Hujan deras melanda seluruh Fa'Diel. Petir sesekali menggelegar dengan sangar. Udara menjadi sangat dingin sehingga perapian harus dinyalakan. Ketel pun kembali diisi teh baru dan tetap di atas api kecil untuk menjaga kehangatannya. Jemuran yang masih basah terpaksa digantung seadanya di dekat tangga.

"Brrr..." Bud mengusap-usap lengannya agar hangat, "hei, Elazul, apakah seorang Jumi sedang menangis?"

Elazul berhenti mengaduk tehnya, "hah?"

"Aku dengar kalau seorang Jumi menangis maka langit pun akan menangis," lanjut Bud.

"Kau sendiri kan yang bilang kalau hari ini hari Undine," gerutu Elazul, "hanya ketika ada keajaiban langit akan menangis juga."

"Keajaiban?" Lisa bertanya-tanya.

"Ugh..." Elazul sendiri sebenarnya tidak paham. Masih banyak yang ia belum ketahui tentang Jumi walau dia sendiri adalah salah satu dari mereka. Elazul masih kelewat muda dan ia tidak lahir di Bejeweled City.

Melihat Elazul kebingungan, Vanadise menyambar, "jadi mau cerita tentang Jumi atau tentang aku dan Keith?"

"Tentu saja tentang Master!" Sambar Bud dan Lisa cepat. Elazul pun menghela napas lega.

"Sampai mana tadi ya?" Vanadise mengira-ngira.

"Kau pulang setelah dari Gato sehabis dari Lake Kilma," Duelle mengingatkan, "dan Keith di rumah uring-uringan."

"Ah, benar, sampai situ." Vanadise melanjutkan cerita sambil menatap teh berwarna kehijauan di depannya, "untuk menenangkan Keith, aku membuatkan masakan kesukaannya. Tapi itu tidak membuat Keith sepenuhnya tenang."

- Fate and Destiny –

Beberapa hari setelah pencarian fearie, Keith pulang dengan penuh bulu sayap warna warni. Vanadise tahu, itu adalah bulu dari sayap fearies. Keith pasti sudah membantai setiap fearie yang ia temui di jalan.

"Apakah dengan membunuh mereka kau bisa menemukan Escad?" Tanya Vanadise sambil mengambil pedang Keith dan memeriksanya. Sangat kotor dan tumpul. Sudah waktunya Keith memakai pedang baru.

"Tidak, tapi aku mendapatkan info tentang Daena." Keith duduk di kursi goyang dengan membanting badannya sendiri. Hampir saja kursi goyang itu jatuh ke belakang. Keith sendiri pun kaget dan sempat memekik singkat. "Yah..." Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, sekalian menyingkirkan rasa malu dari tingkah bodohnya barusan. "Bukan berarti aku bertemu dengan Daena juga. Sangat sulit untuk pergi ke tanah fearies. Timingku selalu payah, sehingga kami malah bertarung terus."

"Jadi dia benar-benar ada di sana..." Vanadise membuka kotak di dekat meja makan dan mengambil pedang baru.

"Ya, katanya Daena berdiskusi dengan Irwin tentang Matilda. Aku tidak bisa mengorek info lainnya karena fearie itu sendiri diusir oleh Irwin."

"Apa kau membunuh fearie yang memberimu info itu?"

"Tidak, itu adalah hadiahnya karena telah memberitahuku." Keith melepas topi dan melemparnya ke tiang gantungan dekat pintu. Walau jauh, lemparan Keith tepat sasaran.

"Aku harus memberitahu Matilda tentang ini," ujar Vanadise.

"Kau yakin ingin memberitahunya?" Keith melompat dari kursi goyang, "bukankah itu hanya akan membuatnya sedih?"

Vanadise menggeleng, "entahlah... Kurasa Matilda akan senang mendengar tentang 2 temannya." Ia menyodorkan pedang baru pada Keith, "kalau kau masih ingin mencari Escad, gunakan ini. Pedang Excalibur ini akan sangat berguna untuk melawannya."

Keith tertawa, "kenapa bukan Irwin yang kulawan?"

"Siapa tahu kalian akan bertarung," Vanadise menatap dengan serius, "Escad mungkin lebih lemah darimu, tapi bukan berarti kau bisa meremehkannya kan?"

"Kau benar," Keith tersenyum lebar, "aku akan gunakan pedang ini baik-baik."

"Mandi sana... Kau berbau seperti burung habis tercebur di selokan..." Vanadise mengibas-ngibas tangannya seperti mengusir.

"Kejam!" Protes Keith.

-00-00-00-00-00-00-00-

Kembali ke Gato Grottoes, penuh dengan warna oranye lembut yang hangat. Vanadise melangkah menuju kuil. Kemudian ia terhenti di pinggir tebing. Vanadise yakin penglihatannya tidak salah. Walau jauh, dia tahu orang yang baru saja masuk ke dalam kuil adalah Daena. Secepat mungkin Vanadise berlari menuju kuil.

Di depan kamar Matilda, nun yang berjaga tidak berdiri di depan pintu. Sudah pasti Daena berada di dalam. Tangan Vanadise terhenti di depan pintu ketika ia mendengar suara Daena.

"Kita harus pergi, Matilda," ujar Daena.

"Tunggu!" Vanadise membuka pintu, "kau mau mengajak Matilda ke mana?"

"Vanadise..." Matilda menoleh lalu beralih pada Daena, "benar.. Kau ingin membawaku ke mana, Daena?"

"Vanadise kau harus membantuku," ujar Daena, "kita harus ke Mindas Ruins sekarang. Matilda bisa beristirahat sejenak di sana. Sehabis itu..."

"...ke tanah para fearies?" Tanya Vanadise.

Daena mengangguk, "aliran waktu di sana sangatlah berbeda," ia beralih pada Matilda, "jika kau ke sana, kau bisa memperpanjang hidupmu, Matilda."

"Apa kau bertemu Irwin?" Tanya Matilda.

Daena terdiam sejenak, ia berbalik dengan wajah sayu, "ya, aku bertemu dengannya."

"Apa dia mengatakan sesuatu?" Tanya Matilda lagi.

"Kau harus ke sana, Matilda," Daena berbalik lagi dan menatap Matilda dengan frustrasi, "dia.. Dia bukan Escad, hanya dia yang bisa menyelamatkanmu. Dan kau adalah satu-satunya orang yang bisa menghentikan Irwin."

"Daena..." Vanadise terhenti, ia mendengar suara ribut-ribut depan pintu.

"Hei! Escad! Tunggu! Kau tidak bis-!" Itu adalah suara Keith.

"Minggir Keith!" Suara Escad tidak kalah menggelegar.

Pintu didobrak dengan kasar, Escad masuk sambil mengacungkan pedangnya.

"Escad!" Keith juga masuk, "jangan berbuat gila!"

Namun Escad tidak menggubris Keith, "apa kau sudah terpengaruh iblis, Daena!? Aku akan melenyapkan Irwin! Tugasmu sudah selesai!"

"Oh, Escad... Jangan bicara seperti itu..." Matilda memohon, "Daena, kumohon tetaplah di sisiku."

Escad tambah geram mendengarnya, tanpa ba-bi-bu dia langsung menerjang ke arah Vanadise yang berada di depan Daena.

"Vanadise!" Keith langsung mendorong adiknya agar tidak terkena serangan Escad. "Ugh!" Alhasil Keith lah yang terdorong, Escad pun berhasil menebas Daena.

"Urgh!" Daena tersengkungkur di lantai sambil memegang pundaknya yang kini sudah mengeluarkan darah.

Vanadise beruntung ia terdorong ke pinggir tempat tidur Matilda. Alas lembut menjadi bantal pendaratannya. "Keith! Daena!" Ia cemas.

"Lukamu tidak dalam," ujar Escad sambil menatap Daena dengan penuh amarah, "pikir lagi tentang apa yang kau ingin perbuat."

"Escad!" Keith berdiri dan menarik pedangnya. "Kau yang harusnya pikir dua kali tentang apa yang sudah kau perbuat!" Teriaknya, "aku tidak masalah kau ingin membantai monster, peri, atau iblis! Tapi kau tidak bisa berbuat seperti ini pada temanmu sendiri!"

Escad berbalik dan menatap marah Keith, "dia sudah terpengaruh iblis itu! Sudah sama saja dengan iblis itu sendiri!"

"Kaulah yang iblis!" Seru Daena di belakang.

"Apa?" Escad menoleh, masih penuh dendam dan amarah.

"Apanya yang belajar dari Wisdom? Kau berbohong!" Maki Daena.

Escad pun membuang muka, "bicaralah sesukamu, aku tidak peduli!"

Vanadise langsung menarik tombak dan bersiaga ketika Escad beralih padanya.

"Apa kau juga terpengaruh iblis itu?" Escad menatap tajam.

"Escad!" Seru Keith, "sentuh adikku dan kau akan berhadapan denganku!"

"Ksino..." Sayup-sayup Matilda bergumam.

"Huh?" Vanadise menoleh, "Matilda?"

"Tanami tameia hai'sol..." Matilda meneruskan.

Daena tersadar dan langsung berteriak dengan suara sesak, "Matilda! Kau tidak cukup kuat untuk menggunakan sihir!"

Tanpa menggubris Daena, Matilda meneruskan manteranya, "...ayek'nemi..."

Seketika itu cahaya yang amat sangat terang dan menyakitkan mata muncul. Membuat seluruh pandangan menjadi putih.

-00-00-00-00-00-00-00-

"Ugh..." Keith merasa kepalanya pusing tujuh keliling. Bau rumput dan tanah jadi satu membuat ia merasa seperti di sebuah lahan yang belum diurus. Pemuda itu menggelengkan kepalanya dan mencoba bangkit. Tapi akhirnya ia memilih untuk duduk dan bersandar sejenak, berusaha mengingat apa yang terjadi.

"Vanadise!" Serunya begitu kejadian beberapa menit lalu terlintas di benaknya. Langsunglah Keith bangun dan melihat sekeliling.

Tanaman yang tumbuh tidak beraturan, reruntuhan batu yang sudah diselimuti lumut dan tanaman hijau lainnya. Serangga-serangga kecil terlihat santai berkeliaran di bebatuan dan sela-sela ilalang. Begitu mengadahkan kepala, Keith bisa melihat sebuah pilar yang menjulang tinggi.

"Mindas Ruins..." Gumam Keith. "Tch..." Tangannya menggenggam kuat sebelum ia berlari di sebuah jalan yang terbuka.

- Fate and Destiny –

"Master berada di mana?" Tanya Lisa ketika Vanadise hanya menceritakan tentang Keith di Mindas Ruins. "Apakah Keith menceritakan bagaimana dia tersesat di Mindas Ruins?"

Vanadise mengangguk, "lebih tepatnya dia mengomel sepanjang perjalanan menuju Wind Tower. Dan kalau aku..."

- Fate and Destiny –

Gelap, lembab, suram. Itulah 3 kata yang mendeskripsikan tempat di mana Vanadise bangun. Gadis itu menggelengkan kepalanya yang sedikit pusing. Ditatapnya langit-langit yang berupa bebatuan kuno. Vanadise mengenali ornamen-ornamen yang terukir di dinding batu.

"Mindas Ruins..." Gumamnya pelan sambil bangun. Walau gelap, Vanadise masih bisa melihat cukup jelas berkat lumut-lumut di dinding yang mengeluarkan cahaya biru dengan samar. "Keith? Daena? Matilda?" Panggilnya.

Tidak ada jawaban. Vanadise mengambil tombaknya yang ada di lantai dan mencari-cari pintu yang bisa ia lewati. Begitu matanya menangkap cahaya yang lebih terang, Vanadise langsung melangkahkan kakinya dengan cepat.

Banyak monster yang menghalangi jalan, Vanadise merasa beruntung karena membawa tombak. Ia bisa menyingkirkan monster dengan mudah dengan gerakan menyapu, juga menghindari pertarungan yang tidak perlu dengan melompat tinggi.

Sesampainya di luar, Vanadise berputar-putar. Banyak pagar yang terkunci dan ia harus mencari jalan kembali. Setelah beberapa waktu, Vanadise merasa ganjil. Pagar-pagar yang terkunci itu tampak selalu berubah. Bahkan sekarang, seorang flowerlings ada di balik pagar.

"Hei, apakah pagar-pagar ini bisa dibuka tutup?" Tanya Vanadise.

"Ya," jawab flowerlings itu, "kau harus berbicara dengan sekumpulan temanku, mereka akan membukakan pagar-pagar ini. Hanya saja kau harus menebak di batu mana mereka harus berdiri. Pagar itu tidak bisa dibuka semuanya."

Butuh waktu lama untuk Vanadise membuka pagar-pagar yang dia inginkan. Entah kenapa walau ia sudah memposisikan pagar dan batu dengan benar, pagar-pagar yang ingin dia buka sering tidak tepat. Sampai akhirnya ia tiba di kumpulang flowerlings yang lain.

"Tadi seorang pemuda yang mirip denganmu datang," ujar flowerlings itu, "dia menyuruh kami untuk berdiri di atas batu yang lain."

Pemuda yang mirip? Sudah pasti itu Keith. Vanadise segera kembali ke pagar. Daripada menjelajah lagi, Vanadise menunggu dan berharap Keith akan melewati pagar itu lagi.

Harapan Vanadise terkabul, Keith datang dengan wajah memerah karena kesal. "Kenapa pagarnya suka berubah sih!? Hitunganku salah atau memang sistemnya yang sudah rusak!?" Makinya sambil jalan.

"Keith!" Vanadise melambai-lambaikan tangannya.

Wajah Keith langsung berubah lega. Pemuda itu berlari menghampiri pagar yang dibaliknya ada Vanadise. "Vanadise! Akhirnya ketemu juga!" Lalu ia sadar sesuatu, "tunggu... Jangan bilang pagar-pagar ini..."

Vanadise menghela napas lelah, "kurasa kau benar. Kita bentrok."

"Pantas sajaaaaa!" Keith menepuk keningnya.

Masalah pagar pun terselesaikan. Vanadise dan Keith bekerja sama agar pagar-pagar terbuka dengan baik dan sesuai jalan mereka menuju Wind Tower.

"Aku sama sekali tidak bertemu Escad, Daena, ataupun Matilda," keluh Keith setelah bercerita bagaimana dia berputar-putar, "bagaimana denganmu?"

Vanadise menggeleng, "kalau sudah ketemu, aku tidak mungkin bersamamu sekarang. Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa bertemu Escad dan pergi bersama ke Gato?"

"Aku pergi ke Ulkan Mines untuk mencari fearies, di sana aku menemukan Escad yang lagi membunuh mereka," Keith menghela napas panjang, "hampir saja dia menyerangku... Begitu aku ceritakan tentang Daena, dia langsung menyerbu keluar dan menuju Gato... Aku hanya mengikutinya... Orang itu ya! Tidak bisa dengar orang lain sedikit! Aku ikut emosi juga jadinya!" Omel Keith.

Suara dentingan membuat Vanadise dan Ketih mempercepat langkah larinya. Yang seharusnya mereka naik tangga di Wind Tower, mereka memilih untuk melompat dan melewati banyak anak tangga sekaligus. Di bagian tengah sebelum altar, mereka menemukan Daena dan Escad sedang bertarung satu sama lain. Ketika mereka beradu, mereka terlempar ke arah berlawanan karena kekuatan yang sama.

"Kau telah menjadi iblis seperti dia, Daena!" Teriak Escad.

"Kebodohanmu itu sungguh tiada tara, Escad!" Balas Daena, "tidak ada yang berbeda di antara kita semua!"

"Keith!" Panggil Escad tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari Daena. Tampaknya Escad sudah mengetahui kalau Keith dan Vanadise datang. "Bantu aku melawan wanita yang sudah terpengaruh iblis ini!"

"Vanadise!" Kini Daena yang memanggil, "bantu aku menyadarkan Escad!"

Sekarang Vanadise dan Keith yang saling berpandangan bingung. Vanadise mengetuk-ngetukkan kakinya sambil bersilang tangan, sementara Keith garuk-garuk kepala dengan canggung.

"Baiklah," ujar si kembar bersamaan. Vanadise melangkah ke samping Daena, dan Keith melangkah ke samping Escad.

"Dengar, Escad," ujar Keith, "aku tahu kau ingin melindungi Matilda."

"Daena," Vanadise membuka suara, "aku tahu kau ingin Matilda bahagia.."

"Aku akan membantumu," kembali si kembar berucap bersamaan, "tapi aku tidak akan menyerang Keith/Vanadise."

"Hmph..." Escad mendengus dan memasang kuda-kuda, "lakukan sesukamu. Asal kau bisa melumpuhkan Daena.."

"Tidak masalah," ujar Daena, juga memasang kuda-kuda lagi.

- Fate and Destiny –

Semua yang ada di dalam rumah menatap Vanadise dengan takjub. Mereka hampir tidak berkedip mendengar cerita barusan.

"Bagaimana caranya kau bertarung seperti itu?" Tanya Elazul kemudian, "itu suatu hal yang sangat sulit kan?"

"Sangat sulit bukan berarti mustahil," jawab Vanadise, "walau kami bilang kami tidak akan menyerang satu sama lain, bukan berarti kami akan melindungi satu sama lain. Ketika Escad menyerangku, Keith tidak akan membantuku, aku harus bertahan melawannya, begitu pula sebaliknya."

"Tapi bukankah Escad sendiri sudah kuat?" Potong Duelle, "Keith juga sangat kuat. Kombinasi itu bisa membuat kalian kalah telak."

"Hei!" Seru Bud, "jangan remehkan Master!"

Vanadise menepuk-nepuk kepala Bud, "yah, Duelle benar. Pertarungan sangatlah sengit. Kekuatan Escad dan Keith sangat sulit ditandingi."

- Fate and Destiny –

"Gwah!" Daena terlempar terkena hantaman pedang Keith. Rantai nunchaku Daena pun putus.

Tanpa ampun, Escad melompat dan menerjunkan pedang pada tubuh Daena. Tapi Daena tidak pasrah begitu saja, ia melempar nunchakunya dan membuat Escad gagal mendaratkan serangan. Begitu Escad berbalik, Vanadise sudah ada di sana untuk menghalang serangan. Escad dan Vanadise beradu senjata dengan kecepatan yang agak sulit diikuti pandangan mata normal. Hanya saja, Vanadise telat melihat. Sebagai pengganti Escad, Keith menerjang Daena dengan pedang. Daena tertusuk dan mundur sempoyongan ke tepian tangga. Pedang yang diberikan Vanadise membuat serangan Keith lebih ganas.

"Daena, awas!" Vanadise mendorong Escad dengan kekuatan penuh sebelum berlari ke arah Daena, berniat menolongnya.

Namun apa daya, Keith sudah lebih dulu di sana. Dengan wajah datar, pemuda bertopi itu berbisik, "terima takdirmu..." Lalu dia mengayunkan kencang pedangnya dari bawah, "Rising Crush!"

Tidak ada teriakan dari Daena, hanya tubuhnya yang terlempar ke udara dan jatuh ke bawah reruntuhan Wind Tower.

"D..." Vanadise terhenti sejenak sebelum berlari, "Daena!" Ingin mencari Daena ke bawah.

"Vanadise!" Keith langsung menarik tangan Vanadise dan mencegahnya pergi. Pemuda itu berkata dengan tenang, "pertarungan sudah selesai dan inilah hasilnya."

Vanadise terdiam sejenak. Menatap semak belukar tempat seharusnya Daena jatuh. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. "Kau benar," ujarnya kemudian, "takdir ya..."

Tidak ada kata-kata yang diucapkan Escad. "Matilda ada di atas," ujarnya, "Irwin kemungkinan besar ada di sana. Bersiaplah."

Keith memejamkan matanya sesaat, tangannya menggenggam geram namun tidak lama. Disentaknya pedang untuk membersihkannya dari darah. "Oke," lalu menyarungkannya dengan santai. "Ayo Vanadise!"

Sepintas Vanadise menoleh ke belakang, angin dingin menerpa wajahnya. Vanadise pun mengikuti Keith dan Escad pergi ke tempat altar. Matilda ada di sana, duduk di altar tengah, menatap langit dengan senyum kecilnya. Angin dingin masih bertiup sepoi-sepoi.

"Matilda!" Escad menghampiri Matilda dengan cemas.

Matilda menoleh, "Escad?" Ditatapnya sang teman masa kecil.

"Kau baik-baik saja!" Escad terlihat lega, ia menoleh kiri kanan, "kukira Irwin akan ada di sini."

Matilda tersenyum, "oh ya?"

Kini Escad mengerutkan dahi.

"Aku sungguh senang bisa bertemu dengannya lagi," kata Matilda sambil berdiri.

"Apa?" Kembali Escad dengan nada tingginya, "kau bercanda?"

Matilda melihat ke arah Vanadise, Keith, lalu Escad, "...? Di mana Daena?"

"Ajaib kalau dia masih hidup," jawab Escad simpel.

Matilda terlihat sangat terkejut, ia langsung menunduk dengan wajah sedih.

"... Kalau kau ingin membenciku, silakan saja," kata Escad lagi, matanya sudah tidak lagi menatap Matilda melainkan lantai batu yang berlumut.

Matilda menarik napas ringan sebelum tersenyum kecil, "asal kau tetap bebas, aku tidak akan membencimu..." Wanita itu berjalan pelan ke prasasti di belakang altar, tangan keriputnya meraba ornamen yang seperti tulisan kuno. "Wyrm of Light, Lucemia... Dia terbang dari langit ke bumi dan menelan kota juga hutan. Akhirnya ia mati terbakar setelah melahap Gunung Galeria..."

"Apa itu?" Tanya Escad, "apakah itu ingatan kuno terhadap peperangan?"

"Sejarah tetap tinggal, tertanam di jiwa kita," lanjut Matilda.

"Matilda..." Vanadise menatap lurus, "apakah kau akan pergi ke tanah para fearies?"

Mendengarnya, Escad geram, "kau-"

Namun Keith lebih cepat, pemuda itu sudah mengacungkan pedang ke teman bertarungnya. "Selangkah lagi, kau juga mati," ancam Keith.

"Minggir, Keith!" Bentak Escad.

"Aku tidak akan pergi," jawaban Matilda membuat semua orang di situ terdiam.

Keith langsung menurunkan pedangnya, Vanadise hanya menatap nenek berumur 26 tahun itu.

Escad mendengus kesal, "tentu saja," gerutunya.

"Bisa melihat Irwin sudah cukup," lanjut Matilda, "aku merasa lebih baik."

Dan jawaban itu tentu membuat Escad naik darah. Ia membuang muka dan diam menahan emosi.

"Aku akan kembali ke Gato," ujar Matilda lagi, "apakah kau mau ikut denganku?"

"...Tidak," Escad melangkah, "aku akan pergi sendiri..." Dia pun pergi.

Tidak ada yang mencegah Escad. Keith menggaruk kepalanya dengan kesal, "argh! Orang itu ya! Harus bicara bagaimana agar dia paham!?"

"Hei, Matilda... Ada yang ingin kutanyakan," ujar Vanadise.

Matilda mengangguk pelan, "silakan kau tanya apapun."

"Apakah kau mencintai Irwin?" Tanya Vanadise.

"Ya, aku mencintainya."

"Tidak bisakah kau menghentikan Irwin?" Kini Keith yang bertanya, "aku yakin Irwin juga mencintaimu. Kau pasti bisa menghentikannya bukan? Tidak ada yang perlu menderita... Daena pun..." Keith terdiam sejenak, " Daena pun tidak perlu mati..."

"Keith..." Vanadise melihat saudaranya terlihat pilu sekaligus kesal. Serangan terakhir Keith memang sangat dahsyat. Walau belum tahu, kemungkinan besar Daena sudah tewas sekarang. Apalagi jatuh dari ketinggian setinggi Wind Tower.

"Aku dan Irwin tidak menghalangi kebebasan kami masing-masing," Matilda menjawab, "kalau dia memilih untuk menghancurkan dunia, aku akan menerimanya."

"Escad memang gila, tapi kurasa kau lebih gila lagi..." Geram Keith, "apa kalian tidak memikirkan orang-orang yang akan mati setelahnya!?"

"Keith," Matilda tersenyum, ia tetap tenang, "percayalah padaku dan percayalah pada dirimu. Kau tidak bisa menyembunyikan kebenaran ataupun masa depan. Semua harus melakukan sesuatu yang yang mereka percayai. Itu adalah satu-satunya jalan."

"Ah begitukah...?" Keith menatap Matilda dengan dingin, "kau yang akan menjadi salah satu Wisdom, berbicara seenaknya tapi juga ada benarnya..."

"Wisdom?" Vanadise bertanya-tanya, "Matilda kah yang akan menjadi Wisdom terakhir?"

Keith mengangkat bahu, "tanyakan itu pada Selva."

- Fate and Destiny –

"Eh...Eh... EEEEEEEEEHHHH!?" Bud menggebrak meja saking terkejutnya, "jadi ada 7 Wisdoms!? Bukankah satu sudah mati!? Master juga tidak membawaku menemui Matilda!"

"Bud, jangan menggebrak meja!" Omel Lisa sambil mengambil keripik yang berjatuhan di atas meja, "kau harus makan semua yang jatuh!"

Bud tidak begitu menggubris Lisa, "Master! Aku butuh penjelasan!"

"Hei, kau ini idiot apa bagaimana?" Delik Elazul.

"Hah!?" Sebelum Bud akan protes, Elazul langsung melanjutkan.

"Vanadise kehilangan ingatannya, mana ingat dia tentang Matilda yang akan jadi Wisdom terakhir... Lagi pula..." Elazul beralih pada Vanadise, "apakah Matilda benar-benar menjadi Wisdom?"

Vanadise menggeleng pelan, "aku tidak tahu... Yang kutahu Selva menawarkan Matilda untuk menjadi Wisdom, tapi seterusnya entahlah... Kau harus mendengarkanku ceritaku sampai habis... Hal ini juga bisa kita tanyakan pada Ayah."

"Uhhh, berarti nanti aku harus ikut!" Seru Bud, "aku harus mendengar kata-kata dari Wisdom terakhir! Aku harus bertemu Matilda!"

Vanadise memandang Bud tidak yakin, "soal itu..."

"Wisdom, eh?" Duelle melipat tangannya, "aku tidak yakin Matilda cukup bijak untuk menjadi seorang Wisdom... Bisakah kau teruskan ceritanya, Vanadise?"

Vanadise meminum tehnya sejenak, "aku tidak bertanya lagi pada Keith saat itu karena ingin mendengarkan penjelasan Matilda..."

- Fate and Destiny –

"Jadi.. Matilda..." Vanadise menatap Matilda dengan ragu, "apakah dengan ini kau bahagia?"

"Jangan khawatir," Matilda masih tersenyum, ia memandang langit, "aku tahu apa yang membuatku bahagia..." Ia menatap si kembar, "Vanadise, Keith, lakukanlah apa yang membuat kalian bahagia."

"Baiklah..." Keith menatap tajam, "jika kebahagiaanku adalah menghancurkan Irwin, apakah kau akan mencegahku?"

"Tidak masalah," jawab Matilda tanpa ragu, "itu adalah kebebasanmu. Goddess menciptakan semuanya. Keinginannya adalah semua hal, termasuk kebebasanmu. Semuanya adalah hal yang sudah ditentukan oleh Mana Goddess."

- Fate and Destiny –

"Keith tidak bisa membalas kata-kata Matilda," Vanadise menatap meja dengan senyum simpul, "karena semua memang kehendak Mana Goddess. Setelah Matilda pergi, kami pun pulang ke rumah. Keith tidak banyak bicara, tapi dia menegurku ketika akan tidur."

"Sebentar...Keithjuga tidur di kamar atas?" Tanya Lisa.

"Tentu saja," kata Vanadise, "memang di mana lagi?"

"Kalau ingatan Master hilang, apakah Master tidak bingung di kamar ada dua tempat tidur?"Tanya Lisa lagi.

"Eh memang cuma satu kok," Vanadise menatap dengan tidak bersalah, "kami tidur sama-sama di tempat tidur itu."

Elazul yang sedang meminum tehnya langsung tersedak, Bud tidak lagi mengunyah kukisnya dan diam membatu. Lisa berbicara gagu tidak jelas. Sementara itu Duelle..

"Hei! Sadarlah kalian!" Seru Duelle, "memangnya kenapa kalau mereka tidur sama-sama!? Kan mereka saudara, duh!?"

"T-tidak," Elazul berusaha pulih dari batuknya, "aku hanya salah menelan, itu saja," lalu dia batuk lagi.

"A-aku memakan bagian kukis yang keras!" Kata Bud beralasan, "h-harusnya aku lunakkan pakai teh ya!" Dia mencelupkan kukis berkali-kali, "nah begini baru enak!" Walau sebenarnya kukis itu jadi lembek seperti bubur.

"K-kalian tidak apa-apa?" Vanadise kebingungan.

"Tidak perlu pedulikan mereka, Vanadise," ujar Duelle cepat, "lanjutkan ceritanya."

"Baiklah kalau begitu..." Vanadise melanjutkan walau masih khawatir, "Keith mengungkapkan pikirannya sebelum tidur..."

- Fate and Destiny –

"Kenapa Keith?" Vanadise mengusap wajah saudaranya. Mereka tidur menyamping saling berhadapan. "Kenapa kau memasang wajah sedih begitu?"

"Sedih?" Keith memegang tangan Vanadise, "walau aku kesal setengah mati begini?"

"Kau terlihat sedih di mataku..." Ujar Vanadise.

"...Kau tahu? Aku ingin Pohon Mana tumbuh dengan sempurna... Memenuhi harapan semua orang..." Keith memejamkan mata, "lalu kita bisa bertarung dengan Mana Goddess. Menyelamatkan dunia dari kesedihan dan peperangan." Keith menggenggam tangan Vanadise lebih erat, "Matilda benar, kebebasan adalah harapan. Tapi Irwin berharap agar dunia hancur, dia hanya ingin kehancuran dan kesengsaraan! Aku tidak yakin dengan harapan seperti ini akan membawa ke dunia yang damai!"

Vanadise hanya diam, ia tidak begitu paham hal-hal seperti itu. Kehancuran, kesengsaraan, kebahagiaan, dan harapan. Vanadise hanya punya satu, apapun yang terjadi, ia tetap ingin bersama Keith. Apakah itu harapan? Vanadise tidak yakin.

"Matilda berkata agar kau mempercayai dirimu sendiri..." Kata Vanadise, "kalau kau percaya pada diri sendiri untuk mencapai dunia damai, bukankah itu bagus? Harapan Irwin ada yang melawan."

Keith langsung tersenyum simpul, "aku tahu... Hanya saja, aku juga tahu Irwin itu sangat kuat... Kita akan lihat harapan siapa yang lebih kuat nanti..." Dia bergerak mendekati Vanadise dan memeluk adiknya, mengusap rambut panjangnya. "Aku akan memperlihatkannya padamu..."

-00-00-00-00-00-00-

"Wyrm of Light, Lucemia, turun ke bumi dan menelan tujuh kota. Dia terbakar sampai mati setelah menelan sebuah gunung berapi. Kudengar kulit cangkangnya tetap tersisa, walau sudah beratus tahun ia mati. Irwin akan menghidupkan kembali makhluk itu untuk membawa kehancuran dunia sekali lagi," Matilda bercerita ketika Vanadise dan Keith mengunjunginya. Escad pun ada di sana.

"Lucemia..." Keith sudah membaca buku tentang Lucemia, dan dia tidak menyukai ide Irwin yang ingin membangkitkan Lucemia kembali.

"Aku berpikir apa yang akan terjadi pada dunia..." Ujar Matilda lagi.

Escad menatap dingin, "aku akan membereskan ini, kau harus istirahat."

"Escad, tunggu!" Cegah Matilda. Escad berhenti dan kembali menatap teman masa kecilnya. "Ayo kita bicara sedikit lagi," kata Matilda, "mungkin ini adalah kesempatan terakhir kita."

Escad berbalik dan menggeleng, "tidak, ini bukan kesempatan terakhir kita. Masa depan dunia ini ada di tangan kita."

"Apa kau tahu di mana Irwin berada?" Tanya Matilda.

Escad hanya diam sebelum melangkahkan kaki keluar.

"Escad, tunggu!" Panggil Keith. "Argh... Itu orang ya..." Ia beralih pada Vanadise, "aku akan mengikuti Escad. Kau bisa pulang atau menunggui Matilda di sini.."

Vanadise mengangguk, "aku mengerti.."

"Keith..." Matilda memanggil, "bawalah ini," ia menyodorkan sebuah bros berwarna emas.

Keith merasakan energi Mana dari bros tersebut. Tanpa bertanya apapun Keith pun pergi menyusul Escad.

"Apakah kau tidak ingin bersama orang yang kau cintai, Matilda?" Vanadise mendekati Matilda dan berdiri di sisi tempat tidurnya.

"Aku selalu bersamanya," kata Matilda, "hanya tubuh kami yang terpisah."

Vanadise memandangi Matilda, "aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kau inginkan, Matilda..."

"Suatu hari kau akan mengerti, Vanadise..." Matilda memejamkan matanya.

-00-00-00-00-00-00-

"Escad..."

"..."

"Escad..."

"..."

"hhhh..."

Escad berbalik dan menangkap benda yang hampir mengenai kepalanya. "Apa maumu Keith?"

"Jangan idiot..." Keith memberi isyarat agar Escad melihat apa yang dia tangkap, "Matilda memberikanku bros itu. Kurasa kau bisa menemukan Irwin dengan itu."

"Bagaimana caranya?" Dengus Escad, "bros ini hanyalah hiasan. Matilda sudah memilikinya sejak kecil."

"Aku merasakan energi Mana dari sana..." Ujar Keith, "kalau kau benar-benar sudah belajar dari Olbohn, kau harusnya sadar itu bukan bros biasa.."

Escad menggeleng dan melempar bros itu kembali pada Keith, "aku bukan penyihir ataupun pendeta," ia berbalik, "aku hanya bisa mencari dengan kekuatan fisikku."

"Dengar, Escad," Keith menatap tajam Escad seakan Escad adalah mangsanya sendiri, "jika kau ingin menemukan Irwin, hentikan sikap keras kepalamu yang menyebalkan itu."

"Apa?"

"Kalau begini caranya dunia akan hancur sebelum kau menemukan Irwin," tegas Keith, "mencari dengan fisikmu? Hah! Jangan bercanda, idiot!" Bentaknya, "Irwin adalah iblis, dia memiliki energi gaib, berbeda denganmu yang cuma manusia biasa tanpa kekuatan magis ataupun kekuatan Mana. Kau pikir bisa menghentikannya dengan keterbatasanmu itu? Kau hanya membuatku tertawa." Walau sebenarnya ia sama sekali tidak tertawa.

"Jadi apa maumu Keith?" Escad geram, ia tidak bisa membalas karena Keith benar. "Aku akan menemukannya walau itu harus menghabiskan hidupku!"

"Kau butuh bantuan, idiot," kata Keith lagi, "kau ingin membuatku jadi pahlawan kan? Serahkan padaku."

Escad terdiam sejenak sebelum menghela napas ringan, "kalau itu bisa membuat kita cepat menemukan Irwin, maka aku akan ikuti idemu sekarang."

"Lucemia adalah seekor naga yang sangat besar. Walau ia menelan beberapa kota, ia selalu berada di angkasa..." Keith menunjuk langit, "jika kau mencarinya di bumi, Lucemia tidak akan pernah ditemukan."

"Maksudmu kita harus terbang...?" Escad mengerutkan dahi, "jangan bercanda..."

"Aku tidak bercanda," Keith berbalik, "kita kembali ke Gato."

"Apa katamu?"

"Bukan untuk menemui Matilda," kata Keith sambil melangkah, "kita akan pergi ke langit dari Gato."

-00-00-00-00-00-00-

Angin kencang menerpa tubuh Keith dan Escad. Sepanjang mata memandang, biru dan putih mendominasi pandangan. Keith agak menunduk sambil memegangi topinya. Ia menjaga keseimbangan agar tidak jatuh dari pijakan yang sangat dinamis, miring ke sana kemari. Pekikan khas burung sesekali membuatnya harus menutup telinga sambil tetap memegangi topi. Escad yang berada di belakangnya pun sama, tapi pemuda itu lebih fokus mencari ke sekeliling.

"Kau yakin makhluk ini bisa membantu kita menemukan Lucemia?" Tanya Escad.

Namun terpaan angin membuat Keith sulit mendengar, "hah!? Kau bilang apa!?"

"Kau yakin makhluk ini bisa membantu kita menemukan Lucemia!?" Tanya Escad lagi, kini dengan teriakan, "bagaimana caranya burung ini bisa tahu Lucemia di mana!?"

Keith dan Escad sekarang sedang menaiki Burung Cancun yang sudah hidup berabad-abad di Gato. Keith mengenal burung itu dengan baik dan memperlihatkannya bros yang diberikan Matilda. Escad hanya terbengong-bengong ketika burung itu memekik dan Keith menaikinya. Karena Keith terlihat amat-sangat yakin, Escad mengikutinya dengan otak yang penuh pertanyaan.

"Matilda bilang aku harus percaya apa yang kupercayai!" Jawab Keith, "dan aku percaya burung ini akan membawa kita ke Lucemia! Burung Cancun sudah hidup selama berabad-abad! Dia pasti sudah menyaksikan Lucemia melahap segalanya!" Keith agak menegakkan badannya ketika melihat sesuatu di langit depan. Seperti sebuah spiral hijau raksasa. "Lihat, Escad!" Dia berdiri dan menunjuk, "LUCEMIA!"

Escad melihat ke arah yang ditunjuk Keith. Di langit depan sana terlihat naga besar yang hanya melayang. Kulitnya terlihat seperti bukit hijau yang telah mengering. Terlihat hidup namun juga terlihat mati. Tidak ada yang dilakukan naga tersebut melainkan terbang di tempat yang sama, berputar seperti tidak memiliki arti, seperti tidak memiliki jiwa.

"Lucemia telah dikuasai oleh Irwin..." Ujar Keith, "aku yakin naga itu tetap mati... Hanya tubuhnya saja yang bergerak.."

"Hah!?" Escad berteriak, "kau ngomong apa!?"

Kali ini Keith yang kesal, "Lucemia sudah dikuasai teman masa kecilmu itu!" Teriak Keith, "naganya sih mati! Badannya saja yang bergerak!"

"Irwin bukan temanku!" Escad sewot.

Burung Cancun pun ikut berteriak.

"Hei! Lihat itu!" Tunjuk Escad. "Bagian di situ tidak ada monster, kurasa cukup aman untuk kita mendarat di sana!"

"Hmn..." Keith terlihat berpikir, ia memandangi sepanjang tubuh sang naga, "kau benar... Kalau Burung Cancun terluka, bisa-bisa tidak ada yang menjemput kita nanti..."

"Kau bicara apa!?"

"Aku bilang aku setuju!" Keith beralih pada Burung Cancun, "hei! Bisakah kau turunkan kami ke sa—W-WHOAAAAAA!"

Burung Cancun melesat dengan gerakan menurun seakan ia telah mendengar percakapan Keith dan Escad. Kedua pemuda itu berpandangan dan segera bersiap untuk pendaratan. Burung Cancun bertubuh besar, tidak mungkin dia mendarat dengan kaki-kakinya karena akan menarik perhatian para monster. Begitu Burung Cancun terbang rendah di atas tempat yang dituju, Keith dan Escad langsung melompat turun. Pendaratan cukup sukses, namun juga memikat monster terdekat.

Beberapa monster muncul dari balik kulit naga, menatap Keith dan Escad dengan haus darah.

"Heh," Keith berdiri dan menarik pedangnya, "inikah ucapan selamat datangnya?"

"Jangan banyak bicara," ujar Escad, "kita harus bergegas."

"Itu rencananya," Keith memutar pedangnya, "minggirlah monster!"

Keith dan Escad menebas semua monster yang menghalangi jalan mereka. Banyak monster aneh yang muncul. Mereka juga harus menahan bau busuk dari tubuh Lucemia. Bagaimanapun juga naga itu hanyalah mayat hidup, tubuhnya tetap membusuk dan tidak bisa ditolong lagi. Ketih dan Escad harus menghindari berbagai dinding beracun yang meletus tiba-tiba dan jamur-jamur beracun yang menyemprotkan spora. Mereka harus melewati bagian dalam tubuh Lucemia yang sudah seperti bagian dari Underworld. Lama-kelamaan, hidung Keith dan Escad pun terbiasa dengan bau yang bikin mual itu.

Ketika sampai di bagian luar lagi, Selva muncul menghalangi jalan Keith dan Escad. "Jadi, kalian tahu? Irwin hanya mempermainkan kalian," ujar sang Wisdom, "apa kalian mampu bertahan?"

Dua bola mata Keith memutar dan wajahnya memasang raut sebal, "Selva, kau bicara sesuatu yang sia-sia," ujar Keith sambil jalan melewati Selva, "kami akan menghentikan Irwin!"

Selva tertawa dan kemudian terbang menjauh.

"Apa mau Wisdom itu?" Tanya Escad.

Keith mendengus, "dia suka mempermainkan hati orang."

"Walaupun dia Wisdom?"

"Dia bertanya untuk menggoyahkan hati kita," ujar Keith, "dia mengetes apakah kita orang yang tepat untuk menghadapi Irwin atau bukan. Artian mempermainkan hati orang itu, lebih ke hal positif, mungkin." Keith menatap tajam ke arah depan, "aku tidak akan membiarkan dunia ini hancur hanya karena seorang iblis."

"Iblis memang tidak ada itikad baik," ujar Escad, "mereka harus musnah."

"Tunggu," Keith berhenti dan berbalik, "dengar, aku tidak ingin kau salah mengerti, Escad." Ia menatap dengan serius, "ini bukan masalah Irwin seorang iblis atau apa. Aku mengatakan 'hanya karena seorang iblis', karena Irwin memang iblis. Kalau Irwin seorang manusia, aku juga akan bilang 'hanya karena seorang manusia'."

"Apa yang mau kau katakan, Keith?"

"Aku tidak peduli. Iblis, manusia, peri, anthro, naga, gunung, langit, ataupun kau," Keith menghunuskan pedangnya ke arah Escad, "aku akan hentikan siapapun yang berniat menghancurkan dunia."

Escad menatap Keith, tidak kalah serius. Namun kali ini ia terlihat lebih rileks, "aku tidak akan menghancurkan dunia, bodoh," ujarnya, "lawanmu bukan aku.. Lawanmu.. Lawan kita sekarang adalah Irwin.."

Mendengarnya, Keith pun langsung menarik pedang kembali, "kita akan selesaikan ini dengan cepat."

- Fate and Destiny –

"Mereka pun melanjutkan perjalanan. Selama itu, Irwin sama sekali tidak terlihat. Ketika Selva muncul untuk menggoyahkan hati mereka, Keith langsung bertanya akan keberadaan Irwin, berkata kalau Selva hanya melakukan tindakan sia-sia," Vanadise masih menatap tehnya.

"Apakah itu diceritakan oleh Keith juga?" Tanya Duelle.

Vanadise memandang sang Onion Warrior. "Begitulah, Keith memang suka bercerita padaku, begitu pula sebaliknya. Mungkin karena itu sekarang aku punya Lil'Cactus... Aku sudah kehilangan teman cerita."

"Bagaimana dengan kami?" Tanya Bud dengan wajah memelas.

"Master bisa cerita pada kami," lanjut Lisa.

"Tentu saja," kata Vanadise, "sekarang pun aku bercerita juga pada kalian kan?"

Elazul menuang teh, "apakah Selva memberitahu mereka di mana Irwin?"

Vanadise mengambil salah satu kukis dan menggigitnya sedikit. "Hmm... Selva memberitahu mereka," ujarnya setelah menelan kukis, "Keith sudah terlalu naik darah, Selva pun menasehatinya.."

- Fate and Destiny –

"Keith, apakah pantas orang yang akan menyelamatkan dunia memasang wajah seperti akan menghancurkannya?" Tanya Selva dengan senyum misteriusnya yang seperti mempermainkan orang.

Keith berkedip sejenak lalu menunduk.

"Bukalah hatimu, jangan terbakar oleh amarah," lanjut Selva, "lihatlah masa depan, amarah hanya akan mengunci hatimu."

"Apakah kau hanya ingin membuat Keith mundur?" Tanya Escad, "Wisdom seharusnya menjadi yang paling bijak diantara yang bijak."

"Aku tahu kau telah belajar dari Olbohn," ujar Selva, "dia adalah seorang kesatria, kurasa masih banyak hal yang belum kau pahami Escad.."

"Aku mengerti, Selva," Keith membuka suara ketika Escad akan membalas. "Aku tidak akan berhenti di sini. Aku akan tetap menghentikan Irwin bersama Escad." Namun, raut wajahnya sudah berubah. Tidak ada lagi kerutan ekstrem di dahinya. Amarah Keith sudah mereda dan ia lebih bisa berpikir jernih. "Aku akan menyelamatkan dunia," ujarnya dengan tegas dan penuh tekad. Dari sinar mata Keith yang sehijau zamrud, Selva tahu kini tidak ada gunanya lagi ia mengganggu mereka.

"Aku doakan kalian beruntung," Selva pun terbang menjauh.

Escad masih kebingungan dengan percakapan antara Keith dan Selva. "Kau tampaknya mengerti banyak tentang mereka, Keith," kata Escad ketika berjalan.

"Aku tidak tahu banyak tentang para Wisdom," jawab Keith pelan, "yang kutahu, kita harus banyak mendengarkan perkataan mereka walau terdengar seperti omong kosong." Keith berhenti dan membiarkan Escad berjalan di depannya. "Hei, Escad," panggilnya, "kau mencintai Matilda kan?"

Escad berhenti. Tanpa berbalik ia menjawab, "cinta atau bukan.. Aku peduli pada Matilda."

"Kalau kau peduli, bukankah harusnya kau membiarkannya hidup dalam kebahagiaannya?"

"Kebahagiaan?" Escad berbalik dan membentak, "kebahagiaan macam apa yang membuat tubuhmu jadi lemah tidak berdaya!? Dia bisa melakukan banyak hal kalau saja iblis itu tidak mengambil kekuatan elementalnya!"

"Matilda merasa terikat oleh masa depan yang telah ditentukan oleh orang-orang sekitarnya," ujar Keith, "tidakkah kau peduli dengan keinginannya?"

Escad terdiam. "Sayangnya..." Escad berbalik, "Matilda tidak memilih cara lain melainkan bergantung pada Irwin... Kalau saja dia meminta padaku..." Tangan Escad menggenggam pedangnya lebih erat, matanya terpejam sangat kuat. "Kalau saja..."

"Hei," Keith menepuk pundak Escad, "kemarahan dan kebencian tidak akan membawamu kemanapun..."

Escad membuka mata dan menoleh. Keith tengah menatapnya dengan mata jernih dan senyum penuh keyakinan. "Lalu? Apa yang harus kulakukan?" Tanya Escad, "membiarkan Irwin begitu saja? Memaafkannya!?"

"Jangan bercanda," Keith menarik tangannya, "Sudah kubilang aku akan mengalahkan Irwin. Tapi, aku tidak yakin kau bisa membantuku banyak."

"!?"

"Kemarahan dan kebencian hanya akan membawa kemalangan," ujar Keith, "fokusmu akan hilang ketika kau bertarung dengan penuh kebencian. Memori akan masuk," ia menunjuk kepala Escad, "ke dalam otakmu dan dia akan berputar, berputar, dan berputar. Aku tidak ingin bertarung disamping orang yang tidak bisa berpikir jernih. Irwin adalah iblis yang tidak bisa diremehkan, dan kau tahu itu."

Escad terdiam lagi sebelum menepis pelan tangan Keith yang menunjuk kepalanya, "aku tahu..." Ia menatap kulit Lucemia yang kini menjadi pijakan. "Sebenarnya... Aku sudah tahu Matilda sudah tidak punya waktu lebih lama lagi... Aku sudah pasrah soal Matilda... Walaupun kita mengalahkan Irwin, kekuatan elemental Matilda tidak akan kembali." Dengan sedikit helaan napas, kini pemuda itu menatap Keith, "walau begitu aku tetap tidak bisa memaafkan Irwin dan membiarkannya menghancurkan dunia. Aku tetap membencinya. Tapi aku akan membiarkan kata-kata darimu yang sangat meremehkanku itu." Escad berbalik dan melangkah, "aku akan menggunakan seluruh potensialku."

"Kau bisa mendengarkanku saja sudah bagus," sindir Keith dengan geli.

- Fate and Destiny –

"Mereka menemukan Irwin di ujung Lucemia, tepat sebeluk kepala Lucemia berada. Irwin adalah seorang iblis dengan dominasi warna merah menutupi tubuhnya. Namun dia terlihat normal seperti ras-ras anthro dan ras campuran lainnya. Tatapannya benar-benar menggambarkan kebengisan dan kebencian akan dunia. Tapi sejenak Keith bisa merasakan sesuatu yang lain dari tatapan itu. Seakan Irwin minta untuk dilepaskan..."

- Fate and Destiny –

"Irwin!" Keith mengacungkan pedangnya, "bersiaplah! Kami akan menghentikanmu di sini!"

"Aku berada di sini untuk membasmi kalian dari dunia, para benih-benih buruk yang dinamakan manusia," suara Irwin menggema, "ini adalah takdir kalian untuk musnah! Kalian yang telah mencuri banyak hal dari bumi!"

"Seperti biasa, kau pandai berpidato," ujar Escad dengan tenang. Sepertinya ia sudah bisa menekan emosi berkat kata-kata Keith. "Kau terdengar seperti manusia sekarang," lanjutnya.

Keith tertawa, "Escad itu sarkasme yang sangat mengerikan!" Pemuda itu memasang kuda-kuda, "apapun kau Irwin, kami akan menghentikanmu!"

"Takdir kalian sudah ditentukan!" Suara Irwin sangatlah menggelegar.

Bersamaan dengan itu, angin bertiup sangat kencang sampai Keith harus menahan dirinya sendiri agar tidak goyah dari kuda-kudanya, juga agar topinya tidak terbang. Perlahan-lahan bola api mulai bermunculan dan mengelilingi Irwin, disusul dengan kobaran api yang makin besar seperti amukan api neraka. Irwin tenggelam dalam api yang berkobar dengan ganas. Pemandangan itu makin membuat Keith dan Escad lebih bersiaga.

Mata Keith membelak begitu menyaksikan Irwin berubah di tengah kobaran api. Tubuhnya meninggi, membesar, menguat, dan merubahnya selayaknya ia adalah iblis sepenuhnya. Badannya sudah sepuluh kali lipat dari aslinya, empat tanduknya sangat panjang, matanya kosong juga keji seakan tidak bisa melihat apapun melainkan kehancuran, sayap di kedua punggungnya terlihat kokoh, mulutnya yang dipenuhi gigi-gigi besar nan tajam menggeram sampai membuat Lucemia bergetar.

Keith tahu, itu akan menjadi salah satu pertarungannya yang paling sulit dan panjang sepanjang masa.

Serangan pertama Irwin sangat bertenaga dan menekan. Ledakan bola-bola api beserta petir yang menghujam membuat Keith dan Escad terlempar jauh di tubuh Lucemia. Serangan susulan juga membuat Keith hampir jatuh dari Lucemia. Escad yang biasanya tidak peduli, menolong Keith dengan memberikan tekanan angin ke arah berlawanan.

"Siapa sekarang yang lengah!?" Maki Escad, "fokus!"

"Brengsek..." Keith mendengus, tapi senyumnya menggambarkan kegembiraan, "jangan remehkan aku!" Ketika di udara, Keith berputar, "Impulse!" dan menusuk Irwin dari atas dengan kecepatan tinggi sehingga membuat suatu ledakan angin.

Irwin melolong murka dan memukul Keith dari tubuhnya. Kedua sayapnya melebar, ia pun terbang ke udara. Keith langsung ambil langkah seribu masuk ke dalam tubuh Lucemia, begitu pula dengan Escad. Irwin telah memuntahkan meteor-meteor kecil yang langsung meledak dengan kekuatan luar biasa menghancurkan. Keith dan Escad berusaha melindungi diri mereka di balik kulit dan jaringan dalam Lucemia, menghindari bagian beracun pada saat yang sama.

Kengerian Irwin tidak berhenti sampai sana. Begitu iblis itu menginjakkan kakinya kembali ke Lucemia, ia meniupkan api yang amat sangat panas ke dalam tubuh Lucemia, memanggang monster yang ada di dalamnya. Keith dan Escad keluar tepat waktu, mereka bersembunyi di balik kulit Lucemia bagian lain.

Tanpa banyak bicara, Keith dan Escad menyetujui satu hal yang mereka tidak bicarakan. Kedua pemuda itu berpencar dan melayangkan serangan masing-masing dari tempat yang berbeda. Beberapa kali mereka terkena sapuan, sabetan, dan hantaman tangan raksasa Irwin. Keith dan Escad tetap bangkit, mereka memakai strategi mereka sendiri tanpa mengganggu satu sama lain. Ketenangan dalam kewaspadaan, hal yang sangat sulit itu telah dipelajari oleh Escad dalam waktu singkat.

Begitu Escad sudah terdorong oleh Irwin, Keith sudah berada di belakang dengan kuda-kuda khusus. Pemuda itu menerjang dengan kecepatan penuh. "Shield Breaker!" Dengan sebuah lompatan jauh, Keith menghantam turun pedangnya. Pedang Excalibur buatan Vanadise patah jadi tiga bagian, tubuh Irwin menyemprotkan darah.

Tameng telah terbuka, Escad tidak menyia-nyiakan kesempatan. Difokuskannya pandangan pada Irwin seorang sebelum ia memanggil bayangan hitam. "Lifestealer..." Bayangan itu berpindah ke pijakan Irwin dan secepat kilat Escad sudah berada di depannya dengan pedang terhunus. Kegelapan langsung menyelubungi mereka berdua. Keith dapat melihat gelombang sabit kegelapan melesat ke atas udara disusul lesatan-lesatan gelombang lainnya. Suara teriakan dan lolongan Irwin terdengar sangat menggelegar. Selepas itu, bayangan hitam menghilang dan Escad sudah jatuh di atas lututnya. Irwin sudah penuh dengan darah.

Tanpa pikir panjang, Keith langsung menerjang untuk membawa Escad menjauh dari Irwin. Ketika berpikir mereka telah berhasil, amarah Irwin kembali terdengar. Kini bola-bola sihir yang muncul di sekitar.

Keith langsung berdiri dan membuang pedangnya. "Sihir, huh?" Gumamnya, "kau telah salah memilih musuh!" Dipanggilnya drum-drum dan beberapa marimba magis.

- Fate and Destiny –

"Apakah harus kutirukan juga...?" Tanya Vanadise dengan tampang amat sangat datar, tidak bernyawa.

"Jangan gila kau, Vanadise," ujar Duelle cepat, "kau mau kami mati seperti Irwin atau bagaimana?"

Vanadise tertegun, "dari mana kau tahu Irwin mati?"

"Tidak perlu dipertanyakan...sepertinya..." Elazul minum teh dengan khawatir. "Kami saja hampir mati mendengar tiruanmu, apalagi yang asli..."

"Benar..." Sambung Lisa menghela napas maklum dan mengunyah kukis dengan gerakan pelan, "aku juga yakin Irwin pasti kalah setelah mendengar performa dari Keith..."

"Aku setuju..." Timpal Bud sambil makan keripik. "Oh, tapi tunggu sebentar... Irwin memang kalah... Bagaimana dengan ... Escad?" Wajah anak itu berubah pucat, disusul wajah lainnya yang juga suram.

Semua kini memandang Vanadise dengan takut, namun penuh pertanyaan.

Yang dipandang menaruh sikutnya ke atas meja lalu memijat keningnya sejenak sambil memejamkan mata, "...Escad..."

- Fate and Destiny –

"Platinum Twinkle!" Keith menyerukan nama sihir saat ia membuat bola marimba menghantam marimba sampai hancur.

Seketika itu bola-bola cahaya dan lingkaran sihir mengelilingi Irwin dan mengikatnya dengan erat. Irwin mengerang keras, pilar cahaya turun dari langit dan menerjang Irwin tanpa ampun. Bola-bola cahaya mulai meledak dengan kekuatan yang membahana. Erangan Irwin makin keras disertai lolongan kesakitan. Sihir cahaya membungkus dan membakar Irwin sampai ia jatuh ke kulit Lucemia.

"W-wow..." Keith takjub, "dia tidak hilang dengan Platinum Twinkle... Kuat sekali..." Hilang rasa takjubnya ketika dia ingat tentang Escad. "ESCAD!?" Teriaknya panik ketika menemukan pemuda berambut panjang tidak beraturan itu tengah terkapar dengan wajah menempel di lantai, tidak bergerak, terlihat tidak bernyawa. "ESCAD!?" Panggilnya sambil mengangkat pundak Escad, "bangun! Bukan saatnya kau mati di sini, idiot!"

"Ugh..." Escad mengerang pelan, tangannya berusaha meraih wajah Keith, "Keith... Yang idiot itu..."

"Escad...?" Mulut Keith sudah bergetar, ia merasa kecewa jika Escad juga harus mati.

"KAU!" Seru Escad. Tanpa disangka, tangan yang berusaha meraih wajah Keith itu mengepal dengan keras dan melayang tepat di wajah Keith. Yang ditinju langsung terjengkal ke belakang, mulai memegangi wajahnya yang nyeri.

"Apa-apaan!?" Protes Keith, bangun ke posisi duduk.

"Kau yang apa-apaan...!" Escad sudah bangun, tangannya menggeretak satu sama lain, "acara konyol apa yang barusan kau tampilkan...? Kau ingin aku pergi ke Underworld sekali lagi atau bagaimana? APA SESEORANG PERNAH MENGATAKAN KALAU SUARA SUMBANG DAN MUSIK ANEHMU ITU BISA MEMBUNUH ORANG!?"

"Eh...um..." Keith mengalihkan wajah sambil menggaruk-garuk pipinya dengan canggung. "Itu..." Ia menunjuk ke arah Irwin yang sudah roboh dan berasap karena sihir.

Escad langsung menganga. "Lagumu yang melakukan itu?" Tanyanya sambil menunjuk tidak percaya.

Keith mengangguk senang, "tentu saja!"

Sekali lagi Escad menggeretak jari-jarinya, "kau mempermainkanku?"

"Hei, tenang dulu-! Ugh..." Seketika itu Keith lunglai, ia merasa amat sangat lemas. Tangannya mulai gemetar.

"Keith!" Escad berlutut dan mencoba membantu Keith berdiri.

"Uhh.. Sialan..." Umpat Keith, "energiku benar-benar terkuras..."

"Karena musik tadi?" Escad tetap memasang tampang aneh nan sebal.

"Hei, jangan remehkan musikku! Tadi itu adalah sihir tinggi yang sulit!" Protes Keith. "Seharusnya Irwin juga larut dan menghilang bersama sihir itu... Tapi..." Ia melihat ke arah Irwin, "tubuhnya masih di sana walau tidak bergerak.. Aku tidak yakin dia sudah mati... Tapi..."

Tiba-tiba gemuruh besar terjadi. Lucemia bergetar selayaknya gempa bumi. Keith dan Escad langsung beralih ke Irwin. Tubuh yang tengah berasap itu mulai terpecah menjadi partikel-partikel cahaya yang lenyap di tengah udara.

"Irwin..." Suara Escad terdengar lirih, "akhirnya... dia mati..."

"Hei, hei! Daripada kau melankolis sekarang-!"

"Siapa yang melankolis!?"

"Lucemia akan runtuh!" Ujar Keith cepat, "Lucemia dibangkitkan oleh Irwin, sekarang Irwin sudah tewas, kekuatannya pasti juga menghilang! Kita harus pergi dari sini!" Keith mencoba berdiri namun ia terlalu lemas.

"Hmph," Escad menarik salah satu tangan Keith dan memapahnya di pundak, "kau cuma bisa omong besar."

"Heh..." Keith tersenyum simpul, "aku yang melakukan serangan terakhir."

"Bagaimana kita pergi dari sini?" Tanya Escad sambil memandang sekeliling. "Apa kita akan jatuh juga?"

"Pesimis sekali," tawa Keith, "kan aku sudah bilang Burung Cancun akan menjemput." Diraihnya bros Matilda dari saku dan diperlihatkannya ke langit. "Wahai Burung Cancun! Jika kau mendengarku lewat energi Mana ini! Jawablah aku!"

"... Hal begitu memangnya bisa berhasil...?" Escad menatap langit dengan ragu. Ia berkedip kagum ketika melihat warna pelangi melintas di atas mereka.

Burung Cancun telah datang, ia terbang di atas Lucemia kemudian melesat di bawahnya.

"Kita harus lompat, Escad," ujar Keith, "jangan khawatir, Burung Cancun akan membawa kita di atas punggungnya lagi!"

"Aku akan mengutukmu jika ini gagal..." Escad melompat sambil tetap memapah Keith, memegangnya lebih erat agar tidak terlepas.

Sesuai dengan ucapan Keith, mereka medarat di atas Burung Cancun dengan selamat sentosa. Keith langsung merebahkan diri di atas bulu-bulu lembut Burung Cancun. Kini Burung Cancun pun terbang dengan lebih santai ketika sudah mulai jauh dari Lucemia.

Escad tetap memandangi Lucemia yang kian runtuh ke atas bumi. Tatapannya lurus, tidak ada raut penyesalan yang terpancar. Lebih tepatnya dia tidak terlihat emosional sama sekali. Tidak uring-uringan ataupun terlihat senang.

"Tidakkah kau merasa lega, Escad?" Tanya Keith sambil menikmati angin.

Escad masih memandangi Lucemia, "entah kenapa aku tidak merasakan apapun... Kemarahanku, dendamku, kesedihanku... Semua hilang begitu saja.."

"Itu namanya lega," ujar Keith santai, "kalau tidak lega, kau akan merasa marah."

"Bukannya aku harusnya merasa senang?" Escad masih belum mengalihkan pandangan.

"Tidak semua harus seperti itu," Keith tertawa, "kau tahu? Vanadise amat sangat jarang tertawa dan berekspresi! Dia seringkali mengomeliku dengan wajah datar dan aku susah menebak apa yang dia rasakan! Saat habis mengalahkan monster juga, dia hanya menatap datar!"

Barulah Escad menoleh, "benar... Dia juga tidak marah tentang Daena."

"Apakah kau merasa hampa?" Tanya Keith lagi.

Kembali, Escad menatap Lucemia, "tidak juga..."

Keith hanya tersenyum dan menutup matanya dengan topi, berniat tidur sampai Gato.

Lucemia runtuh ke atas bumi. Wyrm of Light telah membatu dan akan bersatu dengan bumi yang pernah dilahapnya. Semua akan kembali ke asal, begitulah menurut ajaran Mana Goddess. Lucemia tidak akan pernah bangkit kembali. Takdirnya sudah menyatu dengan bumi.

-00-00-00-00-00-00-

Suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Vanadise keluar dari kamar Matilda dan menengok ke jendela. Dari kejauhan terlihat Lucemia yang perlahan runtuh ke bumi. Saat itu juga, Vanadise bergegas kembali ke kamar Matilda untuk memberitahu kabar yang mungkin sudah diketahui oleh Matilda sendiri.

"Matilda..." Vanadise memegang tangan Matilda, "Lucemia sudah runtuh..."

Matilda memejamkan matanya, "begitu ya...?" Dia tersenyum pilu, "kalau begitu, peranku di dunia ini pun sudah berakhir... Tirai akan menutup peranku..."

"Matilda...?" Vanadise berkedip, "Matilda?" Panggilnya sekali lagi.

Matilda tidak merespon. Tangannya pun makin dingin, napasnya tidak terlihat. Vanadise menarik tangannya, ia menatap ke arah langit-langit yang menembuskan cahaya mentari.

"...Inikah kebebasanmu... Matilda...?" Gumam Vanadise pelan.

Nun panik ketika Vanadise memberitahunya tentang kematian Matilda. Beberapa dari mereka masuk dan menangis tersedu. Vanadise hanya diam memandangi ruangan yang kini tambah suram itu.

"Abbess?" Salah satu Nun terkejut. Semua yang ada di sana menghentikan tangisnya.

Tubuh Matilda sudah tidak ada berada di tempat tidurnya. Vanadise juga kaget. Ia hanya mengalihkan pandangan sejenak dan Matilda sudah tidak ada di sana.

"M-Matilda...?" Vanadise bingung setengah mati, begitu juga para nun yang ada di sana.

"Kenapa Abbess menghilang!?" Salah satu nun panik, "apa yang terjadi!?"

"Hei, apa kalian melihat seorang Wisdom datang?" Tanya Vanadise.

Salah satu nun menggeleng, "tidak ada yang datang selain kita kan...?"

"Lalu ke mana...?" Nun yang lainnya bertanya-tanya.

"Apakah ini salah satu kekuatan elemental?" Mereka semua kebingungan.

Kepakan Burung Cancun terdegar jelas di atas Gato. Tanda Keith dan Escad telah kembali. Salah satu nun kebingungan dan berharap jika saja ada Daena. Mereka pun mulai mengkhawatirkan sang kucing. Tidak ada yang tahu tentang kejadian di Mindas Ruins. Vanadise pun diam seribu bahasa soal itu.

"Keith dan Escad telah kembali," ujar Vanadise, "aku akan memberitahu mereka."

"Bagaimana dengan Abbess Matilda?" Tanya seorang nun, "apakah kita harus mencarinya?"

Vanadise menggeleng pelan, "itu bukan soal yang patut kau tanyakan padaku. Kalianlah yang paling tahu jika seseorang sudah mati, mereka akan pergi ke Underworld atau kembali ke Mana Goddess... Silakan kalian pilih kemana Matilda pergi."

Seorang nun mengangguk, "kami akan diskusikan ini pada pendeta lain. Kami harus mencari cara bagaimana cara baiknya untuk menyampaikan berita ini ke dunia."

-00-00-00-00-00-00-

"Semua sudah berakhir," Keith merenggangkan tubuh di bawah sarang Burung Cancun. Tidurnya yang sejenak itu cukup untuk memberikannya energi untuk jalan sendiri. "Apa yang kau akan lakukan sekarang, Escad? Tujuanmu sudah tidak ada lagi."

"Aku akan menemui Matilda," ujar Escad, "setelah itu baru aku akan menentukan tujuanku."

Mereka menatap ke arah Lucemia sekali lagi, memandangi sang naga sampai sepenuhnya runtuh dan menghilang dari langit. Burung Cancun sejenak memandang Lucemia juga sebelum dia kembali sibuk dengan sangkarnya.

Vanadise datang. Gadis itu melihat sang kakak bersama Escad tengah memandang Lucemia. Mereka terlihat lusuh dan babak belur. Pakaian mereka kotor dan terkoyak, rambut mereka awut-awutan, darah sudah mengering dan beberapa tempat masih mengalir, kulit mereka terlihat lebam membiru. Mereka sudah bertarung mati-matian untuk menyelamatkan dunia.

"Keith, Escad," Vanadise menghampiri mereka. Kedua pemuda menoleh hanya untuk mendengar kabar buruk. "Matilda telah meninggal dunia."

Bak tersambar petir, Keith dan Escad mematung di tempatnya masing-masing, berusaha mencerna apa yang Vanadise katakan.

"Tubuhnya menghilang begitu saja," lanjut Vanadise, "entah karena elemental atau karena hal lain..."

Keith tertegun, "Selva..." Gumamnya pelan. Pemuda itu beralih ke pemuda lainnya yang masih mematung. Entah bagaimana Escad menerima berita itu. "Escad, apa yang akan kau lakukan?" Tanyanya.

Sejenak Escad melihat lagi ke arah Lucemia yang sudah tidak berada di langit. Dengan tenang Escad berkata, "aku sudah merelakannya... Sudah tidak ada hubungannya lagi denganku."

"Kau tidak merasa sedih?" Tanya Vanadise.

Escad menoleh, melihat wajah Vanadise yang kelewat biasa saja. Seperti tidak ada apa-apa setelah menyaksikan kematian Matilda. Pemuda itu tertawa kecil, "mana bisa aku sedih sementara dia sudah tersihir oleh Irwin... Mungkin benar kata Keith, aku sudah merasa lega."

"Kau yang pernah ke Underworld," Vanadise menatap lurus Escad, "mungkin kau bisa bertemu Matilda lagi di sana..."

"Kau mau aku mati?"

"Sebagai murid Olbohn, kurasa pergi ke Underworld dalam keadaan hidup bukanlah suatu hal yang sulit," ujar Vanadise.

"..." Escad menggeleng, "tidak... Aku sudah cukup berjuang. Tujuan utamaku hanyalah Irwin, bukan hal lain."

"Baiklah..." Vanadise beralih pada Keith, "kau tidak apa-apa?"

"Aku masih bisa berjalan pulang!" Keith terkekeh, "jalan satu dua hari tidak masalah bagiku."

Vanadise mengangguk, "kalau begitu ayo kita pulang."

"Hei, Vanadise kan?" Escad terdengar ragu, "kau tidak marah soal Daena?"

Mata Vanadise menoleh ke tanah sejenak sebelum menjawab, "... Untuk apa?"

Escad terlihat agak terkejut, "bukankah kalian teman?"

"Daena telah menentukan jalannya sendiri dan aku sudah berusaha untuk membantunya," kata Vanadise, "kau akan mendapatkan buah dari apa yang kau tanam."

"Itulah katanya," Keith berjalan melewati Escad.

"Apa yang kau lakukan setelah ini?" Tanya Vanadise pada Escad.

Escad mulai berjalan, "aku akan tetap di jalan kesatria... Aku mungkin telah gagal berguru pada Olbohn... Tapi aku tidak ingin kembali ke Underworld. Aku akan ke Jungle dan meminta Rosiotti mengajariku kebijakan yang ia tahu."

"Hmm..." Vanadise mengikuti, "ide yang tidak buruk..."

- Fate and Destiny –