Sasuke pun membalikkan badannya, kaki panjangnya dilangkahkan dengan gerakan lambat bagai digantung beban berbobot puluhan kilo. Ia sendiri masih dilema berat. Jika ia meninggalkan Karin begitu saja ... tanggung jawabnya tak akan terpenuhi. Ia sudah pasti gagal mengabulkan permintaan terakhir dari ayah Karin.

Hanya saja ... ia mulai mencapai batasnya. Ia hendak menuju pintu kamar, ia berusaha berperan sebagai orang jahat yang mengabaikan tangisan Karin yang sepertinya sangat terluka. Sebelum ia berhasil sampai ke pintu kamar, pintu itu terbuka lebih dulu. Lalu disusul dengan penampakan perempuan yang identik dengan musim semi di ambang pintu. Kemudian saja ide gila itu muncul.

Sasuke tetap melangkah maju mendekati Sakura yang masih termangu di tempat. Gadis itu hendak menyingkir karena ia merasa menghalangi pintu keluar tapi serangan mendadak yang dilancarkan oleh Uchiha Sasuke membuatnya membeku. Sasuke merengkuh perempuan itu ke dalam pelukannya.

"Menikahlah denganku."

Dan ia pun menyuarakan ide gila tersebut. Ide gila yang mungkin saja dapat membuatnya melepas sedikit ikatannya dengan Karin. Apakah ia sudah terlihat jahat, sekarang?

.


.

Disclaimer: All of the characters and Naruto itself are Masashi Kishimoto's but this story is purely mine. Saya tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apa pun selain kepuasan pribadi x')

Warning: Slight SasuKarin, AU, OOC, typo(s), dan jauh dari kata sempurna ;)

Rate T+ semi M untuk bahasa dan beberapa pembahasan(?)

.


.

Responsible

.


.

Sakura baru saja hendak membuka mulutnya hendak protes tapi laki-laki yang baru saja merengkuhnya—dan melamarnya secara asal—itu buru-buru menariknya keluar kamar menuju lorong rumah sakit.

"Pelan-pelan! Coba kasihani aku, aku pincang dan harus membawa tiang infus ini sendirian!" Sakura secara refleks menyemburkan kekesalannya. Gagal sudah adegan proposal yang seharusnya membuat doki-doki tadi.

Pria itu menepuk kepala merah muda itu pelan, "Maaf."

"Soal yang tadi ... aku akan menganggap itu lelucon jadi—"

"—Tidak. Aku serius."

Kemudian mulut Haruno Sakura membentuk huruf vokal 'o' dengan tidak elit. Maksudnya apa? Laki-laki ini tak mungkin menyukainya, 'kan? Ini pasti bercanda! Dan ... aduh! Kenapa sekarang Sakura malah deg-degan, sih? Jangan terbawa suasana, ini bercanda, ini bencana!

"Kita tidak saling mencintai, untuk apa menikah?"

"Memang. Tapi untuk kali ini ... aku meminta tolong padamu. Menikahlah denganku."

Sejuta tanda tanya menggantung dalam kepala Haruno Sakura. Pria baik ini meminta tolong padanya tapi ... atas dasar apa? Kenapa tadi Uchiha Sasuke membuat Karin menangis? Gadis dari keluarga Haruno ini menghela napas.

"Begini, Sasuke-san, pernikahan 'kan bukan sesuatu yang main-main. Bagaimana kalau saat kau terikat denganku kau justru menyesal? Bagaimana jika kita menemukan orang yang benar-benar kita cintai di saat kita saling terikat?" Perempuan itu memakukan emerald-nya ke lantai. Ini merupakan sesuatu yang sangat membingungkan.

"Kau tak perlu khawatir. Jika saat itu tiba aku akan melepasmu," balas laki-laki itu dengan datar.

Sakura masih tak mengerti sama sekali. Kenapa semua ini terasa mudah bagi Uchiha Sasuke? "Beri aku alasan yang masuk akal kenapa kita harus menikah."

Sasuke menatap lurus perempuan yang beberapa sentimeter lebih pendek darinya, "Anggap saja ini balasanku karena telah membuatmu terkilir. Anggap saja ini sebagai tanggungjawabku atas dirimu demi keluargamu."

Sedangkan Haruno Sakura mendongakkan kepalanya, mencari-cari kebenaran dalam netra gelap itu. Ia mengelus pelan bahu Sasuke, ia menyunggingkan senyum, "Aku tak mau menjadi beban untukmu. Soal menikahiku ... kau bisa melupakannya. Kita hanya perlu memberikan foto USG rahimku kok! Kemudian kita bisa menjelaskan bahwa aku sedang tidak mengandung. Kau tak perlu khawatir, Sasuke-san!"

Sepertinya memang tidak bisa, eh? Dirinya sungguh licik dan ia mengakui itu. Kenapa juga ia bisa seenaknya meminta seorang gadis untuk menikahinya? Benar-benar keinginan yang egois. Well, pada akhirnya semua akan kembali seperti semula. Setelah Haruno Sakura berhasil mengklarifikasi soal kesalahpahaman ini, semua akan kembali pada tempatnya. Termasuk tanggungjawab penuhnya atas Karin.

Pria usia dua puluh tujuh itu hanya diam, berusaha mengiyakan ocehan panjang lebar perempuan beraura hangat di hadapannya. Perempuan ini ... berbeda.

Sakura tak mau menjadi beban untuknya. Gadis itu berusaha berdiri sendiri, berusaha menjadi perempuan independen yang tidak merugikan orang lain. Benar-benar langka.

Sasuke hendak menyuruh Sakura kembali memasuki kamar rawatnya. Namun, dari jauh, sosok ibunya mendekat sembari menebar senyum manis.

"Lho? Kenapa kalian berdiri di luar?" Wanita berambut hitam panjang itu mengulaskan senyum. "Kasihan loh adik di dalam perut, tak boleh terlalu lelah. Lagipula kondisi ibunya sedang kurang sehat..."

Mau berapa kali mendengar prasangka hamil yang dijatuhkan pada Sakura tetap membuatnya canggung. Ia berusaha memamerkan deretan giginya, "Ah, iya, Obasan! Ini ... aku baru saja mau kembali ke dalam."

Mikoto mengulurkan tangannya, mengelus anak-anak surai merah muda milik Sakura. "Jangan terlalu memaksakan dirimu, ya, Nak."

Terenyuh. Haruno Sakura memandangi oniks kelam milik Mikoto yang menyelami netra giok miliknya. Pandangan yang amat tersirat diberikan wanita itu padanya. Netra jelaga di hadapannya nampak sedih dan berusaha menahan tangis. Sakura sendiri bahkan tidak tahu kenapa wanita ini menatapnya dengan cara seperti itu. Apa ... ia merasa bersalah karena Sasuke telah 'menghamilinya'? Masa iya ... sesimpel itu?

"Tidak kok! Obasan! Aku baik-baik saja, serius. Lebih baik berbincang di dalam, yuk, Basan." Sakura mulai menggerakkan tiang infus di tangan kanannya.

"Bu, kalau begitu aku pamit. Aku harus mengurus beberapa berkas di kantor," sela Sasuke yang sebetulnya menghindari untuk bertemu Karin terlebih dahulu.

"Iya, hati-hati," balas Mikoto. Kemudian wanita itu bersegera membantu Sakura berjalan. Ia tak menyangka bahwa perempuan ini lebih kuat dari kelihatannya.

Setelah membantu Sakura naik ke atas kasurnya, Mikoto meletakkan sekantung makanan di atas nakas. Diliriknya kasur di sebelah Sakura, ia mendapati bahwa Karin sedang memejamkan matanya. Dalam hati wanita itu semakin bimbang. Takdir bisa selucu ini. Mungkin memang benar apa yang dikatakan oleh Mebuki. Apa ini saatnya untuk Sasuke mengetahui semuanya? Mau dipikirkan berapa kali pun rasanya ... Uchiha Mikoto tak pernah siap.

"Sakura, dengar. Aku sudah bertanya pada temanku dan dia merekomendasikan beberapa hotel untuk melangsungkan pernikahan kalian. Ini, aku membawakan beberapa gambar dan kau bisa memilihnya!" Wanita itu menyodorkan Sakura tablet hitam dari dalam tasnya.

Air muka Sakura berubah panik. Ia sungguh tidak enak untuk menolak kebaikan hati wanita ini. Ia pun menerima tablet itu sembari menggeser-geser layarnya. Astaga.

"Aku pribadi suka hotel yang ini," tambah Mikoto saat jari telunjuk Sakura menggeser gambar nomor tiga.

Lagi-lagi Sakura hanya bisa tertawa canggung. "Aku ... terserah Basan saja." Dalam hati batinnya sudah berteriak. Bagaimana caranya lari dari masalah yang semakin jauh ini?

Mikoto tertawa, "Ah, senangnya! Sudah sejak dulu aku ingin melakukan ini untuk pernikahan anakku. Terima kasih, Sakura, karena telah mewujudkannya." Ia memberikan senyum gentle-nya.

Merasakan hangatnya wanita ini membuat Sakura tak bisa berbuat banyak. Ia merasa tak bisa menjatuhkan ekspektasi wanita ini yang kelewat tinggi. Dan pada saat itu juga, Haruno Sakura merasa bahwa ia tak akan menemukan jalan keluar.


.

;;;;;

.


Uchiha Sasuke kembali datang ke rumah sakit pada malam harinya. Ia tahu betul bahwa mungkin saja menghadapi Karin saat ini merupakan pilihan yang salah tapi kalau tidak sekarang, akan selamanya begini.

Berbekal satu kemasan eskrim stroberi edisi family pack dan sekaleng susu cokelat hangat, ia pun memasuki kamar rawat Karin dan Sakura. Ah, iya. Pria itu bahkan lupa membawakan apapun untuk gadis pemilik surai merah muda di sana. Nanti akan Sasuke belikan.

Kedua pasang mata secara refleks menatapinya saat ia membuka pintu. Sasuke berusaha memasang tampang datar seolah yang tadi pagi itu bukan apa-apa. Begitu juga dengan Karin. Raut wajah perempuan itu pun masih sulit untuk dibaca oleh Sasuke.

Pria itu mendekati kasur Karin, tangan kirinya meletakkan susu cokelat hangat dan tangan kanannya memberikan kemasan eskrim.

"Bukannya kau sudah tahu? Aku alergi stroberi." Kalimat itu merupakan penyambut untuk Sasuke saat tangannya menjulur ke hadapan Karin.

Ya, Sasuke tahu itu tapi ia tetap mencoba. Kenapa? Karena Sasuke ingat betul apa yang dikatakan oleh ayah Karin sebelum meninggal. Ayahnya pernah bilang bahwa eskrim stroberi adalah moodbooster terampuh jika anaknya sedang kehilangan mood atau sedih. Sayangnya, setiap Karin sedang seperti ini ... selalu saja dia bilang bahwa dia alergi. Aneh, bukan? Mungkin saja dulu Karin tidak alergi dan sekarang baru alergi. Apa begitu?

"Hn." Ia membalas singkat, mungkin eskrim ini lebih baik duduk manis di dalam kulkas.

"Buat aku saja!" Tiba-tiba suara dari kasur sebelah menyahut kelewat excited. Haruno Sakura melambaikan tangannya di atas udara, menunggu eskrim family pack itu sampai di tangannya.

Sasuke membukakan eskrim tersebut dan meletakannya di atas pangkuan Sakura. Lengkap dengan sendok dan tisu. Tanpa sadar ia malah mengamati perubahan ekspresi wajah Sakura yang lahap memakan eskrimnya seperti anak kecil.

Merasa diperhatikan, Sakura menghentikan pergerakannya. Ia memiringkan wajahnya, ia menjulurkan sesendok penuh eskrim. "Kau mau?" tanyanya kemudian.

"Tidak."

Mendengar jawaban singkat itu, Sakura segera saja kembali menyendokkan eskrim itu ke dalam mulutnya dengan buru-buru. Bibirnya sedikit dimonyongkan karena kesal.

"Kalau tidak mau, jangan lihat-lihat, dong!"

Karin hanya bisa diam saat memerhatikan interaksi dari keduanya. Entah kenapa ... ia merasa sendirian. Ini terdengar egois tapi mau bagaimana lagi? Memikirkan bahwa pria ini siap menikah dengan gadis itu ... benar-benar menyakitkan. Apa mulai sekarang ia harus hidup sendirian di sini?

Lagi-lagi Karin menghela napas. Hatinya sakit, ia merasa sedih tanpa sebab. Ia tidak pernah siap jika harus kehilangan Sasuke dari sisinya. Terlalu lama berada dalam zona nyamannya membuatnya lupa akan satu hal penting. Bahwa suatu hari Sasuke akan pergi dari sisinya. Pria itu tentu memiliki hidupnya sendiri. Namun, sekali lagi ... kenapa harus sekarang? Apa tidak bisa nanti? Baru memikirkannya saja sudah membuat Karin pusing.

Sasuke mengambil paksa kemasan eskrim yang sedang asik dinikmati Sakura dengan gerakan kilat. Membuat Sakura menciptakan ekspresi pongo yang hampir saja sukses membuat Sasuke tertawa. Untung dia Uchiha makanya dapat menahannya dengan baik.

"Nanti sakit perut." Pria itu berucap setelah menutup kemasan eskrim yang kontennya sudah habis hampir setengah.

Sakura mencebik tapi dalam hati membenarkan ucapan laki-laki yang usianya tiga tahun lebih tua darinya. Sakura berusaha bangkit dari kasurnya.

"Mau ke mana?" tanya Sasuke melihat Sakura yang cukup kepayahan karena sedang berusaha bangun dari kasurnya.

"Vending machine," balas Sakura singkat.

"Biar aku saja."

Sakura menyatukan kedua tangannya di atas dada, senyuman jenaka terkulum di bibir. "Ah, Sasuke-kun peka, deh! Tolong susu cokelat dingin, yaa!"

Lalu Sasuke merotasikan kedua matanya. Susu cokelat dingin ... kenapa perempuan suka sekali minum susu cokelat sebelum tidur sih?

"Aku akan belikan yang hangat," sahutnya lagi. Sama saja bohong 'kan jika habis makan eskrim lalu dia minum yang dingin juga?

"Tidak. Susu cokelat dingin sebelum tidur adalah ritual wajib. Kau tak boleh mengacaukannya." Kedua mata Sakura menatap galak pria di hadapannya, seolah menembakkan sinar laser.

Sasuke hanya mengernyit. Ternyata ada juga yang se-addict ini dengan susu cokelat. Dulu saja Karin yang kata ayahnya harus minum susu cokelat tidak pernah memaksa untuk mencari likuid manis itu jika tak ada. Bahkan sepertinya Karin hanya meminumnya jika Sasuke sendiri yang memberi.

Pria itu akhirnya mengalah, ia mengendikkan kedua bahunya dan bersegera untuk membeli minuman wajib perempuan itu.

"Jadi ... bagaimana awalnya kalian bisa saling kenal?" Karin membuka konversasi begitu Sasuke keluar dari kamar.

Mendapat tembakan langsung seperti itu membuat Sakura tidak siap. Ia segera saja mengandalkan jurus mengarang kilatnya, "Itu ... kami bertemu belum lama ini, Karin-nee."

"Aku tak pernah mendengar Sasuke-kun membahas soal perempuan. Makanya saat mendengar kalian ingin menikah ... apalagi tahu kalau kau sedang mengandung, jujur saja aku sangat terkejut." Suara Karin terdengar cukup berat. Ia mengucapkan kata perkatanya secara perlahan.

Sakura tersenyum canggung. Ia membuka mulutnya, "Sebenarnya aku..." Ia hendak membuka kebenarannya. Sungguh, ia ingin menjelaskan kalau ini hanya salah paham. Namun, tiba-tiba saja terlintas tatapan sendu Sasuke yang tadi pagi. Diikuti dengan ucapan Mikoto—dan tatapan merasa bersalahnya—terputar dalam kepalanya. Ini membuat Sakura menahan diri. Detik berikutnya mulutnya malah merapal kalimat yang ia sendiri sangat menyesalinya.

"Aku juga merasa lucu, Karin-nee. Semuanya terjadi begitu saja dan tiba-tiba aku hamil. Karena sudah terlanjur ketahuan ... keluarga kami mempercepat pernikahan kami." Astaga, apa yang baru saja ia katakan?!

Karin menggigit permukaan bibirnya. Tenggorokannya mulai tercekat. "Ah, begitu, ya." Ia menjawab singkat.

Sakura meminta maaf yang sebesar-besarnya dalam hati. Lagipula kenapa semua Uchiha memiliki tatapan menyedihkan seperti itu, sih?

Pelan-pelan perempuan bersurai gulali itu kembali memulai konversasi, "Kalau Karin-nee bagaimana bisa kenal dengan Sasuke-san? Apa kalian teman dari kecil?"

Karin mengulum senyum, "Benar sekali. Tapi dulu kita tidak sedekat ini." Tatapannya menerawang seolah kembali ke masa lalu.

Sakura memberi jeda sejenak, menunggu Karin untuk melanjutkan kalimatnya.

"Dulu ... ayahku meninggal karena suatu kecelakaan. Aku tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi tapi Sasuke-kun ada di sana. Beberapa hari setelah kematian ayahku, Sasuke-kun mendatangiku. Ia meminta maaf padaku berulang kali. Lalu ia berjanji untuk memenuhi janjinya dengan ayahku. Aku sendiri tak tahu janji yang dimaksud, dan tiba-tiba saja ... begini lah kami sampai sekarang," cerita Karin singkat. Intonasinya terdengar pelan tapi sarat akan berbagai makna tak terdefinisi.

Refleks Sakura menitikan airmatanya. Ia menarik napas, "Ayahku juga ... meninggal karena kecelakaan."

Karin menambah atensinya saat mendengar Sakura menuturkan kalimat tadi.

"Untung saja ada Ibu, aku tak tahu akan bagaimana tanpa Ibu. Karena waktu itu kondisiku juga sangat parah, Neesan," lanjut Sakura yang intonasi suaranya semakin melemah.

"Begitu juga denganku. Parahnya lagi, aku tak punya ibu yang siaga seperti ibumu. Ibuku ... memutuskan untuk bunuh diri beberapa bulan setelah kematian ayahku. Ibu terlalu mencintai ayah tapi malah meninggalkanku sendiri. Posisi Sasuke-kun dalam hidupku sama seperti ibumu yang membantumu berdiri, Sakura-san." Karin mengulaskan senyum sedihnya.

"Aah, dosa apa kita di masa lalu, ya?" Sakura menyahut dengan suara paraunya. "Jika kakiku tidak pincang, aku ingin memelukmu, Neesan."

Karin yang matanya mulai basah terkekeh pelan, "Simpan itu untuk pernikahanmu. Peluk aku saat pernikahanmu nanti, ya."

Demi Tuhan, apa yang baru saja Haruno Sakura lakukan? Bukankah ia jahat? Kenapa ia malah berusaha mengambil satu-satunya orang yang sangat berarti untuk Karin-nee?

Tapi setelah dipikir lagi, Sakura cukup senang karena mengetahui ada orang lain yang juga menempuh penderitaan yang sama. Yang juga menempuh rasa sakit yang sama. Yang juga menempuh pedih yang sama. Yang juga pada akhirnya ... bisa bangkit kembali.

Sayup-sayup terdengar perbincangan dua perempuan yang saling berbagi kisah sedih mereka dari luar. Pintu kamar rawat mereka memang tidak ditutup dengan rapat sehingga Sasuke bisa mendengar semuanya.

Hebat sekali. Haruno Sakura dan Uzumaki Karin. Sama-sama perempuan yang ditinggal oleh ayah mereka karena kecelakaan. Tapi kenapa mereka bisa nampak berbeda? Bagaimana caranya agar Karin bisa berdiri sendiri? Apa selama ini Sasuke terlalu memanjakan perempuan itu? Bukti nyatanya saja, Sakura bisa berdiri sendiri meski didukung dengan ibunya yang memiliki watak keras. Apa Sasuke harus seperti Haruno Mebuki?

Sasuke mengakui bahwa ia memang harus menuntaskan tanggungjawabnya. Dan untuk menyelesaikannya, ia harus membuat Karin bisa bangkit sendiri. Dan menikahi Haruno Sakura seharusnya mampu membuat ikatan antara dirinya dan Karin sedikit terkikis demi Karin sendiri.

Pria itu kembali memasuki kamar rawat mereka begitu perbincangan sudah cukup santai. Maksudnya tidak seintens yang tadi. Lalu Sasuke disambut dengan kalimat sarkastis Sakura.

"Kau beli susu di vending machine yang ada di Afrika, ya?"

Pria itu hanya mengendikkan bahunya, ia menyerahkan sekaleng susu cokelat dingin yang sudah basah karena terlalu lama dibiarkan di luar kulkas.

Sakura menerima sekaleng susu cokelat dingin itu dengan riang. Ia buka kalengnya dan segera meneguk isinya. Ia membiarkan likuid manis itu membasahi tenggorokannya dan memberikan sensasi dingin di tiap teguknya.

"Pelan-pelan, jangan sampai membuat anak kita terkejut." Pria itu menarik sedikit sudut kiri bibirnya.

Haruno Sakura nyaris tersedak likuid cokelat dingin tersebut. Ia berdeham sambil beberapa kali menepuk-nepuk dadanya. Matanya sampai berair karena pergerakannya yang terlalu buru-buru.

Apa ini? Apa laki-laki ini tahu kalau ia bersandiwara? Astaga. Malu sekali.

Kedua mata Sakura memicing penuh curiga, "Wah, sepertinya kita harus mendiskusikan yang tadi pagi, ya." Bibirnya memformasikan sebuah kurva aneh. Ia memberi penekanan pada beberapa kata terakhirnya.

"Hn." Lalu pria itu hanya memberikan jawaban pamungkas tanpa ekspresi berarti terukir di wajah.

Mereka sama-sama tahu betul bahwa mereka baru saja menyebrangi garis batas yang nyata. Entah bagaimana benang menarik alurnya, mau tak mau, siap tak siap, mereka harus tetap melangkah maju.

"Kalau begitu, besok kita harus ke suatu tempat untuk bertemu dengan seseorang," tambah Sakura sebelum menutup konversasi.


.

;;;;;

.


Setelah berhasil meminta izin dari rumah sakit, akhirnya Sakura membawa Sasuke ke sini. Ke tempat di mana ia harus menemui seseorang.

Sasuke sendiri sebenarnya tak tahu, akan ke mana ia dibawa oleh perempuan itu. Terlebih lagi, mereka sama sekali belum menyinggung soal 'pernikahan' mereka.

Tapi pria itu membiarkan gadis itu menuntunnya ke tempat tujuan mereka. Cuaca pagi itu sedikit mendung dengan angin sepoi-sepoi yang lumayan menusuk kulit.

Hari ini Haruno Sakura tampil cukup manis dengan rok garis-garis hitam putih selutut. Untuk atasannya, ia hanya menggunakan baju tight sweater berwarna hitam yang lengannya tiga perempat.

Pelan-pelan, laki-laki tinggi itu memegang tangan Sakura untuk menuntunnya keluar dari mobil. Angin yang cukup menusuk berhasil membuat Sakura menggeretakan sedikit giginya.

"Jadi, apa kau sudah siap bertemu dengan satu-satunya laki-laki yang kucintai?" Perempuan itu membuka perbincangan sembari tersenyum tipis.

Sasuke mengerutkan keningnya, netra jelaga miliknya berpendar ke seluruh tempat itu. Ini ... jelas sebuah pemakaman. Tadi ... kata perempuan ini, satu-satunya laki-laki yang ia cintai?

Berusaha mengabaikan jutaan kalimat tanya dalam kepala, pria itu hanya mampu menggumam, "Hn."

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari ini aura Haruno Sakura nampak kelabu. Sasuke belum pernah melihat perempuan yang biasanya cerah menjadi sesendu sekarang.

Langkah pincang gadis itu terlihat gontai. Kakinya hanya diseret seadanya, dan tiap napas yang diambil oleh Sakura rasanya hanya berkonten sekian persen oksigen dari jumlah normal yang dibutuhkan oleh tubuh. Terdengar berat.

Sasuke masih belum membuka suara lagi. Ia hanya mengekor perempuan yang masih berjalan di atas tanah tak datar. Satu demi satu batu nisan terlewati begitu saja. Dari belakang ... gadis itu terlihat rapuh. Seperti tulang belakangnya siap remuk kapan saja karena terlalu lama menahan beban menahun.

Hanya suara daun yang bergesekan satu sama lain yang berbicara. Angin pun sesekali memecah keheningan sedangkan langit sedikit-sedikit membagi sinar matahari.

Setelah cukup lama, akhirnya langkah perempuan itu berhenti. Sakura menolehkan kepalanya ke belakang, iris gioknya menatap lurus mata hitam Sasuke. Ia mengisyaratkan laki-laki itu untuk mendekat dengan gerakan kepalanya.

Kaki panjang pria itu dilangkahkan beberapa langkah ke depan.

"Tousan, ohisashiburi," sapa Sakura dengan suara yang lirih dan juga bergetar.

Entah kenapa Sasuke menahan napasnya saat mulai mencermati tanggal kematian yang tertera di atas batu.

Dari semua tanggal ... kenapa ayah Sakura harus meninggal di hari dan tahun yang sama dengan ayah Karin? Apakah ini ... murni sebuah kebetulan?

Kening pria itu menciptakan sebuah lipatan halus. Dadanya terasa sesak karena kenangan traumatis masa lalu secara otomatis terputar dalam kepala. Masa lalu yang sampai sekarang masih buram dalam ingatannya. Masa lalu yang tak pernah siap ia ingat. Masa lalu yang mengubah hidupnya ...

... tanggungjawabnya.

.

.

.

.

.

tbc

.


a/n: Hai! Tau gak aku ngetik ini lagi ngapain? Di sela-sela nunggu dosen dan disponsori oleh iklan asuransi Thailand :( lagi pada liat itu coba lewat infokus ;-; maso emang kelas wkwk. Ah iya, mau kasih tau kalo hpku lagi sakit, charger laptopku juga dan akunya juga (?) Kalo sekarang mah pake metode lama: ngetik pake bb ahay xD berdoa aja yaa semoga kami cepet sembuh heuheu.

Btw, semuanya bakal kebuka pelan-pelan x) mulai dapet pencerahan nggak, ada apa dengan keluarga Uchiha - Haruno - Uzumaki? Kebaca nggaak? XD mau nebak monggo, silakan di kotak review aja yaa! XD /oy.

Nggak lupa aku mengucapkan terima kasih banyak buat yang udah baca, review, fave and follow. Maaf gak bisa dibales satu-satu T_T kalau aku sempat, akan kubales. Thanks a lot guys! Sampai bertemu di next chapter x)

.

15/6/17 14:22

.

Mohon maaf atas keterlambatan update. Sebenarnya, aku pengen nunggu fic Watashi kelar untuk di-update barengan tapi ternyata ekspektasiku gak sesuai harapan. Chapter ini udah kelar dari bulan Juni (kayak tanggal yang udah aku cantumin di atas), aku langsung cus ngerjain 180 degrees dan watashi begitu ini selesai. Sayangnya, lagi-lagi kesibukan menghalangi dan aku cuma bisa sampe 180 degrees. Jadi sekali lagi, maaf banget untuk kloter ini Watashi-nya puasa dulu(?) m(_)m daaan, aku kayaknya akan lebih ngaret lagi buat chapter-chapter selanjutnya karena kuliah makin kejam xD Meskipun lama, akan diusahakan biar nggak discontinue x" "Mohon maklum, dan terima kasih banyak, banyak, banyak, atas kesabaran dan pengertiannyaaa! :")))

Btw, jangan sungkan buat menghubungiku kalo ada yang ingin ditanyakan atau sekedar ngobrol-ngobrol x) lewat mana aja bisa kok(?) cuman suka slow respond x"))) sekali lagi, makasih, yaaa! ;w;)/

.

10/11/17