The Beauty of Imperfection

.

Moegi, pembawa acara wanita dari talkshow televisi paling laris tiga tahun belakangan, berdiri dari sofanya dan menyebut nama bintang tamu yang diundang untuk acaranya malam ini.

"Ini dia, Sakura Uchiha-san!"

Riuh tepuk tangan penonton di studio menyambut kemunculan Sakura dari belakang panggung. Dengan dada berdebar-debar, Sakura tersenyum dan melambai sedikit ke arah penonton demi menutupi rasa gugupnya. Mau bagaimana lagi, ini pertama kalinya Sakura hadir di acara televisi, sebagai sorotan utama. Meskipun seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena ini hanya sesi wawancara biasa—dia bersama para kru bahkan sudah melakukan beberapa kali briefing sebelum syuting malam ini, tetap saja kegugupan itu tidak bisa dihindari. Apalagi ini live show, disiarkan secara langsung. Memikirkan itu kegugupan Sakura bertambah-tambah.

Untunglah Moegi benar-benar pembawa acara yang andal, seorang profesional yang cerdik menghadapi segala situasi dalam kemahirannya bicara. Wanita yang sebenarnya lebih muda dari Sakura itu—namun tentu saja memiliki jauh lebih banyak pengalaman tampil di depan kamera daripada Sakura—seakan dapat merasakan gugup yang sedang melanda bintang tamunya malam ini. Wanita itu menanyakan kabar Sakura dengan cara menyenangkan, dan bergurau sedikit sehingga membuat suasana tegang di sekeliling Sakura mencair. Dia mulai nyaman setelah mendengar suara tawa dari penonton di studio.

Moegi memegang sebuah buku di tangannya, lalu mulai dengan pembicaraan serius, tapi tetap diarahkannya dengan santai.

"Sakura-san, tidak pernah ada yang tahu siapa penulis novel ini," Moegi mengacungkan buku yang sampulnya bergambar siluet punggung seorang laki-laki dengan sepotong judul tertulis di sana, The Beauty of Imperfection.

Sejenak Moegi menatap sampul buku itu, lalu perhatiannya kembali pada Sakura dengan seulas senyum mengagumi. "Tidak pernah ada yang tahu siapa penulisnya, sampai seseorang mengatakan kalau kisah laki-laki di dalam buku ini sebenarnya nyata. Laki-laki itu adalah Sasuke Uchiha-san, suamimu. Dan kau adalah orang yang menuliskan kisah luar biasa itu ke dalam novel ini. Benar, bukan?"

Sakura sudah tahu pertanyaan itu akan disampaikan padanya. Dia sudah membacanya di skrip wawancara, dan sudah berulang-ulang melatih tanya-jawab dengan produser. Namun entah mengapa saat syuting yang sesungguhnya berjalan, dia justru seakan kehilangan kemampuannya untuk bicara.

Melihat sampul buku itu sekali lagi, menatap siluet punggung seorang laki-laki yang tergambar di sana, seolah Sakura ditarik ke dalam kenangan. Tenggelam ke dalam memori yang diputar mundur. Ketika dia melihat punggung Sasuke untuk terakhir kalinya. Sasuke yang memintanya berjanji untuk tidak menangis lagi sebagai pengganti ucapan selamat tinggal. Sasuke yang memintanya membacakan buku dongeng Itik Buruk Rupa karena rindu pada ibunya. Sasuke yang akhirnya tersenyum bahagia mengetahui Sakura hamil. Sasuke yang menatapnya dengan keyakinan sepenuh hati ketika melamarnya. Sasuke yang mengatakan jatuh cinta padanya di malam pesta kembang api. Sasuke yang dilihatnya semakin cerdas dari hari ke hari. Sasuke yang berdiri di depan pagar Universitas Konoha, yang dilihatnya untuk pertama kalinya ...

Moegi menangkup punggung tangan Sakura, menariknya kembali pada dunia nyata, kembali ke studio live show. Sakura baru menyadari semua mata sedang tertuju padanya.

Moegi melempar senyum pada penonton di studio, sekali lagi mencairkan suasana. "Kelihatannya Sakura-san masih berharap bisa menjadi penulis tanpa nama," guraunya. Penonton tertawa.

Sakura menanggapi itu dengan ikut tertawa. Dalam hati berterima kasih atas usaha Moegi untuk membuatnya tidak terlihat seperti perusak acara. Bagaimana mungkin dirinya bisa tenggelam dalam lamunan di saat-saat penting seperti ini. Tidak boleh.

"Maaf, Moegi-san. Aku terlalu gugup. Kau tahu, ibuku sangat menyukai Bintang Jatuh, tidak pernah melewatkannya satu episode pun. Sekarang ibuku pasti sedang menonton dari rumah," kata Sakura.

Moegi tertawa, diikuti para penonton.

"Halo, Ibu. Putri Anda di sini, malam ini di acara kesukaan Anda," Moegi melambai dan menyapa ke arah kamera yang menyorot wajah ramahnya. "Ibu tidak perlu khawatir karena Sakura-san tetap cantik di depan kamera. Dan yang paling penting, putri Anda akan berbagi cerita yang luar biasa pada kita semua malam ini."

Satu bulan yang lalu, Tamaki—sekretaris yang telah bekerja untuk Sakura selama 4 tahun—menyampaikan pada Sakura sebuah undangan menjadi bintang tamu utama di acara talkshow televisi yang dikenal selalu mendapat rating teratas, Bintang Jatuh. Sakura sempat menolak, menyatakan keberatan memenuhi undangan itu. Lagi pula ini bukan bertama kalinya Sakura menolak bentuk-bentuk publikasi seperti itu. Koran, majalah, radio, berita online; semua media yang pernah mengundangnya untuk diwawancara selalu ditolaknya. Mereka memburunya, berlomba mendapatkan cerita eksklusif dari dirinya, setelah dia diketahui sebagai penulis tanpa nama dari novel yang menjadi best seller dan sedang laris dibedah di berbagai seminar kepenulisan.

Ino-lah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua kekacauan itu. Dia menulis sesuatu di akun media sosialnya setelah selesai membaca novel itu. "Kisah yang indah. Dunia berhutang pada si tanpa nama, karena telah membagi cerita hidupnya untuk membuka mata dan hati mereka. Aku beruntung dia sahabatku." Hanya sepotong kalimat itu. Jika bagi sebagian orang tidak berarti apa-apa kecuali ungkapan rasa puas pada sebuah novel, maka bagi sebagian lagi yang memiliki rasa ingin tahu begitu tinggi, tulisan itu menjadi petunjuk penting. Mereka mencari tahu, entah bagaimana caranya. Sehingga rasa penasaran yang gila menggiring mereka pada satu kesimpulan, bahwa Sakura Uchiha-lah si penulis novel, seiring dengan itu terbongkar pula bahwa cerita di dalam novel didasarkan pada kisah hidup suaminya sendiri, Sasuke Uchiha. Seketika saja informasi itu menyebar menjadi berita besar, bagai percikan kecil yang membakar hutan kering di musim kemarau.

Ino mendapatkan akibatnya. Tulisannya di akun media sosial itu dibanjiri komentar, disukai, dikutip ulang, tidak sedikit pula yang memberi cibiran dan kata-kata yang hanya membuat kesal jika dibaca. Hal positif dan negatif memang selalu beriringan. Tidak hanya di akun media sosial, email pribadi Ino juga diserang ratusan pertanyaan, membuat ponselnya tidak berhenti berdering memberi sinyal pesan masuk. Tidak tahan diteror, Ino kemudian menonaktifkan akun media sosialnya.

Sakura menyumpahinya main-main. Biar Ino tahu akibatnya bila terlalu banyak bicara. Tidak di dunia nyata, tidak di dunia maya, segala yang disampaikan itu pasti ada konsekuensinya. Jika tidak siap menerima yang terburuk, maka berhati-hatilah menulis atau mengatakan sesuatu.

Hanya saja masalah yang terjadi pada kasus ini, bukan hanya Ino yang harus menanggung akibatnya. Melainkan dirinya juga. Justru Sakura-lah yang merasakan dampak utama. Sakura diburu, diminta untuk banyak wawancara. Semua media menginginkannya karena saat itu dirinyalah yang menjadi sorotan cahaya, pusat perhatian. Mengangkat berita tentang dirinya dan novel yang ditulisnya akan mendatangkan keuntungan besar. Prioritas bisnis. Sakura membenci itu. Dia tidak menulis buku untuk berbisnis. Itulah mengapa Sakura menolak semua undangan wawancara tanpa pertimbangan.

Namun untuk undangan dari Bintang Jatuh, Sakura mendapat banyak bujukan agar dia mau menghadirinya. Orang yang paling gigih membujuk adalah ibunya. Bukan karena itu acara kesukaan sang ibu, lantas ibunya melanjutkan obsesinya terdahulu untuk melihat Sakura tampil di televisi dan jadi tokoh terkenal. Sebaliknya karena itu acara kesukaan sang ibu, ibunya tahu sekali bagaimana bergunanya acara talkshow itu untuk mencapai tujuan Sakura menulis buku. Penonton yang banyak, dari seluruh lapisan masyarakat di Jepang. Pembawa acara yang cerdas, bukan tukang gosip yang hanya pintar mengorek aib untuk dijual ke pemirsanya. Konsep acaranya jelas; informatif, inspiratif, tidak sekadar menyuguhkan tontonan menarik. Tiga alasan itu dikemukakan ibunya dengan harapan Sakura mau mempertimbangkan. Jika Sakura hadir di acara itu, ada ratusan ribu pasang mata yang akan menyaksikannya, mendengar kisahnya, menyimaknya dari dekat.

The Beauty of Imperfection, judul novel yang ditulis Sakura tiga tahun lalu. Tanpa nama pengarang, tanpa biodata singkat di halaman paling belakang. Kisah tokoh utamanya adalah refleksi dari perjalanan hidup Sasuke. Tentang pemuda terbelakang yang harus menjalani kerasnya hidup sendirian karena tersingkir dari keluarganya. Kegigihannya belajar dalam keterbatasan daya pikir akhirnya membuahkan hasil yang manis. Pemuda itu lulus sekolah luar biasa tingkat atas, kemudian menjadi guru untuk anak-anak yang terlahir seperti dirinya.

Bukan untuk kepopuleran Sakura menulis kisah itu. Bukan pula demi bisnis dan keuntungan berlipat-lipat. Tujuan Sakura hanya satu. Dia ingin membuka mata dan menyentuh hati orang-orang terhadap keberadaan mereka yang dilahirkan dengan ketidaksempurnaan, fisik maupun mental.

Seperti judulnya, The Beauty of Imperfection, keindahan dalam ketidaksempurnaan. Sakura ingin menunjukkan pada dunia bahwa ketidaksempurnaan yang dimiliki oleh mereka bukanlah alasan untuk mencoret mereka dari anggota masyarakat. Kelemahan mereka bukanlah alasan untuk melemahkan semangat mereka agar bisa sepadan dengan orang lain. Justru ketidaksempurnaan itu membuat mereka berbeda, menjadikan mereka istimewa.

"Lalu, apakah buku ini Anda dedikasikan untuk suami Anda, Sakura-san?" tanya Moegi.

"Untuk suamiku, dan untuk semua yang terlahir dengan ketidaksempurnaan," jawab Sakura. "Seumur hidupku, banyak kusaksikan ketidakadilan yang harus mereka terima hanya karena mereka terlahir berbeda. Aku selalu bertanya-tanya, ada apa dengan dunia ini? Apakah orang-orang ini sudah tidak punya perasaan? Apakah hati nurani mereka mati? Di saat yang sama aku juga menjerit, aku bukan siapa-siapa yang bisa mengubah dunia semudah membalik telapak tangan. Tapi aku harus melakukan sesuatu. Dan inilah yang kulakukan. Menulis."

Moegi mengangguk-angguk, matanya tampak sedikit merah dan berair. Tapi dia cepat menguasai diri. Benar-benar seorang profesional.

"Mungkin Anda ingin menyampaikan sesuatu sebagai penutup acara malam ini, Sakura-san?" Moegi menawarkan.

Sakura mengangguk berterima kasih pada Moegi. Lalu pandangannya menyapu orang-orang di bangku penonton—mereka semua menyimaknya dengan penuh perhatian. Terakhir tatapannya terhenti pada kamera yang menyorot wajahnya dari dekat. Dan dia berkata, "Setiap manusia dilahirkan untuk alasan yang sama; belajar mengenal dirinya sendiri. Jika masih ada orang yang merasa lebih tinggi dari orang lain dan berbuat tidak adil, maka dia belum benar-benar memahami arti keberadaan mereka, arti keberadaan dirinya sebagai seutuhnya seorang manusia yang dilahirkan tanpa cacat."

Hening sejenak di ruang studio terpecah oleh deru tepuk tangan penonton beserta para kru. Acara selesai. Sakura menutupnya dengan sukses, dia bahkan sudah lupa kegugupan yang menghantuinya sejak memasuki set panggung.

Moegi disusul produser acara dan para kru bersalaman dengan Sakura, saling mengucapkan terima kasih.

Ponselnya langsung menerima banyak pesan pendek dan lebih dari 20 notifikasi panggilan masuk begitu diaktifkan kembali. Dari para kliennya. Pesan-pesan itu berisi ucapan selamat untuk kesuksesan Sakura tampil dengan novelnya yang fenomenal di televisi. Tidak sedikit juga yang mengatakan keterkejutannya, tidak tahu sama sekali bahwa Sakura penulis novel itu sebelum menonton talk show malam ini.

Satu pesan yang menjadi perhatian Sakura saat ini adalah kiriman dari Sarada.

Senang melihat ibuku tampil di acara kesayangan Nenek. Setelah melihat Mama bicara, aku semakin mengerti bagaimana besarnya cinta Mama untuk ayahku. Terima kasih, Mam. Terima kasih telah memberitahu dunia tentang kepedulianmu pada orang-orang seperti Papa. Terima kasih untuk cintamu pada Papa. Terima kasih untuk cinta dan kasih sayang yang menjadikanmu ibuku. Aku menyayangimu, Mam.

Tiga lambang hati berwarna merah menutup kalimatnya. Di bawahnya, Sarada melengkapi pesannya dengan foto selfie dirinya yang pipinya sedang dikecup oleh gadis itu.

Seketika saja hati Sakura diselubungi perasaan hangat. Sehangat cairan di kedua matanya yang menggenang dan siap tumpah. Jemarinya menyentuh wajah Sarada di layar ponsel. Betapa waktu berlalu dengan cepat, membuat Sakura tidak menyadari putrinya telah tumbuh menjadi gadis muda dengan pemahaman yang besar terhadap cintanya pada orangtua. Kini gadis itu sudah pintar mengatakan sesuatu yang membuat hatinya bergetar.

Beberapa menit kemudian saat Sakura beristirahat sembari menghapus riasan di ruang ganti, Tamaki datang mengantarkan tamu-tamu istimewa. Gaara bersama keluarganya. Ternyata mereka sudah datang sejak satu jam yang lalu dan menyaksikan Sakura dari belakang panggung.

Sakura menyapa hangat Gaara dan istrinya, Yukata. Wanita berambut hitam panjang yang usianya hampir 3 tahun di bawah Gaara, dulunya adalah junior Gaara di Fakultas Kedokteran.

Jika sekarang Gaara adalah kepala departemen kesehatan anak di sebuah rumah sakit pemerinta di Tokyo, maka Yukata adalah dokter senior di departemen obgin di sebuah rumah sakit swasta. Di lembaga persatuan dokter nasional, suami-istri ini dikenal sebagai pasangan dokter paling serasi. Sakura ikut bahagia dengan itu, bersyukur karena laki-laki yang pernah jatuh cinta padanya itu telah menemukan tambatan hatinya yang sebenarnya.

Malam ini Gaara dan Yukata datang bersama seorang anak perempuan yang manis dengan poni rambutnya. Usianya mungkin 7 atau 8 tahun.

"Gaara tidak pernah bilang kalau kau hamil anak perempuan," bisik Sakura keras-keras pada Yukata. Terakhir yang dia ingat, Yukata melahirkan anak ke dua mereka sepuluh tahun yang lalu dengan jenis kelamin laki-laki (lagi).

Yukata tertawa kecil, pipinya sedikit bersemu. Dia menggeleng pelan. Tangannya membelai kepala anak perempuan itu dengan lembut saat menjawab, "Kami mengadopsinya."

Kemudian Gaara menjelaskan bahwa setelah anak ke dua mereka lahir, Yukata mengalami masalah pada rahimnya sehingga akan sangat berisiko jika hamil lagi. Sementara itu Yukata sangat menginginkan anak perempuan. Akhirnya mereka sepakat untuk mengadopsi seorang anak perempuan dari sebuah panti asuhan.

"Itu pilihan yang bijak sekali, Yukata," Sakura berkomentar.

Kemudian dia mengusap kepala anak perempuan itu, tersenyum cerah. "Halo, gadis manis. Siapa namamu?"

Gadis kecil itu tidak menjawab dengan bicara. Dia menggerak-gerakkan tangannya, menjawab dengan bahasa isyarat. Menyebut namanya. Hikari.

Sejenak Sakura hanya bisa menatapnya dengan tertegun. Mengusap kepalanya sekali lagi, membelai pipinya yang tembam menggemaskan. Sakura mengganti ucapan dengan gerakan tangan seperti yang dilakukan gadis kecil itu. Hikari. Namamu indah. Kau bercahaya seperti namamu. Aku Sakura. Salam kenal.

Gadis kecil itu membalas. Aku kenal Bibi Sakura. Ibu mengatakan kalau Bibi berteman dengan orang-orang yang kekurangan seperti aku. Aku suka nama Bibi. Indah seperti musim semi.

Sakura tertawa kecil, sekali lagi mengusap kepala Hikari. Bibi Sakura berteman dengan siapa saja, Sayang. Dengan orang-orang seperti Hikari, dengan orang-orang baik seperti ayah dan ibumu.

Hikari menyeringai, membuat wajah manisnya terlihat makin menggemaskan.

"Dia tidak hanya manis, tapi dia juga spesial," kata Sakura pada Gaara dan Yukata.

Setelah percakapan pendek itu, Gaara dan Yukata mengajak Sakura dan Tamaki makan malam di sebuah restoran keluarga. Karena tidak ada lagi waktu tersisa bagi Sakura untuk bersantai selain malam ini, besok pagi-pagi dia dan Tamaki harus berangkat kembali ke Konoha dengan kereta bisnis.

"Kenapa tidak ambil libur beberapa hari? Bukankah Sakura sudah lama tidak ke Tokyo? Terakhir kita bertemu saat ulang tahun Misaki," kata Yukata saat mengambilkan piring rebusan daging dari tengah meja untuk putrinya.

Sakura ingat itu. Terakhir kali dia ke Tokyo dua tahun lalu untuk menghadiri seminar psikologi, dia menyempatkan diri ke acara makan bersama di rumah keluarga Gaara dalam perayaan ulang tahun putra ke dua mereka.

Sakura terkekeh. "Ya, sudah lama sekali. Aku sebenarnya ingin sekali ambil libur beberapa hari, tapi risikonya aku harus meninggalkan klien-klienku."

Kemudian Gaara berkata pada gadis muda yang duduk persis di sebelah Sakura, "Sayang sekali, Tamaki-san. Kau mungkin menyesal bekerja dengan wanita itu, waktu liburmu pasti sedikit sekali."

Di bangkunya Sakura hanya bisa tertawa. Jika tidak ada Hikari, mungkin dia sudah mencubit keras lengan sahabat rambut merahnya itu seperti yang dulu selalu dilakukannya tiap kali laki-laki itu menggodanya dengan kata-kata gurauan.

Tamaki menggeleng, tersenyum sopan. "Aku sama sekali tidak menyesal bekerja dengan Sakura-sensei. Justru aku bangga, Sensei begitu profesional, selalu mementingkan kliennya."

"Kau dengar itu, Gaara? Jadi berhentilah membicarakanku di depan orang lain ketika aku sedang bersamamu," sahut Sakura.

Seisi meja tertawa.

Sementara Hikari hanya tersenyum pada Sakura, memberinya satu buah jeruk. Sakura tersenyum, mengucapkan terima kasihnya lewat gerakan tangan. Mengingat Hikari adalah seorang tuna rungu, riuhnya meja makan ini tidak dapat didengar olehnya. Dunianya adalah keheningan. Namun melihat pancaran matanya yang berbinar-binar, Sakura yakin Hikari juga dapat merasakannya, keceriaan yang ditularkan orang-orang di sekelilingnya. Betapa beruntung gadis kecil ini, mendapatkan orangtua sebaik Gaara dan Yukata. Kini dunianya tidak lagi sesenyap dulu.

Acara makan malam selesai, Sakura bersama Tamaki berpisah dengan keluarga kecil Gaara di lobi restoran. Sakura menolak dengan halus tawaran Yukata agar dia bermalam saja di rumah mereka, karena Tamaki sudah lebih dulu memesan kamar hotel di dekat stasiun bahkan sebelum berangkat ke Tokyo.

"Aku tidak mau merepotkan kalian," kata Sakura.

"Mana mungkin? Takeru dan Misaki pasti senang bertemu denganmu," Yukata mencoba membujuk. "Mereka ingin sekali ikut ke Studio. Tapi Takeru tidak bisa pergi karena sedang latihan terakhir untuk pertandingan sepak bola tingkat SD dua hari lagi. Dan Misaki ketiduran saat kami akan mengajaknya, dia baru kembali dari rumah neneknya di Suna. Kalau melihat Bibi Sakura-nya datang, kekecewaan mereka pasti terobati."

Sakura mendesah pelan. "Aku ingin sekali, tapi aku tidak bisa. Aku janji lain kali akan datang untuk menemui dua anak jagoan itu."

"Sudah kubilang, kan? Sakura itu kepalanya lebih keras daripada baja," bisik Gaara pada istrinya, keras-keras agar Sakura mendengarnya.

Wanita berambut merah muda itu mendengus pura-pura kesal, lalu tertawa.

Sebelum berpisah, Hikari memberitahukan sesuatu pada Sakura dengan bahasa isyarat. Aku senang bertemu dengan Bibi Sakura. Aku senang Bibi Sakura berteman baik dengan ayah dan ibuku.

Sakura membalas. Bibi Sakura juga senang bertemu denganmu, Hikari-chan. Kau anak yang manis. Hiduplah yang baik dengan ayah dan ibumu, juga kedua kakak laki-lakimu. Jangan pernah menundukkan kepala. Karena namamu Hikari, kau harus bersinar hingga membuat orang-orang yang kausayangi bangga padamu. Oke?

Gadis kecil itu mengangguk sampai poninya melompat. Oke. Jari kelingkingnya yang mungil mengait pada jari kelingking Sakura. Kemudian dia memeluk Sakura erat, membahasakan ungkapan terima kasihnya dengan isyarat. Sakura membelai pipi tembamnya.

"Sepertinya kami perlu menjadi klienmu juga, Sakura," kata Gaara, membelai kepala Hikari.

Sakura tertawa kecil. "Tidak. Aku percaya kau dan Yukata bisa membesarkan Hikari dengan baik meski tanpa nasihat-nasihatku. Dia bukan hanya anak yang manis, tapi dia juga spesial. Kalian harus selalu ingat itu."

Itu yang selalu diucapkan Sakura pada klien-kliennya, para orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Mereka tidak perlu diarahkan macam-macam, diberi nasihat panjang lebar. Yang terpenting, mereka lebih dulu dibuat mengerti bahwa kekurangan yang ada pada anak-anak mereka, ketidaksempurnaan yang mereka bawa sejak lahir, menjadikan mereka seseorang yang spesial. Jika para orangtua tahu bagaimana spesialnya anak-anak itu, para orangtua tidak lagi perlu merasa malu akan keberadaan mereka. Sepantasnya mereka bangga diberikan anak-anak yang begitu spesial. Dan tidak semua orangtua memiliki keistimewaan itu. Maka banggalah.

...

Kereta bisnis yang ditumpangi Sakura dan Tamaki sebenarnya tiba di Konoha pukul 1 siang. Tapi Sakura mendapat telepon mendadak, seorang klien membutuhkannya saat itu juga. Rencananya langsung pulang ke rumah batal, taksinya berbelok arah ke kantor konsultan miliknya di pusat kota.

Bukan gedung tinggi pencakar langit. Hanya bangunan dua lantai bekas balai kota yang dibeli Sakura sekitar tujuh tahun lalu, sementara balai kota sendiri sudah dipindahkan ke distrik protokol semenjak restrukturalisasi Kota Konoha. Di bekas pusat pemerintahan kota itulah Sakura membangun yayasannya. Lembaga sosial yang mengurusi perlindungan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Selain mengurus pembelaan hak-hak atas anak-anak itu, Sakura juga membuka kantor konsultan di lantai 2 untuk para orangtua yang butuh bimbingan dan nasihatnya sebagai seorang psikolog anak berkebutuhan khusus.

Di luar perkiraan, konseling dadakan dengan kliennya berlangsung cukup panjang. Sakura baru bisa meninggalkan kantor pada sore menjelang gelap. Sisa pekerjaan diserahkan pada manajer, bukan Tamaki. Sekretarisnya diberi libur sampai besok, karena telah menemaninya selama di Tokyo. Meskipun tahu Tamaki punya dedikasi yang besar terhadap pekerjaannya, Sakura tidak ingin memanfaatkan itu. Sakura menyadari sebaik-baiknya pekerja adalah mereka yang masih mendapatkan hak-haknya sepadan dengan kewajiban yang telah mereka penuhi.

Saat di taksi dalam perjalanan pulang, Sakura mendapat pesan pendek dari ibunya.

Tibalah di rumah sebelum makan malam. Putrimu ingin mengadakan perayaan kecil. Jangan terlambat.

Sakura inginnya begitu. Tiba di rumah sebelum makan malam. Tapi perjalanannya terhambat akibat macet panjang di jalan protokol. Semua kendaraan roda empat hanya bisa merayap, sebentar-sebentar berhenti untuk menunggu kesempatan jalan lagi. Jika begini, kemungkinan dua jam lagi baru bisa tiba di rumah.

Sepuluh tahun terakhir kota kecil ini berevolusi menjadi mini metropolitan. Semakin modern dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran. Gedung-gedung mewah dibangun. Gedung-gedung lama direnovasi kembali meski masih dengan tampilan klasik, namun jadi lebih anggun dilihat. Jalur-jalur kereta bawah tanah dibuat. Fasilitas bus umum ditambah. Dan walaupun wajahnya berubah menjadi semakin metropolis, Konoha tetap mempertahankan taman-taman kota dan lahan hijau tempat konservasi yang telah ada sejak kota ini dibangun pertama kali. Lahan hijau itu menjadi lingkaran paru-paru kota yang memisahkan pusat kota dengan area pemukiman. Sehingga keasrian, keramahan lingkungan, dan ketenangan tetap menjadi cerminan kota ini.

Jarum jam di tangan Sakura menunjukkan pukul 6.30. Setengah jam menuju waktu makan malam, sementara taksinya butuh waktu paling tidak satu jam lagi untuk bisa lolos dari kepungan kemacetan.

Jika saja tadi dia mengikuti saran Tamaki untuk naik kereta bawah tanah. Dia hanya menolak karena tubuhnya terlalu lelah untuk berdesakan dengan puluhan penumpang kereta—apalagi ini jam pulang kantor. Tapi dia juga tidak menduga kemacetan di jalanan akan separah ini. Barangkali ada kecelakaan atau apalah di ujung jalan sana, pikirnya sebal.

Pandangannya sedang menyapu barisan pohon sakura yang menjadi pagar antara trotoar dengan jalan. Seketika itu matanya menangkap dua orang di atas sepeda motor besar yang baru saja lewat di lajur kiri. Yang menjadi perhatiannya adalah sosok yang dibonceng di belakang. Seorang gadis berjaket merah, rambut hitamnya yang penjang terurai di bawah helm beterbangan diterpa angin. Sakura kenal betul gadis itu sekalipun hanya melihatnya sesaat sebelum menghilang di tikungan. Bagaimana mungkin dia tidak kenal jika itu putrinya sendiri.

Dalam hati dia bertanya-tanya, siapa yang mengendarai sepeda motor besar itu? Nekat sekali membonceng putrinya dengan kecepatan seperti itu. Kalau bertemu dengannya, dia harus diberi pelajaran. Awas saja!

Dan Sakura tidak perlu menunggu lama untuk itu. Hanya satu jam kemudian ketika dia tiba di rumah. Persis seperti dugaannya, kemacetan panjang di tengah kota tadi membuatnya terlambat setengah jam dari waktu makan malam. Langit telah berubah gelap, lampu-lampu di sekitar halaman rumah menyala lembut. Dari depan pagar, tampak ruang makan masih kosong. Semua orang mungkin berkumpul di ruang tengah untuk menunggunya. Sakura segera turun dari taksi. Taksinya bahkan belum pergi ketika sepeda motor besar menepi di depan rumahnya.

Sarada yang memakai jaket merah turun dari motor, melepas helm. Takut-takut tersenyum pada Sakura. "Hai, Mam."

Pemuda yang mengendarai motor itu juga turun dari sana. Melepas helm, menampakkan penampilannya yang pertama kali dilihat saja membuat kesan 'anak urakan' pada benak Sakura. Rambut peraknya berantakan. Namun dia memiliki sorot mata tajam yang membuatnya tampak cerdas. Ah, peduli amat. Secerdas apapun otaknya, seharusnya dia cukup pintar untuk tidak membawa anak gadis orang di atas motor dengan ngebut seperti tadi, Sakura mengomel dalam hati.

Pemuda itu tersenyum ramah. "Selamat malam, Bibi Sakura."

"Mam, ini Mitsuki," Sarada memperkenalkan. Wajahnya tampak ragu, mungkin juga sedang menebak-nebak reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan ibunya ketika untuk pertama kalinya dia pulang bersama seorang pemuda.

Sakura membungkuk sedikit demi kesopanan, membalas bungkukan dari pemuda bernama Mitsuki itu.

"Motor yang bagus," kata Sakura. "Tapi itu terlalu berbahaya untuk membawa ngebut anak gadis seseorang di jalan." Langsung saja pada intinya.

Rasa bersalah langsung tampak di wajah pemuda itu. Dia menggaruk-garuk kepala hingga membuat rambut peraknya semakin berantakan, lalu membungkuk pada Sakura. "Maafkan aku—"

"Aku yang meminta Mitsuki ngebut, kok," sambar Sarada. "Mitsuki tidak bersalah, dia cuma menawariku tumpangan. Tapi aku memintanya ngebut karena aku bisa terlambat sebelum acara makan malam."

"Tapi kau tetap saja terlambat, nona muda," Sakura menunjuk-nunjuk jam tangannya. "Mama yang terjebak macet saja tiba lebih dulu, bukan?"

Sarada kehabisan jawaban. Wajahnya tertunduk. Sementara tangannya menyembunyikan bungkusan di balik punggung.

"Sudahlah. Mama capek dan sangat lapar untuk perdebatan-tidak-penting ini. Ayo masuk, Sarada." Sebelum menggandeng lengan putrinya dan membawanya pergi, Sakura berkata pada Mitsuki. Tersenyum sedikit, "Terima kasih untuk tumpangannya, Mitsuki-kun."

Pemuda itu hanya membungkuk.

Seiring mengikuti langkah-langkah ibunya, Sarada menoleh pada Mitsuki yang tertinggal di balik pagar rumah. "Dah, Mitsuki!" Tangannya melambai, dia tersenyum lebar. Wajahnya cerah bagai bulan purnama.

Diam-diam Sakura menghela napas. Menyadari putrinya telah remaja, dia tidak bisa menolak hal-hal yang berkaitan dengan ketertarikan terhadap lawan jenis yang mulai dialami putrinya. Itu adalah fase pertumbuhan. Sakura memahami itu. Hanya saja dia belum siap. Seakan dia ingin Sarada tetap menjadi putri kecilnya.

"Siapa dia? Teman kerjamu? Teman main?" tanya Sakura sembari jalan. "Atau dia pacarmu?"

Melangkah di belakang ibunya, Sarada hanya tertawa kecil. "Bukan. Mama sembarangan saja. Mitsuki cuma teman diskusi."

"Oh. Jadi, dia orang yang menyenangkan diajak bertukar pikiran?"

Sarada menjawab sembari tersenyum, "Begitulah. Mitsuki cuma tamat SMA, sekarang kerja paruh waktu di kafe tempat aku minum kopi sepulang dari Lab, dan sebagian waktunya lagi dipakai untuk kursus mesin. Meskipun cuma tamat SMA, Mitsuki tahu banyak hal. Makanya aku suka bicara dengannya."

"Kelihatannya dia jauh lebih tua darimu. Berapa umurnya? Dua puluh? Dua puluh dua?"

Cepat-cepat Sarada menyangkal. Tapi masih tersenyum. "Tentu saja tidak. Penampilannya memang kelihatan lebih tua. Juga karena sikap dan cara berpikirnya sangat dewasa, Mitsuki selalu dikira lebih tua dari umurnya. Padahal Mitsuki cuma tiga tahun lebih tua daripada aku. Benar deh, Mam."

"Oh, umurnya delapan belas. Tinggal jawab saja begitu, tidak perlu bicara panjang lebar. Lagi pula memangnya semua informasi itu penting untuk Mama? Atau kau berharap Mama menyukainya seperti kamu menyukainya?"

Meskipun tidak melihatnya, Sakura tahu di belakang sana wajah Sarada sudah merah seperti tomat kesukaan papanya.

"Mamaaaaa! Kan tadi Mama yang tanya."

Sakura hanya tertawa.

Bagian menyenangkan bagi Sakura daripada saat-saat berbincang dengan putrinya adalah ketika menggodanya hingga mengambek. Sakura tidak pernah serius ingin membuat putrinya mengambek, tapi selalu menyenangkan melihatnya mengeluh manja dan merajuk, bersikap kekanakan. Itu menunjukkan Sarada masih seorang anak sebagaimana usianya, sedewasa apapun cara berpikirnya. Sarada boleh saja tumbuh dengan cepat, dari seorang bayi perempuan yang mungil dan menggemaskan menjadi wanita dewasa yang cantik dan anggun. Kecerdasan dan pola pikirnya melampaui umur. Namun Sarada tetap harus melewati fasenya dengan normal. Jangan sampai jadi tua di dalam tubuhnya yang masih terlalu muda.

Di balik sedikit kekhawatirannya akan hal itu, Sakura tidak bisa menutupi bahwa dirinya bangga dengan kelebihan dari putrinya yang tidak dimiliki anak-anak lain. Di usianya yang baru 15 tahun, Sarada lulus strata satu dari Universitas Konoha—setelah 10 tahun terakhir menjadi perguruan tinggi unggulan se-Jepang—dengan predikat sarjana terbaik.

Untuk itulah makan malam kali ini spesial. Neneknya yang punya ide untuk membuat perayaan kecil sebelum Sarada di wisuda besok.

Hanya saja akibat keterlambatan Sakura dan Sarada, suasana hati Mebuki Haruno jadi jelek. Sembari menuntun suaminya yang tidak lagi mampu berjalan tanpa tongkat ke ruang makan, wanita berusia 65 tahun itu mengoceh, "Untung saja makanannya belum dingin. Bintang utamanya malah terlambat. Tidak ibu, tidak putrinya, dua-duanya sama saja."

Sakura dan Sarada tidak menanggapi itu serius. Namanya juga orang tua, harus dimaklumi jika semakin hari mulutnya semakin cerewet.

Sakura hanya membenak, untung saja sebelum masuk ke rumah dia menyuruh Sarada merapikan rambutnya yang acak-acakan habis ditiup angin, atau neneknya akan tahu gadis puber itu baru saja diantar seorang laki-laki pulang ke rumah. Neneknya bisa lebih cerewet lagi.

Malam ini semua anggota keluarga berkumpul di meja makan, bersama-sama larut dalam kebahagiaan dan rasa syukur atas kesuksesan yang telah dicapai Sarada. Bersama-sama menikmati makanan istimewa yang tidak setiap hari dimasak Bibi Amane—wanita paruh baya yang dipekerjakan oleh Sakura untuk membantu urusan rumah tangga yang tidak bisa ditanganinya sendiri sementara dia pergi bekerja. Selain Kakek, Nenek, dan Bibi Amane, malam ini juga ada Paman Itachi, Bibi Helena, dan kedua putra mereka; Kakak Ryu yang kini berusia 19 tahun, dan Ken, adiknya yang hanya beberapa bulan lebih muda dari Sarada. Keluarga Itachi masih tinggal persis di sebelah rumah mereka. Dan Itachi masih ayah angkat Sarada, barangkali itu satu hal yang tidak akan pernah berubah bagi Sarada.

"Aku punya sesuatu untuk Mama," kata Sarada setelah makan malam selesai.

Gadis itu mengeluarkan kotak hadiah besar dari dalam bungkusan yang tadi disembunyikan di balik punggung. Ketika tadi melihatnya, Sakura pikir Sarada bersikap menutupi karena tidak ingin ibunya tahu dia mendapat hadiah dari seorang pemuda. Tapi kini Sakura menyadari bahwa dugaannya salah besar. Bungkusan itu adalah hadiah untuknya. Sikap Sarada yang menutup-nutupi tadi adalah hanya karena gadis itu ingin menyimpan kejutannya hingga akhir.

Benar-benar kejutan. Sakura terpaku menatap isi kotak. Kimono sutra berwarna biru gelap. Warna kesukaan Sasuke.

"Aku ingin Mama memakainya untuk acara besok."

Sakura seakan kehilangan kata-kata. Sejenak dia hanya menatap mata sehitam dan sejernih mutiara yang diturunkan Sasuke pada putrinya itu. Hingga akhirnya dia bisa berucap, "Ini ... cantik sekali, Sayang."

"Itu sangat pantas untuk Mama," kata Sarada. "Setelah upacara kelulusan, bukankah kita akan langsung mengunjungi Papa? Aku ingin Papa melihat istri cantiknya memakai kimono dengan warna kesukaannya."

Kini Sakura benar-benar kehilangan kata-kata. Untuk pertama kalinya dia tidak percaya putrinya telah tumbuh begitu cepat. Sedikit banyak memahami urusan serumit cinta. Bersikap dewasa akan perasaan orang lain, meskipun sedikit kekanakan untuk perasaannya sendiri.

...

Hari kelulusan Sarada adalah salah satu hari besar dalam hidup Sakura. Melewati kelulusan demi kelulusan membuatnya semakin bangga dengan sang putri. Apalagi dia lahir dengan keajaiban yang tidak dimiliki semua anak. Menyaksikannya tumbuh setiap hari membuat Sakura tidak putus-putusnya bersyukur.

Sakura sudah lama melupakan kesedihan itu. Pedihnya kehilangan. Meskipun masih tersimpan jelas dalam memorinya, hari di mana kabar itu sampai ke telinganya, kematian Sasuke. Masih tersimpan dalam ingatannya, bagaimana hancurnya dia ketika itu. Menangis. Meratap. Menyesal. Juga marah. Tapi semua perasaan itu harus dihapusnya bersamaan dengan janjinya pada Sasuke untuk melanjutkan hidup dengan baik. Tidak menangis lagi. Dia harus kuat untuk Sarada. Dan seiring berputarnya waktu, semua kepedihan itu terkikis, digantikan kebahagiaan yang didapatnya dari Sarada.

Benar. Sarada adalah hadiah terindah, satu-satunya yang tersisa dari Sasuke, hartanya yang paling berharga.

Gadis itu kini telah tumbuh dengan begitu baik, begitu bersinar dengan segala kebaikan yang didapatnya dari papa dan mamanya.

Sakura sungguh bangga padanya. Kebahagiaan itu meluap, membanjir, menggenangi seluruh hatinya. Hingga membuatnya lupa bagaimana rasanya sedih. Sakura tidak ingat lagi.

Dan medali kebanggaan itu dipersembahkan Sarada untuk papanya. Di depan nisan gadis itu bercerita, betapa bahagianya dia hari ini. Wajahnya lebih cerah daripada langit sore ini, senyumnya lebar menunjukkan medali itu pada pusara sang papa. Dan dengan mata berkaca-kaca, Sarada mengalungkan medalinya di batu nisan. Itu hadiah.

Selama 14 tahun, sebanyak 14 perayaan ulang tahun, sebanyak itu pula Sarada mendapatkan hadiah-hadiah dari papanya. Namun pada ulang tahun kali ini Sarada tidak mendapatkan apapun. Lemari besar di kamar bayi dulu telah kosong, tidak tersisa satu pun hadiah. Selain sepucuk amplop, berisi kartu ucapan berwarna merah. Selamat ulang tahun ke-15, putriku sayang.

Hanya sebaris kalimat yang tertulis. Tidak ada lagi. Membaca sepotong kalimat itu, Sakura seperti membaca salam perpisahan. Entah apa maksud Sasuke. Apakah Sasuke ingin meninggalkan dirinya dan Sarada setelah putri mereka itu remaja? Apakah baginya Sarada tidak membutuhkannya lagi setelah dia beranjak dewasa? Apakah bagi Sasuke begini lebih baik?

Mata Sakura berair. Seperti bendungan yang langsung terisi penuh oleh hujan yang turun tiba-tiba di musim kemarau, begitu deras, membuatnya meluap. Bendungan itu nyaris jebol, sedikit lagi saja menumpahkan air bah. Segera Sakura menengadahkan wajah, menghapus sempurna air mata yang belum sempat tumpah ke pipinya.

Selama 15 tahun, inilah pertama kalinya Sakura mengingat lagi rasa sakit itu. Kesedihan itu. Pedihnya kehilangan. Dia bisa mengingatnya lagi di kepala, merasakannya dengan jelas di hati. Sakitnya ditinggal orang yang paling dia cintai.

Mengapa Sasuke melakukan itu? Mengapa Sasuke memutuskan satu-satunya hubungan yang bisa mereka jalin setelah dirinya pergi? Mengapa tidak ada lagi hadiah untuk putri mereka? Mengapa tidak ada lagi surat?

Mengapa, Sasuke-kun?

"Mam?"

Lamunan sedih Sakura terpecah. Saat menoleh ke belakang, Sarada sudah di ujung jalan setapak. Sakura hampir tidak menyadari ketika tadi putrinya mengajak pulang.

"Ya, Sayang. Mama datang."

Sejenak Sakura menatap nama Sasuke Uchiha di batu nisan yang telah kusam. Bunga-bunga daffodil segar yang mereka bawa hari ini, ditambah medali emas yang dikalungkan Sarada di sana, membuat batu nisan itu menjadi sedikit lebih baik.

Sekelumit perasaan yang tadi Sakura rasakan berusaha dilupakannya. Sasuke telah beristirahat dengan tenang selama 15 tahun di bawah gundukan tanah itu. Tidak pantas jika dia merasa marah dan membiarkan dirinya ditenggelamkan kesedihan. Sekarang tidak ada gunanya lagi. Biarlah Sasuke tidur dengan tenang di sana. Apapun keputusan yang Sasuke pilih, Sakura akan menghormatinya.

"Maafkan aku, Sasuke-kun." Sakura mengusap nama di batu nisan sebelum berbalik dan menyusul langkah putrinya.

Tapi tiba-tiba kakinya tertahan. Terhenti begitu saja. Jantung Sakura seakan berhenti berdetak saat itu juga. Melihat sosok pria yang berdiri di hadapannya kini. Pria yang sedang menatapnya dengan sepasang mata hitam yang indah.

Dia berdiri diam di sana, di bawah pohon sakura yang besar. Tubuhnya disiram cahaya kemerahan matahari senja. Namun wajahnya bersinar. Wajah yang Sakura kenali. Benarkah itu? Apakah matanya tidak sedang mengelabuinya? Benarkah itu Sasuke?

Tidak mungkin ...

Kaki Sakura bergerak sendiri. Melangkah. Mendekati pria itu. Sasuke? Dilihat semakin dekat pun wajahnya tidak berubah. Benarkah dia Sasuke?

Tidak mungkin ...

Tangan Sakura bergerak sendiri. Terangkat. Menyentuhnya. Menangkup pipinya.

"Sasuke ... kun ...?"

Sepasang mata hitam yang indah itu menatap Sakura. Bibirnya mengulas senyum. Senyum yang indah, meluruhkan perasaan rindunya seketika, hanyut bersama tumpahan air mata yang jatuh ke pipinya.

Namun kerinduan itu lenyap bersama pandangannya yang memburam dan gelap.

Gelap. Semua cahaya tertelan dari pandangan Sakura. Padam. Seperti tenaganya yang tiba-tiba saja menguap dalam kabut pekat. Hilang bersama kesadarannya.

...

Ketika Sakura membuka mata, yang pertama dilihatnya adalah wajah Sarada. Putrinya tampak lega melihatnya terbangun, namun juga tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang besar di matanya.

"Apa yang terjadi, Sarada? Kenapa Mama ada di kamar?"

"Mama pingsan saat kita hendak pulang dari makam. Dokter Neji bilang, gula darah Mama turun lagi. Itu karena Mama kacapekan dan kurang istirahat."

Gadis itu mengambilkan segelas air hangat, membantu Sakura meminumnya.

Sakura baru menyadari bahwa dia masih memakai kimono biru. Sejenak ditengoknya jam dinding, hampir pukul delapan. Dia hanya pingsan beberapa jam.

"Aku akan mengambilkan makan malam."

"Tunggu, Sarada." Sakura menahan lengan putrinya, membuatnya duduk kembali di tepi tempat tidur.

"Apa kau ... tidak melihat ..."

Alis Sarada bertaut. Tampangnya sedikit bingung. "Apa, Mam?"

Sakura menelan ujung kalimat pertanyaannya. Tidak. Kini dia sadar itu hanya halusinasi. Apa yang dilihatnya sebelum jatuh pingsan, sosok Sasuke yang tiba-tiba muncul di hadapannya, itu tidak lain adalah bayang-bayang semu yang diciptakan oleh otaknya akibat kekurangan insulin.

"Kalau Mama ingin aku di sini, aku akan di sini menemani Mama. Biar Bibi Amane yang mengambilkan makam malam," kata Sarada, merapikan selimut yang menutupi tubuh ibunya. Dia tampak semakin khawatir sekarang.

"Tidak, jangan. Ini sudah jam pulangnya Bibi Amane. Kita tidak boleh menghambatnya, dia juga punya keluarga yang perlu diurus."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan turun mengambilkan Mama makan malam. Mama tunggu, ya? Aku akan meminta seseorang menemani Mama di sini."

"Tidak usah, Sayang. Jangan minta Nenek, nenekmu tidak kuat naik-turun tangga. Mama tidak apa-apa sendiri."

Sarada tersenyum, mengecup kening Sakura, lalu meninggalkan kamar.

Dalam kesendiriannya, pikiran Sakura melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu. Sesaat sebelum kesadarannya hilang. Ketika sosok Sasuke muncul.

Sakura tidak mengerti mengapa matanya tega menipunya. Sosok itu tampak begitu nyata. Sepasang mata hitam itu berbinar menatapnya. Senyum di wajah itu melengkung untuknya. Hingga semua perasaan hangat yang melelehkan kerinduan di hati Sakura, membungkus dirinya dengan rasa bahagia. Sekejap. Hanya sekejap mata.

Mengapa dirinya menciptakan bayang-bayang Sasuke? Setelah 15 tahun melewati masa-masa kehilangan yang berat, tidak pernah sekali pun dia mengkhayalkan Sasuke ada di sisinya. Terpikir pun tidak. Tapi mengapa sekarang? Mengapa di saat dirinya ingin melepaskan Sasuke untuk beristirahat dengan tenang selama-lamanya, tiba-tiba sosok itu muncul?

Sakura memandangi telapak tangannya.

Sosok itu terasa begitu nyata. Sakura bahkan merasa bisa menyentuhnya. Benar-benar seperti kenyataan yang bisa diraih. Namun ketika sadar bahwa itu semua hanya ilusi, hatinya seakan diremas kuat-kuat. Hal paling menyakitkan dari mimpi indah adalah ketika kau terbangun dan menyadari itu tidaklah nyata. Rasanya sungguh menyakitkan.

Sakura menghela napas panjang. Seakan berusaha terlepas dari jerat rasa sakit yang melilit seluruh tubuhnya.

Cepat-cepat diperbaikinya letak selimut yang menutupi dirinya ketika mendengar langkah-langkah kaki di tangga. Diperbaiki mimik wajahnya, menghapus kesedihannya di sana. Sarada tidak boleh melihatnya seperti itu.

Sakura menoleh ke pintu kamarnya yang memang tadi ditinggalkan Sarada dalam keadaan terbuka, melempar senyum pada putrinya yang datang membawakannya makan malam. Lihatlah betapa sayangnya Sarada padanya, tidak membiarkan dirinya menunggu lama. Namun senyum Sakura lenyap seketika. Bukan Sarada yang membawakannya makan malam. Bukan putrinya.

"Sakura," ucap Sasuke Uchiha dari bawah birai pintu.

Sakura mengerjap-ngerjapkan mata, menggeleng keras. Tapi sosok itu masih berdiri di sana, membawa nampan berisi makan malam, menatap padanya. Ini tidak mungkin. Aku berhalusinasi lagi. Berulang-ulang dia meyakinkan diri sendiri. Pengaruh obat yang disuntikkan Dokter Neji pasti sudah habis. Dia perlu obat lagi. Dia butuh obatnya sekarang.

Sakura tidak lagi melihat pada sosok itu. Sehingga dia sedikit tersentak ketika dirasakan sentuhan lembut menangkup punggung tangannya. Sosok Sasuke sudah duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangannya. Hangat.

Bagaimana mungkin dia bisa merasakan sentuhan itu?

Apakah sosok itu nyata? Benarkah itu Sasuke? Laki-laki yang menggenggam tangannya, seperti bagaimana cara Sasuke selalu menggenggamnya. Laki-laki yang kini tersenyum padanya, seperti bagaimana cara Sasuke selalu tersenyum untuknya. Benarkah itu nyata?

"Sasuke ... kun ...?"

Air mata Sakura meluncur. Tidak dapat membedakan kenyataan dan ilusi. Rasanya sungguh menyakitkan. Mengapa dia harus berhalusinasi begini jauh? Apakah kerinduan yang selama ini terkurung di dalam hatinya kini tidak lagi sanggup dikekang? Mengapa?

Jemari Sasuke mengusap air mata di pipinya.

"Jangan menangis lagi."

Suara itu. Sakura tahu itu suara Sasuke. Mengapa terdengar begitu nyata?

Sakura menyentuh wajahnya. Matanya. Hidungnya. Bibirnya. Merasakan setiap jengkal yang disentuhnya di sana. Semua sama. Wajah Sasuke. Mengapa semua ini terasa begitu nyata?

"Mimpi macam apa ini sebenarnya?" tanya Sakura gemetar. "Aku ingin kau terus di situ, di hadapanku. Aku tidak ingin begitu aku membuka mata, sosokmu hilang, lenyap dan aku tidak menemukanmu lagi. Jika ini hanya mimpi ... maka biarkan aku tidak pernah terbangun ..."

"Jangan begitu. Jika kau tidur selamanya, bagaimana dengan Sarada?"

"Sarada ..." Sakura terpikirkan sesuatu. "Benar. Sarada tidak ada di sini. Juga ketika aku melihatmu di makam, aku tidak melihat Sarada di sana. Jadi ... aku hanya sedang berhalusinasi, kan?"

"Kalau begitu, apakah kau menghalusinasikan ini?"

Dalam hitungan detik yang cukup panjang, Sasuke mengecup kening Sakura. Ketika itu seakan jantung Sakura berhenti berdegup.

Sasuke tersenyum membalas tatapan mata zamrud Sakura yang penuh diliputi kebingungan.

"Aku pulang, Sakura," katanya kemudian.

"Tidak mungkin. Kau sudah meninggal, lima belas tahun yang lalu. Ini tidak mungkin nyata ..."

"Ini nyata, Sakura. Kau tidak sedang bermimpi atau berhalusinasi. Aku senyata kau melihatku. Aku senyata kau menyentuhku." Sasuke meletakkan telapak tangan Sakura di pipinya. "Kau bisa merasakannya?"

Mata zamrud Sakura terbelalak, seakan baru saja terbangun dari mimpi-mimpi yang panjang. Mimpi tentang Sasuke. Tapi ketika dia tersadar, sosok yang diimpikannya itu nyata.

"Bagaimana mungkin ...? Kau sudah meninggal ..."

"Ceritanya panjang. Yang penting sekarang aku di sini. Tepat di hadapanmu."

"Ya, Tuhan ..."

Sakura tidak bisa bicara apa-apa lagi, mulutnya ditutup rapat oleh kedua tangannya. Air matanya tumpah. Bingung, tidak mengerti, terlalu banyak pertanyaan yang berkelebatan memenuhi kepalanya. Tapi di atas semua perasaan itu, kebahagiaannya muncul seperti kuncup bunga yang mengembang terus dan terus hingga mekar dengan sangat indah. Entah apa yang terjadi. Seakan itu tidak penting lagi sekarang.

Benar. Yang penting Sasuke di sini. Tepat di hadapannya. Dan itu nyata.

Sakura merengkuhnya. Menjaganya dalam pelukan yang dalam dan erat agar tetap nyata. Sebenarnya menjaga keyakinannya sendiri bahwa semua ini bukan khayalannya. Dia benar-benar memeluk Sasuke. Laki-laki yang dicintainya.

Kedatangan Sasuke memang bukan mimpi atau khayalan Sakura semata. Karena Sarada juga ada di sana. Gadis itu muncul dari balik pintu, matanya merah habis menangis. Dia memeluk mama dan papanya. Menangis lagi. Menumpahkan seluruh kebahagiaannya di sana. Dalam derasnya air matanya, wajah Sarada lebih cerah daripada bulan purnama ketika papanya mencium sisi kepalanya. Air mata Sakura jatuh lagi demi melihat pemandangan itu. Hatinya dipenuhi rasa bahagia yang tak terkatakan.

Sebenarnya saat di makam Sakura juga tidak berhalusinasi, Sarada mengakui. Sakura sungguh-sungguh melihat Sasuke. Kemunculannya sore itu telah direncanakan, kejutan untuk Sakura. Hanya saja Sarada dan Sasuke yang membuat rencana itu tidak pernah menyangka jika Sakura akan pingsan dan merusak momennya.

"Jadi, kau sudah bertemu Papa lebih dulu?" tanya Sakura pada Sarada, menatap sinis tidak percaya.

Sarada menyeringai, bersembunyi di balik punggung Sasuke.

"Aku memang bertemu Papa lebih dulu. Seminggu setelah hari ulang tahunku yang ke lima belas. Paman Kakashi bilang mau memberiku kejutan. Lalu dia membawaku bertemu Papa."

"Kakashi?" Sakura mendelik. "Aku benar-benar harus buat perhitungan dengannya."

Sarada terkekeh. "Sepertinya Mama punya masalah sensitivitas dengan Paman Kakashi."

"Apakah itu karena semua masalah ini?" Sasuke menyadari ke mana arah pembicaraan ini berbelok. Namun hati-hati dia melanjutkan pertanyaan, "Kau menyimpan marah pada Kakashi karena dia pernah menyembunyikan kematianku?"

Sakura membalas Sasuke dengan tatapan menantang. Menjawab dengan serius, "Ya, aku menyimpan marah pada Kakashi sejak saat itu. Tapi sekarang tidak hanya padanya. Kau tidak tahu bagaimana marahnya aku sekarang, Sasuke-kun? Kau menipuku selama lima belas tahun."

"Ano, ada PR yang kubawa dari Lab. Harus selesai malam ini. Aku permisi dulu, Mam, Pap. Oyasumi!" kata Sarada sebelum melangkah cepat-cepat meninggalkan kamar.

"Sarada benar-benar anak yang pintar ya, termasuk pintar membaca situasi," komentar Sasuke, seperti sedang membelokkan arah pembicaraan.

Sakura tidak menanggapinya. Selain diam menatapnya.

"Baiklah. Sudah sepantasnya kau marah." Sasuke menyerah. Dia memperlihatkan seluruh rasa bersalah itu di wajahnya yang tampak hanya 10 tahun lebih tua daripada terakhir kali Sakura melihatnya.

"Kau berhak untuk marah. Selama lima belas tahun kau pasti menjalani hidup yang berat, masa-masa sulit, sendirian tanpa aku. Tidak, hidupmu bahkan sudah sangat berat sebelum aku pergi darimu. Kau banyak menderita karena diriku. Di tengah kemunduranku, kau tetap bertahan untuk merawatku. Kau bisa saja memilih untuk meninggalkanku. Tapi kau memilih bertahan di sisiku. Kau—"

Sakura membungkamnya dengan pelukan. Bersandar dengan nyaman di pundaknya.

"Kumohon. Tidak usah lagi kita bicarakan masa-masa itu, ya? Semua sudah berlalu, Sasuke-kun."

Dalam belaian lembut yang dirasakan Sakura di kepalanya, Sasuke berbisik. "Maafkan aku."

Sakura mengangkat wajah, menatap sepasang mata indah Sasuke yang sedang menatapnya.

"Jangan minta maaf. Bagaimana mungkin aku bisa marah padamu, Sasuke-kun? Justru aku ingin berterima kasih. Karena kau kembali, karena kau tidak benar-benar meninggalkanku."

Jemari Sasuke bergerak lembut menghapus air mata yang sekali lagi meluncur di pipinya.

Malam ini, untuk pertama kalinya setelah 15 tahun, Sakura dapat terus tersenyum sepanjang malam. Merasakan kehangatan yang melingkupi seluruh hatinya. Bersatu lagi dengan orang yang dicintainya. Rasanya seperti jatuh cinta lagi. Lagi dan lagi, entah yang ke berapa kali. Pada laki-laki yang sama. Sasuke Uchiha.

...

Sasuke bangkit dari kematian.

Itu menjadi topik hangat selama berminggu-minggu. Tidak hanya di Konoha, cerita itu bahkan telah menyebar ke seluruh penjuru negeri. Dan terakhir menjadi perhatian dunia internasional.

Sebenarnya Sasuke bukan bangkit dari kematian. Dia tidak pernah benar-benar mati.

Lima belas tahun yang lalu, saat kabar kematiannya disampaikan Kakashi kepada Sakura, Sasuke sedang terbaring koma di sebuah tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Kakashi, Profesor Sarutobi, dan beberapa staf peneliti kepercayaan Profesor. Tidak bisa dipastikan kapan Sasuke akan sadar, boleh jadi dia tidak akan pernah sadar. Dengan kondisi yang tidak lebih baik daripada mati itu, akhirnya Kakashi terpaksa menyampaikan berita palsu. Berdusta pada semua orang bahwa Sasuke sudah meninggal. Sekaligus membuat makam fiktif dengan batu nisan bertuliskan nama lengkap Sasuke.

Tidak ada yang pernah tahu bahwa kuburan itu kosong. Tidak ada yang pernah menyangka bahwa Sasuke tidak terbaring di bawah sana. Melainkan di sebuah tempat rahasia, dalam kondisi tidur panjang tanpa harapan.

Satu minggu setelah berpisah dari Sakura dan dibawa ke tempat rahasia, Sasuke mengalami penurunan fungsi otak yang sangat drastis. Dia lumpuh. Tidak dapat melakukan apapun selain berbaring di tempat tidur. Meskipun kondisi itu sudah diperkirakan sebelumnya oleh Profesor Sarutobi, di luar dugaan fasenya terjadi terlalu cepat. Imun tubuh Sasuke terhadap enzim yang pernah disuntikkan ke otaknya hingga membuatnya jenius jauh lebih responsif daripada yang diduga selama ini.

Sasuke telah mencapai titik terlemahnya. Batas antara hidup dan matinya seakan tidak lebih tebal dari sehelai benang. Pada saat itulah Profesor Sarutobi melakukan pembedahan ke dua pada kepalanya, menyuntikkan enzim dengan formulasi terbaru pada otaknya.

"Tidak ada yang tahu kapan Profesor menyempurnakan formulanya, bahkan Kakashi," kata Sasuke ketika menceritakannya pada Sakura. "Aku tidak mengingatnya. Tapi membaca catatan yang kutulis di buku harian, kurasa diriku pada saat itu tahu ada sesuatu yang direncanakannya. Rencana membawaku ke Amegakure, sebenarnya adalah ide Profesor. Malam itu sebelum kami kembali dari pertemuan di Tokyo, Profesor bicara secara pribadi di kamarku. Profesor menatapku dengan mata yang dipenuhi keyakinan. Aku menulis kata-katanya di buku harian."

"Sasuke, satu-satunya cara tersisa untuk menyelamatkanmu adalah membawamu pergi jauh dari Sakura. Pergi jauh dari siapapun yang mengenalmu. Karena jika kau bersedia menerima bantuan terakhirku, kau mungkin akan melewati masa-masa paling sulit yang tidak akan bisa ditanggung oleh siapapun yang melihatnya. Sakura sekalipun."

"Dan kau menaruh seluruh keyakinanmu pada Profesor Sarutobi?" tanya Sakura.

"Aku hanya bertaruh. Seperti seorang penjudi yang sudah habis masa keberuntungannya, kalah banyak setelah kehilangan hampir seluruh uangnya. Yang tersisa di sakunya hanya sekeping koin. Itu satu-satunya harapan yang kupunya. Dan aku menyerahkannya pada Profesor Sarutobi untuk diundi dengan harapan yang lebih besar.

"Toh aku tetap akan mati meski tidak melakukan apapun. Kondisiku memburuk dari hari ke hari. Koin harapan hidupku terus berkurang, yang bisa kutatap hanya kematian. Sebelum benar-benar kehilangan semuanya, aku menggunakan satu-satunya koin tersisa untuk bertaruh. Jika beruntung, aku bisa melanjutkan hidup. Jika tidak beruntung, kau tahu aku akan berakhir di mana. Itu sebuah pertaruhan besar. Tapi aku melakukannya, karena aku benci diam saja sementara nasib menertawakanku."

Sakura memperhatikan wajahnya. Mata hitamnya dipenuhi ketenangan saat memandangi langit kelam bertabur bintang di atas sana. Walaupun tanpa segurat senyum dari bibirnya, Sakura merasakan hatinya sedang dipenuhi kebahagiaan. Rasa syukur. Kemenangan. Menang atas sikap menyerah yang paling benci dilakukannya.

Sakura menautkan jemarinya ke jemari Sasuke, menggenggamnya hangat. Sehangat perasaan penuh syukur yang tertular darinya.

"Kakashi memberiku pesan terakhir yang ditulis Profesor untukku sebelum meninggal."

Sasuke memberikan sepucuk surat pada Sakura. Masih terlipat di dalam amplop, namun sedikit lecak di pinggiran kertasnya ketika dibuka, juga beberapa huruf luntur terkena tetesan-tetesan air. Belum dibaca saja, hati Sakura sudah lebih dulu bergemuruh. Melihat lecaknya, bekas-bekas lunturnya, terbayang di kepala Sakura ketika Sasuke membacanya untuk pertama kali. Dia menangis.


Untuk Sasuke.

Aku senang jika kau bisa membaca surat ini. Artinya usaha kita tidak sia-sia. Kau hidup, dan sehat. Meskipun aku penasaran di tingkat berapa kecerdasanmu sekarang. Tapi itu tidak penting. Kau hidup dan sehat, itulah yang kita harapkan.

Aku sangat bersyukur dan ikut berbahagia untukmu, Sasuke. Tapi aku harus mengakui satu hal padamu. Satu hal penting yang kau boleh melupakannya setelah ini, atau sebaliknya, kau boleh menjadikannya alasan untuk membenciku.

Sebenarnya, aku tidak pernah punya keyakinan pada kesembuhanmu. Aku bahkan tidak yakin pada formula yang kusempurnakan. Waktunya terlalu sempit; kondisimu menurun dengan cepat, sementara aku perlu mencoba dan mengamati perkembangan formula baruku sebelum disuntikkan padamu. Hingga pada saatnya aku kehabisan waktu, kau mencapai titik terlemah, aku tidak punya pilihan selain bertaruh. Enzim II kusuntikkan padamu. Jika berhasil, formula baru akan membuat sel-sel di dalam otakmu beregenerasi. Tapi jika gagal, tidak ada kehidupan setelah di ruang operasi untukmu, Sasuke.

Maafkan aku untuk keputusan terburukku saat itu. Aku tidak punya apapun selain harapan. Satu hal yang kupikirkan, aku tidak bisa membiarkanmu gagal setelah semua kesulitan yang kaualami. Karena itu aku bekerja keras menyempurnakan formulaku. Hanya dengan berbekal satu harapan, kau bisa mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik. Itu saja, Sasuke. Tapi mungkin aku terlalu serakah mengharapkan itu sehingga takdir membalasnya dengan kegagalan. Kau koma. Seminggu. Dua minggu. Sebulan. Dua bulan. Dan bulan-bulan yang berlalu tanpa adanya pertanda kau akan sadar terasa seperti keabadian bagiku. Entah kapan kau akan terbangun, atau mungkin kau tidak akan pernah terbangun lagi.

Maafkan aku untuk itu, Sasuke. Manusia hanya bisa berusaha. Sementara ada kekuatan di atas kita yang mengendalikan semuanya, menentukan segalanya.

Jika hari ini kau menerima suratku dan membacanya, aku sungguh bersyukur. Setidaknya ada hal yang berhasil kulakukan, meskipun aku sendiri tidak pernah tahu itu karena waktuku habis sebelum melihatmu membuka mata.

Hiduplah, Sasuke. Gunakan kesempatan ke duamu untuk hal-hal baik. Kau punya sesuatu untuk mengubah dunia, aku tahu itu. Boleh jadi itulah alasan kenapa kau bisa melewati semua masa sulit itu.

Kau adalah kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan.


Sakura melipat kembali surat itu dan memasukkannya ke dalam amlop seperti semula. Dia baru saja menambah luntur di beberapa kata dengan air matanya sendiri. Pundaknya dirangkul oleh Sasuke yang berdiri di sebelahnya.

Wajah Sasuke saat itu sendu. Mata hitamnya tampak semakin kelam menatap pusara dengan batu nisan bertuliskan nama lengkap Profesor Sarutobi.

"Tidak ada gambaran mengenai sosok ayahku di buku harianku. Tidak ada cerita tentangnya. Kecuali dua orang; Paman Teuchi, dan Profesor Sarutobi. Paman Teuchi adalah pria tua yang tulus merawatku setelah aku berpisah dengan keluargaku. Memberiku tempat tinggal dan menjadikanku bagian dari keluarga. Untuk itu aku menyayanginya seperti seorang keluarga. Sementara Profesor Sarutobi, sepertinya selama lima belas tahun sebelum ini aku lebih banyak menghabiskan waktu dengannya, lebih banyak melewati masa-masa sulitku bersamanya.

"Dulu dan sekarang, aku menganggap Profesor seperti ayahku sendiri. Aku tidak menyesali apapun yang telah dilakukannya untukku. Kecuali satu hal, dia tidak pernah melihatku pulih. Aku menyesal karena dia harus meninggal dengan rasa bersalah atas kegagalannya padaku. Aku menyesal dia tidak pernah tahu bahwa aku berhasil mendapatkan kesempatan ke dua seperti yang diinginkannya, berdiri di sini, untuk berterima kasih padanya."

Tiba-tiba Sasuke menundukkan wajah, air matanya jatuh setetes demi setetes. Suaranya gemetar ketika mengatakan dengan lirih, "Aku tidak akan pernah bisa berterima kasih padanya ..."

Sakura memeluknya. Mengusap-usap punggungnya, meredam gemetarnya. Pedihnya penyesalan itu ikut menusuk-nusuk hati Sakura. Diam-diam air matanya juga meluncur. Tapi dia harus berdiri tegak untuk Sasuke. Dia harus membuat Sasuke yakin akan satu hal, karena Profesor Sarutobi yang telah tiada juga menginginkan hal yang sama.

"Tentu kau bisa berterima kasih padanya, Sasuke-kun. Hiduplah seperti yang Profesor harapkan. Hidup dengan baik. Lakukan sesuatu untuk mengubah dunia."

Sejenak Sasuke menatap pusara di hadapan mereka. Mendung yang semula membayangi wajahnya perlahan-lahan tersaput oleh binar cerah dari tatapan matanya kini. Sasuke tersenyum tipis. Cerminan sebuah keoptimisan tergambar dari wajah itu. Dia mengangguk pada Sakura.

Satu bulan setelah kembali pada keluarganya, Sasuke juga kembali secara resmi ke Laboratorium Kejiwaan Universitas Konoha. Dia tidak sejenius dulu, kecerdasannya hanya sampai pada rata-rata pria dewasa. Jadi, dia kembali ke Lab bukan untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang ilmuwan. Dia hanya kembali untuk merampungkan proyek penelitian sebagai objek eksperimen. Proyek itu akan ditutup.

Semua data dikumpulkan, diserahkan pada Dewan Komite dalam Asosiasi Psikologi Internasional yang kembali digelar empat hari kemudian. Kali ini Konoha menjadi tuan rumah. Seluruh dewan yang hadir dalam pertemuan itu memutuskan untuk tidak melanjutkan Eksperimen Enzim dengan mempertimbangkan proyek itu terlalu berbahaya; dibandingkan keberhasilannya, risikonya jauh lebih besar. Namun sebelum pertemuan diakhiri, Sasuke berhasil meyakinkan seluruh anggota dewan untuk tidak benar-benar menghentikan penelitian enzim. Eksperimen yang telah berjalan mungkin terlalu berbahaya untuk diterapkan kembali pada percobaan berikutnya. Tapi enzim pada formulasi ke dua yang telah disempurnakan Profesor Sarutobi layak untuk dikembangkan. Kakashi yang juga hadir dalam pertemuan itu mendukung pendapat Sasuke. Dia menyatakan pada seluruh anggota dewan bahwa Enzim II memiliki sifat lebih alami terhadap reaksi imun tubuh, sehingga membuatnya lebih memungkinkan untuk ditanamkan ke dalam jaringan otak. Hanya perlu pengembangan lagi agar Enzim II benar-benar layak untuk dijadikan solusi atas anak-anak teretardasi.

"Bila penyuntikan enzim bisa menolong satu kehidupan, mengapa proyeknya tidak dilanjutkan untuk menolong kehidupan-kehidupan lain?" suara Sasuke lantang menggema ke seluruh penjuru ruang auditorium raksasa itu. Matanya menyapu seisi ruangan. "Bila aku bisa memiliki kesempatan hidup ke dua dengan lebih baik, mengapa tidak dengan anak-anak terbelakang lain?"

Pendapatnya membuat langit-langit auditorium raksasa hening. Semua bergeming.

Melihat Sasuke dari tempat duduknya di barisan tamu undangan, menatapnya berdiri di tengah podium, mata Sakura berkaca-kaca. Mengenang semua yang telah dilalui Sasuke. Sejak dirinya hanya seorang pemuda terbelakang yang berseru-seru mengatakan ingin jadi pintar. Lalu harapannya terkabul, dia bermetamorfosis menjadi manusia paling jenius di muka bumi. Dan semua tahapan yang membuatnya mundur kembali perlahan-lahan, melemparnya kembali pada keadaannya semula. Terbelakang, bahkan lebih menyedihkan hingga nyaris mati. Namun takdir berbaik hati padanya. Lewat kerja keras Profesor Sarutobi, dia berhasil bangkit dari keterpurukan. Mendapatkan kesempatan ke dua. Hidup kembali. Untuk kini berdiri di depan orang-orang penting ini, demi meyakinkan mereka bahwa hidup seorang terbelakang layak untuk diperjuangkan.

Air mata Sakura jatuh meluncur ketika satu per satu dari hampir seluruh anggota dewan yang semula menolak untuk melanjutkan penelitian akhirnya berbalik suara, mendukung untuk diteruskannya proyek itu.

Sasuke berhasil. Dari tengah podium, dia melempar senyum pada Sakura di tempat duduknya. Wanita itu mengangguk dengan hati dibuncah haru dan bangga seiring gemuruh tepuk tangan yang memenuhi langit-langit auditorium.

Pertemuan itu ditutup dengan keputusan melanjutkan penelitian ke tahap pengembangan formulasi enzim. Tim peneliti dibentuk pada saat itu juga. Karena ini adalah proyek internasional, seluruh pekerjaannya didedikasikan untuk dunia, maka anggotanya ditunjuk dari masing-masing universitas, ilmuwan-ilmuwan psikologi dan para ahli bedah syaraf dari tiap negara peserta asosiasi. Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Mesir, India, Cina, Korea Selatan. Dari Jepang terpilih 4 orang, termasuk Sarada Uchiha dan Kakashi Hatake yang mewakili Universitas Konoha. Dan Kakashi terpilih sebagai pemimpin penelitian.

Mereka bersama-sama akan bekerja keras untuk menyempurnakan hadiah terakhir dari mendiang Profesor Sarutobi. Itu akan menjadi proses yang panjang, mungkin perlu waktu bertahun-tahun. Meskipun begitu, mereka semua tahu tidak perlu terburu-buru. Kerja keras dan kesabaran mereka akan terbayar suatu hari nanti dengan harga yang sangat pantas. Tidak lain adalah masa depan cerah untuk anak-anak di seluruh dunia yang terlahir kurang beruntung.

Dimulainya babak baru proyek Penelitian Enzim Sarutobi, tidak menjadi akhir dari perjuangan Sasuke meskipun dia tidak lagi terlibat dalam penelitian. Sasuke memilih caranya sendiri untuk mengubah dunia. Setelah eksperimen itu selesai padanya, Sasuke memutuskan untuk kembali ke universitas. Belajar. Mengambil jurusan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Dia ingin menjadi guru bagi anak-anak terbelakang.

Satu hal yang ingin dicapai Sasuke lewat usaha itu adalah dia ingin menularkan semangat pada mereka, memberi mereka motivasi dan membuka pendangan mereka yang terbatas. Dia ingin menunjukkan bahwa mereka selalu punya kesempatan untuk hidup lebih baik meskipun kondisi mereka berbeda daripada orang kebanyakan. Mereka boleh saja hidup dalam keterbatasan, namun tidak pernah ada batas dalam membangun mimpi dan kerja keras untuk mewujudkannya.

...

"Apa yang paling kauingat dari kehidupanmu yang lama, Sasuke-kun?" tanya Sakura pada suatu malam.

Mereka berdua berbaring di halaman belakang rumah. Di bawah pohon sakura yang berguguran, beralaskan rumput, mereka menatap bulan sabit yang melengkung indah, menghias langit seperti sebuah senyuman bercahaya. Keduanya saling menggenggam tangan.

Sasuke menggeleng pelan. Mata hitamnya tampak seakan menyedot kelamnya langit malam. Begitu sendu. "Tidak ada," gumamnya. "Tidak ada yang tersisa dari ingatanku."

Sakura bukannya tidak tahu hal itu. Dia sudah mendengar keseluruhan cerita dari Kakashi mengenai Sasuke yang dalam masa pemulihannya disembunyikan selama 15 tahun. Sasuke kehilangan seluruh ingatan ketika terbangun dari koma. Seluruhnya, kenangan seumur hidupnya terhapus tak tersisa.

Bagi Sakura, terhapusnya ingatan Sasuke bukanlah bencana. Selalu ada kebaikan dalam setiap hal yang terjadi. Tanpa kenangan, Sasuke tidak perlu mengingat lagi masa-masa menyakitkan yang pernah terjadi dalam hidupnya di masa lalu. Tentang kamar di rumah lama yang menjadi kurungannya. Tentang ayah yang membuangnya. Tentang dirinya yang selalu dikucilkan, diejek, dijadikan bahan lelucon. Tentang dirinya yang disingkirkan dari masyarakat. Sasuke tidak perlu mengingat-ingat itu lagi.

Bukankah melupakan hal-hal menyakitkan adalah keinginan semua orang?

Sakura mengeratkan genggamannya pada tangan Sasuke. Menoleh padanya, tersenyum.

"Tidak apa-apa, Sasuke-kun. Jika kau kehilangan seluruh kenanganmu, aku akan membantumu membuat kenangan yang baru."

Sebelum tidur di kamar mereka yang hangat, Sakura memberikan buku usang bersampul cokelat pada Sasuke. Buku dongeng yang telah tersimpan di rak buku selama 15 tahun. Itik Buruk Rupa.

"Ini adalah satu-satunya peninggalan ibumu. Kau selalu membawanya ke mana-mana, memeluknya erat-erat di dada, tidak pernah mau melepasnya. Kaubilang, memeluk buku ini rasanya seperti memeluk ibumu."

Sasuke mengusap lembut nama lengkapnya yang tertulis indah di sampul buku.

"Ibumu yang menulisnya," kata Sakura. "Andai kau ingat bagaimana bangganya dirimu saat memamerkan padaku bahwa ibumu yang menuliskan itu, betapa bangganya dirimu bahwa tulisannya begitu indah."

Sekali lagi Sasuke mengusap tulisan namanya, sebelum memeluk buku dongeng itu dengan mata terpejam. Seolah dia sedang memeluk ibunya sendiri. Dia menangis. Air mata kerinduan itu mengalir pilu dari ekor matanya. Demi melihat itu, Sakura mendekapnya. Meski dekapan hangat Sakura tak pernah sebanding dengan dekapan ibunya, paling tidak Sasuke tahu bahwa dia tidak perlu menanggung rasa rindu itu sendirian. Ada Sakura di sisinya.

Di lain hari, mereka berkunjung ke Kyoto. Mendatangi rumah lama Sasuke. Rumah bergaya tradisional yang kini disewakan untuk ditempati orang lain. Pemilik rumah mengizinkan mereka melihat-lihat sebentar.

Tidak banyak yang Sakura ceritakan tentang kehidupan masa lalu Sasuke di rumah itu. Terlalu menyedihkan dan menyakitkan hati untuk dikenang. Jika Sasuke mendapatkan kesempatan hidup kembali dengan kehilangan semua ingatan tentang masa itu, tidak mungkin Sakura melukainya lagi dengan mengorek apa yang pernah terjadi. Potongan kenangan pahit itu biarlah terhapus untuk selamanya.

Rumahnya itu biarlah diingat Sasuke dengan kenangan yang baru. Tempat dia dilahirkan, tempat dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang dari ibunya.

Sasuke menatap setiap jengkal isi rumahnya dengan tatapan kosong, datar, tak berarti. Kecuali kamar ibunya. Lama dia terdiam di depan pintu, menatap ke dalam. Seakan-akan dia melihat ibunya berbaring di sana, tertidur karena kelelahan mengurusnya.

"Bagaimana cara ibuku meninggal?" tanya Sasuke.

"Ibumu meninggal dengan cara yang baik sekali. Seperti orang yang sedang tidur. Kau ada di sisinya, membacakan dongeng Itik Buruk Rupa untuknya. Ibumu mengembuskan napas terakhirnya bersamamu, Sasuke-kun."

Sasuke memeluk erat-erat bingkai foto ibunya. Bibirnya mengulum senyum, sementara matanya berkaca-kaca. "Syukurlah ... syukurlah ..."

Bingkai foto itu kemudian diletakkannya di dekat nisan. Sasuke menatap wajah tersenyum ibunya di sana. Napasnya terhela panjang. "Ibu, tidurlah dengan tenang. Sekarang aku tidak akan menyusahkan Ibu lagi."

Berdiri di belakangnya, Sakura menyeka air mata.

Kini Mikoto Uchiha benar-benar bisa beristirahat dengan tenang. Karena Sasuke sekarang bisa menjaga dirinya sendiri. Ibunya tidak perlu khawatir lagi.

"Bagaimana dengan ayahku?" tanya Sasuke ketika mereka melewati pusaranya beberapa petak dari pusara sang ibu.

"Ayahmu ... dia menyayangimu, layaknya seorang ayah. Kau tidak menemukan catatan tentangnya di buku harianmu, karena kau di masa lalu tidak terlalu dekat dengannya. Ayahmu hanya tidak pandai menunjukkan perasaannya. Meskipun begitu, kau perlu tahu bawa ayahmu menyayangimu, Sasuke-kun."

Hanya itu yang bisa Sakura katakan. Tidak ada cerita tentang bagaimana perlakuan ayahnya terhadap Sasuke yang bisa Sakura sampaikan dengan jujur. Tidak ada yang perlu Sasuke tahu. Kecuali satu. Fakta bahwa ayahnya menyayanginya.

Setelah itu Sasuke meletakkan bunga di pusara sang ayah. Tidak ada senyum. Sasuke hanya menatap datar nama ayahnya yang terpahat di batu nisan. Tidak ada pula tatapan kebencian. Setidaknya, begitu lebih baik. Tidak ada rasa benci yang tersisa di hati Sasuke untuk ayahnya.

Lihatlah betapa nasib berbaik hati pada Sasuke. Kehilangan ingatan membuatnya kehilangan pula kebencian di hatinya.

Hubungan Sasuke dengan kakaknya, Itachi, pun terbentuk ulang dengan ikatan persaudaraan yang baru. Mereka kini dapat bercengkrama dengan santai, tanpa perlu merasa tersinggung satu sama lain. Tidak ada lagi dinding es yang dibangun dari rasa benci Sasuke yang memisahkannya dengan Itachi. Mereka kini dapat tertawa bersama. Tidak ada lagi kesenjangan.

Itachi berpikir sama dengan Sakura, untuk membiarkan kenangan-kenangan buruk Sasuke di masa lalu terhapus selamanya. Biarkan itu menjadi fase kehidupan yang telah berlalu, tidak perlu diungkit lagi. Meskipun Sakura sadar cara ini di satu sisi menjadi keuntungan bagi Itachi, kesalahan-kesalahannya di masa lalu tertutup dengan sempurna berkat terhapusnya ingatan Sasuke. Namun Sakura yakin sekali Itachi bukan orang seperti itu. Justru sebaliknya. Itachi semakin merasa bersalah, karena Sasuke hanya melihatnya sebagai seorang kakak yang sempurna kebaikannya, padahal dia hanya tidak tahu apa yang pernah dilakukan kakaknya itu padanya.

Itachi merasa seperti seorang munafik yang menyembunyikan kebusukan. Sayangnya Itachi tidak punya pilihan. Dia harus menyimpan rapat semua perasaan bersalah itu demi Sasuke. Jika itu dapat menyelamatkan Sasuke dari rasa sakit, Itachi rela menjadi seorang munafik sampai mati. Biar dia saja yang tersiksa.

...

"Selamat datang di Ramen Teuchi!"

Seorang pelayan wanita menyambut Sakura, Sasuke, dan Sarada di pintu masuk restoran. Sepertinya wanita itu karyawan baru, tidak tahu bahwa keluarga yang barusan disambutnya adalah tamu istimewa restoran keluarga ini. Suigetsu, yang telah menjadi manajer restoran ini selama 7 tahun, segera menegur pelayannya. Buru-buru menggantikan si pelayan menyambut tiga orang Uchiha ini layaknya tamu kehormatan.

Sakura selalu tertawa menanggapi servis berlebihan Suigetsu. Berulang kali dia mengatakan pada laki-laki itu—yang mungkin seumur hidupnya akan mengabdi pada restoran Teuchi—untuk memperlakukan keluarganya seperti pelanggan biasa saja. Sakura juga sudah mengatakan itu pada Ayame yang mewarisi restoran mendiang ayahnya. Tapi wanita itu juga hanya bisa tertawa karena Suigetsu sulit diberitahu.

Sikap Suigetsu yang agak berlebihan itu dinilai Sakura sebagai bentuk keseganannya pada Sasuke. Dengan terhapusnya ingatan Sasuke tentang perlakuan jahatnya di masa lalu, seakan menjadi kesempatan terbaik untuk memperbaiki semua kesalahannya itu. Kesempatan baginya untuk mengganti kenangan tentang dirinya dari seorang teman kerja yang jahat, menjadi seorang sahabat baik bagi Sasuke. Suigetsu sungguh beruntung.

Siang itu keluarga kecil Uchiha datang ke restoran keluarga Ramen Teuchi atas undangan Ino dan Kakashi untuk merayakan ulang tahun putri-putri bungsu mereka yang ke-6. Himawari dan Hinagiku, anak perempuan kembar yang lahir lima tahun setelah kakak laki-laki mereka, Ringo. Acara hari itu juga menjadi perayaan atas suksesnya pementasan perdana si kembar di panggung balet. Dua gadis kecil menggemaskan itu adalah calon balerina masa depan yang berbakat. Bagaimana tidak, mereka belajar langsung dari sang maestro, ibunya.

Hanya saja sekarang Ino tidak lagi menari, dia meninggalkan pentas baletnya setelah melahirkan Ringo. Kondisi tubuhnya tidak lagi memungkinkan dirinya untuk melanjutkan karier sebagai balerina profesional. Namun meski tidak lagi menari, sentuhannya di dunia balet tidak berhenti begitu saja. Ino beralih menjadi seorang pelatih. Dia punya studio sendiri di pusat kota. Selama 10 tahun berjalan, sudah tidak terhitung lagi penari-penari balet yang berhasil tampil di panggung profesional. Ino sungguh menikmati hidupnya. Bahagia bersama keluarganya, Kakashi dan ketiga anaknya.

Kakashi sendiri telah menjadi seorang guru besar di Universitas Konoha. Tidak pernah menduduki jabatan bergengsi seperti dekan ataupun rektor—dia tidak pernah tertarik untuk itu. Nama Kakashi terangkat dan menjadi besar di bidang psikologi setelah dia menulis literatur mengenai teori-teori kejiwaan yang dikembangkannya dari catatan yang ditulis Sasuke ketika masih jenius. Literaturnya kemudian menjadi bahan bedah studi di banyak universitas. Seiring dengan itu, teori-teori yang dikembangkannya menjadi acuan studi para mahasiswa psikologi. Berkat itu pula nama Universitas Konoha ikut terangkat, bersanding dengan jajaran universitas lain yang menjadi unggulan di tanah Jepang.

"Itu artinya secara tidak langsung kau punya andil dalam perkembangan kampus ini, Sasuke-kun. Kau membuat Universitas Konoha menjadi besar dengan ilmu pengetahuan yang kaumiliki," kata Sakura.

Dia dan Sasuke telah meninggalkan restoran Ramen Teuchi. Berdua berjalan bersisian di sekitar Universitas Konoha. Di bawah guguran kelopak sakura, bergandengan tangan. Bercakap-cakap santai. Merangkai kenangan indah di masa lalu.

Sasuke tersenyum tipis menanggapi komentar Sakura tadi. Melihat wajahnya, seakan Sasuke tidak yakin dulu dia pernah menjadi seorang jenius, seakan yang ada di masa lalu itu bukan dirinya.

"Sekarang aku tidak memiliki pengetahuan itu," katanya. "Aku hanya orang biasa. Pria empat puluh tiga tahun yang bahkan tidak lebih cerdas darimu, Sakura."

Langkah Sakura terhenti. Senyumnya terhapus, wajahnya sedikit memberengut. Mendengar ucapan Sasuke membuatnya kesal. Meskipun dia tahu itu benar.

Lima belas tahun yang lalu, Sasuke koma selama 3 musim. Ketika terbangun, dia seperti bayi yang baru dilahirkan. Tidak tahu apapun. Sasuke harus mempelajari semuanya dari awal lagi. Seperti sebuah buku kosong, dia harus mulai mengisinya dari lembar pertama. Belajar bicara. Belajar membaca. Belajar menulis. Seiring bergulirnya waktu, perkembangan inteligen serta mentalnya meningkat. Berbeda dengan perkembangannya ketika jadi jenius, prosesnya kali ini berjalan normal. Kecerdasan Sasuke tumbuh layaknya perkembangan anak-anak pada umumnya. Sasuke mampu belajar dengan cepat, tapi pengetahuan yang mengisi dirinya tidak melesat tak wajar seperti dulu.

Lima belas tahun. Bukan waktu yang pendek bagi Sasuke untuk bisa mencapai kematangan intelektualnya. Boleh jadi dia butuh waktu ribuan tahun untuk bisa sejenius dahulu. Kini dia hanya pria berusia 43 tahun dengan tingkat kecerdasan rata-rata.

"Memangnya kenapa dengan itu?" tanya Sakura, menantang Sasuke.

"Aku bukan lagi Sasuke si jenius. Apa kau tidak masalah dengan itu? Sekarang aku hanya laki-laki setengah tua, tidak punya apa-apa untuk dibanggakan. Lebih-lebih, aku tidak punya kenangan tentang kita berdua. Apa kau masih mencintaiku dengan itu semua?"

Sejenak Sakura hanya menatapnya dalam geming. Tatapannya menyelam ke dasar mata hitam Sasuke. Seakan dengan begitu dia bisa menyentuh memori terdalam Sasuke untuk memberinya beberapa potong kenangan.

Kemudian Sakura menariknya ke dekat pagar Universitas Konoha.

"Di sinilah pertama kali kita bertemu, Sasuke-kun. Kau mungkin tidak ingat. Tapi aku tidak pernah melupakan hari itu. Hari ketika untuk pertama kalinya aku menatap mata indahmu. Hari ketika aku jatuh cinta padamu."

Sakura membenahi rambut depan Sasuke yang sedikit berantakan ditiup angin. Tampaklah beberapa helai rambut putih di sana. Sasuke memang benar soal satu hal, dia kini seorang laki-laki setengah tua. Selain uban, tanda-tandanya juga tampak di wajah, garis-garis halus di sekitar mata dan keningnya. Tapi apa masalahnya? Semua orang pasti jadi tua.

Sakura membelai pipi Sasuke. Itu masih wajahnya, wajah laki-laki lugu yang pernah berdiri di balik pagar Kampus Konoha dan menatap penuh harap bisa menjadi pintar seperti orang-orang. Dengan dirinya yang sekarang, Sasuke pernah lebih terbelakang. Lalu apa masalahnya? Jika Sakura bisa mencintai dirinya yang selemah dulu, mengapa Sakura tidak bisa mencintai dirinya yang sekarang?

Sakura menggenggam kedua tangan Sasuke. Lagi-lagi menatap sepasang mata indahnya.

"Sasuke yang lemah. Sasuke yang jenius. Ataupun Sasuke yang sekarang. Bagiku, kau tetaplah Sasuke yang sama. Tidak ada alasan bagiku untuk berhenti mencintaimu. Seperti bagaimana halnya tidak alasan bagiku untuk jatuh cinta padamu dengan apapun yang ada pada dirimu."

Membalas tatapan mata zamrud Sakura, Sasuke tersenyum. Menggenggam tangannya lebih erat.

"Sepertinya aku tidak butuh kenangan apapun tentang kita di masa lalu. Karena sekarang aku mengerti bagaimana dulu aku jatuh cinta padamu. Aku bisa merasakan bagaimana aku terus mencintaimu, Sakura."

Di dunia ini, tidak ada obat yang lebih baik daripada cinta. Kesedihan, kehilangan, penderitaan, seluruh rasa sakit yang disebabkan oleh semua itu hanya dapat diobati dengan hadirnya rasa cinta di hati. Karena cinta selalu melahirkan harapan. Dan manusia hanya akan hidup bila dia masih memiliki walau sedikit harapan di hatinya.

Selesai


Terima kasih untuk kalian yang mengikuti cerita ini sampai akhir. Terima kasih juga yang sebesar-besarnya untuk kesabaran kalian menanti cerita ini diselesaikan.

Penutup cerita ini adalah apresiasi terbesar saya untuk teman-teman semua yang telah mengikuti tulisan saya sejak awal saya berkarya di FFN, sampai detik terakhir.

Mohon maaf karena hal terakhir yang saya lakukan dengan menghapus banyak cerita yang sudah saya publikasikan membuat teman-teman kecewa. Ada banyak alasan yang tidak bisa saya sampaikan pada teman-teman. Tapi satu yang saya ingin kalian semua tahu, bahwa saya sangat senang dengan segala bentuk apresiasi yang pernah kalian berikan untuk karya-karya saya di sini.

Sekali lagi, terima kasih.

[12.12.2016]