All characters are belong to Masashi Kishimoto

Based on Flowers For Algernon novel

I don't take any profit from this story

.

.

.

SasuSaku fanfic

Alternate Universe, Out of Character

.

.

.

Untuk mereka yang terlahir dengan segala kekurangan, untuk mereka yang sempurna dalam segala keterbatasan

.

.

.

Time After Time:

I'll always love you

.

.

.


Pertemuan dengan Sasuke Uchiha

.

Dering bel sepeda pengantar surat berbunyi nyaring bersamaan dengan keluarnya seorang wanita muda dari dalam pondok kecil di pinggiran kota pagi itu.

"Ohayou, Haruno-chan!" sapa pria paruh baya pengantar surat pada wanita muda itu, menghentikan sepeda di depan pagar.

Sakura Haruno melambaikan tangan, melangkah di jalan setapak menuju pintu pagar sembari tersenyum cerah. "Ohayou! Tumben sekali pagi-pagi begini Paman sudah lewat sini," sapanya.

"Ya, karena aku punya surat untukmu." Pria pengantar surat itu menyerahkan pada Sakura sebuah amplop dari dalam tas besarnya di boncengan sepeda. Dia tersenyum menyenangkan dalam profil kebapakannya. "Sepertinya ibumu di sana sudah sangat rindu padamu."

Sakura balas tersenyum, menggumam terima kasih sebelum melambaikan tangan lagi pada paman pengantar surat yang sudah meluncur ke jalanan dengan sepedanya, melanjutkan tugas mengantarkan surat-surat ke rumah lainnya. Melihat punggung paman yang semakin jauh di ujung jalan, Sakura teringat punggung ayahnya sendiri. Dulu ayahnya suka sekali mengendarai sepeda ke kantor, membiarkan mobil bagusnya terabaikan di garasi, mengabaikan ibunya yang selalu mempermasalahkan itu di meja makan. Sakura rindu ayahnya. Amat rindu.

Tapi surat yang dikirim dari Tokyo untuknya baru dibaca begitu Sakura duduk di dalam bus menuju kampus. Bukan dari ayahnya, melainkan sang ibu. Karena selama ini memang hanya ibunya yang tak pernah bosan mengiriminya surat.

Surat terakhir ibunya diterima Sakura hampir sekitar setengah tahun yang lalu. Musim gugur yang lalu. Surat itu tidak mendapat balasan dari Sakura. Barangkali sang ibu marah karenanya, sehingga baru mengirim surat lagi sekarang.

Sakura, putriku,

Bagaimana kabarmu, Nak? Ibu harap baik-baik saja. Suasana hatimu juga pasti sedang bagus karena sekarang musim semi. Kau selalu menyukai musim semi, senang melihat bunga-bunga sakura bermekaranseperti dari mana namamu berasal.

Pohon sakura di belakang rumah juga sudah mekar. Indah sekali, Sakura. Kemarin Bibi mengantar sekeranjang buah persik, kami makan sambil mengobrol tentangmu di bawah pohon sakura. Di sela-sela obrolan, Ibu menangis. Ibu rindu padamu. Baru musim semi yang lalu kau pulang, tapi rasanya seperti sudah berabad-abad. Ibu sangat merindukanmu, Nak.

Pertimbangkanlah lagi saran Ibu. Ibu sudah hidup lebih lama daripada kau, tidak ada salahnya kaudengarkan saranku. Ibu, juga Ayah, hanya menginginkan yang terbaik untukmu.

Di sini ada banyak yang bisa kaulakukan. Sarjana Psikologi dengan prestasi terbaik sepertimu tidak pantas hanya berakhir di kota kecil seperti tempatmu berada sekarang. Kau berhak mendapatkan lebih di Tokyo, kota kelahiranmu sendiri. Kau tumbuh besar di sini, belajar banyak hal di sini. Ibu yakin kau sudah sangat mengenal kota ini untuk mengerti bahwa Tokyo-lah tempat yang paling pantas untukmu melanjutkan hidup. Karirmu akan berkembang. Tidak seperti di sana. Lagi pula terlalu sering bergaul dengan orang-orang seperti mereka tidak baik untukmu

Sakura menghela napas. Menggigit bibir, menahan amarah yang tersulut di dadanya. Surat itu dilipat, dimasukkan kembali ke dalam amplop, disimpannya ke dalam tas. Sakura tidak lagi berminat membacanya. Kalimat terakhir sang ibu telah memercik amarah di dadanya.

Pandangan mata Sakura kini terlempar keluar jendela bus. Apa yang salah dengan kota kecil ini? Sakura menatap banyak hal yang melintas di jendela, berpikir banyak hal. Jalan raya yang lengang, pertokoan dan rumah-rumah, gedung perkantoran sederhana. Tidak ada yang salah sedikitpun dengan kota ini. Hanya tampak sedikit kuno, karena penataan kotanya tidak semodern kota-kota besar. Ibunya hanya keliru membandingkan kota kecil ini dengan Tokyo.

Lalu mengenai orang-orang yang disebut ibunya dalam surat ... Ah, Sakura tidak suka memikirkannya. Dia berharap tidak pernah membaca surat itu.

Lima belas menit berlalu, bus yang dinaiki Sakura berhenti di halte tujuan. Sakura mengantre turun bersama penumpang lain. Beriringan menyebrangi jalan, menuju bangunan luas nan megah sebuah kampus. Universitas Konoha.

Di sanalah tempat Sakura melanjutkan pendidikan S2 Psikologi setelah lulus dengan predikat mahasiswa terbaik seangkatan dari salah satu universitas ternama di Tokyo. Saat ini Sakura sedang magang di sebuah pusat orang dewasa terbelakang, menjadi pengajar di Sekolah Luar Biasa Khusus Dewasa di bawah naungan Universitas Konoha. Sesuai dengan tesis yang sedang digarapnya, tentang pengembangan diri orang berketerbelakangan mental. Inilah yang membuat sang ibu berkali-kali membujuk Sakura untuk kembali ke Tokyo.

Ketika lulus SMA, ibunya berharap banyak Sakura akan memilih studi kedokteran. Ayahnya telah bekerja keras seumur hidup untuk menyiapkan biaya pendidikannya di jurusan itu, meski sebenarnya Sakura bisa mendaftar dengan beasiswa penuh berkat otak cemerlangnya tanpa perlu ayahnya mengeluarkan biaya banyak. Namun bukan kedokteran yang menjadi minat Sakura, melainkan psikologi. Sejak kecil Sakura sudah amat tertarik dengan perilaku dan sifat manusia, sering mengamati diam-diam karakter orang-orang yang ditemuinya. Sehingga tanpa ragu lagi dia memilih melanjutkan studi ke jurusan psikologi.

Ibunya marah, hampir-hampir mengusirnya dari rumah. Menyebutnya tidak tahu berterima kasih, anak yang tidak menghargai kerja keras orangtua, tidak menyayangi orangtua. Tapi Sakura bergeming atas keputusannya, tidak berpikir untuk mengubah niatnya sekalipun sang ibu tak lagi menganggapnya sebagai anak. Sakura tahu ibunya tidak akan sampai begitu. Ibunya hanya kecewa karena Sakura tidak bisa mengikuti egonya, hasratnya untuk membangga-banggakan Sakura putrinya dengan gelar dokter yang mulia. Ya, wanita metropolitan seperti ibunya sudah kadung teracuni pikirannya, menjadi orangtua yang haus akan pemujaan orang lain terhadapnya atau keluarganya, silau dengan titel dan status sosial yang tinggi.

Persis seperti yang sudah ditebak Sakura, kemarahan ibunya tidak berlangsung lama. Tidak sampai satu semester kuliahnya berjalan, ibunya sudah bermanis-manis lagi padanya. Memberinya banyak nasihat dan kata-kata penyemangat. Sang ibu berbalik 180 derajat mendukungnya. Itu karena ibunya akhirnya tahu bahwa menjadi lulusan psikologi tidak terlalu buruk juga. Sang ibu mengira setelah lulus nanti, wajah sang putri akan mondar-mandir di layar kaca, muncul dalam liputan-liputan pemberitaan atau talkshow untuk dimintai pendapat psikologisnya soal banyak hal.

Tapi itu hanya sebatas impian baru ibunya terhadap Sakura. Hanya impian yang menunggu pupus untuk kesekian kali, karena Sakura memilih untuk melanjutkan pendidikan di kota kecil yang jauh dari hedonisme. Hati sang ibu remuk karena kecewa. Dan hatinya lebih sakit lagi begitu mengetahui putrinya sekolah tinggi-tinggi hanya untuk menjadi guru suka rela di sebuah sekolah luar biasa.

...

Jam tangan Sakura menunjukkan waktu 30 menit menjelang pukul 9. Sakura mempercepat langkah memasuki pagar kampus. Namun langkahnya memelan ketika sepasang mata zamrudnya menangkap sosok laki-laki di kejauhan.

Lelaki itu diam bergeming di depan pagar, menatap entah apa ke dalam kampus. Pipinya ditekan ke sela-sela jeruji besi, tangannya berpegangan pada besi-besi itu.

Sakura mencari tahu apa gerangan yang membuat lelaki itu tertarik, ikut memandang ke dalam kampus. Tapi sejauh matanya memandang, tidak ada apa-apa di balik pagar kampus selain mahasiswa-mahasiswa yang berlalu lalang di koridor, atau duduk-duduk di pelataran kampus membicarakan sesuatu dengan seru, atau beberapa yang sedang asyik bermain basket di lapangan. Entah apa yang membuat lelaki itu betah berlama-lama berdiri di sana.

Ketika Sakura menoleh pada si lelaki dengan tak habis pikir, lelaki itu justru sedang menatapnya. Dia memiliki sepasang mata hitam yang indah. Dan mata itu membulat besar saat mereka bertatapan. Lelaki itu buru-buru menunduk canggung, tangannya memilin-milin ujung kausnya. Saat itu Sakura segera paham, lelaki itu adalah salah satu dari orang-orang terbelakang.

Sakura tersenyum ramah ketika lelaki itu ragu-ragu mengangkat wajahnya kembali, menatapnya dengan mata hitam membulat lebih lebar. Sakura coba mendekat. Tapi lelaki itu sudah lebih dulu berbalik badan dan lari.

"Eh, tunggu!" teriak Sakura.

Terlambat. Lelaki itu sudah hilang di tikungan. Dia berlari cepat sekali, seolah-olah sedang dikejar anjing.

Sakura tidak bisa menyusulnya, sebentar lagi mata kuliah pertama dimulai. Lagi pula mungkin lelaki bermata indah itu akan ada di sana lagi besok pagi. Sebagaimana pagi-pagi sebelumnya. Benar, bukan baru hari ini Sakura melihatnya berdiri di sana, tepekur menatap entah apa di balik pagar kampus. Tapi baru kali ini mereka saling bertatapan. Dan lelaki itu langsung melarikan diri. Entah besok pagi dia masih akan datang atau tidak.

...

Perkuliahan Sakura hari ini berakhir pukul tiga sore. Setelah berdiskusi beberapa menit dengan dosennya mengenai tesis yang baru dua bab dikerjakan, Sakura meninggalkan gedung Fakultas Psikologi. Agenda berikutnya adalah mengajar.

Sekolah Luar Biasa Khusus Dewasa itu berada di dalam komplek Universitas Konoha. Letaknya hanya beberapa blok dari gedung kampus utama. Dibiayai oleh Hidden Leaf Foundation, sebuah yayasan swasta yang aktif menangani dan melindungi hak orang-orang berkebutuhan khusus di Jepang.

Sudah hampir dua tahun Sakura mengajar di sana. Meskipun demi tujuan mendapatkan materi tesisnya, menjadi pengajar untuk orang-orang dewasa terbelakang tidak pernah menjadi beban untuk Sakura. Justru itu adalah bagian yang pernah dicita-citakannya semasa SMA.

Sakura pernah mengenal seorang tetangga, seorang ayah dari anak laki-laki yang lahir terbelakang. Orangtua tunggal. Kabarnya sang istri meninggalkan pria itu karena tidak tahan menanggung malu memiliki anak yang mentalnya tak sempurna. Usia anak itu hanya beberapa tahun lebih tua dari Sakura. Setiap hari dikurung, tidak dibiarkan keluar rumah. Sakura sering melihat anak lelaki itu mengintip dari jendela lantai dua rumahnya, memperhatikan anak-anak yang seru bermain sepak bola di lapangan samping rumahnya.

Pernah suatu hari anak lelaki yang sudah beranjak remaja itu bersama ayahnya berencana pergi entah ke mana. Anak itu bersorak girang keluar dari rumah. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti di depan pintu. Tatapannya menunduk, memandang ikatan tali sepatunya yang terlepas. Dia berteriak dengan suara yang ganjil―suaranya sudah matang sebagai laki-laki dewasa, terdengar ganjil karena cara bicaranya kekanak-kanakan. Itu pertama kalinya Sakura mendengar anak itu bersuara.

Anak lelaki itu berteriak pada ayahnya, minta diikatkan tali sepatunya. Dia berteriak lagi karena tidak mendapat respon. Lalu berteriak lagi. Suaranya amat kencang, sampai-sampai Sakura pikir warga satu komplek bisa mendengarnya. Ayahnya yang dari tadi cuek saja mondar-mandir mengangkat barang dari dalam rumah ke mobil tiba-tiba berteriak, menghardiknya demi membuatnya diam. Sakura masih ingat jelas kata-kata ayahnya yang amat menyayat hati.

"Kau sudah dewasa. Kau sama seperti anak laki-laki lain. Kau normal! Jangan merengek. Jadilah seperti anak laki-laki lain. Jadilah normal! Ikat tali sepatumu sendiri!"

Anak itu bergeming. Jika jaraknya tidak jauh, mungkin Sakura bisa melihat matanya mulai berair. Kepalanya tertunduk, tangannya gemetar mencengkram celana. Lalu tiba-tiba dia berjongkok, sepertinya berusaha mengikat tali sepatunya sendiri seperti yang diinginkan sang ayah. Cukup lama kedua ujung tali hanya dipeganginya dengan tangan gemetar. Mungkin anak itu memang tidak tahu bagaimana cara mengikat tali sepatu. Lalu dia mulai mengaitkan satu tali ke tali lainnya, saling membelit, membentuk simpul tak jelas. Dilepasnya lagi, diulangnya lagi seperti tadi. Anak itu terus mengulanginya dengan tangan gemetar. Ayahnya memperhatikan dengan tidak sabar.

"Ikat yang benar! Kalau tidak bisa, kau tidak usah ikut Ayah."

Tangan anak lelaki itu semakin gemetar. Gerakan mengikatnya semakin tak keruan. Lalu air matanya menetes. Anak itu menangis, melenguh seperti hewan terluka, tidak mau ditinggal ayahnya. Mungkin dia berpikir harus segera menyelesaikan pekerjaannya, alih-alih yang terjadi adalah sebaliknya, dia gagal mengikat tali sepatunya sendiri. Saat itu Sakura bisa melihat pundaknya gemetar. Sementara ayahnya yang tampak semakin tak sabar menendangnya, membentaknya agar berhenti saja mengikat tali sepatu, menyuruhnya masuk ke mobil. Mungkin akhirnya sadar tidak ada gunanya membiarkan anak itu mencoba.

Sakura hanya bisa menggigit bibir tiap kali melihat pemandangan mengiris hati seperti itu. Tidak seharusnya anak-anak yang terlahir dengan mental tidak sempurna diperlakukan kasar. Mendidik mereka dengan keras bukanlah jalan keluar, pikir Sakura. Mereka sama seperti manusia lainnya. Tentu saja mereka berhak diperlakukan layaknya manusia.

Bukan keinginan siapapun untuk dilahirkan tak sempurna. Berkekurangan. Berketerbatasan. Orang-orang yang lahir sempurna menyebutnya tidak normal. Itu adalah sebuah kejahatan. Apa hak mereka menilai normal atau tidak suatu ciptaan Tuhan? Sakura tak pernah habis pikir melogikai itu.

Berada di sekolah luar biasa selama hampir dua tahun membuat Sakura mengerti banyak hal. Berada di antara orang-orang berkekurangan membuatnya memahami banyak hal. Mereka yang selama ini menerima perlakuan tak pantas di masyarakat, dihina, dijadikan bahan tertawaan, dikucilkan (ironisnya oleh keluarga dan orang-orang terdekat mereka sendiri), namun satu kali pun tidak pernah mereka mengeluh. Mereka tetap bisa tersenyum tulus.

Sakura memahami satu hal yang penting. Kekurangan pada diri mereka setidaknya membuat mereka memiliki hati yang murni. Mereka tidak mengerti caranya membalas cemooh―mereka bahkan tak paham cemooh itu apa. Mereka tidak marah ketika orang-orang menatapnya berbeda. Tidak tersinggung ketika dihina. Karena mereka tak mengerti. Namun itulah yang menjadikan mereka manusia berhati mulia.

"Ini untuk Sakura-san." Seorang murid Sakura yang perempuan memberinya kue tar yang tidak jelas bentuknya, meletakkan itu di mejanya. Nana Kizama, murid paling muda di kelas Sakura―28 tahun, murid yang paling pintar. "Aku pinjam dapur Subaru-san. Pinggirannya sedikit gosong. Tapi gosong itu yang paling enak, kata Michi-kun," dia menunjuk murid laki-laki tertua yang rambut di puncak kepalanya mulai botak.

"Pinggiran kue gosong? Boleh buatku, Nana-chan?" Pria itu mengacung-acungkan tangan dari tempat duduknya.

Nana menggeleng kencang, kuncir dua rambutnya goyang-goyang. "Tidak boleh. Ini untuk Sakura-san. Nanti kita bikin kue gosong sama-sama saja!" serunya dengan suara cempreng.

Sakura tersenyum, mengusap lembut bahu Nana. "Terima kasih, Nana-chan. Aku sangat senang. Kau pintar bikin kue."

Pujiannya membuat Nana menyeringai lebar, kegirangan. Nana kembali ke tempat duduknya. Pelajaran berhitung dilanjutkan.

Semua murid duduk antusias di bangku. Memperhatikan Sakura yang sedang menjelaskan pelan-pelan bagaimana menghitung uang kembalian. Sakura membuat soal cerita sederhana, lalu menanyakan satu per satu muridnya tentang berapa yang mereka terima jika membayar sesuatu yang harganya sekian dengan uang logam 100 yen. Ada murid yang langsung sibuk membuat coretan berhitung di buku tulis, baru bisa menjawab. Ada yang terbengong lama dulu, baru mulai menghitung-hitung dengan jarinya. Bahkan ada yang menjawab tidak menerima uang kembalian karena langsung meninggalkan toko setelah menyerahkan uangnya. Beberapa kali Sakura mengulang pertanyaan dengan penuh kesabaran, menyederhanakan kata agar mereka lebih mudah menangkap maksudnya.

Itu tidak pernah mudah. Faktanya mereka sulit menerima pelajaran karena keterbatasan daya pikir. Rata-rata mereka ber-IQ di bawah 80. Lamban dalam belajar. Namun semangat mereka untuk bisa mengerjakan sesuatu tidak berbeda dengan orang-orang di luar sana. Maka tak pernah ada kata menyerah bagi Sakura untuk membantu mereka agar berhasil.

...

Jam belajar-mengajar SLB Konoha hanya berlangsung tiga sampai empat jam. Jadwalnya juga tidak setiap hari seperti sekolah pada umumnya, hanya tiga kali pertemuan dalam seminggu. Bila lebih dari itu, para murid berketerbelakangan mental tidak akan mampu lagi memusatkan konsentrasi.

Kelas berakhir sebelum hari berubah gelap. Murid-murid bubar satu per satu, melambaikan tangan antusias pada Sakura yang masih berberes di mejanya.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Sakura mengalihkan pandangan dari buku-buku yang sedang dibereskannya, mendapati pimpinan Fakultas Psikologi Universitas Konoha berdiri di sana.

"Tsunade-sensei," Sakura tersenyum.

Tsunade melirik meja Sakura. Membetulkan letak kacamatanya. "Kau masih lama? Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi di luar saja, aku traktir kau minum," katanya.

Sakura mengangguk. Meminta waktu sebentar untuk merapikan mejanya sedikit lagi. Tidak sampai dua menit, Sakura menyampirkan tas di bahu, menutup pintu ruang kelas yang telah kosong. Kemudian berjalan di sisi Tsunade tanpa banyak tanya.

Sakura pikir mereka hanya akan membahas tesisnya, barangkali diskusi usai kuliah tadi belum benar-benar selesai―Tsunade Senju adalah dosen pembimbing tesisnya. Namun Sakura salah duga, apa yang akan disampaikan Tsunade sungguh sesuatu yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya.

Mereka berbicara di kedai minum langganan Tsunade. Memesan dua cangkir kopi, alih-alih sake seperti kesukaan Tsunade. Pilihan dosennya ini memulai keheranan Sakura.

"Ketua yayasan baru saja menandatangani proyek milik orang-orang Tokyo," Tsunade membuka pembicaraan tidak lama setelah kopi pesanan mereka diantarkan. Dia memasukkan satu sendok saja gula halus ke dalam cangkirnya. Melanjutkan cerita, "Sebuah proyek ilmiah terbesar yang pernah dilakukan di Jepang―bahkan dunia. Proyek mahal. Kau bisa bayangkan akan terjadi perubahan besar pada dunia jika proyek ini berhasil. Perubahan pada umat manusia. Dan ini akan menciptakan sebuah sejarah, terutama bagi ilmu psikologi."

Sakura meneguk kopinya dengan rasa penasaran. Mata zamrudnya tak lepas memperhatikan Tsunade di seberang meja.

"Profesor Hiruzen Sarutobi dari Tokyo yang menyusun ide proyek ini, sebetulnya," kata Tsunade. "Selama delapan tahun dia melakukan penelitian terhadap enzim penyebab umum kerusakan jaringan otak, yang paling banyak diduga sebagai penyebab retardasi mental seorang anak. Dia menyebutnya Teknologi Pengembangan Enzim. Hasil penelitiannya ini sudah diujicobakan pada tikus. Kau tahu, Sakura, dia berhasil membuat seekor tikus menjadi jenius." Mata cokelat Tsunade yang bening berkilat-kilat.

Sakura meletakkan cangkirnya di meja. Menahan napas. Seekor tikus menjadi jenius?

"Tikus ini mampu lolos dari sebuah labirin yang rumit hanya dalam hitungan menit―kau harus lihat rumitnya labirin itu bagi tikus-tikus biasa, Sakura. Itu hanya satu contoh. Simbol dari metode pemecahan masalah. Bayangkan, seekor tikus bisa melakukannya dalam waktu sesingkat itu. Apa yang akan terjadi bila itu manusia?"

"Jadi, ini semacam penelitian untuk meningkatkan fungsi otak pada anak retardasi mental?" Sakura mencoba berkesimpulan.

"Ya. Kau cerdas, Sakura. Dan bukan hanya itu. Jika penelitian ini bisa berkembang lebih jauh, kita bisa memperkecil angka bayi yang terlahir dengan retardasi mental. Regenerasi manusia. Bukankah itu kabar gembira bagi dunia?" Mata Tsunade berkilat lagi, wajahnya lebih cerah daripada langit musim semi ketika menghirup kopinya.

Sementara itu Sakura bergeming dalam lamunan. Membayangkan jika tidak ada lagi anak yang terlahir ke dunia dengan keterbelakangan mental. Tidak akan ada lagi anak yang diolok-olok karena tidak bisa memukul bola baseball tanpa melepas pemukulnya. Tidak akan ada lagi anak yang ditertawakan karena mengompol di kelas. Tidak akan ada lagi anak yang dipukul pantatnya karena tidak bisa mengikat tali sepatu. Semua anak bisa bermain bersama. Semua anak bisa belajar di sekolah yang setara; tidak akan ada lagi sekolah luar biasa. Semua orangtua bisa membanggakan anaknya.

"Apakah ini benar-benar akan berhasil?" tanya Sakura kemudian. "Maksudku, ukuran mental hewan dengan manusia tidak bisa disamakan. Bagaimana jika penelitian itu berhasil pada manusia—sama berhasilnya seperti yang diujicobakan pada tikus, namun menimbulkan efek negatif pada perilaku atau cara berpikir manusia ini? Bagaimana jika muncul gejala-gejala minor secara psikologis yang tidak ditemukan pada si tikus?"

Tsunade angkat bahu. "Selalu ada risiko dalam setiap percobaan, bukan? Kita tidak bisa mengeliminasi kemungkinan itu. Tapi itulah yang dilakukan seorang peneliti. Men-co-ba," jawabnya realistis. "Terlalu banyak kemungkinan untuk hasil penelitian ini. Profesor Sarutobi mengambil kemungkinan terbesar. Tikusnya berada dalam kondisi paling baik selama enam bulan belakangan, dan dia terus mengalami perkembangan. Itu alasan paling logis yang membuat penelitian ini layak diteruskan pada manusia."

Kopinya telah tandas, cangkirnya diletakkan di atas meja. Tsunade menatap lurus muridnya. "Itulah yang menjadi inti pembicaraan ini, Sakura. Proyek itu akan segera dibawa ke Konoha. Mereka membutuhkan seorang anak. Dan aku yakin kau punya rekomendasi bagus."

Selama beberapa saat, Sakura tak punya jawaban. Bimbang mempertimbangkan akan mendukung proyek itu atau sebaliknya, melakukan penentangan. Dari lubuk hati yang terdalam, Sakura tidak menginginkan satu pun anak dijadikan objek percobaan. Baginya kemungkinan hanya ada dua, berhasil dan tidak. Jika berhasil, anak itu akan menjadi jalan pembuka bagi perubahan dunia seperti kata Tsunade. Lalu bagaimana jika tidak berhasil? Sakura bahkan tak bisa membayangkannya.

"Jangan dulu pikirkan kegagalannya, Sakura," ujar Tsunade. Paham betul bahwa muridnya sedang dalam keraguan besar. "Ini adalah sebuah usaha. Dalam berusaha kau tidak boleh memikirkan kegagalan. Kau tidak akan pernah sampai ke ujung jembatan jika tidak berani memulai langkah pertama."

Meja mereka lengang sejenak, menyisakan sayup-sayup percakapan pengunjung di meja lain.

Terlalu lama menunggu, Tsunade tidak lagi berminat mendengar pendapat Sakura. Setelah mengintip jam tangan, wanita paruh baya yang masih tampak memesona dengan rambut pirangnya itu beranjak berdiri dari kursi. Kelihatan terburu-buru. "Kalau kau sudah menemukan anak yang tepat, kau tahu bisa menghubungi siapa," ucapnya sebagai pengganti salam perpisahan.

Sakura membiarkan dosennya pergi dengan helaan napas berat.

Sejak dulu Sakura berdoa agar tidak ada lagi anak yang lahir dengan retardasi mental, agar tidak ada lagi anak yang tersingkir dari masyarakat karena kekurangannya. Bagaimana jika inilah jawaban doanya selama ini?

...

Keesokan harinya Sakura mendatangi ruangan Dekan Fakultas Psikologi di kampusnya. Kantor Tsunade. Untuk menyampaikan dukungannya untuk penelitian itu.

Ya, keputusan itu akhirnya bulat diambil setelah Sakura memikirkannya semalaman. Kemungkinan gagalnya penelitian tetap tidak bisa hilang dari hatinya. Namun demi melihat sebuah perubahan, demi sebuah masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang, Sakura akan coba melakukan sesuatu. Tsunade benar, jika ingin sampai ke ujung jembatan, harus berani untuk memulai langkah.

Sakura mengajukan nama Nana Kizama sebagai kandidat. Dengan pertimbangan, perempuan itu adalah murid yang paling pintar di kelasnya, paling cepat menguasai materi pelajaran, paling kuat ingatannya di antara murid lain. Rentang usianya ideal. Catatan perilakunya juga memenuhi syarat. Tsunade menerima pengajuan Sakura dengan suka cita.

"Kelihatannya dia cocok," Tsunade membuka-buka arsip profil Nana Kizama yang diserahkan Sakura. "Tapi akan ada tim untuk mengobservasinya lebih dulu, untuk melihat apakah secara mental dia siap menjalani penelitian ini atau tidak. Oh ya, hari ini tim dari Tokyo sudah datang. Aku ingin memperkenalkannya padamu."

Setengah jam kemudian Sakura dan Tsunade sudah berada di Pusat Pengujian, Departemen Kejiwaan Universitas Konoha. Di sebuah Laboratorium Kejiwaan.

Orang pertama yang Sakura temui adalah Kakashi Hatake, seorang mahasiswa S3 Psikologi Universitas Tokyo. Anggota senior dari tim peneliti. Pria itu memiliki rambut berwarna perak nyentrik, sulit mengenalinya sebagai seorang peneliti tanpa jas lab yang dipakainya. Wajahnya tertutup masker, Sakura tak bisa melihat senyum ramahnya ketika mereka saling diperkenalkan oleh Tsunade.

Seekor tikus kecil berbulu putih di tangan Kakashi menggeliat, lalu dilepaskan ke arena labirin 3 dimensi di atas meja besar.

"Itukah tikus jenius yang Sensei ceritakan kemarin?" tanya Sakura, melongok penasaran ke atas labirin.

Kakashi yang menjawab, "Ya. Namanya Hachiko."

"Kupikir hanya anjing setia yang dibuatkan patungnya di Shibuya yang bernama Hachiko," ujar Sakura, tertawa kecil.

"Sebenarnya aku memang terinspirasi dari nama anjing itu," aku Kakashi, ikut tertawa di balik maskernya.

Pria berambut perak itu memperlihatkan bagaimana cepatnya Hachiko keluar dari lorong-lorong labirin. Berdasarkan penjelasan Kakashi, labirin itu dibuat dengan masing-masing tingkat kerumitan, yang paling rumit adalah level 10. Kakashi sendiri yang merancangnya. Membuat lorong-lorong rumit dengan banyak tikungan pengecoh. Labirin yang ditelusuri Hachiko sekarang adalah labirin level 6.

"Pada awal percobaan, Hachiko baru mampu mencapai garis finis labirin level satu setelah hampir sebulan hanya berputar-putar di lorong yang salah," kata Kakashi. "Kemudian dalam waktu dua minggu Hachiko berhasil menyelesaikan level dua. Lalu satu minggu di level tiga. Berikutnya hanya hitungan hari. Dan sekarang kau lihat sendiri, di labirin level enam Hachiko berhasil finis dalam hitungan menit saja―dua menit. Ini adalah rekor barunya." Kakashi melihat jam tangan, lalu membuat catatan dalam buku laporan.

"Perubahan yang sangat signifikan. Aku tidak pernah tahu seekor tikus bisa sepintar ini," kata Sakura, menatap takjub tikus putih yang sedang mengendus-enduskan moncong merah mudanya di ujung lorong finis labirin, mencicit nyaring, terdengar senang telah menyelesaikan misinya.

Kakashi tertawa renyah. Mengambil tikus itu dari dalam labirin, membelai-belainya di tangan. "Tentu saja, dia hasil percobaan," ujarnya, membuat Sakura terkekeh. Kakashi mengangsurkan hewan berbulu putih itu pada Sakura, takut-takut Sakura menerimanya.

"Dia tidak akan menggigit tanganku, kan?"

Kakashi tertawa lagi―sepertinya dia orang yang amat mudah menganggap lucu hal apapun.

"Hachiko sangat jinak, dia tidak akan melukaimu. Hachiko paling suka kalau kau membelai kepala dan punggungnya. Cobalah," kata Kakashi.

Maka Sakura mencobanya. Jemarinya hati-hati mengusap kepala dan punggung berbulu putih Hachiko. Tikus kecil itu mencicit, menggosok-gosok tangan mungilnya yang berwarna merah muda di ujung moncongnya yang berkumis panjang. Moncongnya mengendus-endus lagi.

Hachiko cukup pendiam untuk ukuran seekor tikus. Atau itu karena tingkat kecerdasannya sudah dimanipulasi sehingga memengaruhi perilakunya menjadi lebih tenang dibandingkan tikus-tikus normal. Di atas telapak tangan Sakura, Hachiko tampak tenang, tidak bergerak gesit seperti saat tadi di arena labirin. Seakan-akan tikus itu mampu membedakan situasi; kapan dan di mana harus bekerja, kapan dan di mana harus beristirahat. Benarlah jika Tsunade mengatakan dia tikus yang jenius.

Setelah melihat dengan mata kepala sendiri tikus jenius hasil percobaan bernama Hachiko itu, keyakinan mulai tumbuh kuat di hati Sakura. Anak-anak itu akan memiliki masa depan. Mereka akan punya tempat di masyarakat. Tidak akan lagi dikucilkan. Mereka akan memiliki prestasi hebat, tidak kalah dengan orang-orang pintar di luar sana.

Nana Kizama yang akan memelopori perubahan itu. Dia yang akan memulainya. Dia yang akan menjadi contoh sebuah kemajuan bagi orang-orang terbelakang lainnya.

...

Sore esok harinya, Sakura tidak ada jadwal mengajar. Dia bertahan lama di perpustakaan, mengerjakan bab 3 tesisnya. Pukul 5 baru meninggalkan kampus. Sepulang kuliah dia berniat mendatangi Nana Kizama di tempatnya bekerja sebagai penyapu halaman sebuah toko kue. Ingin membicarakan soal proyek penelitian itu. Sakura perlu bicara empat mata dengan Nana, memberinya kabar gembira.

Namun sesuatu yang sedang terjadi di sebuah jalan buntu yang dilewati Sakura membuatnya menghentikan langkah. Di sana segerombol remaja laki-laki sedang berkerumun memojokkan seseorang. Mata zamrud Sakura melebar. Itu bukan seseorang, dia lelaki bermata indah yang setiap pagi memandang ke dalam kampus dari luar pagar.

Wajah lelaki itu tampak ketakutan, tangannya gemetar memeluk buku entah apa. Seseorang dari gerombolan remaja nakal itu merampas paksa bukunya. Mereka tertawa. Lelaki itu susah payah menggapai bukunya kembali, namun tak berhasil. Ditambah lagi sekarang tangannya dipegangi dari belakang oleh anak lain. Lelaki itu berusaha berontak tapi tak sanggup. Tawa anak-anak nakal itu bertambah kencang.

"Buku apa sih sebenarnya ini? Pelit sekali, tidak mau menunjukkannya pada kami," kata remaja yang merampas buku, berlagak penasaran membuka-buka halaman buku.

"Kau mau tahu sekali. Awas nanti dia mengamuk," sahut yang lain.

Si remaja yang memegang buku membaca keras-keras judulnya. "Itik Buruk Rupa." Kemudian tawa mereka pecah membahana di sepanjang lorong buntu.

Lelaki itu masih berusaha melepaskan diri, melenguh minta bukunya dikembalikan. Karena tidak sanggup melawan maka dia menangis, mengalir air mata di pipinya. Demi melihat itu tidak sedikit pun muncul rasa belas kasihan di antara anak-anak nakal itu. Tawa mereka justru semakin kencang, semakin senang melihatnya tidak berdaya. Olok-olokan mereka semakin keterlaluan.

"Lihat wajahnya. Tolol sekali!"

"Orang dungu seperti kau tidak pantas bawa buku ke mana-mana."

"Kenapa kau tidak diam saja di rumah, minta ibumu membersihkan ingus di hidungmu?"

"Dasar tidak berguna!"

Cukup sudah. Sakura meneriaki mereka dari ujung jalan, menyuruh mereka pergi karena dia sudah memanggil polisi untuk menangkap mereka. Sebenarnya hanya gertakan. Tapi lihatlah anak-anak itu langsung lari terbirit-birit tanpa menoleh lagi ke belakang.

"Kau tidak apa-apa?"

Sakura memungut buku milik lelaki itu di tanah, sudah kotor, tadi diinjak-injak salah satu dari anak-anak nakal itu. Namun lelaki bermata indah itu segera menyambar bukunya dari tangan Sakura, mendekapnya lagi dengan erat seakan-akan tidak akan pernah mau melepasnya. Tatapannya tertunduk, pundaknya masih gemetar. Sisa-sisa ketakutannya.

Ada luka goresan di siku lelaki itu. Sakura mengambil plester dari dalam tas. "Kemarikan lenganmu. Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengobati lukamu," kata Sakura lembut, selembut gerakannya menarik lengan lelaki itu. Baguslah dia tidak menolak, membiarkan Sakura menempelkan plester di lukanya.

"Nah, sudah selesai." Sakura tersenyum ketika lelaki itu untuk pertama kalinya berani menatap wajahnya. "Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang."

Lelaki itu cepat-cepat memalingkan mata, menatap ujung sepatu. Tak ada jawaban keluar dari mulutnya. Oh, dia pemalu sekali.

"Tidak apa-apa. Biar kutemani. Aku khawatir kau bertemu lagi dengan anak-anak nakal tadi," kata Sakura.

Lelaki itu tetap bergeming. Saat Sakura merasa dia tidak akan pernah menjawab, tangannya tiba-tiba menunjuk ke arah barat. "Kedai ramen Paman Teuchi," ucapnya dengan suara yang matang sebagai laki-laki dewasa, namun cara bicaranya seperti kanak-kanak. Sakura sudah tidak merasa ganjil dengan itu―sudah terbiasa mendengarnya dari murid-murid lelaki di sekolah luar biasa.

Berikutnya Sakura dan lelaki itu sudah berjalan bersisian. Sakura tidak tahu persis di mana kedai ramen Paman Teuchi yang dimaksud lelaki itu, yang penting dia tahu arahnya. Lagi pula Konoha bukan kota besar, tidak akan sulit menemukan kedai ramen di sekitar situ. Sakura juga merasa lelaki itu cukup pintar untuk menunjuk ketika nanti dia melihat kedai pamannya.

"Boleh kupinjam bukumu?" tanya Sakura di sela-sela langkah mereka.

Bagai diprogram otomatis oleh pengalaman buruk beberapa menit yang lalu, lelaki itu langsung mendekap lebih erat bukunya. Permintaan Sakura tidak diterima.

Sakura tertawa kecil. "Jangan takut, aku bukan anak-anak nakal itu. Aku tidak akan merebut bukumu," katanya lembut. "Aku cuma ingin membersihkan tanah yang menempel di sampulnya. Bukankah itu buku kesayanganmu? Kau pasti tidak mau kalau buku itu kotor, bukan?"

Langkah lelaki itu terhenti. Sepertinya baru menyadari jika sampul bukunya banyak ternodai tanah. Sakura benar, dia tidak suka melihat buku kesayangannya jadi kotor.

Lelaki itu menepis tanah dengan cara menepuk-nepuk buku usang itu dengan telapak tangannya. Hasilnya sampul buku itu semakin kotor. Kemudian Sakura mengulurkan tangan untuk menyeka tanah dengan sapu tangannya. Buku itu bersih dalam dua kali usapan saja. Mata indah lelaki itu melebar takjub.

Sakura tersenyum ketika untuk ke dua kalinya lelaki itu berani menatap wajahnya. Namun kali ini dia tidak langsung memalingkan mata karena malu.

"Terima kasih ... err ...," ucapnya gugup.

"Sakura," wanita berambut merah muda itu menyebutkan namanya.

"Sakura ... Terima kasih, Sakura-san."

Untuk pertama kalinya Sakura melihat lelaki itu tersenyum, membuat mata hitamnya yang menawan berbinar semakin indah.

"Nama di sampul bukumu, apakah itu namamu?" Sakura melongok, mengintip buku yang masih aman dalam dekapan lelaki itu.

Lelaki itu menatap tulisan nama yang dimaksud. "Hm. Sasuke Uchiha. Ibuku yang menulisnya. Tulisan ibuku bagus, kan?" Dia menyeringai, memamerkan sampul bukunya.

Sakura tersenyum, mengangguk. "Tulisan ibumu bagus sekali."

Sasuke Uchiha tersenyum lebar, wajahnya tampak amat bangga. Mendekap bukunya semakin erat. Kelihatannya itu bukan buku dongeng biasa, seperti ada sesuatu yang lebih besar artinya daripada itu bagi Sasuke Uchiha.

"Sasuke-kun, boleh kutanya sesuatu padamu?"

Sasuke menoleh pada Sakura yang berjalan di sisinya. Mengangguk polos. "Sakura-san mau tanya apa?"

"Aku sering melihatmu berdiri di depan Universitas Konoha. Beberapa hari yang lalu kita bertemu, kau masih ingat? Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kaulihat di dalam sana."

Langkah Sasuke Uchiha terhenti lagi. Dan lagi-lagi dia menatap lebih dulu buku dongengnya sebelum menjawab, "Aku ingin seperti orang-orang di Universitas Konoha. Datang setiap pagi. Duduk. Bicara dengan teman-teman tentang hal-hal penting. Ke mana-mana membawa buku. Aku juga ingin pintar seperti mereka."

Mata zamrud Sakura tak berkedip menatapnya, tertegun mendengar ucapan Sasuke Uchiha.

"Kalau aku pintar, pasti orang-orang akan menyukaiku. Aku akan punya banyak teman," jawabnya polos. Namun kemudian wajahnya berubah muram. "Tapi Suigetsu bilang itu percuma. Aku tidak akan bisa pintar. Dia bilang, aku akan selamanya mengepel kedai ramen Paman Teuchi. Padahal aku ingin bisa pintar seperti orang-orang."

Sasuke menatap Sakura dengan mata hitamnya yang besar. Amat polos. Amat lugu. Dia bertanya, "Apakah itu benar, Sakura-san? Apakah aku tidak bisa pintar?"

Sakura menelan ludah, segumpal rasa haru tiba-tiba membuatnya sulit menghela napas. Pertanyaan itu terdengar begitu menyedihkan, terlontar dari mulut seorang terbelakang.

"Tidak, Sasuke-kun. Semua orang bisa pintar, termasuk juga kau," Sakura berkata lembut. "Aku tidak mengenal Suigetsu. Tapi sepertinya dia tidak tahu, bahwa orang yang mau berusaha keras pasti akan berhasil. Tentu saja kau bisa pintar kalau kau berusaha keras. Bahkan kau bisa lebih pintar dari Suigetsu."

Sasuke Uchiha menatap dengan mata membesar lugu, dia sungguh-sungguh. "Aku mau berusaha keras supaya bisa pintar. Apa aku boleh sekolah di Universitas Konoha seperti Sakura-san?"

Sakura mengangguk. "Kau boleh sekolah di Universitas Konoha. Kau boleh sekolah di manapun kau mau, Sasuke-kun."

Tiba-tiba Sasuke Uchiha berseru girang. Melonjak-lonjak seperti anak kecil mendapat permen. "Aku akan jadi pintar. Aku akan jadi pintar! Aku akan lebih pintar dari Suigetsu!"

Sakura hanya tersenyum, menahan air mata haru yang nyaris meleleh di pipinya.

Belum pernah dia bertemu dengan seorang retardasi mental yang memiliki motivasi sebesar Sasuke Uchiha. Bahkan belum pernah ada yang ingin menjadi pintar seperti dia. Sasuke Uchiha berbeda. Sakura dapat melihat ketulusan di matanya.

Entah bagaimana Sakura berpikir yang sebaiknya menjadi pelopor perubahan untuk diikutkan dalam percobaan itu bukan Nana Kizama, melainkan Sasuke. Tapi itu kesimpulan yang terlalu cepat diputuskan. Sakura masih belum tahu apakah Sasuke benar-benar mampu. Di luar itu, keinginan Sasuke untuk belajar patut diapresiasi.

Bersambung


Catatan penulis:

Ada yang udah pernah baca novel Flowers For Algernon (edisi terjemahan Indonesia-nya berjudul Charlie Si Jenius Dungu)? Salah satu cerita yang heart touched banget dan sangat menginspirasi buat saya. Makanya saya tertarik untuk menuliskannya kembali dengan sudut pandang berbeda. Ada sih beberapa plot dari novel aslinya yang rencananya bakal saya pakai, beberapa plot yang serupa tapi akan saya tulis dengan rasa yang berbeda. Bukan plagiat ya, silakan tengok novel aslinya kalau nggak percaya. Hihi~ *lagian saya udah nulis disclaimer di atas*

Endingnya akan sama atau nggak, silakan baca sampai akhir cerita nanti :p

Nana Kizama, Subaru, ataupun Michi adalah OC. Maaf sengaja pakai karakter buatan sendiri demi menghindari anggapan bashing chara. Karena tema yang saya tulis agak sensitif, saya merasa perlu berhati-hati memakai tokoh-tokoh asli dalam Naruto. Lagi pula mereka nggak bakal sering muncul. Karakter Sasuke di sini juga sama sekali nggak saya niatkan buat bashing, ini murni kebutuhan cerita. Semoga dapat dinikmati.