Naruto selamanya milik Bapak Masashi Kishimoto.

Sakura melangkah masuk dengan penuh percaya diri ke dalam Gedung Uchiha Corporation yang terletak di pusat kota Konoha. Rambut merah mudanya yang sebahu terayun mengikuti gerakan tubuhnya. Mata hijaunya memandang ke sekeliling dan mendapati beberapa pasang mata menatap padanya bahkan beberapa pria melempar senyum padanya, dan itu membuat Sakura risih.

Sakura memang tidak sepenuhnya membenci kaum pria. Setidaknya tidak semua. Ada ayah, kakak laki-lakinya dan satu teman kecilnya yang menjadi pengecualian. Selebihnya Sakura memilih untuk menjauh atau jika bisa sekecil mungkin berurusan dengan mereka.

Denting pintu lift yang terbuka menyadarkan Sakura. Orang-orang yang semula berdiri di dalam segera berhamburan keluar, menyisakan Sakura yang kini sendirian berdiri di dalam benda kotak itu. Sakura sedikit bersyukur, setidaknya ia merasa aman karena tidak ada manusia berjenis pria di dekatnya. Namun rasa syukur itu tidak bertahan lama. Tepat beberapa detik pintu lift itu akan tertutup sempurna, tiba-tiba kembali terbuka lebar dan masuklah seorang pria berjas hitam yang kini berdiri di tepat depan Sakura.

"Aku sudah di dalam lift," ucap pria itu yang berbicara dengan seseorang melalui ponsel putihnya.

"Aku tidak terlambat … mungkin hampir. Nyaris. Puas!" bentaknya kesal.

Cih. Dasar pria kasar! Batin Sakura sebal. Matanya melirik tajam, untung saja hanya rambut anehnya yang bisa Sakura lihat.

"Aku berani jamin dia belum datang. Tidak mungkin sepagi ini, apalagi dia datang dari tempat yang cukup jauh," ucapnya lagi, kali ini dengan nada biasa.

"Bukan. Bukan pria sombong itu yang datang. Sudahlah kau tidak perlu mencemaskannya. Wanita tentu akan mudah tunduk padaku."

Sakura merasa ingin muntah sekarang, terutama saat pria itu tertawa dengan bangganya. Apa katanya? Wanita TENTU akan tunduk padanya? Wah, mengapa di hari pertama ia menjejakkan kaki di tempat asing malah bertemu dengan tipe pria yang paling Sakura benci.

Apa sebutannya? Pecinta wanita? Penakluk hati wanita? Atau laki-laki berengsek?

"Mereka memang dilahirkan hanya untuk memerhatikan penampilan. Selebihnya mereka hanyalah makhluk-makhluk bodoh!"

Tanpa sadar kedua tangan Sakura terkepal erat. Matanya menyalak garang pada punggung pria di depannya. Makhluk bodoh katanya? Bukankah dia lahir dari makhluk bodoh yang dia sebut itu. Lalu sebutan apa yang pantas untuknya? Sialan!

Ingin rasanya Sakura melempar tas yang dijinjingnya ke kepala pria itu sekuat-kuatnya. Sayangnya tidak dilakukannya. Yang bisa Sakura lakukan hanya mengumpat di dalam hati.

"Tapi hampir! Ayolah, kau tahu aku sudah bertemu dengan banyak wanita dan semuanya memang makhluk-makhluk seperti itu." Dia menengadahkan kepalanya kemudian menghela napas, "Kecuali istrimu. Aku tahu dia sangat mencintaimu. Jadi tenanglah, wanitamu tidak masuk ke dalam golongan itu."

Melalui pantulan bayangan pada lapisan besi lift ini, Sakura bisa melihat pria itu menyunggingkan senyumnya sebelum mematikan sambungan teleponnya. Tepat sedetik kemudian pintu lift itu terbuka. Namun sebelum pria itu melangkahkan kakinya keluar, samar terdengar suara keluar dari bibirnya. Suara bernada penuh kesedihan yang teramat sangat. Penuh luka dan kesengsaraan saat pria itu berkata 'beruntungnya bisa dicintai.'

Sakura yang juga menyusul pria itu keluar dari lift hanya memandang kepergian punggung pria itu dengan tatapan nanar. Punggung yang semula terlihat kokoh, kuat dan penuh ambisi kini tidak lagi sama. Punggung itu tampak begitu rapuh, sama sepertinya.

Entah kenapa Sakura bisa merasakan perasaan menyakitkan itu. Dalam hati kecilnya, Sakura pun mengulang kalimat itu 'beruntungnya bisa dicintai' terutama dengan orang yang juga kita cintai. Sakura menghela napas berat ketika punggung itu menghilang di belokan. Pegangan tangannya pada tas jinjingnya pun mengerat sebelum memutuskan untuk kembali melangkahkan kakinya menuju salah satu ruangan tempat ia dan presiden direktur dari Uchiha Corp bertemu.

Benar. Hari ini Sakura bertugas mengantikan kakaknya yang sekaligus adalah pemilik dari Sabaku Group untuk membicarakan mengenai kelanjutan proyek kerjasama dengan Uchiha Corp. Memang semua ini bukanlah keinginan Gaara—kakaknya, dengan menyerahkan tanggung jawab ini pada Sakura. Tapi ada hal lain yang tidak bisa Gaara tinggalkan begitu saja. Masalah intern perusahaan yang disebabkan oleh beberapa karyawan kepercayaannya harus bisa dia tangani secepatnya sebelum berita itu tersebar keluar. Karenanya Gaara mengutus Sakura untuk membantunya mempercepat kerjasama dengan pihak Uchiha Corp.

Sakura jelas tidak bisa menolaknya juga. Sebelumnya, Gaara sudah berjuang mati-matian agar Uchiha Corp mau menjalin kerjasama dengan Sabaku Group dan ketika perusahaan besar itu sudah mengetuk palunya, maka kesempatan itu tidak mungkin disia-siakan begitu saja. Berhubung Sakura adalah adik sekaligus orang yang bisa dipercaya oleh Gaara, dan karena Sakura sendiri merasa punya tanggung jawab juga pada Sabaku Grup. Maka dari itu, Sakura langsung menyetujui saat Gaara meminta bantuannya.

Seorang wanita yang Sakura yakini adalah sekretaris pimpinan Uchiha Corp langsung mengantar dirinya masuk ke dalam ruangan bosnya. Memang sebelumnya Gaara sudah membuat janji temu dengan Uchiha Sasuke, pria yang baru Sakura ketahui adalah pimpinan dari Uchiha Corp. Tentunya baru sekadar nama, untuk rupa dan lainnya Sakura belum mengetahuinya sama sekali.

Dan ketika salah satu daun pintu itu terbuka, Sakura pun kini mengetahui siapa itu Uchiha Sasuke. Pria yang tengah berjalan menyapanya dengan senyuman yang memikat. Tubuhnya tegap serta tampangnya memang bisa dikategorikan tampan. Sayangnya itu tidak berpengaruh untuk Sakura. Bahkan rasa benci Sakura langsung muncul kala menyadari bahwa pria di hadapannya adalah pria yang berdiri di dalam lift bersamanya.

Sakura tidak mungkin lupa. Tidak. Sakura memang ingat betul. Pria ini adalah pria yang sama. Pria menyebalkan yang mengatakan bahwa wanita adalah makhluk-makhluk bodoh.

"Kau … Sabaku Sakura?" Pertanyaan itu menyadarkan Sakura. Ia bahkan tidak menyadari terus menatap wajah itu tanpa berkedip karena kesal, yang sayangnya disalah-artikan oleh pria di depannya.

"Ya," jawab Sakura datar sembari membalas jabatan tangan Sasuke. Singkat. Bersentuhan dengan mahkluk-berengsek-macam-dia membuat Sakura jijik.

Sasuke yang awalnya sempat kaget dengan reaksi Sakura masih berusaha mempertahankan senyuman manis di wajahnya. Keduanya kini duduk berhadapan dengan meja kaca sebagai pemisah. Namun begitu beberapa kali Sakura mengalihkan pandangannya kala mata Sasuke tepat menatap wajahnya.

"Kopi atau teh?" tawar Sasuke masih dengan senyum ramahnya.

"Tidak perlu. Langsung ke intinya saja." Sakura membuka tasnya dan mengambil beberapa lembar kertas penting serta tablet yang juga berisi file-file penting.

"Anda tidak suka berbasa-basi rupanya?"

Sakura tersenyum di sela-sela kegiatannya dan menatap tegas mata hitam di depannya.

"Bagiku hanya makhluk bodoh yang suka berbasa-basi, ah … ya, bagimu makhluk bodoh itu adalah wanita. Bukan begitu, Tuan Uchiha?"

Sasuke terkesiap dan kemudian berdehem keras untuk mengurangi keterkejutannya. Tunggu, bagaimana wanita yang baru pertama kali bertemu dengannya bisa mengetahui rahasia besarnya?

"Lift. Aku tepat berdiri di belakangmu." Dan terjawablah sudah rasa penasaran Sasuke. Sial memang, Sasuke tidak menyadari ada orang lain yang berada di dalam lift selain dirinya.

Sasuke membetulkan dasi yang sebenarnya masih terpasang rapi. Raut wajahnya tidak lagi kikuk, malahan ia membalas senyuman Sakura dengan seringai.

"Begitulah. Tersinggung?" tanya Sasuke yang kini menyandarkan punggungnya pada sofa coklat itu.

Sakura mendengus kesal. Rupanya pimpinan Uchiha Corp ini sedikit pun tidak merasa bersalah, "Haruskah aku menjawabnya?"

Sasuke hanya mengedikkan bahunya santai. Diambilnya beberapa lembar kertas dan kemudian dibacanya dengan teliti. Sasuke merasa tidak perlu memusingkan tentang perkataannya yang jelas menyinggung kaum wanita. Toh, penilaiannya tidak akan berubah sedikit pun. Menurut Sasuke, sikap keras dan kasar yang ditujukan oleh Sakura sekarang hanyalah karena perempuan itu merasa tidak terima dengan perkataannya. Mungkin jika dia tidak mendengar perbincangan itu, Sakura pasti bertekuk lutut padanya.

Seperti wanita-wanita yang sudah-sudah. Makhluk-makhluk bodoh.

Namun di atas itu semua, keduanya tetap memprioritaskan proyek kerjasama itu. Bagaimanapun mereka haruslah bersikap profesional meski hawa dingin membekap keduanya. Meski tatapan tak suka yang terus mereka layangkan bahkan sampai pertemuan mereka berakhir.

Sayangnya persetujuan proyek kerjasama itu tidak bisa selesai di hari itu juga. Beberapa point-point masih dirasa belum memuaskan kedua belah pihak, karenanya keduanya memutuskan bertemu lagi sampai mendapatkan kesepakatan yang pas.

Keputusan yang sebenarnya sangat berat untuk Sakura. Sungguh, ia tidak ingin melihat wajah pria sombong itu lagi. Tapi, janjinya dan juga tanggung jawabnya pada perusahaan tidak bisa ia lupakan hanya karena rasa kesalnya.

Ponselnya berdering beberapa saat setelah Sakura sudah keluar dari area gedung Uchiha Corp. Gaara, nama itulah yang tertera di layar ponselnya.

"Bagaimana pertemuan kali ini?" tanya Gaara setelah membalas sapaan Sakura terlebih dahulu.

Sakura menghela napasnya kesal, "Menyebalkan!" celetuknya.

"Apanya?" tanya Gaara bingung. Pikirnya, dia sudah bertanya dengan nada yang ramah. Tidak mungkin dia salah bicara kan?

"Kau!" jawab Sakura ketus lalu menghela napas lagi. Entah logikanya sedang hilang ke mana, yang pasti Sakura merasa Gaara perlu disalahkan. Pria yang memiliki warna rambut yang mirip dengannya itu pantas ia benci setelah dengan berani-beraninya memerintahkan Sakura untuk menyelesaikan proyek kerjasama dengan Uchiha Corporation. Masa bodo-lah dengan rasa tanggung jawabnya. Sakura rasanya perlu melampiaskan kekesalaannya.

Dan kali ini, Sakura juga akan mencoret kakak laki-lakinya dari daftar pengecualian.

Gaara jelas tahu penyebab kesalnya Sakura. Adik perempuannya ini memang sedikit aneh. Ia membenci pria, tapi bukan berarti tidak menyukainya. Ada sesuatu yang Gaara tidak tahu mengapa Sakura bisa membenci pria, padahal dulu Sakura pernah menjalin hubungan spesial dengan pria.

"Memangnya apa yang terjadi?" Tanya Gaara tenang. Setidaknya berusaha agar lawan bicaranya juga ikut tenang. Tapi sepertinya percuma saja. Terdengar lagi helaan napas kesal dari seberang. Rupanya Sakura sudah sangat-sangat kesal.

"Kurasa Uchiha Sasuke tidak terlalu menyebalkan. Dia tegas dan juga berwibawa—"

"Karena kau laki-laki!" potong Sakura kesal. "Jadi kau bukanlah makhluk bodoh!"

"Dia mengataimu bodoh?" tanya Gaara tak percaya.

"Tidak. Tidak secara langsung." Sakura menghela napasnya lagi, entah untuk yang ke berapa kali. "Menurutnya wanita hanyalah makhluk bodoh. Aneh 'kan? Jelas saja aku tidak terima! Pria busuk itu bahkan tidak merasa bersalah sama sekali. Berengsek!"

Gaara diam, tidak menimpali. Bukankah adiknya juga termasuk golongan orang yang aneh. Memiliki prinsip dasar bahwa laki-laki adalah kaum menjijikan dan sebisa mungkin tidak berurusan dengan mereka. Jadi, seharusnya Sakura tidak perlu semarah itu mengingat dia sendiri juga mengatai kaum laki-laki.

Sebenarnya Gaara ingin tertawa. Rasanya ia ingin memberitahu Sakura bahwa begitulah dulu reaksi Gaara saat mengetahui prinsip dasar Sakura. Hei, dia juga kaum laki-laki jadi wajar kalau Gaara sendiri merasa tersinggung, meski Sakura menjamin bahwa Gaara sudah masuk daftar pengecualiannya. Tapi ditahan kuat-kuat agar suara tawa itu tidak lolos dari mulutnya. Menambah kekesalan Sakura hanya akan merugikan dirinya saja. Percayalah. Adiknya sangat tidak manis jika sedang marah. Terlebih saat marah besar.

"Setelah ini kau mau ke mana?" tanya Gaara berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Aku ada janji dengan temanku, setelahnya barulah aku kembali ke apartemen," jawab Sakura yang tampaknya mulai tenang.

"Senang mendengarnya. Awalnya aku cemas karena kau kembali ke Konoha."

"Itu sudah delapan tahun berlalu. Sekarang semua sudah baik-baik saja. Aku sudah punya kau dan Ayah," ucap Sakura tegas, membuat lawan bicaranya tersenyum. Setidaknya kalimat itu juga mengurangi rasa khawatir Gaara.

"Kapan kau kemari?" Sakura balik bertanya.

"Tentunya setelah semua benar-benar aman dan bisa kutinggali," jawab Gaara serius. Urusannya memang tidaklah main-main. Kebocoran dana pada perusahaannya adalah salah satu pekerjaan yang sedang Gaara kerjaan sekarang. Bagai mengurai benang yang kusut untuk bisa menemukan siapa dalang yang harus bertanggung jawab akan hal itu. Tentunya bukan memakan waktu yang singkat pula.

Sakura hanya mengangguk, "Bagaimana kondisi Ayah?"

"Masih sama. Tak perlu kaurisaukan. Fokuslah pada pekerjaanmu di sana. Aku tidak ingin kau memikirkan banyak hal. Bukan hanya Ibu, tapi aku juga mencemaskanmu, kau mengerti 'kan?"

"Aku tahu," jawab Sakura setengah sebal, setengah senang.

Sakura memang bukan anak kecil lagi, tapi ini adalah kali pertama Sakura tinggal sendiri tanpa ditemani keluarganya. Terlebih tempat itu adalah Konoha. Tempat penuh kenangan untuknya. Tempat yang juga memberinya luka.

Meski delapan tahun sudah berlalu semenjak Sakura pergi meninggalkan Konoha. Lantas tidak membuat Sakura merasa senyaman dulu, walau tidak bisa dipungkiri Konoha adalah tempat di mana ia dilahirkan. Tempat di mana ia tumbuh besar.

Langit Konoha masih sebiru yang Sakura ingat. Bisa dibilang hanya itu yang masih sama dari ingatannya yang tersisa akan Konoha. Selebihnya semua mengalami perubahan yang cukup drastis.

Pemandangan gedung-gedung yang kini menjulang tinggi adalah salah satunya. Banyak bangunan-bangunan baru yang dulunya tidak ada. Bahkan Raikiri Cafe yang merupakan tempat pertemuan dengan temannya, dulunya juga tidak ada. Entah kapan pastinya tempat ini dibangun. Sakura sendiri tidak mau memusingkan hal itu.

"Sakura!"

Sebuah suara mengalihkan pandangan Sakura tepat setelah dirinya melangkah masuk ke dalam kafe. Seorang wanita berambut merah panjang tengah melambai-lambaikan tangannya ke udara. Dengan senyuman di wajahnya, Sakura berjalan menghampiri perempuan yang merupakan teman semasa sekolahnya dulu.

"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu lagi setelah kau menghilang tanpa kabar sedikitpun," ucap Karin ketus, yang sebelumnya menyapa Sakura dengan sapaan khas para wanita.

"Tapi aku mengabarimu 'kan?"

"Haruskah aku senang karena mendapat kabar darimu seminggu yang lalu setelah delapan tahun?"

"Tentu saja. Kau satu-satunya, Karin."

"Oh, terima kasih, Sakura." Sakura hanya tersenyum karena tahu Karin tidak benar-benar berterima kasih akan hal itu.

Saat keputusannya untuk datang ke Konoha, mulanya Sakura hanya berpikir untuk terfokus pada pekerjaannya. Tapi seiring berjalannya waktu, Sakura juga merasakan benih-benih rindu tumbuh dan menganggunya setiap kali ia memikirkan Konoha. Kalah melawan rasa rindu itu, Sakura akhirnya mengaktifkan kembali akun media sosial yang dulu di-nonaktif-kannnya, lalu memutuskan untuk menghubungi Karin. Meski kemudian ia mematikan akun itu kembali.

"Jadi … Sabaku?" tanya Karin dengan satu alis yang terangkat. Sakura mengangguk setelah duduk tepat di hadapan Karin. Memesan minuman dan kembali menatap perempuan di depannya.

"Berapa lama kau akan tinggal di Konoha?" tanyanya lagi.

"Entahlah. Kupikir tidak akan lama, tapi sepertinya pikiranku salah besar. Urusan kakakku tidak bisa selesai dengan cepat sehingga aku yang akan mengurus proyek kerjasama itu sampai urusannya selesai."

"Tak kusangka kau bisa menjadi adik yang baik."

"Karena dia kakak yang baik. Benar-benar baik."

Karin menatap Sakura curiga, "Jangan bilang kau jatuh cinta padanya."

Sakura melotot. Bahkan hampir mengumpat saat mendengar ucapan Karin berikutnya. Untung saja ia ingat sedang berada di tempat yang ramai kalau tidak, habislah Karin.

"Tidak ada yang mengatakan bahwa saudara tiri tidak boleh menikah. Kalian tidak memiliki hubungan darah. Sah-sah saja 'kan?"

Memang perkataan Karin tidak ada yang salah sama sekali. Sayangnya itu tidak berlaku untuk Sakura. Tidak pernah terbesit sedikit pun di dalam benak Sakura untuk mengubah perasaan yang ia berikan pada Gaara selain sebagai seorang kakak. Itu pun membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sakura baru benar-benar bisa memberikan kepercayaannya dan memasukannya ke dalam daftar pengecualian setelah dua tahun hidup bersamanya, lalu memutuskan untuk ikut memakai marga ayah tirinya.

Gaara benar-benar pria yang baik. Sama seperti ayahnya sekarang. Dan Sakura sangat menyayangi keduanya.

"Dia kakakku. Dan akan menjadi kakakku selamanya," jawab Sakura mutlak.

"Baiklah." Kedua tangan Karin terangkat, tanda ia menyerah membahas masalah itu, "Jadi siapa kekasihmu sekarang?"

"Tidak ada," jawab Sakura singkat. Matanya yang semula tegas kini beralih menatap pengunjung lain yang sibuk berbincang-bincang. Karin tahu, Sakura menghindari pembahasan ini.

"Jangan katakan padaku kau belum bisa melupakannya?" Sakura diam. Entah karena tidak mau membahas hal ini atau karena memang dia tidak bisa menjawabnya. Di mana itu berarti bagi Karin, Sakura masih menyimpan rasa untuk pria itu.

Karin menepuk meja kayu hingga membuat Sakura menatap ke arahnya. "Oh, Sakura. Aku sungguh kasihan padamu. Kau ini terlalu bodoh atau apa? Dia jelas-jelas sudah melupakanmu."

Sakura memutar bola matanya malas, "Pertanyaanmu yang kelewat bodoh!"

Karin mencibir. Jelas merasa Sakura berbohong padanya. Bukan. Mungkin bukan berbohong, tapi menyembunyikannya. Perasaan seseorang mana bisa kita tahu, begitulah menurut Karin. Bisa saja sekarang Sakura bilang tidak, tapi pada kenyataannya malah sebaliknya. Bukan maksud ingin mencampuri urusan orang lain. Pasalnya, mantan kekasih Sakura sudah benar-benar melupakannya. Karin tahu, mungkin Sakura sendiri juga tahu bahwa pria itu telah menikah dengan wanita lain. Yang parahnya wanita itu adalah sahabat baik dari Sakura, Karin dan juga Hinata.

Dan Karin sendiri tahu, betapa Sakura mencintai pria itu.

"Baguslah jika itu benar. Kau tahu sendiri kan kalau dia—"

"Bisakah kita tidak membicarakan hal ini?" tanya Sakura sembari tersenyum. Senyum yang dipaksakan.

Sakura menghindar, pikir Karin. Rupanya dia masih menyimpan perasaan pada pria itu. Karin balas tersenyum. Matanya menatap Sakura iba. Memangnya siapa yang tidak akan merasa seperti itu? Karin masih ingat betul. Baru beberapa minggu Sakura pergi, kekasihnya tiba-tiba menikah dengan sahabatnya sendiri.

Tentunya kabar itu mengejutkan banyak pihak. Karin yang sekaligus sahabat baik dari mempelai wanitanya bahkan tidak pernah menyangka. Tidak pernah ada tanda-tanda dari keduanya menjalin hubungan serius, bahkan Karin sendiri meragukan apakah hubungan di antara Sakura dan kekasihnya sudah benar-benar berakhir?

Karin pikir hari ini Sakura akan mengatakan semuanya. Tentang perasaannya. Tentang kehidupannya, terutama alasan mengapa ia menghilang begitu saja. Namun nyatanya Sakura masih berniat menyimpan hal itu darinya. Jelas Karin tidak bisa memaksa. Mungkin Sakura masih butuh sedikit waktu. Mungkin saja.

Sesuai dengan permintaan Sakura. Keduanya tidak lagi membahas masalah tentang masa lalu Sakura. Tidak juga membahas hal-hal yang ingin Karin ketahui. Mereka tertawa membahas mengenai Hinata dan Naruto yang akhirnya menikah beberapa bulan lalu. Naruto adalah teman masa kecil Sakura, salah satu laki-laki yang masuk ke dalam daftar pengecualiannya. Bisa dibilang Sakura-lah yang awal mulanya menjodohkan mereka. Tidak menyangka bahwa usahanya membuahkan hasil.

Kemudian berlanjut membahas kehidupan Karin. Apa saja yang telah dilakukannya setelah lulus, sampai kepada kisah asmaranya. Dan terkadang juga membahas berita yang sedang hangat saat ini.

Sakura memang tertawa. Namun pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada apa yang sedang mereka bahas. Sakura tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ternyata pikirannya ikut melayang mempertanyakan banyak hal. Bahkan membayangkan sosok yang pernah mengisi hatinya selama hampir empat tahun.

Sialan memang. Sakura tidak bisa menampiknya. Kalau ternyata rasa rindu itu masih tersisa di sudut hatinya. Ini semua salah Karin yang terlebih dahulu mengungkit-ungkit pria itu. Tapi kemudian Sakura sadar. Setengahnya adalah kesalahannya. Salahnya karena membiarkan perasaan mengambil alih dirinya.

Sakura pikir yang tersisa untuk pria itu hanyalah rasa benci. Dan Sakura memang membencinya. Selama ini berusaha untuk tidak pernah memikirkannya lagi. Mencoba menghapus semua memori tentang pria itu. Sakura anggap semua usahanya berhasil. Sakura rasa memang berhasil, sebelum akhirnya Sakura menginjakkan kakinya ke Konoha.

Bangkitnya kenangan yang terukir di tempat ini nyatanya juga membangkitkan kembali ingatan yang Sakura pikir sudah terhapus. Sudah hilang, Sudah lenyap. Ternyata masih tersimpan rapi di sudut hatinya yang terdalam. Konoha bagai kunci pembuka. Dan Sakura tidak bisa mengelak.

Sakura memang tersenyum.

Tapi hatinya tidak.

Bagaimana tidak, kalau rasa cinta dan benci menusuknya bersamaan. Keduanya menyerang. Perasaan itu berusaha keluar dan memegang kendali atas Sakura.

Dan Sakura tidak bisa menghindar.

Tapi satu hal yang pasti. Sakura berharap Konoha tidak mempertemukan masalalunya, yang dulu ia tinggalkan begitu saja.

Bersambung.

Curcul :

Hai ^^

Kali ini aku buat cerita yang sebenernya bukan tipe-tipe cerita kesukaanku. Sebenarnya ide cerita ini udah lama banget, dan muncul pas lagi membahas-bahas obrolan ringan sama salah satu author cantik dan baik hati di FFN ini, kali ini dia beridentitas sebagai Monster Cookies hehehehe.

Dan entah kenapa merasa perlu mencoba sesuatu yang baru, makanya nekat buat-buat cerita bertema berat gini. Karena temanya yang berat nulis ceritanya juga ikutan jadi berat. Saking beratnya sampe ngerusuhin orang karena saking ngak PD-nya... dan ceritanya emang mainstream banget, dan klo ada kesamaan dijamin itu murni tidak kesengajaan.

Jadi, makasih untuk adikku dan tentunya salah satu author beken juga di FFN yaitu Nyonya Itachi :D (Pokoknya kalian b3 jgn kapok2 dirusuhin aku trs ya ^^) Makasih selalu buat dorongan kalian membangkitkan kepercayaan diriku.

Dan untuk kalian silakan dinikmati, jika tidak suka cerita berbau-bau unsur begini silakan mundur dengan teratur.

Sampai jumpa di chap berikutnya yang tentunya tidak akan cepat, berhubung masih agak kesulitan buat nulis crt ini.

21 – 11- 15

.

[U W] — Istri sah Taka, One Ok Rock :*—