Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfic ini akan dijadikan fanbook + 2 buah ilustrasi! Pre order dibuka dari tanggal 8 Mei - 8 Juli 2020. Bagi yang berminat silakan akses bit . ly / PO-DPS ya! Keterangan lebih lengkap juga ada di sana.

.

.

Dua Pasang Sepatu

by daffodila

.

.

Suara derap langkah yang tergesa menggema di tengah-tengah hutan. Ada kalanya derapan itu bervolume lebih keras ketika sepasang kaki tersebut memutuskan untuk melompat. Gesekan angin dan tubuh menimbulkan bunyi yang begitu kentara. Tak bisa disangkal lagi bahwa ada sosok yang tengah terburu-buru di ruang antara pepohonan rindang. Asumsi tersebut ditegaskan kembali oleh suara langkah kaki yang terseok, kemudian disusul oleh umpatan kesal. Seokan kaki itu tak heran terjadi jika mengingat minimnya sumber cahaya.

Uchiha Sasuke terus bergerak secepat yang dia bisa. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, memastikan tak ada siapa pun yang mengikuti jejaknya. Dari kesunyian yang berbaur di udara, dapat diketahui bahwa sesungguhnya dia benar-benar sendiri di sana. Namun, sesuatu di dalam sudut hatinya terus memengaruhi otak untuk memberi instruksi pada seluruh saraf motorik agar bergerak sigap, seolah-olah memang sedang diikuti atau bahkan dikejar.

Ada firasat yang mengganggu batin Sasuke semenjak dua hari yang lalu. Entah itu mengarah pada hal yang baik atau buruk, dia sama sekali tidak bisa memisahkan keduanya karena perbedaan yang nyaris tidak ada. Firasat tersebut cukup mengganggu kondisinya. Tidak, dia tidak sampai sakit atau apa pun. Namun, kewaspadaannya terhadap lingkungan sekitar menginjak titik tertinggi—cenderung paranoid, kadang ada perasaan cemas yang terselip, dan hal tersebut sanggup membuyarkan konsentrasi.

Beberapa kali perjalanannya tak pernah maju. Tanpa disadari, dia mengambil jalan ke tempat yang sudah pernah diinjak. Sempat dirinya berpikir ada genjutsu yang menyelubungi tubuhnya. Dia memang tidak bertemu siapa pun selama pengembaraannya dalam tiga hari ini, tetapi sempat ada asumsi bahwa genjutsu yang melandanya terjadi karena ketidaksengajaan menyentuh tumbuhan jebakan. Ternyata, setelah dia mencoba melawan genjutsu tersebut dengan matanya, dia sadar bahwa tak ada jurus apa pun yang tengah menjebaknya.

Dan itu cukup untuk menunjukkan bahwa Uchiha Sasuke tidak sedang memegang kendali penuh atas kefokusannya.

Kebuyaran yang melanda otak Sasuke tersebut tidaklah janggal jika mengingat selama tiga hari ke belakang, dia memang mengabaikan istirahat dan konsumsi. Sasuke hanya ingin menjauh secepat yang dia bisa dari Konoha, sebelum seseorang tertentu menyadari kealpaannya dari desa tersebut. Mungkin sikap pergi secara mengendap-endap inilah yang menumbuhkan firasat abu-abu di dalam hatinya. Firasat yang berfondasikan tumpukan rasa bersalah.

Kakashi tahu bahwa Sasuke pergi lagi. Naruto pun sama. Mereka tidak seperti satu anggota Tim Tujuh—yang dibentuk saat genin—sisanya. Sasuke sengaja menghindari pengucapan sampai jumpa lagi untuk gadis itu. Karena jika dia melakukannya, tubuhnya akan sulit diseret ke luar desa. Dia sadar, kali ini Haruno Sakura sanggup memberatkan langkah untuk melanjutkan pengembaraannya kembali. Sementara dia harus melanjutkan perjalanan yang sudah tertunda selama beberapa minggu. Maka, dia memilih untuk menjauh diam-diam daripada melawan gejolak pertentangan batin yang diyakini akan muncul jika dirinya berhadapan dengan Sakura tepat sebelum dia pergi.

Sasuke berpikir bahwa keputusannya merupakan hal yang benar, sampai satu hari setelah dia keluar desa, firasat itu melanda batinnya. Kau bodoh, kadang dia merutuki diri. Bagaimana mungkin kau kembali berlaku egois dengan pergi tanpa permisi?

Suara gemerisik samar yang mengindikasikan adanya kehadiran orang lain menghentikan langkah kaki dan pergolakan di batinnya. Ditariknya napas panjang untuk menetralisir pikiran yang berlari ke mana-mana. Dia butuh fokus, harus bersikap waspada. Takut-takut orang ini merupakan musuh yang siap melukainya kapan saja. Maka, tangannya segera diarahkan ke punggung, menggenggam erat katana-nya.

Telinganya dipasang sebaik-baiknya. Sasuke terus membaca situasi dengan cara menelaah pergerakan orang pertama yang akan dia temui setelah pengembaraan keduanya dimulai. Dari hasil analisis keadaan, dia menarik konklusi bahwa sosok ini merupakan seorang shinobi. Derap langkahnya semakin mendekat, maka dia memutuskan untuk diam di tempat. Tak ada waktu untuk menghindar, karena pergerakannya pasti akan terbaca. Maka, Sasuke putuskan untuk melawan siapa pun orang ini jika dia memang berstatus musuh.

Matanya terus waspada. Ada dorongan untuk mengaktifkan sharingan. Namun, dia abaikan karena mungkin hal itu sia-sia. Bisa saja orang ini bukan musuh, atau kalaupun musuh, Sasuke masih jauh lebih kuat daripadanya.

Suara derap langkah di belakangnya membuat Sasuke langsung menarik katana. Dia memutar tubuh karena yakin posisi orang itu ada tepat di depan punggungnya. Genggaman erat pada senjatanya nyaris terlepas ketika dia menyadari siapa sosok yang menodong kunai padanya dan ditodong katana-nya. Dari kegelapan yang menyelubungi, dia bisa menangkap rambut merah muda membingkai wajahnya hanya dari sorot tipis sinar rembulan. Hanya ada satu orang yang dia kenali memiliki rambut berwarna unik tersebut. Napasnya tertahan begitu saja.

"Sakura?"

Ada jeda beberapa detik sampai sosok itu menyahut, "Sasuke-kun?!"

Mereka sama-sama memajukan tubuh pada sorot cahaya yang menyusup melalui celah dedaunan. Kedua pasang mata yang membulat dilintangi keterkejutan itu saling bertumbukkan. Detak jantung keduanya berdetak sekencang-kencangnya. Masih dengan bahu yang menegang, mereka sama-sama menarik kembali todongan senjata dari leher dengan gerakan canggung. Sasuke kembali menaruh katana di punggungnya, sementara Sakura menyimpan kunai ke dalam kantungnya.

Sasuke tahu dia seharusnya mengikuti dorongan untuk mengaktifkan sharingan tadi agar tidak perlu terjebak dalam situasi seperti ini. Kalau dia sadar orang itu adalah Sakura, tentu saja dia tidak akan menarik katana-nya sama sekali. Dan dari mimik muka Sakura yang dia tangkap tadi, dirinya tahu bahwa Sakura pun sama terkejutnya. Demi apa pun, keduanya nyaris saling melukai (kali ini tanpa dikehendaki sama sekali), tepat di leher!

Belum sempat dia bertanya mengenai eksistensi Sakura di sini atau mengeluhkan usaha mengendap-endapnya yang tampak sia-sia, tubuhnya tersentak ke belakang hingga punggung bertumbukkan sangat keras dengan pohon. Tajam dari kulit pohon menusuk melewati pakaiannya hingga ke tulang punggung. Dia mengerang kesakitan atas serangan tak terduga. Sakura baru saja menonjok perutnya dengan kekuatan monsternya. Mungkin dua atau tiga tulang rusuknya sudah patah saat ini.

"Sial!" Sasuke mengumpat keras. Dia memegangi bagian yang ditonjok Sakura secara telak. Napasnya terengah-engah karena lemparan tubuhnya ke belakang. Kepalanya memberat akibat mengalami benturan keras. Dia mengangkat dagu dan mencari-cari mata Sakura. Dikerjapkannya mata untuk menghilangkan buram di pandangannya. Apa yang membuatnya terkejut adalah ekspresi wajah gadis itu adalah datar. Datar sedatar-datarnya. "Apa yang kaulakukan, Sakura?!"

"Itu untuk pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku, bodoh!" Suara dinginnya menusuk Sasuke dengan tepat. Jantung Sakura berdegup dengan cepat karena adrenalin yang terbentuk oleh tensi tinggi. Wajahnya memerah diliputi kemarahan. Rahang Sasuke nyaris jatuh melihat sikap Sakura pada dirinya yang jauh—jauh—berbeda daripada biasanya. Kunai yang nyaris mengukir luka di lehernya ternyata diganti tonjokan keras luar biasa. Oh, setidaknya tonjokan tersebut tidak akan langsung membunuhnya.

Sakura sama dengan Sasuke. Awalnya, dia sama sekali tidak menduga bahwa sosok mencurigakan di tengah hutan adalah lelaki yang memang tengah dicarinya selama tiga hari ke belakang. Itulah sebabnya dia menodong kunai dan siap menyerangnya. Dan ketika dia mendengar suara yang begitu dikenalinya menyebut namanya, dirinya langsung tahu siapakah yang dihadapinya. Kunai dikembalikan ke saku karena senjata hanya untuk musuh. Sasuke cukup menerima tonjokan darinya saja atas apa yang sudah lelaki itu lakukan padanya. Setidaknya cukup menurut takaran Sakura.

Masih bertahan dengan wajah datarnya, Sakura menanam kepalan ke dalam telapak tangan lainnya. Napasnya terputus-putus hingga bahunya naik-turun secara berkala. Suara pertemuan antartulang membumbung ke udara. Dia mengeliminasi jarak yang terbentang di antara dirinya dan Sasuke. Melihat perangai Sakura, Sasuke menarik diri hingga punggungnya mendesak pohon, memperdalam gesekan antar kulit tubuhnya dengan kulit pohon tanpa dia sadari. Dia berusaha mengabaikan terbentuknya rasa sakit baru. Deru napasnya masih belum kembali seperti sedia kala.

Sakura berjongkok di samping Sasuke yang tampak kepayahan. Lelaki itu berusaha berdiri, berniat untuk membentuk kuda-kuda perlawanan. Erangan terlepas lagi dari bibirnya ketika patah di tulang rusuk kembali terasa, membuatnya nyaris tak berdaya. Sakura menatap Sasuke dalam diam. Kepalan tangannya terbuka, disusul dengan pelepasan sarung tangan, kemudian chakra hijau yang menyala. Tangan kirinya menyingkirkan tangan Sasuke yang memegangi perutnya, lantas digantikan oleh tangan yang mengalirkan chakra. Sasuke melepas lenguhan ketika hangat dari chakra Sakura menyusup dan meredam rasa sakit sedikit demi sedikit.

Seharusnya Sakura tidak menyembuhkan Sasuke. Bahkan Sasuke sendiri berpikir bahwa chakra yang mengalir dari telapak tangan gadis itu mengandung racun yang akan menyakitinya lebih jauh. Namun, dia salah.

Sakura sangat ingin membiarkan Sasuke kesakitan. Ingin sekali. Dia pantas mendapatkannya setelah meninggalkannya berkali-kali—kali ini pergi ketika hubungan mereka lebih dari baik-baik saja—tanpa meninggalkan sepatah pun kata. Sayangnya ... dia tidak bisa. Tangannya seolah-olah bergerak sendiri, chakra-nya pun sama, hingga kini posisinya adalah sebagai penyembuh bagi Sasuke. Terkutuklah perasaan mendalamnya terhadap lelaki itu. Meski perasaan mendalam tersebut tak cukup untuk menelan kembali kemarahan yang melingkupi dirinya kini.

"Berani-beraninya kau!" bentak Sakura. Tatapan matanya dibuat setajam yang dia bisa. Setidaknya dia sudah berusaha. "Naruto tahu, Kakashi-sensei tahu, dan kau membiarkan aku bertanya-tanya mengapa kau tidak ditemukan di seluruh penjuru desa!"

"Sakura," ujar Sasuke dengan napas terputus-putus. "Tulang rusukku pat—argh, sial!"

"Aku tahu." Sakura berkata dengan nada sinis. Dia kesal karena Sasuke mengalihkan pembicaraan, sehingga dia memotong perkataan lelaki yang berada di hadapannya dengan cara menekan bagian yang dia tonjok. "Sekarang katakan padaku. Semuanya."

Mendapati keadaan Sasuke yang pasti sangat kesulitan untuk bercerita, Sakura mengembuskan napasnya. "Baiklah, katakan setelah aku menyelesaikan ini." Dan intensitas aliran chakra dari tangannya pun naik dengan pasti.

"Kenapa kau menyembuhkan aku?" Sasuke mulai bertanya ketika sakit yang timbul saat dia bergerak mulai berkurang. Sementara kau sendiri yang menyebabkan rasa sakit itu, lanjutnya dalam hati.

Salah satu sudut bibir Sakura tertarik ke atas. "Jadi, kau sadar bahwa kau layak mendapatkan pukulan tadi?"

Sasuke mendengus dan memutar bola mata menanggapinya.

Tangan Sakura menekan-nekan perut Sasuke sembari menganalisis respons lelaki tersebut. Ketika napasnya tak lagi tersentak, Sakura mengerti bahwa penyembuhannya sudah cukup dan segera mengakhirinya. Meski dia tahu bahwa bagian yang patah belum benar menjadi sedia kala.

Sakura menunduk dan menatap Sasuke tepat di mata. Dia melemparkan sebuah sorot mata yang bersifat mengintimidasi. Sayang sekali Sasuke kelihatannya tidak merasa terintimidasi. Dia hanya meringis setiap kali berusaha bergerak. "Sekarang katakan semuanya!" Sakura kembali memasang sarung tangan hitamnya.

Sasuke pun menegakkan tubuh dan mengatur napas. Dia menghindari mata Sakura ketika hendak mengatakan apa yang gadis itu pinta. Napas yang terlepas dari celah bibirnya bergetar. Dia terlalu ragu untuk berkata. Sasuke mengumpati dirinya sendiri, lagi-lagi karena tidak mengaktifkan sharingan tadi. Kalau dia melakukannya, dia bisa menghindari Sakura dan sekali lagi, ini tak akan terjadi.

"Aku hanya ...," dipalsukannya sebuah batuk, "aku tidak bisa berpamitan padamu."

"Apa? Kenapa?" Sakura menaikkan alis tidak mengerti sekaligus bertambah jengkel. Ketidakbisaan yang Sasuke katakan terdengar tidak masuk akal. Memang, dia sibuk di rumah sakit. Namun, bukan berarti hal tersebut bisa Sasuke jadikan alibi sehingga lelaki itu enggan mengganggu waktunya. Kakashi yang hokage saja bisa tahu.

Sasuke meneguk ludahnya. Tangannya terkepal di atas paha. Kalimat yang sudah tersusun di otaknya membuatnya enggan menjawab. Namun, tatapan ancaman yang seolah-olah berkata tonjokanku-yang-lain-sudah-menunggu dari Sakura, membuat Sasuke merasa terdesak untuk mengutarakan kalimatnya.

"Karena itu akan menyulitkanku untuk pergi."

"Maksudmu karena kau pikir aku akan menghalangimu?" Sakura menggertakkan giginya, merasa terganggu oleh kata-kata Sasuke. Dia perlu membuat catatan mental untuk mengingatkan Sasuke bahwa dia bukan gadis berumur dua belas lagi.

"Tidak."

"Lantas apa?!" Ketidaksabaran mulai menyelubungi Sakura. Kejengkelan kembali datang lagi karena Sasuke terus-menerus menggantung kata-katanya sehingga memberikan arti yang ambigu dan terasa menyudutkan dirinya.

Sasuke mengembuskan napas. Tiba-tiba dia meringis ketika nyeri di tulang rusuknya terasa kembali. "Itu ... sulit, Sakura." Sakura menahan diri untuk kembali merawat Sasuke setelah mendengar ringisan. Memaksa lelaki itu untuk mau bicara terlebih dahulu. "Masalahnya bukan ada pada dirimu. Tapi ... aku."

Kedua alis Sakura bertaut. "Kau?"

Sasuke mengangguk.

"Maksudmu?"

Sasuke memberengut. "Berhenti bertanya. Kau tahu jelas apa artinya."

"Aku tidak—"

"Kau. Tahu." Suaranya ditekan pada masing-masing kata. Kali ini Sasuke yang membalas melempar tatapan mengintimidasi. Bukankah kata-katanya sudah lebih dari jelas jika dialah yang mengatakannya? Dia muak Sakura kelihatan berlagak bodoh agar dia mau menyampaikan segalanya secara eksplisit. Sesuatu yang enggan dan tidak bisa dia lakukan.

Sakura memutar kedua bola matanya. Mengapa Sasuke selalu menjadi pria yang irit kata? Sekalipun berbicara, kata-katanya sangat jarang langsung menjelaskan maknanya, atau menyakitkan untuk didengarkan. "Baiklah." Yang dia dapatkan dari gertakan yang dilakukan pada Sasuke hanyalah satu: bertemu dengannya sebelum pergi akan menyulitkan langkah kaki Sasuke. Hanya itu. Dan sesungguhnya itu belum cukup jelas baginya.

Sasuke melempar pandangan pada sekujur tubuh Sakura. Sebelum menanyakan kehadiran gadis itu di sini, dia mencoba membaca keadaan. Dia yakin dari barang bawaannya pun dia dapat mengetahui apa tujuan Sakura. Tanpa adanya hitai-ate yang menempel di kepalanya, ukuran ransel Sakura yang melebihi rata-rata ukuran yang harus dibawa saat misi, Sasuke langsung tahu bahwa eksistensi gadis itu bukanlah didasari hitam di atas putih dari hokage. Dia mendecakkan lidahnya. Dia tahu apa yang Sakura lakukan di sini.

"Pulanglah," titah Sasuke.

Sakura mendesis. "Kau pikir aku jauh-jauh ke sini hanya untuk menonjok dan menyembuhkanmu, kemudian kembali lagi?" tanyanya dengan nada sarkastik.

"Apa pun tujuanmu, lebih baik kau kembali ke Konoha. Tempatmu bukan di sini."

Sakura menyilangkan tangan di depan dada. Dia mencebikkan bibir bawahnya. "Tidak akan. Aku ikut denganmu atau kau pulang ke Konoha bersamaku."

Sesungguhnya Sasuke akan merasa nyaman jika Sakura ada di sisinya dalam pengembaraannya. Sangat, sangat nyaman. Dan dalam pengembaraan ini, tidak seharusnya dia merasa seperti itu. Ini tentang penebusan dosa. Hukuman untuk diri sendiri. Mana ada hukuman yang dilalui dengan nyaman?

Erangan bermuara di tenggorokan Sasuke. "Tidak mungkin." Matanya menatap tajam ke arah Sakura. Menyatakan bahwa kata-katanya bersifat tak bisa ditampik lagi. Kemudian dia teringat bahwa ini pun termasuk ke dalam alasan kenapa dia tidak mau menemui Sakura sebelum dia pergi.

Bukannya merasa terintimidasi, Sakura justru turut menajamkan sorot matanya. Dia tidak takut pada Sasuke. Sebesar apa pun rasa cintanya pada lelaki itu, selama mereka belum terikat komitmen apa pun, Sakura tidak mau menuruti kata-kata Sasuke yang menurutnya tak sesuai. "Aku tidak butuh persetujuan darimu."

"Tentu saja kau butuh. Ini perjalananku, Sakura!" Suara Sasuke mulai meninggi. Kali ini tak ada tekanan pada kata-katanya sama sekali.

Sakura tidak seharusnya ada di sini. Gadis itu terlalu murni untuk disangkut-pautkan dengan perjalanan ini. Dia tak punya alasan yang jelas. Justru jika dihitung, alasan baginya untuk menetap di Konoha sudah benar-benar absolut. Berbeda dengan Sasuke yang menggenggam banyak dasar atas perjalanan ini: penebusan dosa, melihat dunia tanpa sudut pandang kegelapan, ada kala di mana dia sulit mengendalikan diri atas dendamnya pada Konoha yang masih sukar hilang, merasa tak pantas menikmati fasilitas dan hidup di bawah kanopi kedamaian, dan banyak lagi.

"Aku tidak peduli!" Sakura melipat kedua tangan di depan dada. Diabaikannya suara Sasuke yang mulai meninggi.

Sasuke mendecih. Kedua kakinya menggertak tanah sebagai pelampiasan rasa kesal yang mulai memenuhi kotak emosinya. "Ini bukan urusanmu!" Dia memutar tubuh dan membelakangi Sakura. Kakinya dilangkahkan menjauh.

"Setidaknya hargai usahaku untuk mengejarmu sampai sini, Sasuke-kun!" Kedua tangan Sakura terkepal di atas jahitan celana. Dia harus ikut dengan Sasuke, atau membawa lelaki itu kembali ke Konoha. Sudah cukup dia ditinggalkan berkali-kali. Dan kepergian Sasuke kali ini adalah yang paling parah. Yang paling membuatnya marah.

Dua hari sebelum Sasuke tak bisa ditemukan di seluruh penjuru Konoha, mereka bahkan makan bersama di kedai ramen. Sikapnya masih santai, sama sekali tak mengindikasikan akan pergi. Dan yang paling membuatnya benci pada kenyataan ini adalah Naruto dan Kakashi tahu, sementara dirinya tidak.

Sasuke mengembuskan napasnya. Dia memutar tubuhnya kembali.

Ini adalah pertarungan antara dua orang yang keras kepala. Yang pemenangnya hanya bisa diketahui ketika kedua kepala tersebut dibenturkan, dan carilah mana yang paling sedikit merasa kesakitan.

"Dengar," sebuah ringisan terlepas dari bibirnya, "aku tidak memintanya. Sama sekali." Tangan Sasuke tergerak ke area yang Sakura tonjok. Rasa nyeri itu datang lagi meski tak separah saat pertama kali.

Sakura terdiam sebentar. Dia memerhatikan gerak-gerik dan mimik muka Sasuke. Ditemukannya sebuah celah untuk tetap pada pendiriannya. "Kau membutuhkanku." Tatapannya mengarah pada cengkeraman tangan Sasuke di perut bagian atas. "Kau membutuhkanku untuk mengurus tulang rusukmu."

"Ini tidak akan terjadi jika kau tidak menonjok perutku sejak awal." Sasuke mengerutkan wajahnya. Mengapa gadis itu repot-repot mencari celah melalui lukanya ketika dirinyalah yang membentuk luka tersebut? Sempat dia berpikir bahwa ini sudah direncanakan sejak awal. Namun, ketika mengingat mata Sakura yang mengamati tubuhnya dan menahan pandangan pada cengkeraman tangannya, asumsi tersebut dia tepis jauh-jauh. Lagi pula, ini adalah Sakura. Gadis itu tidak mungkin mencari kesempatan dalam kesempitan—sementara dia sendirilah yang menelurkan kesempitan tersebut. Dan satu hal yang membuatnya lebih yakin bahwa asumsinya salah: kilat kemarahan di mata Sakura yang muncul ketika menonjok perutnya.

Kepalan tangan Sakura mengerat hingga kuku-kukunya tertanam ke dalam telapak. "Dan ini tidak akan terjadi jika kau tidak pergi tanpa bilang-bilang!" Dia meraung penuh emosi.

"Tch." Sasuke menggertakkan giginya penuh kekesalan. Dia tidak bisa membawa Sakura bersamanya. Perjalanan ini cukup ditanggungnya sendiri. "Pulanglah, Sakura. Tempatmu di Konoha." Dia berkata dengan nada paling final. Sama sekali enggan dilawan. Setidaknya dia berharap begitu.

"Tapi—"

"Tidak. Kau harus pulang." Sasuke menghentikan pertentangan antara otak dan hatinya dalam memilih kata-kata. Kali ini, nuraninya dibuat disfungsi sesuai keahliannya beberapa tahun yang lalu. Otaknya diputar untuk menyusun kalimat yang akan membuat Sakura bungkam dan akhirnya memutuskan untuk pulang. "Aku tidak membutuhkanmu. Kau hanya akan menghalangi jalanku."

Satu detik setelah kalimatnya tergelincir, Sasuke menggigit lidahnya keras-keras. Kerongkongannya tersekat erat, seolah-olah organ tersebut menolak untuk melakukan gerakan peristaltik bagi setetes ludahnya. Dia menunduk dan menyembunyikan wajah di balik poni, tak berani lagi menatap wajah Sakura yang sudah bisa ditebak akan menayangkan ekspresi seperti apa.

Sasuke telah membenturkan kepala keduanya—

Mulut Sakura terkunci. Segala argumen yang dia siapkan untuk melawan kata-kata Sasuke—apa pun itu—sudah diserap habis oleh tohokan keras di dadanya layaknya virus ganas yang menyerap sistem kekebalan tubuhnya. Kalimat terakhir Sasuke benar-benar menyakiti harga diri—juga hatinya. Sekujur tubuh Sakura bergetar tanpa bisa dilawan. Otot di hidungnya kehilangan daya untuk menarik napas setelah mengembuskannya. Paru-parunya dibuat kosong—sekosong hatinya.

"Oh," gumam Sakura pasrah. Kedua tangan yang bergetar segera dianyam di punggungnya. Kilat kemarahan di matanya telah hilang, hingga binar di manik hijau itu sirna sepenuhnya. Seolah-olah tak ada lagi hawa kehidupan yang terpancar dari sana. "Baik. Jika memang itu maumu."

Sasuke mengangkat wajah kembali dan mendapati Sakura yang mengulas sebuah senyum. Senyuman hampa, yang mampu membuatnya bergidik sampai ke tulang punggungnya.

—dan Sakuralah yang paling merasa sakit atas benturan tersebut. Dia adalah si pecundang dari pertarungan ini.

Tepat di depan matanya, Sakura memutar tubuh dengan langkah lunglai. Berjalan menjauh, tanpa mengatakan selamat tinggal, sampai jumpa lagi, atau kata-kata perpisahan lainnya.

Saat itu juga, Sasuke langsung memahami bagaimana perasaan Sakura tatkala dia pergi tanpa permisi. Meski kini jelas-jelas dirinyalah yang mengusir Sakura secara tidak langsung. Namun, rasa kesal, marah, kecewa, hampa, dan perasaan negatif lainnya terkontaminasi menjadi satu. Kemudian, rasa bersalah yang terus mengganggu hari-harinya hingga membentuk firasat abu-abu—yang membuyarkan konsentrasinya—naik lagi ke permukaan dadanya. Sasuke bahkan tak sadar bahwa perasaan itu sempat hilang ketika dia menerima tonjokan di perut—semenjak dia bertemu Sakura di sini—dan singgah lagi ketika Sakura memutuskan untuk pergi.

Seharusnya Sasuke tidak perlu merasa gamang jika mengingat bahwa keinginannya sudah terpenuhi. Sakura sudah melangkah pulang, menuruti perintah dan menerima penolakan lain darinya. Namun, dadanya justru malah terasa kosong dan kebas. Punggung Sakura yang tampak rapuh masih tertangkap indra penglihatannya. Kian jauh jarak yang terbentang di antara tubuhnya dan tubuh Sakura, kian besar pula emosinya teraduk-aduk hingga nyaris membuatnya mual.

Sasuke memejamkan matanya erat-erat. Tangannya mengusap wajah dengan kasar. Otaknya terus berputar untuk mencari jalan keluar. Satu solusi melesat dalam benaknya, dan dia lakukan tanpa dipikirkan lagi sebelumnya.

"Sakura."

Butuh tujuh langkah baru dari Sakura yang menjauh sampai Sasuke sadar bahwa firasatnya selama ini adalah tentang Sakura.

Tubuh Sakura membeku. Kaki yang baru saja mau dilangkahkan melayang di atas tanah. Angin baru saja membawa suara Sasuke yang memanggil namanya hingga ke telinganya. Terbersit rasa tidak percaya bahwa hal tersebut merupakan kenyataan. Dia berbisik pada diri sendiri, menyatakan yang dia dengar hanyalah halusinasi. Mana mungkin Sasuke mau menarik kata-katanya atau menyesalinya, 'kan? Jika nama Uchihanya masih dijunjung tinggi-tinggi, jawabannya jelas tidak mungkin. Tidak ada lagi jawaban yang lebih tepat daripada itu.

Sakura menggelengkan kepala dan mengusap ujung mata yang mulai membasah. Sedari tadi tangisnya sudah dilawan. Namun, pertahanannya runtuh ketika memikirkan soal halusinasi dari indra pendengarannya. Dia melempar kaki ke depan selebar yang dia bisa untuk mempercepat prosesnya kembali ke Konoha. Diam di sini hanya akan membuatnya hancur hingga berkeping-keping. Lagi-lagi, karena Sasuke.

Sasuke hanya tak ingin Sakura ada di sini untuk kepentingannya, bukan kepentingan gadis itu sendiri. Dia tak mau Sakura melakukan sesuatu yang bukan untuk dirinya sendiri. Dia sadar bahwa dirinya tak layak menerima kebaikan semacam itu lagi. Apa yang Sakura lakukan padanya selama ini sudah lebih dari cukup, seharusnya tak perlu ditambah lagi. Dan menemaninya di perjalanan seperti ini tentunya membutuhkan sebuah pengorbanan besar dari Sakura, yang dirasanya tak layak dia terima.

"Jika ini bukan untukku—" Tak menerima respons dari Sakura, Sasuke menaikkan volume suaranya. Langkah kaki Sakura terhenti kembali setelah bahunya menegang. Sasuke segera menyusun kata-kata lain agar terdengar lebih tepat. Fungsi hatinya dipekerjakan lagi. "Jika kau ada di sini bukan demi aku—atau setidaknya bukan hanya demi aku—kau tidak perlu kembali ke Konoha."

Bahu Sakura bergetar. Napasnya terputus-putus karena menahan isakan. Persendian di lututnya melemah, nyaris membuatnya terjatuh di atas tanah. Dia mengejar Sasuke sampai sini bukan hanya untuk menemani, tapi karena memang inilah apa yang dia inginkan. Maka, dia bisa tetap ikut dengan Sasuke jika hanya itu persyaratannya.

Namun, kata-kata dari Sasuke tadi belum cukup. Sangat jauh dari kata cukup untuk membuatnya yakin bahwa akhirnya lelaki itu memberikan pilihan untuk ikut atau pulang. Meski dari kata-katanya, Sakura tahu bahwa Sasuke lebih menekankan ke arah mana.

"Aku ada di sini bukan hanya demi kau." Dia menggigit bibir, tak mengizinkan suara cengengnya turut andil. "Kalau begitu, pinta aku ikut denganmu."

Sasuke menarik napas panjang. Diabaikannya denyutan yang timbul akibat patahnya tulang rusuk. Butuh segenap tenaga untuk mengatakan sesuatu yang berisiko tinggi. Jelas-jelas hidup Sakura yang dipertaruhkan di sini. Apabila dia meminta, memang kesannya akan jadi seperti ini adalah tentang dirinya. Namun, dia tahu Sakura berkata demikian untuk meyakinkan gadis itu sendiri. Setelah dia percaya bahwa dia sanggup menanggungnya, dia bersuara dengan lantang, tanpa ada keraguan yang justru membuat dirinya terkejut akan bagaimana caranya bicara.

"Haruno Sakura, ikutlah denganku."

Dan kali ini, air mata Sakura tumpah bukan lagi didasari kesedihan.

.

.

Bersambung