Terima kasih untuk para reviewnya. Ini chapter selanjutnya, silahkan dinikmati

Silahkan juga dicek apakah analisi kalian yang kemaren itu bener atau nggak


Kehilangan ingatan mungkin seperti memencet tombol restart kehidupan, dimana seseorang mendapatkan kesempatan untuk memulai hidup baru.

Tapi itu adalah tanggapan orang yang tidak tahu seperti apa rasanya kehilangan ingatan.

Karena kehilangan ingatan itu seperti kehilangan arah hidup. Masa lalu yang terhapus akan berpengaruh ke masa sekarang. Apa artinya manusia tanpa masa lalu? Tanpa adanya ingatan, manusia kehilangan bukannya hanya masa lalunya, tapi juga hubungannya dengan orang lain bahkan sampai impiannya.

Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Langit.

Kepalanya terus terasa kosong dan ia merasa hampa. Ia ingin mengisi kehampaan itu dengan sesuatu tapi tidak tahu apa. Rasanya seperti ada lubang menganga dalam dirinya yang kasat mata untuk orang lain.

Ia ingin ingatannya kembali, ia ingin memiliki identitas, ia ingin melakukan sesuatu. Ia bahkan tak keberatan bila seseorang memerintahnya untuk melakukan sesuatu. Karena ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa sekarang.

"Langit? Kamu baik-baik saja?"

Langit mendongak dan berusaha menyugingkan senyum. Ia mulai paham sedikit demi sedikit cara bersosialisasi yang benar. Terutama senyuman. Ia sudah berlatih di depan cermin setiap hari agar senyumnya tidak terkesan aneh.

Gadis di depannya, Yaya, seorang pengurus panti sosial merupakan gadis yang sangat baik. Ia memberikannya nama, juga tempat tinggal bahkan sampai memberinya kegiatan untuk dilakukan.

"Dimakan dong makan siangnya... kenapa? Kamu nggak nafsu makan?"

Langit mengaduk nasi di piringnya, jatah makan siangnya yang sudah dibagikan oleh pengurus panti sosial yang lain.

"Kalau kamu nggak mau, buat aku aja!"

Mendadak seorang pemuda bertubuh agak tambun dan berkulit gelap muncul di belakang Langit.

"Gopaaal! Kamu sudah dapat jatah makan kamu," omel Yaya.

Langit hanya memandang Gopal dan Yaya dengan lirih kemudian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya sembari melihat mereka berdua berdebat.

"Aku masih lapar Yaya..."

"Yang benar saja? Jatah semua orang bisa habis kalau harus membuat kamu kenyang."

"Hehehe..."

Gopal adalah penghuni panti sosial yang lain. Ia adalah pemuda perantau dari desa yang datang ke kota besar untuk mengadu nasib. Naas ia kehilangan pekerjaan dan tempat tinggalnya sehingga luntang-lantung di jalan tak punya uang. Akhirnya ia jadi pengemis sebelum terjaring razia oleh polisi dan dimasukkan ke panti sosial.

Setidaknya, itu yang Langit tahu. Gopal cerewet sekali. Mereka sekamar dan pemuda itu terus mengoceh meskipun Langit tidak begitu ingin mendengarkannya.

"Bagaimana hasil pelatihanmu? Akhirnya sudah bisa membetulkan barang elektronik dengan benar tanpa meledak lagi?"

"Sedikit... aku sudah bisa betulin kabel putus dong..."

"Gopal, mungkin kamu sebaiknya ikut pelatihan menjahit saja..."

Langit terus makan sambil menyaksikan interaksi orang lain. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak tahu apa. Jadi melihat jauh lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.

"Masa' menjahit sih? Yang bagus kan bisa menservice barang elektronik, kau setuju denganku kan Langit?"

Langit hanya diam. Ia tidak menganggap menjahit itu jelek, ataupun menservice barang elektronik itu bagus. Jadi ia tidak mengatakan apapun.

"Kau ini! Penjahit laki-laki kan juga banyak! Yang penting itu pekerjaan halal Gopal..."

Langit sudah selesai menyantap makan siangnya. Setidaknya, ia bisa melakukan satu hal kebutuhan dirinya sendiri sampai tuntas tanpa masalah. Ia pun bangkit dan pergi meninggalkan dua kenalannya untuk menaruh piring kotor.

IoI

"Aku kadang khawatir padanya... betul dia cuma hilang ingatan saja?"

Yaya menoleh pada Gopal yang memandang kepergian Langit dengan khawatir.

Pemuda itu pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua tanpa mengatakan apapun.

"Seharusnya begitu, tak ada keluhan lain. Kondisinya semakin hari semakin baik, tapi tampaknya memang ingatannya tak ada yang kembali...," jawab Yaya lirih.

"Dia sebetulnya baik sih, cuma wajah tanpa ekspresinya itu kadang bikin merinding... apa memang orang hilang ingatan itu seperti itu?" tanya Gopal.

"Entahlah Gopal, ini juga pertama kalinya aku bertemu orang yang hilang ingatan seperti dia..."

"Lalu, polisi belum kemari lagi?" tanya Gopal lagi. Yaya menggeleng dengan lesu.

Saat itu, handphonenya berbunyi.

"Oh bagus, ia akan datang sebentar lagi. Kau tahu? Dia polisi paling menyebalkan yang kutahu..." gerutu Yaya mengecek SMS yang baru saja masuk ke handphonenya.

"Oh ya? Kenapa? Dia minta uang padamu?" tanya Gopal, jarang melihat Yaya berbicara buruk soal orang lain.

"Bukan... ia nggak minta apa-apa padaku, tapi sikapnya menyebalkan sekali..."

Gopal hanya ber"hmm" tanpa tahu harus membalas apa. Yaya yang biasanya saja tahan menghadapi kakek pikun dan tuli yang tersasar dibawa polisi ke panti, berarti polisi itu benar-benar menyebalkan...

IoI

"Selamat siang Yaya."

"Selamat siang Fang, mari duduk."

Fang duduk di ruang depan panti sosial. Hari sudah menjelang sore tapi penampilan polisi itu masih rapi tanpa cela.

"Ada perlu apa anda kemari? Apa identitas Langit-"

"Belum."

Yaya mengatup mulutnya dengan kesal, Fang selalu memotong pembicaraannya.

"Aku kemari mau memberikan ini..."

Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Beberapa lembar uang dengan jumlah cukup banyak dan sebuah kunci. Yaya menatapnya dengan bingung.

"Ini ada di saku baju Langit. Aku menyita baju dan barang-barang miliknya sebagai barang bukti. Tapi pemeriksaan sudah selesai, tak ada yang aneh pada uang dan kunci ini, tapi baju yang sobek dan ada noda darahnya tak bisa kukembalikan."

Yaya menatap dua barang pemberian Fang padanya. "Jadi, uang dan kunci ini bukan barang bukti?"

"Bukan. Aku sampai melacak nomor seri uang ini untuk melacak peredarannya tapi masih belum ada petunjuk. Sedangkan kunci ini, entahlah, mungkin kunci kamar atau kunci rumah. Tim forensik sudah memeriksa tipe kunci ini, tapi kunci ini sudah diduplikat, jadi merek aslinya tidak diketahui."

Yaya hanya mangut-mangut. Ia tahu Fang menyebalkan, tapi ia mengakui Fang adalah polisi yang handal.

"Terima kasih sudah mau repot-repot mengantarkannya kemari. Nanti biar kuberikan pada Langit."

"Dia tak ada di sini?" tanya Fang dengan wajah selidik.

"Dia sedang ikut pelatihan kursus komputer di aula belakang."

"Jadi dia tidak mau bertemu denganku," Fang melipat tangannya.

"Dari mana kau ambil kesimpulan itu?" tanya Yaya. Sebenarnya, itu memang benar. Langit pernah mengatakan pada Yaya, entah kenapa ia tak suka polisi. Langit yang tak protes dengan baju bekas, dengan kasur tipis, atau kamar yang banyak nyamuk, jadi sekalinya ia bilang ia tak suka polisi, Yaya menanggapinya dengan serius.

"Aku memberitahumu aku akan datang dengan SMS, sekitar sejam yang lalu. Itu lebih dari cukup untuk memberitahunya soal kedatanganku. Ia tak punya pekerjaan ataupun urusan yang penting untuk dilakukan. Itu artinya, ia menghindariku. Kecuali anda tak mengatakannya padanya, tapi anda seharusnya mengatakannya padanya kecuali anda punya alasan tertentu untuk mencegahku bertemu dengannya. Bukannya begitu?"

Yaya mendesah. Fang terlalu teliti dan mendetail untuk urusan seperti ini.

"Bukan masalah besar... aku merasa ia baru saja hilang ingatan dan kau tidak sensitif. Jadi aku merasa kau tidak perlu menekannya lagi," tukas Yaya tegas.

Saat Fang datang berkunjung sebelumnya, ia terus menekan Langit akan detail kejadian ia terjatuh dari tangga jembatan penyebrangan, padahal sudah jelas Langit tak ingat apa-apa. Dan Fang tampak tak peduli pada Langit yang tertekan dan pusing karena dipaksa mengingat.

Itu alasan lain kenapa Yaya tidak begitu suka Fang.

"Aku punya satu pertanyaan."

Fang berhenti berpikir dan menatap Yaya. Gadis itu memandangnya dengan tajam tapi sebagai seorang polisi, Fang tidak gentar.

"Kenapa kau menggolongkan kasus ini ke kasus penganiayaan dan percobaan pembunuhan? Bukannya seharusnya ini kasus pencurian karena kartu identitas Langit hilang?" tanya Yaya. Ia sudah heran sejak pertama menerima Langit dan menerima detail kasus yang ia alami.

"Seharusnya aku tidak mendiskusikan ini dengan orang sipil yang tidak punya hubungan apa-apa dengan kasus ini-"

"Aku bertindak sebagai pengurus Langit sekarang, ia adalah tanggung jawabku."

Fang menurunkan satu alisnya. "Ya, ya aku mengerti. Alasan aku tidak menentukan kasus ini sebagai kasus pencurian karena... aku tidak merasa ada barang yang hilang."

Yaya mengernyit mendengarkannya. "Tapi kartu identitas Langit-"

"Kau yakin itu hilang atau memang tak ada dari awal?"

Yaya menutup mulutnya. Ia berpikir sebentar untuk berargumen balik pada Fang.

"Mungkin saja Langit dicopet, lalu ia melawan, makanya ia berkelahi lalu ia terdorong ke tangga. Bahkan handphonenya pun tak ada. Bisa saja semuanya ada di tasnya yang dicuri," kata Yaya menuturkan tebakannya.

"Lalu ini?"

Fang menunjuk beberapa lembar uang pecahan besar yang ia berikan pada Yaya.

"Kartu identitas adalah sesuatu yang penting. Normalnya, kartu identitas dimasukkan ke dompet atau tas kecil. Tapi, Langit membawa uang di dalam sakunya, itu artinya?"

Fang menunggu Yaya merespon. Gadis itu berpikir sebentar.

"Itu artinya ia tidak memasukkan uang itu ke dompet?" tebak Yaya.

Fang memutar matanya. Pandangannya seakan meremehkan Yaya.

"Nominal uang ini cukup besar. Kalau aku, pasti akan memasukkannya ke dompet, kalau aku memang bawa."

Yaya menatap Fang tajam, tak suka nada bicaranya yang merendahkan orang lain.

"Bisa saja itu kembalian, kalau sedang terburu-buru bisa saja tidak sempat dimasukkan ke dompet makanya disimpan di saku."

"Kemungkinan itu juga ada. Tapi saat kutemukan, uang ini tergulung," Fang mengambil kembali lembaran uang tersebut dan menggulungnya. "Semua lembaran uang tersusun rapi menghadap arah yang sama, kecuali dari bank atau ATM, aku tidak merasa ada kembalian serapi itu. Tapi, kasus terjadi di malam hari dan bank tutup di sore hari, jadi tidak ada alasan terburu-buru menaruh uang di saku. Kalau pun ini dari ATM, seharusnya ada kartu ATM, tapi kartu ATM tidak ada. Dan biasanya kalau membawa dompet, sambil memasukkan kartu ATM, uang pun ikut dimasukkan ke dompet. Jadi kalau dompet itu memang hilang, seharusnya uang ini pun ikut hilang. Sampai sini anda paham?"

Yaya mengangguk. Analisa Fang agak membuatnya ngeri sedikit. Polisi itu benar-benar terlalu detail.

"Jadi kesimpulannya, kemungkinan Langit membawa dompet tipis. Tebakanku sendiri, mungkin ia mengambil uang dari dompetnya sendiri, menggulungnya, menaruhnya di dalam saku namun dompetnya tak ia bawa."

Yaya agak kesal dengan sikap Fang, tapi semua yang dikatakannya masuk akal.

"Bagaimana dengan handphone?"

Fang mendengus. "Sama seperti dompet itu, tak ada yang tahu apa Langit membawa handphone kemudian hilang atau memang tidak membawa dari awal. Hanya saja..."

Yaya menanti Fang melanjutkan penjelasannya. "Aku ragu ini kasus pencurian. Kasus terjadi di tengah malam di jembatan penyebrangan. Itu tidak lazim menjadi tempat pencurian. Pencuri biasanya mengincar korban di pinggir jalan, dimana ia bisa berbelok dan menghilang dengan cepat. Di jembatan penyebrangan, hanya ada satu arah untuk lari yaitu berkebalikan arah dengan korban. Terlalu mudah dikejar. Lagipula, tidak selalu ada orang yang menyebrang di jembatan penyebrangan di malam hari. Apalagi korbannya seorang pemuda. Kalau aku jadi pencuri, aku akan mengincari wanita di pinggir jalan yang bisa kujambret lalu segera melarikan diri dengan kendaraan atau lari ke gang gelap."

"Yah mungkin karena kebetulan? Kejahatan terjadi karena ada kesempatan bukan?" tanya Yaya.

Fang mendengus. "Kalau begitu pencuri itu tolol sekali. Seorang saksi yang melihat Langit dan pelaku adalah seorang wanita karir yang pulang larut karena lembur, dia ada tak jauh dari jembatan penyebrangan, sudah jelas ada sasaran yang lebih empuk."

"Atau bisa saja handphonenya diambil saat Langit terluka?" tebak Yaya lagi.

Fang membetulkan kacamatanya. Ekspresinya tampak lelah, seakan ia capek harus terus menerus menjelaskan hal yang sangat mudah.

"Korban jatuh terguling di tangga jembatan, kapan si pelaku sempat mengambil handphonenya?" tanya Fang dengan nada sinis.

Yaya cemberut sedikit. Ia benar-benar tak suka dengan polisi ini meski ia mengakui kepintarannya.

"Sudah puas?" tanya Fang. Suaranya terdengar sarkartis. Yaya menahan diri untuk tidak mendelik pada polisi itu.

"Ya, terima kasih."

Fang tidak peduli dengan nada dingin Yaya. Ia bangkit dan Yaya pun ikut berdiri.

"Kalau begitu aku permisi dulu."

Yaya mengangguk, lega akhirnya bisa bebas dari polisi menyebalkan ini.

"Oh satu lagi."

Yaya diam menatap Fang. Polisi itu merunduk sedikit padanya dan membisikkan sesuatu.

"Hati-hati pada Langit. Aku punya dugaan... tapi tak ada bukti. Tapi aku merasa ada yang aneh dengannya..."

Yaya mendengarnya dengan mata membelalak.

Fang mundur dan membetulkan dasinya.

"Maksudnya?" tanya Yaya tidak mengerti dan sedikit panik.

Fang menatapnya dengan mata tajam, kemudian ia melirik ke arah lain, ke sebuah pintu ruangan yang tertutup.

"Maksudnya... ia mungkin bukan orang baik."

Yaya termangu mendengarnya.

"Aku permisi dulu."

Dan Fang pun pergi.

Yaya tersentak, ia baru sadar ingin bertanya apa maksudnya itu, dari mana dugaan itu berasal tapi Fang sudah menghilang dari hadapannya.

Yaya tidak percaya. Langit memang agak ganjil, aneh dan tanpa ekspresi. Tapi, Yaya merasa Langit orang baik.

Ia yakin itu.

Sang gadis mendesah, sebaiknya ia berhenti memikirkan hal ini. Ia tidak percaya Fang. Ia bukan Tuhan Yang Maha Tahu, ia juga manusia dan bisa salah. Yaya beralih ke ruangan lain dan membuka pintu, alangkah terkejutnya ia berhadapan dengan Langit di sana.

"Langit!?" pekiknya kaget.

Langit memandangnya dengan tatapan muram. Untuk kali ini, Yaya melihat sepasang mata coklat yang biasanya tanpa ekspresi itu kini terlihat sendu.

"Aku... bukan orang baik? Aku orang jahat?"

Jadi ia mendengar yang dikatakan Fang...

"Langit, itu belum tentu benar. Polisi itu tidak punya bukti. Lagipula, kamu korban di sini, bukan pelaku kejahatan. Jangan khawatir...," hibur Yaya.

Langit hanya menutup matanya dan mengangguk lemas.

Yaya tidak paham dengan jalan pikiran Fang. Ia tidak tahu darimana Fang menarik kesimpulan itu. Tapi, Yaya tidak akan mempercayainya.

Sampai ada bukti yang membenarkan kalau memang Langit bukan orang baik, Yaya tak akan percaya pada Fang.

TBC


Yosh, kenapa Fang menduga Langit orang jahat?

Silahkan reviewnya!