuke barusan mempengaruhi suasana. Ibu dan ayahnya tampak sedikit terkejut, tidak menyangka anak bungsunya yang selama ini nyaris tidak pernah berurusan dengan gadis manapun ternyata sudah mempunyai kekasih. Dan dia bilang sudah melamar gadis itu.

Disamping terkejut, diam-diam Uchiha Mikoto dan Uchiha Fugaku bahagia karena anak yang selama ini mereka besarkan tidak penyuka sesama jenis.

"Be-benarkah itu, nak? Kau mempunyai kekasih?" Madara benar-benar tidak berkutik kali ini. Sepertinya rencananya untuk menjodohkan Sasuke terpaksa dibatalkan jika cucunya itu sudah mempunyai kekasih. Siapapun itu tidak masalah asalkan perempuan. Titik.

"Hn." Angguk Sasuke mantap. Pikirkan calonnya nanti, yang penting bebas dulu kali ini.

"Kalau begitu bisakah kau membawanya malam ini kesini, nak? Ibu ingin sekali melihatnya." Pinta Mikoto dengan wajah berseri. Melihat itu, Sasuke tak tega juga untuk menolaknya. Kebahagiaan ibunya adalah kebahagiaanya juga.

"Aku akan menanyakannya dulu. Dia sedikit sibuk akhir-akhir ini." Dustanya. Dia bisa menyewa seorang gadis untuk sebulan-dua bulan dan mengakhirinya. Bilang saja hubungan mereka tidak berjalan baik. Semuanya gampang jika mempunyai wajah semenawan dirinya.

Ibunya mengangguk-angguk girang. Rasanya sudah lama sekali dia tidak melihat ibunya sesenang ini sejak pindah tiga bulan lalu.

"Fugaku, kalau begitu kau tidak perlu menghubungi temanmu itu. Kita batalkan semuanya."

Fugaku mengangguk, "Baik, ayah."

"Kalau begitu aku pamit dulu." Ucap Sasuke sembari berdiri dan membungkuk.

"Hati-hati, nak."

"Ya, ibu."

Blam !

Sejak menutup pintu dan meninggalkan kediaman mewah itu, Sasuke hanya mempunyai satu tujuan. Tenangkan pikiran dan minum kopi dulu.

.

.

.

Sasuke tiba lima belas menit lebih cepat di the Cherry's cafѐ. Panggilan alam membuatnya harus memacu mobil mewahnya melintasi jalanan seperti ambulance dalam keadaan darurat.

Dengan wibawanya yang dijunjung tinggi, Sasuke memasuki cafѐ dan segera memesan segelas kopi tanpa gula dan sepiring puding krim rendah gula. Setelah mengarahkan pelayan cafѐ untuk meletakkan pesanannya di meja dekat jendela kaca, pria itu segera menuju toilet. Menuntaskan hasrat yang sudah ditahannya sejak meninggalkan kediaman mewah kakeknya.

Ketika Sasuke beranjak menuju meja tempat pesanannya menanti, terlihat sepasang muda mudi yang duduk dibarisang depan mejanya yang diasumsikannya sedang mempunyai masalah. Si wanita bersurai merah muda itu terlihat enggan menatap langsung pada pria bersurai merah dihadapannya. Dan Sasuke mengenali siapa pemilik warna rambut menyala itu ketika pria itu menarik paksa wanita dihadapannya hingga lutut wanita itu menghantam kaki meja. Tapi pria yang diketahuinya adalah pria yang menganggapnya rival semasa sekolah menengah itu tidak menghiraukan keadaan korbannya.

Hal itu membuat Sasuke geram, apalagi melihat gadis yang dikenalnya adalah kouhai-nya semasa sekolah itu meringis menahan sakit dilutut kanannya. Ini keterlaluan, wanita tidak boleh diperlakukan sekasar itu sekalipun kau membencinya. Bayangan sang bunda disakiti pria membuatnya marah.

"Singkirkan tangan kotormu dari tunanganku, brengsek!" dan yang terjadi, terjadilah, pikirnya.

Diraihnya tangan gadis itu dan menggenggamnya, memaksa Sasori untuk melepaskan tangan Sakura. Sebuah tangan terasa melingkar dipinggangnya, bergantung dari dari ketidakberdayaan lutut gadis itu yang cedera.

"Uchiha?"

Sasuke serasa ingin memberikan pelajaran pada pria merah didepannya yang berani menyebut nama keluarga Uchiha dengan mulut kotornya. Tapi keberadaan gadis merah muda yang kini sedang bergantung padanya, membuat Sasuke mengurungkan niat mulia itu. Sampai tatapannya membuat Sasori geram dan memilih pergi meninggalkan dua 'sejoli' dadakan itu.

Keputusan yang diambil Sasuke membuat pria itu merasa seperti ... Ah sudahlah. Terlalu rumit untuk dijelaskan dan terlalu panjang untuk diceritakan.

Tapi, sebuah ide seperti sengaja melayang-layang dikepalanya. Dia bisa saja meminta gadis itu untuk membantunya selama sebulan atau dua bulan ini. Atau yang penting, untuk malam ini saja. Sudahlah, yang penting sekarang ini adalah, menolong gadis itu dan membicarakan sisa idenya.

.

.

.

"Mm, Terima kasih, Uchiha-san." Ucap gadis itu malu-malu sambil sesekali memberanikan diri menatap pria tampan itu. Gadis itu merasa harus menjaga setiap perkataannya, karena selama ini Uchiha Sasuke adalah tipe orang yang tidak banyak bergaul dengan gadis manapun.

Sasuke meliriknya dan mengangkat sebelah alis, "Terima kasih untuk apa?" tanyanya pura-pura tidak mengerti. Sakura yang saat ini duduk menyamping dikursi depan mobil Sasuke terlihat memerah tidak tahu harus menjawab apa.

Apa dia harus menjawab, 'Terima kasih Uchiha-san sudah mengatakan pada Sasori kalau aku tunanganmu dan mengobati luka kakiku.'? Tentu saja tidak, bodoh. Dia mengatakan itu hanya karena tidak tega melihat seorang gadis tersakiti, ujar nurani Sakura yang tengah berperang melawan detak jantungnya.

"Uh, karena sudah membantuku dari amukan Sasori tadi." Ucapnya sedikit gelisah. Berada dalam posisi Sasuke yang berlutut mengobati luka lututnya membuat gadis itu merasa sedikit tidak nyaman. Dia hanya memakai dress floral selutut yang menampakkan mulus kaki jenjangnya yang kini berbekas memar dan lecet karena ulah Sasori, sekarang terpampang jelas di wajah pria itu.

"Hn."

Hn? Hanya itu? Itu ambigu sekali Sasuke. Sakura tidak mengerti dengan jawabanmu.

"Shh, aw."ringisnya ketika pria itu menetesi lukanya dengan obat merah dan kemudian menutupinya dengan kain kasa.

"Maaf."

"'Uh, ya. Tidak apa-apa."

Selesai menyimpan kotak P3K-nya, suasana kembali canggung dengan Sasuke yang mengambil tempat berdiri dihadapan gadis itu dengan sebelah tangan menyangga pintu mobil. Diperhatikannya Sakura dengan seksama yang membuat gadis itu seperti ditelanjangi dengan tatapan intimidasi Sasuke. Tanpa Sakura sadari, pria pelit ekspresi itu melengkungkan senyum yang jarang sekali tercipta dibibir tipisnya.

"Ng, kalau begitu aku akan kembali ke mobilku. Terima kasih bantuannya, Uchiha-san." Pamit gadis bersurai merah muda itu hendak berdiri, namun ditahan Sasuke dan menyuruhnya kembali duduk.

"Eh?"

"Duduklah dulu. Ada yang ingin kuberitahukan padamu, nona Haruno." Sakura hanya diam menanggapi. Dalam hatinya bertanya-tanya apa gerangan yang akan Sasuke sampaikan padanya dengan wajah seserius itu. Oh, tuhan, dia lebih suka pekerjaan yang menumpuk selama sebulan daripada suasana canggung seperti ini dengan orang yang kurang dikenalnya.

"Haruno Sakura?" panggil Sasuke sambil meraih sebelah tangan gadis itu.

"Y-ya, Uchiha-san?" jawabnya gugup dan tentu saja bingung. WTH! Sasuke menggenggam tangannya.

Hening sejenak, dengan satu tarikan napas panjang Sasuke berujar,"Menikahlah denganku."

.

.

.

TBC

...

Yuhuuu~Biii balik lagi dengan fic gaje ini #MelambaiIndah.

Gomen minna~kemarin lepi abis error dan hampir semua program ilang termasuk -nya. Makanya banyak fic yg terbengkalai. Tapi untuk ke depannya, Bii akan coba untuk selalu fokus nyelesain ff yang lainnya juga.. semoga ^^

RnR minna?