Escape

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Fanon, OOC

Sakura mengerjapkan matanya, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan saat dirasanya ia sedang tak berada di kamarnya. Butuh beberapa menit baginya untuk tersadar bahwa ia kini berada di kamar sahabatnya, Ino.

"Kau sudah bangun?" suara bariton yang tak asing baginya membuatnya terkejut, ia terbelalak saat melihat sosok Sasuke Uchiha yang sedang duduk di kursi tak jauh dari ranjang tempat ia terlelap. Ia bisa melihat bahwa kini pria itu memandangnya tajam.

"Kenapa Sasuke-kun ada di sini?" sesungguhnya ada berbagai pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada sang pria, akan tetapi entah mengapa justru pertanyaan seperti itu yang justru keluar dari bibir tipisnya.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu," ujar Sasuke sambil tetap menatap intens ke arah Sakura. Sakura memalingkan wajahnya, ia tidak ingin melihat Sasuke saat ini karena hanya akan mengingatkannya pada kejadian malam tadi. "Sakura–"

"Ino ada dimana?" potong Sakura. Sasuke menghembuskan nafasnya, sedikit kesal akan tingkah wanitanya yang secara terang-terangan sedang mengalihkan topik pembicaraan.

"Ia sedang berada di luar bersama Shikamaru," ujar Sasuke. Sakura merutuki sahabatnya karena lebih memilih untuk berduaan dengan kekasihnya dan membiarkan dirinya berduaan dengan pria yang sedang tidak ingin ia lihat saat seseorang memasuki ruangan.

"Ah! Ternyata Sakura-chan sudah bangun! Seharusnya kau memberitahuku, Sasuke! Setidaknya aku bisa membuatkannya sarapan juga," ujar Naruto sambil memberikan satu cup ramen instan kepada Sasuke. Sasuke yang merasa pembicaraannya dengan Sakura terganggu menatap tak suka ke arah Naruto.

"Maksudmu membuatkan makanan sampah seperti itu?" ujar Sasuke sambil menatap sinis ke arah cup ramen yang diberikan Naruto padanya.

"Dasar Teme, tidak tahu terima kasih. Ne, Sakura-chan, kau tahu, semalaman penuh si teme tidak tidur, ia terus terdiam disini menemanimu. Menyeramkan. Bahkan Ino tidak bisa mengusirnya dari kamar ini," ujar Naruto sambil bergidik. Sakura melirik ke arah Sasuke, ia bisa melihat Sasuke memandang ke arah lain berusaha menyembunyikan rona merah tipis yang muncul di wajahnya. "Lihat wajahnya yang memerah itu," ejek Naruto sambil melirik ke arah sahabatnya.

"Naruto," geram Sasuke mengingatkan.

"Cih, dasar. Baik, baik, aku tidak akan menganggu kalian. Ne, Sakura -chan, berbahagialah," Sakura melihat ke arah Naruto yang memandang dirinya dengan senyum tulus terpatri di wajah. "Aku titip sahabatku itu. Jika dia menyakitimu, lebih baik kau melakukan shannaro padanya dan datang kembali kesini. Aku akan selalu menyambutmu dengan tangan terbuka," ujar Naruto sambil membuka kedua tangannya terbuka lebar-lebar, tak lupa sebuah cengiran turut melengkapi tingkahnya.

Sakura hanya bisa mengedip-ngedipkan matanya, ia hampir tidak mengerti sebagian besar perkataan Naruto, akan tetapi ia tahu satu hal, Sasuke menemaninya—semalaman. Ia melirik ke arah Sasuke yang kini tengah menyeret tubuh Naruto keluar dari kamar, dan kemudian membanting pintu kamar tepat dihadapan sang pemuda.

"Lupakan saja dia," ujar Sasuke tak mengacuhkan ocehan Naruto dari balik pintu kamar. Sasuke melihat ke arah Sakura yang menatapnya bingung. Suasana hening tiba-tiba melingkupi kamar Ino.

"Ada–"

"A ... aku harus kembali ke apato," potong Sakura sambil membuka selimut yang entah sejak kapan ada di tubuhnya, dan beranjak berdiri. Saat itu ia merasakan sebuah tangan menahan dirinya.

"Sudah kukatakan, aku ingin berbicara denganmu, Haruno Sakura."

"Tidak perlu, aku sudah mengerti. Sasuke-kun dan Hime-sama memang pasangan yang cocok. Aku tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengannya. Aku bodoh karena sempat mengira bahwa kau benar-benar mencintaiku," ujar Sakura lirih.

"Aku memang berkata bahwa aku mencintaimu," ujar Sasuke sambil membalikkan badan Sakura sehingga menatap ke arahnya. Sakura menggeleng perlahan. Ia sudah terlalu lelah dengan perasaannya. Ia lelah dipermainkan.

"Kau menciumnya," ujar Sakura sambil menunjukkan raut wajah terluka.

"Dia yang menciumku," ujar Sasuke penuh penekanan.

"Dan kau tidak bisa menolaknya, begitu? Seorang Uchiha tak mampu melawan tenaga seorang gadis biasa. Sangat meyakinkan," ujar Sakura sarkatis. Sasuke terdiam, ia tidak mengerti harus menjelaskan seperti apa kepada wanitanya lagi, percuma jika dari awal sang gadis memang tidak berniat untuk percaya padanya. "Yang lebih parah lagi, aku melupakan satu fakta penting. Kau adalah tunangannya dan aku bukan siapa-siapamu. Aku tidak berhak menangis dan protes padamu. Kau miliknya," Sakura dengan lancar berujar—membuat Sasuke menghela nafasnya pelan.

"Aku bukan miliknya," ujar Sasuke sambil menatap mata sang wanita, berusaha meyakinkan Sakura agar ia mau percaya padanya. "Tidak lama lagi, aku bukan miliknya ataupun Konoha," Sasuke tersenyum lembut saat dilihatnya Sakura memasang raut wajah tidak mengerti. "Aku akan pergi meninggalkan desa," tubuh Sakura membeku saat mendengar perkataan Sasuke.

Tidak lagi...

"Aku akan meninggalkan Konoha, dan aku ingin kau pergi bersamaku," saat itu Sakura merasakan kepalanya mendadak terasa begitu berat.

Kakashi tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutnya saat mendengar perkataan Sasuke. Ia menatap mantan muridnya itu, berharap bahwa Sasuke tiba-tiba meloncat dan berkata padanya bahwa ini candaan April Mob. Akan tetapi Kakashi tahu bahwa hal itu tidak mungkin mengingat ini bulan Desember, dan kita sedang membicarakan tentang Sasuke Uchiha disini. Kakashi bisa melihat tatapan mata Sasuke yang menatap lurus ke arahnya, menandakan bahwa pemuda itu serius akan ucapannya.

"Kau serius?" ujar Kakashi setelah berkali-kali menambil nafas panjang. Sasuke memutar bola matanya. Ia kesal, sungguh. Ini sudah yang kelima kalinya Kakashi menanyakan pertanyaan itu padanya.

"Kakashi!" geram Sasuke. Jika saja ia tidak membutuhkan bantuan sang guru− ah, maksudku mantan gurunya itu, ia pasti sudah beranjak pergi meninggalkan apato Kakashi sejak satu jam yang lalu. Saat Kakashi menatapnya dengan raut wajah yang sungguh, Sasuke ingin menyiramnya dengan air.

"Lalu bagaimana reaksinya?" tanya Kakashi setelah berhasil meyakinkan dirinya bahwa ini benar-benar nyata.

"Dia belum menjawabnya," ujar Sasuke datar. Kakashi mengernyitkan keningnya. Ia heran dengan pola pikir mantan muridnya ini. Ia sudah berani meminta bantuannya disaat sang gadis—yang Kakashi yakini sudah berubah menjadi wanita itu—belum mengiyakan permintaannya untuk pergi dari Konoha bersama dengannya.

"Bagaimana jika dia tidak mau ikut bersamamu?" tanya Kakashi sambil menaikkan salah satu alisnya, penasaran dengan pola pikir sang Uchiha.

"Aku akan memaksanya, karena hanya itu satu-satunya jalan. Kau tahu 'kan tentang tuntutan Kai pada Konoha," ujar Sasuke datar. Kakashi termenung, ia tahu apa yang terjadi saat ini. Konoha sedang berada dalam 'sedikit' masalah akibat keegoisan yang melibatkan sang daimyou serta mantan muridnya. Ia tidak setuju jika Sakura harus kembali ke Desa Kabut dan mengorbankan dirinya agar Konoha tidak mendapatkan masalah, bagaimanapun ia sudah menganggap Sakura seperti anaknya sendiri. Terkesan klise memang, tapi ia menginginkan kebahagiaan bagi para mantan muridnya. Semuanya.

"Aku memang tidak setuju jika Sakura kembali ke Desa Kabut. Ia patut mendapatkan kebahagiannya. Tapi Sasuke—memaksanya? Bagiku kau terlihat tidak ada bedanya dengan Kai. Kalian sama-sama bocah egois pemaksa."

Entah apa daya tarik yang dimiliki oleh Sakura sehingga hanya bocah-bocah yang bersifat egois yang memperebutkannya. Jika begini mungkin lebih baik Sakura menikah dengan Lee saja.

"Sakura mencintaiku," ucapan penuh rasa percaya diri Sasuke membuat Kakashi tersadar dari lamunannya.

Dasar. Uchiha dan arogansinya

"Ya … dan kau menyakitinya. Kau tahu, sebagai ayah Sakura−" Kakashi merasakan tatapan tak percaya dari Sasuke saat dia mengucapkan kalimat itu, "Hei jangan menatapku begitu, aku sudah menganggap Sakura sebagai putriku sendiri. Aku lebih memilih Sakura untuk bersama dengan Kai daripada denganmu, setidaknya daimyou itu tidak pernah menyakitinya," ujar Kakashi berusaha memancing Sasuke.

"Kau bukan ayahnya. Dan lagi aku muridmu, bodoh. Kau seharusnya mendukungku," ujar Sasuke sambil memandang tak percaya ke arah Kakashi. Ia tidak percaya jika gurunya lebih memilih Sakura untuk bersama dengan Kai daripada dengannya.

"Mantan muridku. Ckckck, akhir-akhir ini kau sama cerewetnya seperti Naruto," ujar Kakashi sambil menyeringai, walaupun sebenarnya seringai itu tak nampak karena masker yang ia kenakan. Umpannya telah termakan.

"Kakashi," peringat Sasuke, merasa dipermainkan oleh sang mantan guru.

"Ya ya ya … lalu kau ingin aku berbuat apa?"

"Naruto sudah mengatakan bahwa ia akan membantuku untuk pergi dari desa."

"Lalu?" Tanya Kakashi sambil mengerutkan dahinya

"Sayangnya bantuan dari Naruto saja tidak akan cukup, aku meragukannya," ujar Sasuke dengan raut wajah datarnya. Oh ayolah, bukan salahnya jika ia tidak bisa percaya 100% pada sahabatnya itu. "Aku butuh bantuanmu," lanjut Sasuke mengubah raut wajahnya menjadi serius.

"Hah … bagaimana bisa kau meminta seorang ayah untuk membantu seorang pria yang ingin melakukan kawin lari dengan anak gadisnya?" ujar Kakashi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hentikan bersikap seolah-olah kau ayahnya," ujar Sasuke muak. "Aku membutuhkan bantuanmu untuk mengalihkan perhatian para penjaga. Aku tahu penjagaan desa diperketat mengingat permasalahan yang sedang timbul. Aku tahu itu bukan masalah besar mengingat kau terkenal sebagai ninja yang ahli. Walapun aku ragu mengingat usiamu saat ini," ujar Sasuke sambil menunjukkan seringainya. Ia merasa puas karena berhasil membalas godaan Kakashi.

"Kau memang muridku yang paling menyebalkan."

"Mantan," ujar Sasuke, seringai di wajahnya tampak semakin melebar. Kakashi menghela nafasnya. Suatu kesalahan menggoda seorang Uchiha.

"Baiklah, aku akan membantumu. Dengan satu syarat. Ia mau mengikutimu dengan suka rela, tanpa paksaan. Kapan kau akan melakukannya?"

"Secepatnya," ujar Sasuke. Sasuke bisa melihat Kakashi yang terdiam sejenak– nampaknya sedang memikirkan sesuatu. Beberapa saat kemudian ia bisa melihat Kakashi menganggukkan kepalanya, menyetujui permintaannya.

"Arigatou Kakashi," ujar Sasuke sambil bangkit dari tempatnya dan berjalan menuju ke arah pintu apato Kakashi. Urusannya dengan pria keturunan Hatake itu selesai.

"Hei Sasuke, apa yang akan kau lakukan saat keluar desa bersamanya?" langkah Sasuke terhenti saat mendengar pertanyaan Kakashi. Ia membalikkan badannya, mendapati Kakashi tengah menatapnya dengan tatapan penasaran.

"Itu bukan urusanmu," ujar Sasuke sambil menunjukkan seringainya. Ia kembali berjalan keluar dari apato Kakashi, dengan sebuah seringai tetap menghiasi wajahnya.

"Dasar bocah mesum," ujar Kakashi saat Sasuke sudah menghilang dari pandangannya

Sasuke berjalan dengan bergegas, ia hendak pergi ke apato Sakura, meminta jawaban dari wanitanya. Ia harus mau pergi bersamanya, suka ataupun tidak. Ia berjalan dengan angkuh, seperti biasanya tangannya tersimpan di kantung celananya. Ia mendengus saat mendapati beberapa orang gadis melirik ke arahnya dan berbisik-bisik.

"Hei Teme! Kebetulan sekali kau disini!" Sasuke menolehkan wajahya menuju ke arah asal suara, ia mendapati Naruto yang tengah berdiri di depan kedai ramen sambil melambai-lambaikan tangannya, di sampingnya berdiri Sai yang tengah menatapnya, ia pun berjalan menuju ke arah Naruto dengan tetap menatap ke arah Sai.

"Ohayou Sasuke-san," ujar Sai sambil tersenyum.

"Hn," ujar Sasuke sambil mendudukkan dirinya di samping Naruto yang telah terlebih dahulu masuk ke dalam kedai ramen.

"Jii-san, ramen spesialnya satu mangkuk! Kalian mau makan apa?" saat dilihatnya Sai juga telah duduk menemani mereka.

"Ah, tolong buatkan satu yang sama dengan miliknya Takeuchi-san," ujar Sai sambil menunjukkan senyumnya.

"Hn."

"Kau darimana?" tanya Naruto saat Takeuchi jii-san membuatkan mereka ramen.

"Kakashi."

"Ah! Hei, rasanya sudah lama sekali ya kita tidak makan ramen bersama, aku rindu … andai saja Sakura-chan dan Kakashi sensei juga ikut makan bersama kita," ujar Naruto..

"Ah, kau benar Naruto, sudah lama aku tidak melihat tim 7 berkumpul bersama, aku bahkan sudah lama tidak melihat Sakura-chan makan disini," ujar Takeuchi jii-san sambil meletakkan irisan naruto di atas ramen pesanan mereka bertiga.

"Ah, Tou-san benar. Bagaimana kabar Sakura-chan saat ini? Kami sudah lama tidak melihatnya, pasti dia tumbuh menjadi gadis yang cantik," ujar Ayame nee-san sambil tersenyum lembut.

"Uhm! Sakura-chan semakin cantik, Ayame nee-san. Aku akan membawanya kemari nanti," ujar Naruto sambil tersenyum. Ketiga orang pria itu mengucapkan terima kasih saat Takeuchi jii-san mengidangkan tiga mangkuk ramen pesanan mereka.

Suasana tenang melingkupi ketiga orang pemuda yang merupakan teman satu tim itu, sesekali hanya terdengar suara pujian Naruto akan ramen yang sedang dimakannya. Sasuke tersenyum tipis, dia akan merindukan suasana ini nanti. Sai melirik ke arah Sasuke, saat dilihatnya sang pemuda sedang tersenyum, ia merasa lega. Keputusannya melepaskan satu-satunya gadis yang ia cintai sepertinya tak salah. Ya, Sai tak akan menyesalinya.

. . .

"Apakah tidak apa?" Naruto membuka keheningan. Sai melirik ke arah Naruto yang sedang berjalan sambil menatap ke arahnya. Mereka kini sedang berjalan menuju ke kantor Hokage, berpisah dengan Sasuke yang entah ingin kemana, meskipun sebenarnya kedua pemuda itu sudah tahu kemana si pria Uchiha itu pergi. Sai menaikkan alisnya, tak mengerti akan pertanyaan Naruto.

"Sakura. Apakah tak apa-apa melepaskannya?" ulang Naruto kembali. Untuk sepersekian detik Sai menunjukkan raut wajah terkejutnya, namun kemudian dia tersenyum, seperti biasanya.

"Bukankah seharusnya aku bertanya padamu? Bukankah kau selalu menyukai Sakura?" Sai membalik arah pertanyaan. Naruto terdiam sesaat.

"... Kau benar, tapi Sakura akan jauh lebih bahagia jika bersama dengan Teme. Dia menyukainya sejak dulu, benar, 'kan?"

"Kalau begitu aku juga akan memberikan jawaban yang sama," ujar Sai tanpa memandang Naruto. Naruto menghadap ke arah Sai. Dia tahu bahwa rekan setimnya ini menyukai Sakura. Ia merasa bersalah karena lebih memilih untuk mendukung Sasuke dibandingkan dengannya. "Kau tahu? Itu bukan berarti aku lebih memihak Sasuke, hanya saja aku−"

"Aku tahu," ujar Sai sambil tersenyum ke arah Naruto. "Aku tahu, Naruto."

"... Hei Sai, mereka akan bahagia 'kan?"

"… Tentu Naruto, tentu."

"APA?!" suara teriakan Ino menggema sesaat setelah Sakura menceritakan masalahnya pada sang sahabat sekaligus rival seumur hidupnya itu.

"Ino, kumohon ... perkecil suaramu!" ujar Sakura sambil melihat ke arah sekelilingnya—memeriksa jika ada seseorang yang turut mendengar percakapan mereka. Meskipun kini mereka sedang berada di rumah Ino, Sakura tidak mau lengah, siapa tahu saja ada seseorang yang mencuri dengar.

"Aku tidak peduli! Dia kira dia siapa, hah? Setelah menyakitimu dengan seenaknya saja ia mengajakmu keluar dari desa?!"

"Ino!" desis Sakura. Ia melirik tajam ke arah sahabatnya itu, berharap bahwa sahabat pirangnya mau sedikit mengecilkan suaranya.

"Kau harus menolaknya!" ujar Ino sambil memandang tajam ke arah Sakura. Ino melihat Sakura yang tengah menundukkan wajahnya. "Tidak ... kau sudah menerima ajakannya..." ujar Ino sambil memandang skeptis ke arah Sakura.

"Belum!" ujar Sakura sambil menatap wajah Ino, "Aku belum menjawab ajakannya," tambahnya lirih.

"Kau tahu? Saat ini aku ingin menendang pantat pria brengsek tidak tahu diri yang egois itu! Seenaknya saja ia mengajakmu pergi setelah dia mencium si tuan putri yang manja itu," ujar Ino sambil meremas bantal yang berada di pangkuannya. Sakura menggigit bibirnya, merasa kasihan dengan sang bantal yang pastinya Ino anggap sebagai Sasuke.

"Miko itu yang menciumnya, dia berkata seperti itu," ujar Sakura lirih. Sakura tidak tahu mengapa ia justru berkata seperti itu, membela Sasuke yang bahkan kemarin perkataannya masih ia tak percaya. Ino mendengus kesal mendengar perkataan Sakura.

"Bah! Pria dan alasan mereka!" ujar Ino sambil membuang pandangannya. Sakura tersenyum mendengar perkataan Ino. Sakura memandang ke arah luar jendela kamar Ino, dan menarik nafas panjang.

"... Ino ... apakah ... apakah... aku memang harus menolak ajakannya?" Sakura terbata mengungkapkan keraguannya. Ino memandang ke arah Sakura sejenak sebelum menutup matanya dan menghela nafas panjang. Sakura melihat ke arah sahabatnya yang sedang memasang raut wajah bingungnya.

"Aku tidak tahu Saki, aku ingin berkata sebaiknya kau menolak ajakan si Uchiha brengsek itu− ah benar, aku sudah mengatakannya. Tapi ... kau mencintainya..." ucap Ino, ia memandang lembut ke arah Sakura, dengan lembut ia menyentuh pipi Sakura, membelainya lembut. "Pergilah dengannya Saki, kau pantas berbahagia," Sakura tersentak saat mendengarkan ucapan Ino.

"Ino ..."

"Jika kau tetap disini, besar kemungkinan Konoha akan menyerahkanmu pada Kai-sama. Meskipun dia tampan, dan sepertinya mencintaimu, tapi kau tidak mencintainya. Pergilah bersama Uchiha brengsek itu, dia mencintaimu, sangat. Sebenarnya aku ingin berkata bahwa ia pria playboy dengan ego yang besar dan ia tidak pantas denganmu karena hanya memanfaatkanmu, akan tetapi saat melihat tatapannya padamu saat kau tertidur kemarin, aku tahu. Dia mencintaimu Saki," mata Sakura membesar mendengar perkataan Ino. Sasuke mencintainya.

"..."

"Pergilah."

. . .

Ino sedang bersandar di pintu rumahnya, ia menatap punggung Sakura yang berjalan pulang menuju rumahnya. Ino menyuruhnya untuk memikirkan keputusannya sekali lagi, sesuai dengan keinginannya. Ia menghela nafasnya, berharap bahwa sahabatnya mau mengambil keputusan yang sesuai dengan kata hatinya, bukan karena dorongan orang lain. Ino sedang menutup pintu rumahnya saat sebuah tangan menghalanginya. Ia terkejut saat mengetahui bahwa pemilik tangan itu adalah Shikamaru, kekasihnya.

"Dia kemari?" ujar Shikamaru sambil melihat punggung Sakura yang sudah berada jauh dari rumah kekasihnya itu.

"Ah, iya ..."

"..."

"Sasuke mengajaknya pergi dari Konoha," ujar Ino saat Shikamaru diam, tak bertanya apapun padanya.

"Oh …"

"Shika, keputusanku benar, 'kan? Aku ... aku menyuruhnya pergi…" ujar Ino sambil menunduk. "Aku … aku mengatakannya tanpa memikirkan Konoha," ujar Ino khawatir.

"… Aku rasa itu tidak apa. Tsunade-sama pasti akan mengerti."

"Souka…" ujar Ino sambil tersenyum pasrah.

"Kau tidak apa?" tanya Shikamaru saat melihat wajah sendu Ino.

"Aku akan merindukannya, teriakannya, kemarahannya, kepribadian tersembunyinya, bahkan jidat lebarnya," ujar Ino sambil tertawa lirih.

"Aku tahu," ujar Shikamaru sambil menyandarkan badannya pada dinding dan menatap kekasihnya.

"Aku bahkan baru bertemu dengannya setelah ia menghilang selama satu tahun ... tapi... dia sahabatku, aku harus memberikan segala yang terbaik untuknya, meskipun itu berarti aku tidak akan melihatnya ..." Shikamaru bisa melihat air mata mulai mengalir pada pipi kekasihnya. Dengan lembut ia menghapus air mata Ino dan memeluknya lembut tanpa mengatakan apapun.

"Aku menyayanginya Shika, aku menyayanginya. Dia sudah kuanggap sebagai keluargaku," ujar Ino sambil terisak pelan.

"Aku tahu," ujar Shikamaru sambil mengusap-usap punggung sang kekasih.

"Jika Sasuke membuatnya menangis lagi, aku berjanji, aku sendiri yang akan menghabisinya! Kau akan membantuku kan?" ujar Ino sambil menengadah, menatap wajah kekasihnya.

"Aaa."

"Hiks... hiks... Dia akan bahagia 'kan, Shika?"

"Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja. Keputusanmu tepat," ujar Shikamaru berusaha membuat sang kekasih sedikit tenang.

"Tentu ... tentu..."

"Malam ini aku boleh menginap disini kan?"

"Baka!" ujar Ino sambil memukul pelan dada prianya, ia tersenyum lembut. Ia sangat mencintai pria ini.

Tsunade menatap sosok didepannya dengan tajam. Ia sedang menikmati sake miliknya, saat tiba-tiba saja pintu kantornya terbuka dengan kencang, memunculkan sosok yang akhir-akhir ini menjadi salah satu penyebab sakit di kepalanya kambuh.

"Aku rasa kau tahu bahwa kau tidak bisa masuk begitu saja ke ruangan ini," ujar Tsunade dingin sambil tetap menatap tajam gadis yang ada didepannya, sang Miko.

"Aku tahu mengenai permasalahan antara kalian dan Desa Kabut," ujar Miko tak mempedulikan sindiran yang dilontarkan Tsunade padanya.

"Itu bukan masalahmu, ini masalah Konoha. Aku tidak perlu membicarakannya denganmu," ujar Tsunade sambil menenggak sake langsung dari botolnya. "Shizune, bawa dia keluar."

"Dia tunanganku," ujar sang miko sambil menepis tangan Shizune yang ingin membawanya keluar. Tsunade mendesah mendengar perkataan sang miko.

"Kalau begitu bicarakan dengan dia, pergilah! Aku sedang sibuk saat ini," ujar Tsunade tanpa memandang sang miko.

"Berbicara dengannya? Ia bahkan meminta pertunangan kami dibatalkan," ujar sang miko dingin. Tsunade menaikkan alisnya mendengar perkataan sang miko.

Ah, jadi bocah itu membatalkan pertunangannya

"Kalau begitu kau sudah bukan tunangannya lagi, bertambah satu lagi alasan untukmu untuk tidak mencampuri permasalahan ini," ujar Tsunade sambil menunjukkan seringai kemenangannya.

"Aku … lepaskan aku!" desis sang miko saat Shizune kembali berusaha membawanya keluar. "Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini, aku adalah seorang miko!" pekiknya pada Tsunade, saat Shizune tetap memaksa dirinya untuk keluar dari ruangan hokage.

"Aku tidak peduli," ujar Tsunade sambil kembali meminum sake miliknya.

"Aku akan membicarakan ini pada Soujiro-san!" Tsunade memicingkan matanya, dan menatap sang miko tajam.

"Aku beritahu padamu, di desa ini akulah pemimpinnya. Aku pemegang kekuasaan tertinggi. Bukan Soujiro. Kau harus memahami ini. Dan satu lagi, sebaiknya kau sadar bahwa Uchiha itu tidak tertarik lagi padamu, jika aku menjadi dirimu, aku akan memilih untuk pulang dengan kepala terangkat daripada memaksakan kehendakmu. Sebagai seorang miko kau sudah bertingkah memalukan, dan sudah merusak nama baik negaramu sendiri. Shizune, tendang dia jika dia tetap tidak mau keluar dari ruanganku," ujar Tsunade sambil memandang sang miko yang balik menatapnya sengit.

"Tsunade-shisou, apakah itu tidak apa?" tanya Shizune saat sang miko sudah keluar dari ruangannya.

"Seseorang harus mengajarinya tentang tata krama, dan dengan senang hati aku akan mengajarinya."

. . .

Kai tertawa dengan kencang saat sang miko tiba-tiba mendatangi dirinya yang sedang memesan makanan di sebuah kedai dan menceritakannya aksi sang Hokage kelima padanya dengan emosi.

"Dia mengusirmu?" ujar Kai saat tawanya reda, ia memandang Yuki dengan pandangan pura-pura bersimpati.

"Diam!" ujar sang miko saat mendapati bahwa sang daimyou justru menertawakan kisahnya.

"Aku akan melakukan hal yang sama jika menjadi dirinya. Kau bertingkah seperti sesosok putri manja yang tak tahu sopan santun," ujar Kai sambil meminum kocha yang telah disajikan sang pemilik rumah makan untuknya. "Hm … wangi," ujarnya saat mengirup aroma yang berasal dari gelas berisi kocha hangat miliknya.

"Aku tidak manja," desis sang miko tak terima.

"Kau bertingkah seperti itu. Aku heran, aku tidak menyangka jika Ōshitsu no fuyu memiliki seorang putri seperti ini," ujar Kai sambil memandang rendah ke arah sang miko. "Arigatou jii-san," ujar Kai saat sang pemilik kedai meletakkan pesanannya di atas meja.

"Dia memintaku untuk membatalkan pertunangan kami," ujar sang miko saat sang daimyou mulai memakan makasn siang miliknya dan tak mengacuhkannya.

"Lalu? Apa peduliku?" ujar Kai sambil memasukkan sumpit berisi nasi kedalam mulutnya.

"Itu pasti karena permintaan bodohmu pada Konoha!" pekik sang miko kencang, mereka kini bisa merasakan tatapan semua pengunjung ke arah mereka, akan tetapi mereka tidak peduli, dan menganggap mereka tidak ada.

"Ah, kau sudah tahu rupanya," ujar sang daimyou tenang dan mulai menyeruput sup miso pesanannya.

"Jangan remehkan kami dalam mencari informasi," ujar sang miko sambil tersenyum menang.

"Aaa, ingatkan aku," ujar sang daimyou tetap tenang dan kembali melanjutkan acara makan siangnya.

"Dengarkan aku, bodoh! Aku tidak peduli dengan perasaanmu pada gadis merah muda itu, tapi jangan bawa-bawa Sasuke-san dalam masalah kalian!"

"Aku tidak pernah melibatkanya, dia yang melibatkan diri. Tunanganmu mencintai wanita milikku. Aku hanya ingin mengambil kembali apa yang menjadi milikku."

"Kau tahu? Permintaanmu mungkin akan membuat mereka mengambil keputusan yang tidak akan kau sangka," ujar sang miko mengingatkan.

"Aku tahu. Ah makanan disini sangat lezat," ujar sang daimyou . "Kau harus mencobanya sekali-kali Yuki-dono."

"Lalu kenapa kau− ah sudahlah! Percuma bicara denganmu," ujar sang miko yang merasa percuma berbicara dengan seorang pria yang tidak mempedulikannya dan justru lebih tertarik pada makan siangnya itu.

"Kau yang tiba-tiba menemuiku dan berbicara denganku, aku tidak mengundangmu," jawab sang daimyou dengan tenangnya.

"Kau daimyou brengsek!"

"Selamat, kau orang kesekian yang mengatakannya," dengan enteng Kai berucap. Sang miko memandang tajam ke arah sang daimyou yang kembali makan dengan tenangnya. Ia mendesis tajam dan meninggalkan sang daimyou tanpa pamit sebelumnya.

. . .

Baru beberapa hari setelah Sasuke-san kembali, aku sudah menjadi wanita egois dan tidak tahu sopan santun seperti ini. Aku ingin melihat bagaimana haha dan chichi-ue saat mereka melihatku seperti ini

Sang miko berjalan dengan murung, memikirkan tingkah lakunya beberapa bulan terakhir ini. Ia merasa lelah, ia merasa bukan seperti dirinya.

"Ryu, amati Sakura dan laporkan padaku setiap pergerakannya," ujar sang daimyou pelan saat sang miko sudah hilang dari hadapannya.

"Hai'!"

-Escape-

"Sepertinya akhir-akhir ini aku selalu melihatmu menangis," Sakura tersentak saat mendengar suara seorang pria. Bagaimana ia tidak terkejut, mengingat saat ini ia tengah berada di dalam kamarnya. Dengan panik ia menoleh ke arah jendela kamarnya, tempat dimana Sai sedang berdiri sambil menunjukkan senyumnya.

"Aku tidak menangis," elak Sakura.

"Kau sedih."

"... Kau tahu Sai, tidak baik datang ke rumah seseorang tanpa izin dari pemiliknya, apalagi melalui jendela," ujar Sakura sambil mendudukkan dirinya di ranjang.

"Sou ka? Hmm ... baiklah, aku akan turun ke bawah dan mengetuk pintu rumahmu," ujar Sai sambil menunjukkan wajah tak berdosa miliknya.

"Hihihi, tak usah, masuklah," ujar Sakura menahan Sai yang hendak masuk melalui pintu rumahnya, melalui cara yang benar. Sai menaikkan alisnya sebelum akhirnya mengikuti instruksi gadis merah muda itu, dan kemudian duduk di samping Sakura.

"Kau menyuruhku masuk melalui jendela."

"Ya," ujar Sakura sambil mengerutkan keningnya tak mengerti dengan alur percakapan Sai.

"Sebelumnya kau berkata bahwa tindakanku salah, dan setelah itu kau menyuruhku melakukannya," ujar Sai sambil mengerutkan dahinya, bingung. Sakura terdiam sesaat sebelum akhirnya ia tertawa lepas.

"Hahahaha, Sai ... kau tahu, aku sangat merindukan kepolosan bodohmu itu, bahkan terkadang aku rindu dipanggil jelek olehmu!"

"Kau ingin kupanggil jelek?" tanya Sai sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Tentu saja tidak! Meskipun aku rindu, tidak berarti aku ingin kau memanggilku dengan julukan itu!" tukas Sakura cepat-cepat, tak ingin Sai kembali memanggilnya dengan julukan itu.

"Aku tidak mengerti ..."

"Hahahaha, sudahlah! Lupakan saja," ujar Sakura sambil tertawa renyah ke arah sang pemuda. Sai tersenyum tulus saat melihat Sakura tertawa, ia sedikit berjengit saat Sakura menyenderkan kepalanya ke bahunya.

"Sudah merasa baikan?"

"Um ... terima kasih ..." ujar Sakura sambil tersenyum manis.

"..."

"Dia mengajakku pergi," ujar Sakura lirih. "Sasuke-kun mengajakku pergi…"

"..."

"Dia mengajakku pergi dari Konoha. Dia berkata itu satu-satunya jalan agar aku bisa bersamanya ... Ino menyuruhku pergi, ia bilang Sasuke mencintaiku... tapi ... aku tidak bisa percaya semudah itu ..."

"Kau ingin bersamanya?" pertanyaan dari Sai membuat Sakura tertegun. Sakura menutup matanya, ia tak pernah menyangka akan mendengar pertanyaan itu. Apakah ia ingin bersama Sasuke, meskipun pria itu sudah menyakitinya berulang-ulang? Saat itulah ia mendapatkan jawabannya.

"Aku ... mencintainya, Sai ..." Jawabnya lirih.

"Kalau begitu pergilah dengannya."

"Apakah itu ... tidak apa-apa?" Sakura berkata sambil mendongakkan wajahnya, menatap Sai yang sedang menutup matanya.

"Daijobu," ujar Sai lembut. Sakura dapat melihat sebuah senyum tulus diberikan Sai padanya. Saat itu ia tahu keputusan apa yang harus ia ambil.

"Arigatou, Sai," ujar Sakura sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Sai.

"Aku akan pergi denganmu."

Sasuke menaikkan sebelah alis matanya saat mendengar ucapan dari Sakura. Bukan, bukannya ia menyangka bahwa Sakura akan menolaknya karena Sasuke yakin, wanitanya akan mau pergi dengannya mengingat Sakura amat sangat mencintainya. Sasuke yakin itu, tapi ia tidak menyangka bahwa wanita itu langsung mengiyakan ajakannya saat ia mengunjungi rumahnya. Ia menyangka bahwa ia harus membujuk wanitanya terlebih dahulu, yah membujuknya dengan melakukan hal-hal yang ….

"Sai berkata padaku bahwa sebaiknya aku pergi denganmu," ucapan dari Sakura secara otomatis menghentikan bayangan mesumnya. Sasuke mengernyitkan dahinya mendengar perkataan Sakura

"Sai?"

"Aku menceritakannya pada Sai, dan dia menyuruhku untuk ikut denganmu," Sakura mengangkat wajahnya, mencoba memberanikan diri menatap wajah kekasihnya. Tubuhnya menegang saat dilihatnya ekspresi wajah Sasuke mengeras.

"A … aku hanya meminta sarannya, selain itu aku juga meminta saran dari Ino mengenai hal ini," ujar Sakura karena merasakan aura yang tidak menyenangkan menguar dari tubuh kekasihnya itu. Sasuke menghela nafasnya, ia melirik ke arah Sakura yang sedang memasang raut wajah menyesalnya.

"Aku meminta bantuan Kakashi untuk menolong kita keluar dari desa," ujar Sasuke sambil membelai lembut pipi wanitanya, "Dia mau melakukannya dengan satu syarat. Kau melakukannya dengan suka rela. Jika i−"

"Aku memang ingin pergi denganmu! Hanya saja aku merasa sedikit ragu dengan perasaanmu padaku," potong Sakura.

"Kau tidak mempercayaiku?" tanya Sasuke tajam, ia menatap kedua mata Sakura.

"Bukannya begitu Sasuke-kun… hanya saja, aku tidak ingin kembali berharap, aku takut …"

"Aku memang mencintaimu. Kau mengenalku, kau tahu aku tidak akan mengatakan kalimat itu hanya untuk main-main."

"Aku tahu! Hanya saja rasanya seperti bermimpi … aku takut jika nanti ternyata semua ini hanya ilusi atau mungkin aku hanya mimpi … aku mencintaimu Sasuke-kun, sangat mencintaimu, hanya saja−"

"Wakatta, maafkan aku," potong Sasuke sambil tersenyum lembut, wajah Sakura merona saat melihatnya. Sasuke membelai lembut pipi Sakura, merasakan panas yang dari tubuhnya dan pipi yang semakin merona merah. "Arigatou Sakura, terima kasih karena berada di sisiku."

Dua insan bertatapan, bertukar rasa lewat mata dan hanya ada hening menyela.

"Bersiap-siaplah, nanti malam kita akan pergi."

Sai sedang mencoret-coret kanvas miliknya dengan sebuah kuas saat ia merasakan sebuah cakra yang tak asing baginya berada di beranda apato-nya.

"Seseorang pernah berkata padaku bahwa kita tidak bisa begitu saja masuk ke rumah seseorang tanpa izin pemiliknya, Sasuke-san," ujar Sai tanpa menoleh ke arah sesosok pria yang masuk ke dalam apato miliknya melalui beranda apato-nya.

"..."

"Sepertinya kau juga harus membaca beberapa buku untuk mengetahui cara berinteraksi yang baik, ne?" ujar Sai sambil menghentikan coretan kuas miliknya dan menghadap ke arah Sasuke dengan senyum palsu tersungging di wajahnya.

"Aku akan membawanya," ujar Sasuke tak mempedulikan perkataan Sai sebelumnya.

"Aku tahu. Dia sudah memberitahukannya padaku," ujar Sai mengubah raut wajahnya menjadi serius.

"Kau menyuruhnya pergi."

"Aaa," ujar Sai sambil menatap wajah Sasuke.

"Mengapa?"

"Karena aku ingin dia bahagia," Sasuke terkejut mendengar ucapan sang pemuda, akan tetapi ia berhasil menyembunyikannya hanya dalam waktu sepersekian detik.

"Aku tidak mengerti," ujar Sasuke sambil menatap wajah Sai yang memandang kosong ke arah kanvas miliknya.

"Aku tidak memintamu untuk mengerti," ujar Sai pelan sambil memalingkan wajahnya arah Sasuke dan tersenyum. Sasuke dapat melihat wajah sang pemuda yang terkenal pandai menyembunyikan emosinya itu menunjukkan raut wajah pedih. "Berikan ini pada Sakura," ujar Sai setelah menghela nafasnya. Ia memberikan sebuah gulungan pada Sasuke. Sasuke menaikkan sebelah alisnya, meminta penjelasan lebih lanjut tentang gulungan yang

"Itu lukisanku, katakan itu adalah kenang-kenangan dariku untuknya."

"Hn," ujar Sasuke sambil mengambil gulungan yang diberikan Sai dan meletakkannya di tas pinggang miliknya.

"Hei, berjanjilah padaku padaku bahwa kau akan membuatnya bahagia," ujar Sai sambil menatap tajam ke arah mata Sasuke.

"Aku akan membuatnya bahagia."

"Baguslah, karena jika tidak, aku yakin yang akan memburumu bukan hanya diriku," ujar Sai sambil tersenyum palsu.

"... Aku tahu."

"Kapan kalian pergi?"

"Malam ini," Sasuke mengucapkannya dengan datar. Sai menghela nafasnya mendengar perkataan Sasuke. Ia memejamkan matanya.

"Aku mendoakan kalian."

Sasuke memandang Sai dengan seksama, ia tahu bahwa pemuda yang ada didepannya juga mencintai Sakura, Sakura pun nampaknya sedikit memiliki perasaan pada sang pemuda pucat. Sasuke yakin, jika Sai memaksa Sakura untuk tetap bersama dengannya di Konoha, kemungkinan besar sang gadis akan menurutinya. Akan tetapi Sai justru mendorong Sakura untuk pergi dengannya. Dia merelakan sang gadis.

"Arigatou," ujar Sasuke sebelum akhirnya menghilang dari apato pria mantan ANBU Ne itu. Sai terdiam sejenak saat mendengar perkataan terima kasih dari Sasuke Uchiha sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan lukisannya.

Lukisan lautan bunga Sakura yang sedang berguguran.

Waktu sudah menunjukkan tengah malam, semua anggota tim 7 kini berkumpul di dekat gerbang Konoha—ah pengecualian untuk Sai, karena nampaknya pria itu kini tidak ikut berkumpul bersama teman-teman setimnya. Kakashi melirik ke arah gerbang desa, nampak 10 orang penjaga sedang bertugas menjaga gerbang.

"Sepertinya jumlah penjaga ditambah mengingat keberadaan daimyou disini," ujar Kakashi sambil menghela nafasnya. "Ini akan sangat merepotkan."

"Ah syukurlah, aku kira kalian sudah pergi," serempak semua anggota tim 7 menoleh ke arah asal suara dan mendapati Ino dan Shikamaru sedang berjalan ke arah mereka.

"Ino!" pekik Sakura senang, tak menyangka jika sahabatnya itu juga ikut mengantarkannya.

"Kau tidak berpikir bahwa aku tidak akan mengantarmu, 'kan?" ujar Ino sambil mencubit pipi Sakura.

"I … Ino …" erang Sakura sambil berusaha melepaskan cubitan Ino dari pipinya.

"Eeh? Sai dimana?" tanya Ino setelah tidak mendapati kehadiran pria murah senyum itu.

"Dia tidak datang," ujar Sakura lirih. Ino bisa melihat wajah sendu Sakura, melihat hal itu Ino semakin kencang mencubit pipi Sakura, berusaha mengalihkan perhatian sang sahabat agar tidak kembali muram.

"Ino!"

"Jadi bagaimana rencana kalian?" tanya Shikamaru tak mengacuhkan kekasihnya yang gini sedang asyik menggoda sahabat sekaligus rivalnya itu.

"Tentu saja kita tinggal menghadapi mereka! Aku kira Kakashi-sensei dan aku bisa menghadapi para penjaga dengan cepat!" ujar Naruto yang langsung mendapatkan respon hembusan nafas pasrah dari semua anggota, dan juga gumaman 'sudah kuduga aku tidak bisa mempercayainya' dari Sasuke.

"Baka! Sebaiknya kalian tidak usah memancing keributan, bodoh! Bisa-bisa semua orang akan bangun!" ujar Ino, mencibir ide bodoh Naruto.

"Bagaimana kalau kita menggunakan cara untuk mengalihkan perhatian mereka?" saran Kakashi sambil menatap teman persekongkolannya.

"Ah aku tahu! Aku akan meminta mereka untuk melerai perkelahian Shika dan Chouji! bagaimana?" ujar Ino dengan mata yang berbinar-binar.

"Haaaaah," serempak semua pria menghela nafasnya secara bersamaan, ah tentu saja pengecualian untuk Naruto yang tidak mengerti.

"Ah?" Ino mengerutkan dahinya, tidak paham.

"Kekasihmu itu bukan tipe orang yang mau repot melakukan hal itu, lagipula teman setimmu itu terkenal rukun, tidak seperti dua muridku yang bodoh ini," ujar Kakashi sambil melihat Naruto dan Sasuke secara bergantian. Ia bisa melihat Naruto yang melotot tak terima, dan Sasuke yang mengalihkan pandangannya.

"Kau bodoh, Ino!" ejek Naruto, meskipun sebenarnya ia tidak mengerti. Yang penting ia bisa mengejek balik sang gadis pirang itu.

Dukk

"Lalu apa idemu, pirang?" tanya Ino setelah memukul kepala Naruto dengan emosi.

"Hei! Kau juga pirang! Bagaimana kalau kita mengajak mereka makan di kedai ramen Ichiraku?" ujar Naruto dengan mata yang berbinar-binar.

Dukkk!

"Aw … Ittai, Sakura-chan…" keluh Naruto sambil mengusap-usap kepalanya yang terkena jitakan dari Sakura.

"Baka! satu-satunya orang yang maniak ramen di Konoha hanya kau! Lagipula kedai Ichiraku sudah tutup sejak 3 jam yang lalu, idiot," ujar Sakura emosi.

"Urghhh …"

"Haaaah … Shikamaru, apa kau memiliki ide yang lebih masuk akal lagi dibandingkan mereka?" tanya Kakashi setelah merasa percuma saja memperhatikan ide dari muridnya yang sangat luar biasa itu.

"Mendokusai… Kakashi, kau tinggal berkata pada mereka jika kau merasakan ada hal yang mencurigakan di hutan terlarang saat kau sedang berlatih bersama anjing-anjingmu. Katakan pada mereka bahwa Pakkun mencium bau yang asing di sekitar hutan," ujar Shikamaru.

"Diantara mereka ada penjaga yang berasal dari klan Inuzuka," sahut Sasuke setelah mendengar ide dari sang pria jenius Konoha.

"Tidak apa, kemarin memang ada penyusup di hutan terlarang, aku rasa baunya masih tersisa."

"Ah!"

"Hn."

"Idemu luar biasa Shikamaru!" ujar Naruto sambil menepuk bahu sang pemuda nanas itu.

"Tentu saja bodoh! Dia kan pacarku!" ujar Ino bangga.

"Iya tak seperti kau," cibir Naruto.

BUGH

"AWW!"

"Haaah mendokusai," keluh Sikamaru saat melihat interaksi antara kekasihnya dan pemuda berambut pirang itu.

Semua anggota tim 7 dan juga Ino serta Shikamaru melihat Kakashi yang sedang melompat tergesa-gesa ke arah gerbang melalui balik semak-semak setelah sebelumnya menyembunyikan cakra mereka. Mereka bisa melihat Kakashi yang sedang berbicara dengan para penjaga, tak beberapa lama kemudian Kakashi pergi dari gerbang desa diikuti oleh semua para penjaga, menyebabkan kondisi gerbang yang kosong tak ada yang menjaga.

"Ayo, ini waktunya kalian pergi," ujar Shikamaru sambil keluar dari tempat persembunyian mereka diikuti oleh teman-temannya.

"Minna-san arigatou ne maaf sudah melibatkan kalian," ujar Sakura sambil membungkukkan badannya saat mereka sudah tiba di gerbang desa.

"Seharusnya yang berterima kasih dan meminta maaf itu bukan kau, tapi …" sindir Ino sambil melirik ke arah Sasuke yang sedang mendecih.

"… Arigatou," perkataan dari Sasuke mau tak mau membuat Ino terkejut. Ia tidak menyangka bahwa pria yang memiliki arogansi yang besar itu akan mengucapkan terima kasih padanya.

"Eeh? Er … doitte," jawab Ino salah tingkah.

"Ayo Sakura, kita harus pergi," ujar Sasuke sambil melirik ke arah Sakura yang nampaknya sedang menunggu seseorang.

"… Uhm …" jawab Sakura setelah merasa bahwa penantiannya menunggu orang itu sia-sia. "Jya ne minna, aku harap kita bisa bertemu lagi," ujar wanita itu sambil tersenyum lembut ke arah teman-temannya.

"Kau harus menjaganya baik-baik Teme. Kalau tidak aku akan mengejarmu," ujar Naruto sambil menepuk pelan bahu sahabatnya.

"Hn."

"Awas kalau kau membuat sahabatku menangis. Aku dan Shikamaru akan membunuhmu," ujar Ino yang sedang bergelayut di lengan Shikamaru. Ia menatap tajam ke arah Sasuke yang memutar bola matanya saat mendengar ucapannya.

"Aaa."

"Jidat, aku akan merindukanmu. Berbahagialah dengannya," ujar Ino sambil tersenyum ke arah Sakura.

"Arigatou, pig," ujar Sakura lembut.

"Sakura−" panggil Sasuke, mengingatkan Sakura bahwa mereka harus segera pergi jika ingin rencana mereka berhasil.

"Umm … Jyaa minna, Naruto jika kau bertemu dengan Sai tolong sampaikan padanya bahwa aku akan merindukannya," ujar Sakura sambil menerima uluran tangan daari Sasuke.

"Aku mengerti!" ujar Naruto dengan senyum lebarnya.

Ketiga orang itu memandang bayangan Sasuke dan Sakura yang meloncati satu pohon ke pohon lainnya, tak butuh waktu yang lama bagi kedua orang ninja dengan tingkatan jounin itu untuk pergi dan bayangan mereka sudah tak tampak lagi.

"Hei …" ketiga tubuh itu tersentak saat mendengar suara sapaan dari arah belakang tubuh mereka.

"Sai! Kau datang terlambat! Mereka baru saja pergi," ujar Naruto dengan hebohnya saat mengetahui sosok yang memanggil mereka.

"Aku tahu," ujar Sai sambil tersenyum. "Lagipula aku sudah menitipkan sesuatu untuk Sakura pada Sasuke, aku rasa itu cukup," Ino bisa melihat raut wajah Sai tidak berubah, tetap datar seperti biasanya.

Jangan-jangan aku salah, Sai tidak mungkin menyukai Sakura ...

"Eh?"

"Aku melihat mereka dari kejauhan," jelas Sai pada teman setimnya itu.

"Kenapa kau tidak datang menghampiri kami? Kau tahu? Sakura mencarimu, ia berkata bahwa di akan merindukanmu," ujar Naruto sambil mengerutkan dahinya tidak mengerti. Bukannya menjawab pertanyaan Naruto, ia justru menoleh ke arah belakang, tak mengindahkan ucapan teman pirangnya itu.

"Kau tidak menyusulnya pergi?"

"Apa maksudmu Sai?" tanya Naruto tak mengerti.

"Shinobi Konoha memang hebat, kau selalu bisa menyadari kehadiranku," ujar seseorang yang tiba-tiba saja muncul dari balik pohon, tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Kau−"

"Tenanglah. jika dia ingin menggagalkan rencana kita, dia sudah melakukannya. Benarkan Kai-sama?" ujar Sai sambil menunjukkan senyum datarnya. Shikamaru, dan Ino sedikit merasa tenang dan menghentikan segel yang hampir mereka buat untuk mempertahankan diri melawan sang daimyou, sedangkan Naruto tetap memandang curiga ke arah sang daimyou Desa Kabut itu.

"…."

"Kau tidak mengejarnya?" tanya Sai mengulangi pertanyannya.

"Bukan urusanmu."

"Kami tidak akan melepaskanmu jika kau ingin mengejar mereka," desis Naruto yang masih tidak ingin menurunkan kadar kecurigaannya pada sang daimyou .

"Naruto−"

"Tenanglah, mereka bukan lagi shinobi konoha. Aku tidak akan menyentuh mereka," ujar sang daimyou sambil membalik badannya dan mulai berjalan pergi.

"Bukankah kau mencintainya? Mengapa kau melepaskannya?" pertanyaan dari Naruto membuat langkah sang daimyou terhenti.

"Pertanyaan yang sama juga kuberikan pada temanmu, bukankah dia juga mencintainya?" perkataan dari sang daimyou membuat Ino secara otomatis melirik ke arah Sai. Ia bisa melihat bahwa ekspreksi sang pemuda tidak berubah. Tetap datar dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

Ternyata Sai memang mencintainya

"Dia akan jauh lebih bahagia dengannya."

"Anggap saja alasanku sama sepertimu. Lagipula aku selalu bisa merebutnya saat pria itu mencoba membuatnya terluka," ujar sang daimyou sambil menyeringai.

"Hei ternyata kau pria yang baik! Oh ya, bagaimana kalau kau dengan sang miko itu? Dia cukup cantik," ujar Naruto sambil memeluk bahu sang daimyou . Ia tidak menarik lengannya meskipun sang daimyo memandangnya dengan tajam. Mata Ino membesar, tak percaya dengan tingkah Naruto, sedangkan Shikamaru hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gadis manja bukan tipeku," ujar sang daimyou saat dirasanya Naruto tidak sensistif dengan pandangan matanya. Ia menganggukkan kepalanya pada Ryu yang mengawasinya tak jauh dari tempatya berdiri, menandakan bahwa ia tidak apa-apa dan bisa mengatasi tingkah Naruto.

"Oh …"

"Arigatou," ujar Sai pelan namun cukup terdengar oleh sang daimyou.

"Aku melakukannya bukan untukmu," ujar sang daimyou datar.

"Hei, hei, kenapa kau melepaskannya padahal kau bersusah payah kesini dan bahkan mengancam nenek Tsunade?" dahi sang daimyou berkerut saat mendengar Naruto menaggil hokage kelima dengan sebutan nenek.

"Seorang pria harus tahu waktu dimana ia harus menyerah," ujar sang daimyou penuh wibawa. Shikamaru hanya bisa menghela nafas panjang saat melihat wajah Ino yang nampaknya mulai terpesona oleh sang daimyou .

"Ah! kenalkan namaku Naruto, sedangkan dia Sai, ah pemuda dengan rambut nanas itu Shikamaru, dan gadis itu pacarnya, Ino," ujar Naruto berusaha mengakrabkan diri dengan sang daimyou .

"Kau berisik," keluh semua temannya secara bersamaan.

-オマケ-

6 years later

Sakura melihat ke arah sekelilingnya dengan perasaan senang yang membuncah, senyum lembut terpatri di wajah manisnya saat melihat banyak orang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti festival malam ini. Ya, festival Tanabata.

"Kaa-chan, kenapa semua orang tampak sibuk? Apakah nanti ada monster yang datang dan menyerang mereka lalu monster itu meminta makanan? Sama seperti kisah yang sering diceritakan Tou-san, kisah tentang monster ular bernama Orochimaru …"

"Itu karena mereka mempersiapkan diri untuk malam Tanabata, sayang," ujar Sakura sambil melirik ke arah Shin, anaknya dan Sasuke—yang kini sedang berada di gendongan Sasuke. Shin mengerutkan keningnya, tak mengerti ucapan kaa-san-nya, hampir saja ia ingin bertanya lagi saat tangan Sasuke mengacak-acak rambut miliknya.

"Dia cerewet sama sepertimu, Sakura," ujar Sasuke yang terkekeh pelan saat melihat wajah cemberut anaknya, yang tidak terima rambutnya menjadi berantakan karena perbuatan sang ayah.

"Sasuke-kun!"

"Tou-chan, Shin lapaaar …" ujar Shin sambil menarik-narik lengan baju Sasuke meminta perhatian.

"Hm … Shin benar Sasuke-kun, aku juga lapar," ujar Sakura sambil melihat-lihat ke arah sekelilingnnya, mencari kedai yang sedang buka.

"TeTeme! Ternyata benar itu kauuu!" dengan malas Sasuke memandang ke arah pria yang sedang memasang raut wajah terkejut dan menunjuk-nunjuk dirinya dengan tidak sopan.

"Shin, ingat. Jangan pernah meniru tingkah orang idiot itu, " ujar Sasuke pada anaknya.

"Sasuke-kun!" tegur Sakura pada suaminya yang hanya ditanggapi dengan dengusan dari Sasuke. Sakura tersenyum saat melihat Naruto berlari mendekati mereka.

"Jangan mendekati Tou-san, paman jelek!" Sasuke menyeringai saat melihat anaknya memukul wajah sahabat lamanya, Naruto. Tubuh Naruto membeku saat sadar bahwa Sasuke kini sedang menggendong seorang anak kecil yang tengah menatapnya tajam.

"Temeeeeeeee! Kau ada duaa!" jeritan Naruto terhenti saat sebuah jitakan mendarat dikepalanya.

Ctak

"Baka! Itu Shin, aku heran kenapa kau bisa menjadi Hokage, Naruto," ujar Sakura sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"I… ittai Sakura-chan," ujar Naruto sambil mengusap-usap kepalanya. "Jadi, ini anakmu dengan Teme? Dia benar-benar mirip dengan Teme!"

Pak!

"Hei! Kau memukulku lagi chibi! Ck Sakura, bahkan tingkahnya pun sama brengseknya dengan teme!"

BUKK

"Jangan memaki di depan anakku, bodoh!" ujar Sakura setelah memukul Naruto dengan sadisnya.

"Kaa-chan, Shin tidak menyukai neko jii-san ini," ujar Shin sambil memasang wajah sebal. Naruto sedikit berjengit saat miniatur Sasuke itu memanggilnya dengan sebutan neko jii-san.

"Pintar, kau harus menjauhinya Shin," ujar Sasuke sambil mengacak-acak rambut Shin. Shin melihat ke arah ayahnya yang sedang menyeringai senang, membuat anak yang sangat teramat mirip dengannya itu semakin yakin bahwa pria yang menurutnya mirip kucing itu bukanlah pria yang baik.

"Sasuke, jangan mengajari Shin yang aneh-aneh. Ne, ne Shin-chan, paman ini adalah Naruto jii-san. Ayo, ucapkan salam padanya," ujar Sakura.

"Tidak mau Kaa-san! Dia memanggil Tou-san Teme! Dia jahat, Shin tidak suka!" Sakura hanya bisa menghela nafasnya. Ia pasrah menghadapi tingkah Shin karena selain fisiknya yang mirip dengan Sasuke—bahkan model rambutnya pun sama!—Shin juga memiliki sifat yang serupa. Oh, tentunya selain kecerewetan yang kata Sasuke katakan mirip dengannya. Apabila ia sudah memutuskan sesuatu, maka ia akan bertahan dengan keputusannya. Sama seperti Sasuke. Sakura melirik ke arah Sasuke, berharap agar Sasuke mau membantunya. Sasuke menghembuskan nafasnya, menyadari makna tatapan Sakura.

"Shin, dia Naruto. Teman baik ayah, kau bisa memanggilnya Dobe jii-san," ujar Sasuke sambil menatap malas ke arah Naruto yang kini nampaknya akan protes, Sakura hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, nampaknya percuma saja. Ia pasrah, menyadari bahwa anaknya sangat mengagumi Sasuke, sehingga apapun perkataan dari sang ayah akan ditelannya mentah-mentah.

"Uhm! Salam kenal Dobe jii-san!" Naruto mengernyit mendengar sapaan dari Shin. "Tou-san, Shin lapaar!" ujar Shin sambil menarik-narik lengan baju Sasuke.

"Lapar? Hei chibi, kau harus mencoba makan ramen buatan Takeuchi jii-san! Rasanya sangat enak! Kau pasti akan ketagihan, sama sepertiku," ujar Naruto

"Ah, benar juga. Sudah lama kita tidak kesana, Sasuke-kun," ujar Sakura sambil tersenyum ke arah Sasuke. Ketiga orang itu, ah ditambah dengan Shin tentu saja, berjalan menuju ke kedai paman Takeuchi, selama perjalanan terdengar Naruto dan Sasuke mengobrol ringan diselingi dengan ocehan dari Shin yang ingin mendapatkan perhatian Sasuke. Sesekali Sakura mendapat sapaan ramah dari para penduduk desa pada Naruto, Hokage mereka. Sakura tersenyum lembut melihat hal itu.

"Konnichiwa," ujar Sakura saat sampai di kedai Ichiraku, dan mendudukkan diri di samping Sasuke.

"Irasshaimaseee! Eh? Sakura-chan? Eh ituu …" Takeuchi jii-san terkejut saat melihat kehadiran Sakura, dan juga Sasuke dan miniatur Sasuke yang berada di pangkuan pria terakhir− yang nampaknya kini bukan terakhir− di klan Uchiha itu.

"Kenalkan Jii-san. Dia Shin Uchiha, anakku dan Sasuke-kun," ujar Sakura sambil tersenyum lembut ke arah Takeuchi jii-san.

"Waaah! Ayame Ayame! Coba kau lihat kemari! Sakura sudah punya anak dengan Sasuke!" Teriak Takeuchi jii-san pada anaknya yang nampaknya sedang berada di bagian belakang kedai. Dengan tergopoh-gopoh Ayame nee-san datang, raut wajah terkejut nampak di wajahnya saat melihat sosok Shin yang sedang duduk di pangkuan sang ayah.

"Ka… kawaaaaai!"

"Yoroshiku, atashiwa Shin Uchiha desu," ujar Shin saat Sakura menyuruhnya untuk memperkenalkan diri.

"Kyaaaaa, dia mirip seperti Sasuke-san! Tapi dia jauh lebih imut," ujar Ayame nee-san sambil mencubit gemas pipi gembul Shin.

"Cih," decih Sasuke tak terima.

"Aku akan memberikan ramen terenak untukmu, dan gratis!" ujar Ayame nee-san sambil tersenyum manis ke arah Shin yang ditanggapi dengan senyum menawan dari sang miniatur Uchiha.

"Ayame nee-san, seharusnya kau juga memberiku mi ramen gratis—mengingat aku adalah langganan tetap Ichiraku," sungut Naruto yang tak terima jika Shin mendapatkan ramen gratis sedangkan dirinya tidak.

"Tidak ada ramen gratis untuk seorang Hokage Naruto," ujar Takeuchi jii-san sambil menyisingkan lengannya, bersiap membuatkan ramen pesanan para pelanggannnya.

"Cih, jii-san pelit!"

"Hihihihihi," Sakura terkikik melihat tingkah laku teman lamanya itu.

"Oh kami, jidaaaaat!" suara pekikan terdengar dari arah belakang tubuh Sakura, membuat sang wanita terkejut dan refleks menoleh ke belakang, ke arah asalnya pekikan yang menyakitkan telinga itu.

"Piggg!" teriak Sakura saat menyadari sosok yang memanggilnya.

"Kau! Sejak kapan kau disini?" ujar Ino setelah mendudukkan diri di samping Sakura, dan diikuti oleh Shikamaru disampingnya. "Jii-san, kami pesan mi ramen-nya dua," ujar Ino riang.

"Hai hai!"

"Kami baru saja sampai, setelah mendapatkan surat dari Naruto kami segera kesini," ujar Sakura sambil menghadap ke arah sahabatnya, mengacuhkan Naruto dan Sasuke yang nampaknya sedang berdebat mengenai sesuatu.

"Ne, ne Otou-san," panggil Shin sambil menarik-narik lengan baju Sasuke.

"Hn," jawab Sasuke, menunduk melihat anaknya yang sedang memasang raut wajah ingin tahu.

"Kenapa Kaa-san dipanggil jidat?"

"Karena dahi kaa-sanmu lebar, Shin," jawab Sasuke datar.

"Eh, tapi dahi Kaa-san kan cantik," ujar Shin yang tidak terima dahi ibunya dihina.

"Hn, dan lebar."

Gyutt

"Kau mengajari anak kita apa Sasuke-kuun?" ujar Sakura dengan penuh penekanan dan menarik pipi Sasuke dengan kencang.

"Ah, maksudku dahi Kaa-san mu cantik dan mudah dicium," ujar Sasuke setelah terlepas dari cubitan mematikan Sakura.

"Otou-san mesum," ujar Shin saat mendengar jawaban Sasuke.

"Tuhan, jangan bilang kalau ini anakmu," ujar Ino saat menyadari sosok kecil di pangkuan Sasuke. "Dia mirip sekali dengan Sasuke!" pekik Ino saat menyadari kemiripan antara Shin dan Sasuke. "Gen Uchiha mengerikan!"

"Kenalkan, dia Shin. Shin, ini Ino baa-san," ujar Sakura memperkenalkan Ino dan Shin. Shin tersenyum saat melihat Ino yang sedang menutup mulutnya, masih syok akan kekuatan gen klan Uchiha.

"Yoroshiku ne, Ino baa-san," ujar Shin sambil tersenyum menunjukkan barisan giginya yang rapih.

"Hei! Panggil aku Ino nee-san!" ujar Ino yang tidak terima dipanggil baa-san.

"Dasar perempuan tak tahu umur," cibir Naruto pelan, sayangnya Ino mendengar perkataan Hokage muda itu.

"Diam kau Hokage bodoh!"

"Haaah—mendokusai," keluh Shikamaru saat melihat tingkah kekasihnya. Sakura terkikik pelan, meyadari bahwa tidak ada perubahan yang begitu berarti yang terjadi antara teman-temannya. Saat melihat Ino dengan seksama, ia menyadari kondisi perut Ino yang sedikit membuncit, cakra Ino pun dirasanya tidak stabil.

"Kau mengandung!" jerit Sakura sambil menunjuk perut Ino yang tengah membesar. "Kau tidak pernah berkata padaku bahwa kau dan Shikamaru sudah menikah!"

"Eh ituuu anooo…" Ino menggark-garuk pipinya, salah tingkah.

"Mendokusei," jawab Shikamaru.

"Mereka memang belum menikah, Sakura-chan," ujar Naruto sambil memasukkan sumpit berisi ramen ke dalam mulutnya.

"Eh? Itu berarti … PIG!"

"Hehehehe, tenang saja kami akan menikah tahun ini," ujar Ino sambil menggelayut manja di lengan Shikamaru. Sakura terbelalak saat dilihatnya Shikamaru tersenyum lembut memandang Ino.

Pria malas itu tersenyum!

"Nah nah, ini dia ramen untukmu," ujar Ayame nee-san sambil meletakkan semangkuk kecil ramen di hadapan Shin, diikuti dengan Takeuchi jii-san yang meletakkan pesanan mereka semua di atas meja.

"Oishiiii…" puji Shin saat merasakan ramen kesukaan Naruto itu.

"Apa kubilang Chibi? Kau pasti menyukainya!" ujar Naruto sambil tersenyum bangga ke arah Shin yang sedang asyik menikmati ramen miliknya.

"Um! Arigatou dobe jii-san!"

"Hei!" pekik Naruto masih tak terima dengan julukan yang diberikan Shin padanya.

"Erm, Naruto?"

"Ya?" jawab Naruto sambil menolehkan kepalanya ke arah Sakura. Sakura terdiam sesaat sebelum kembali berkata.

"Bagaimana kabar Sai?"

"Ah! Setelah kepergianmu dia kembali menjadi Ne," jawab Naruto.

"Eh?"

"Dan sekarang dia menjadi pemimpin Ne," ujar Naruto lagi tak memperhatikan raut wajah terkejut Sakura.

"Kau bercanda!"

"Tidak, aku serius Sakura-chan! ia membuat beberapa perubahan besar sejak menjadi pemimpin Ne. Ia sering mendiskusikan hal-hal yang penting denganku," ujar Naruto berusaha meyakinkan Sakura.

"Aku jadi kasihan padanya karena harus berdiskusi dengan pria idiot sepertimu," ejek Ino.

"Hei! Aku Hokage tahu!"

"Lalu?" tantang Ino tak peduli.

"Berisik. Kalau kalian ingin berkelahi menjauhlah dari anakku. Radius 500 meter. Sooh sooh," usir Sasuke sambil membersihkan bibir Shin yang kini belepotan dengan mi.

"Sakura …" desis Naruto dan Ino secara bersamaan.

"Hahaha maafkan Sasuke-kun, dia terlalu protektif pada Shin," ujar Sakura sambil mengibaskan tangannya di depan wajahnya, meminta pengertian para sahabatnya.

Dasar ayah pengidap son complex

"Oh ya, nanti malam kau akan melihat pertunjukan kembang api, 'kan?" tanya Ino mengacuhkan ucapan Sasuke. Mereka semua kini sedang memakan mi ramen pesanan mereka.

"Tentu saja! aku tidak sabar untuk melihatnya," ujar Sakura setelah menghabiskan ramennya.

Beberapa saat kemudian keenam orang itu berjalan meninggalkan kedai Ichiraku setelah sebelumnya berpamitan pada Takeuchi jii-san dan Ayame nee-san serta setelah Naruto− setelah dipaksa habis-habisan oleh Ino− untuk membayar makanan mereka semua.

Naruto, Shikamaru, dan Sasuke, serta Shin yang masih berada di gendongan ayahnya berjalan di depan, sedangkan Ino dan Sakura menyusul pasangan mereka dibelakang.

"Ino, apakah tidak apa-apa jika kami datang ke Konoha?" ujar Sakura pelan, sehingga hanya Ino saja yang dapat mendengar pertanyaannya.

"Kau masih khawatir dengan kejadian enam tahun lalu?" tanya Ino sambil memandang ke arah Sakura yang menunjukkan raut wajah khawatirya.

"Hm …"

"Tenang saja, permasalahan mengenai kepergianmu dari desa sudah diselesaikan oleh Sai dan Naruto. Kau kini hanya dianggap sebagai shinobi yang sedang cuti lama. Tak ada bedanya dengan Tsunade-sama waktu itu, berterima kasihlah pada mereka. Lagipula daimyou itu kini sudah berteman baik dengan Naruto, dan Sai. Dan lagi sekarang yang menjadi para tetua desa adalah Tsunade-sama dan juga Kakashi sensei. Kau bisa tenang, jidat, lagipula saat ini yang menjadi Hokage adalah si bodoh itu, tak usah khawatir."

"Ka … Kakashi sensei?" Sakura menunjukkan raut wajah terkejutnya, tidak mempercayai bahwa mantan gurunya itu kini menjadi tetua desa.

"Banyak yang berubah dalam 6 tahun ini jidat, dan semuanya menjadi baik. Kau ingat miko yang menjadi mantan tunangan Sasuke?" tanya Ino sambil memandang Sakura yang masih menunjukkan ekspreksi terkejutnya.

"Er … iya," ujar Sakura pelan, mengingat kembali sosok miko yang sering membuatnya terluka.

"Dia sudah menikah 2 tahun lalu," Ino tertawa pelan saat melihat wajah Sakura saat ini. "Perhatikan wajahmu bodoh! Kini kau istri seorang Uchiha, seharusnya kau memperhatikan penampilanmu," ujar Ino. Perkataan Ino membuat Sakura tersadar dan kembali memasang raut wajah normal.

"Kehidupan semakin membaik Sakura, percayalah," ujar Ino sambil tersenyum lembut.

"Kaa-chan ayo kita cepat pergi. Dobe jii-san akan mengajak kita pergi ke tempat yang menarik! Kata Dobe jii-san aku bisa bermain banyak permainan di sana," teriak
Shin, Sakura baru tersadar ternyata ia dan Ino tertinggal cukup jauh dari para pria.

"Hei chibi! Hentikan panggilan itu! Aku Hokage tahu, Ho-ka-ge! Kau harus memanggilku Hokage-sama," ujar Naruto berusaha mengajari Shin untuk memangginya Hokage, yang tentu saja tak dipedulikan oleh Shin.

"Yah, semuanya membaik … syukurlah," ujar Sakura sambil memandang ke arah Sasuke yang sedang memuji julukan yang diberikan Shin pada Naruto, membuat anak mereka itu tersenyum bangga.

"Hei Saki."

"Hm?"

"Kau bahagia, 'kan?"

"Hihihihi tentu saja Ino, aku bahagia … aku sangat bahagia, dan kuharap kalian semua juga begitu," Sakura memandang Ino dengan sebuah senyum merekah di wajahnya.

"Bodoh! Tentu saja! Ayo, sebentar lagi pembukaan festival akan dimulai. Rookie 9 pasti sudah berkumpul di sana. Kau harus bertemu mereka, mereka pasti merindukanmu! Oh ya apa kau tahu? Lee dan Tenten sudah bertunangan, lalu−"

FIN

a.n: Hei semuanya, Apa kabar? Akhirnya fict ini kupublish juga. Aku tahu sebagian besar dari kalian kecewa dengan ending, dan proses aku mempublish fict ini yang terlalu lama. Maaf sekali ya….

Aku sering mendapatkan pertanyaan atau review bahwa kalian sudah pernah membaca fict ini sebelumnya. Kalian tidak salah, karena ini memang fictku yang dulu pernah kupublish, kemudian ku delete, dan kupublish lagi. God, I'm so insecure. Jadi wajar jika kalian merasa pernah membaca fict ini. Fict ini pertama kali kupublish bulan Oktober tahun 2012, dan tamat di bulan Januari 2013. Jadi ini fict 3 tahun lalu. Hehehehe.

Dan untuk yang bertanya apakah cerita ini sama seperti cerita sebelumnya. Ya, cerita ini sama persis dengan fict yang aku publish tiga tahun lalu, tanpa ada perubahan sama sekali. Aku Cuma membeta lagi, dan memeriksa apakah ada misstypo.

Terima kasih untuk kalian semua yang membaca fict ini. Baik yang baru membaca, atau dulu sudah membaca dan memutuskan untuk membaca lagi. Terima kasih juga untuk kalian yang mau repot-repot memfave dan follow fict ini.

Semoga kita bertemu di fict lain lagi.

Love you guys :*

Gratefully,

Putri.

p.s: Aku suka banget ama Kai, dan Sai disini. Pengen punya cowok kayak mereka deh. Hahaha maaf aku lagi baper.

Oh ya, buat yang nanya apakah Kai pernah muncul di anime/ manga Naruto, enggak. Kai itu salah satu OC yang kubuat. dan dia termasuk salah satu OC faveku. Love Kai, so much. Hahahaha