Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Pair : Sasuke & Sakura

Genre : Horror, Mystery, little romance (maybe)

.

.

.

Enjoy With This Story

.

.

.

Kejarlah aku sampai kau tak mampu lagi mengejarku,

Satu nyawa akan pergi jika kau tak mampu menemukanku,

Raga tanpa jiwa, berjalan dalam kegelapan malam,

Senandung sedih selalu ku lantunkan…

Temukanlah aku maka aku akan menemukanmu,

Mawar berdarah akan selalu menuntunmu,

Jerit kesakitan akan terngiang di kepalamu,

Jangan lari atau kau tak akan kembali,

Pilihan adalah salah satu kunci hidupmu,

Pilih satu atau kau akan terjebak disini bersamaku selamanya….

.

.

.

.

Chapter 14

.

.

.

Pagi ini tak secerah biasanya. Awan kelabu terlihat memenuhi langit kota Tokyo. Angin kencang menerbangkan daun-daun yang mengering di jalan. Perlahan tetes demi tetes air hujan terlihat turun dari langit membasahi bumi. Menebarkan aroma khas tanah yang sudah lama tak terkena air hujan. Senin pagi merupakan awal dari aktivitas semua orang setelah satu hari melepas penat dengan berdiam diri dirumah atau berlibur bersama keluarga. Kota Tokyo sudah kembali ramai dengan segala hiruk pikuknya. Warna-warni payung terlihat memenuhi jalanan ibu kota Jepang ini. Halte bus penuh sesak, bahkan emperan toko yang masih tutup dijadikan untuk tempat berteduh.

Sama halnya dengan TSHS. Sekolah swasta favorit di Tokyo itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Banyak siswa yang terlihat berdesak-desakan.

"Minggir...minggir! Tolong beri sedikit jalan untuk kami."

Terlihat beberapa orang berseragam polisi mencoba untuk membelah kerumunan siswa. Kepala sekolah dan beberapa guru lainnya juga ikut menyusul di belakang polisi itu.

"Dia salah satu guru TSHS...namanya Mitarashi Anko," kata kepala sekolah TSHS, Senju Tsunade.

"Dia mengajar Fisika di kelas 2-a." lanjut kepala sekolah yang dijuluki 'si dada besar' itu.

"Dimana terakhir kali beliau terlihat?" tanya salah seorang polisi sembari menulis di buku catatannya.

"Terakhir kali, aku masih melihatnya di ruang guru. Itu sekitar pukul 5 sore..."

"Apa anda melihat gelagat aneh dari beliau? Misal dia terlihat stres atau terburu-buru atau semacamnya?" tanya polisi itu lagi. Tsunade terlihat berpikir sebentar sebelum menjawabnya.

" Hmmm...sebelum itu dia mengeluh padaku tentang nilai murid-muridnya. Sepertinya...hanya itu."

"Hanya itu? Anda yakin? Tak ada hal lain yang terlihat mencurigakan lagi?" tanya polisi itu dengan beruntun. Merasa tak yakin dengan jawaban dari Tsunade.

"Ya...aku rasa hany-"

"Aku melihatnya menerima panggilan dari seseorang."

Sebuah suara memotong perkataan Tsunade. Semua menolehkan kepala mereka kearah seseorang yang tiba-tiba datang menyela. Tsunade mengernyitkan dahinya melihat siapa orang itu.

"Kabuto?"

"Selamat pagi Tsunade-sama..." sapa ramah Kabuto yang juga merupakan salah satu guru di TSHS. Kabuto lalu melemparkan senyumnya kearah petugas kepolisian.

"Bisa anda jelaskan lagi tentang apa yang barusan Anda katakan, sir ?" tanya polisi itu lagi.

Kabuto terlihat tersenyum dan membetulkan kacamatanya sebelum menjawab,"Ya, seperti yang aku katakan tadi. Aku melihatnya menerima panggilan dari seseorang. Tak lama, hanya beberapa menit sebelum aku melihat Anko-sensei membanting ponsel miliknya dengan wajah panik dan takut."

"Lalu?"

"Lalu? Ahh...entahlah, aku melihatnya keluar ruangan dengan terburu-buru." lanjut Kabuto lagi dengan senyum anehnya.

"Jam berapa kau melihatnya keluar ruangan Kabuto?" kali ini Tsunade yang bertanya. Pasalnya ia penasaran dengan apa yang Kabuto katakan. Dan juga, Tsunade tak merasa melihat guru berambut abu-abu itu ada di ruang guru.

"Aku tak ingat betul, tapi aku kira itu sudah lewat pukul 6 sore..." ucap Kabuto dengan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Tsunade menatap Kabuto dengan penuh tanya. Benarkah jika Kabuto ada di ruang guru dan berada di sana hingga pukul 6 lebih?. Ini terdengar aneh.

"Benarkah? Aku keluar pukul 5 dari ruang guru. Dan aku yakin tak ada guru lain di sana selain Anko. Karena aku yang terakhir keluar meninggalkan Anko sendirian di ruang guru." lagi-lagi Kabuto tersenyum mendengar perkataan kepala sekolahnya itu.

"Anda pergi sekitar pukul 5 sore kan? Sedangkan aku berada di ruang guru setelah Anda pergi. Ada kelas tambahan saat itu, jadi aku keluar kelas paling terakhir."

"Benarkah?"

"Tentu. Jika tidak percaya, Tsunade-sama bisa tanyakan langsung pada murid kelas 3-e." jawab Kabuto dengan santai. Tapi tetap saja Tsunade merasa tak yakin.

"Baiklah, jadi kesimpulannya...korban masih terlihat hingga pukul 6 sore lebih. Dan si korban menerima panggilan dari seseorang dengan panik dan takut. Dia juga sempat membanting ponselnya sebelum keluar dari ruang guru."

"Terimakasih atas informasinya. Kami akan segera memeriksa ponsel korban dan juga mayatnya. Dan untuk selanjutnya, kami harap Anda sekalian masih bisa memberikan informasi jika kami membutuhkannya..."

"Tentu...kami dengan senang hati memberikan informasi yang Anda butuhkan dalam penyelidikan ini." ucap Tsunade seraya menjabat tangan si petugas kepolisian.

"Dan kami harap, pembunuhnya bisa segera ditangkap." ucap Tsunade lagi. Mata coklat madunya melirik Kabuto yang masih saja mempertahankan senyumannya.

"Kami akan berusaha yang terbaik untuk kasus ini. Jadi Anda jangan khawatir,"

Beberapa petugas kepolisian itu lalu pergi dengan membawa dua kantong kuning yang berisi mayat Anko dan juga mayat Izumo. Bunyi sirine polisi dan ambulance terdengar saling bersahut-sahutan. Setelah para petugas kepolisian pergi, para siswa yang berkerumun tadi mulai membubarkan diri. Entah karena apa yang mereka lihat sudah tak ada, atau karena tatapan tajam dari kepala sekolah mereka. Tsunade lalu berjalan pergi. Melewati Kabuto dan meninggalkannya sendirian disana dengan senyum anehnya yang sejak tadi masih bertahan di wajahnya.

.

.

.

.

.

"Hei, forehead!" suara nyaring Ino mengagetkan Sakura yang tengah menelungkupkan kepalanya diantara lipatan tangannya diatas meja dengan mata setengah terbuka. Sepertinya keadaan Sakura tidak terlalu baik.

"Hmmm..." hanya gumaman malas yang keluar dari bibir ranum Sakura.

"Hei, apa kau baik-baik saja?" tanya Ino khawatir. Tangan putihnya lalu menggapai sebuah bangku yang tak jauh darinya. Dia lalu mendudukkan dirinya disebelah Sakura.

"Benarkah? apa kau memikirkan kejadian semalam?" tanya Ino yang ikut menelungkupkan kepalanya. Memandang Sakura yang kini malah memalingkan muka darinya.

"Aku selalu memikirkannya. Bukan hanya kejadian semalam. Tapi semuanya tentang 'dia'..." jawab Sakura dengan emerald miliknya memandang hujan yang mulai menderas dari balik jendela kelasnya.

"Memangnya, apa yang saat ini sedang kau pikirkan tentang 'dia'?"

"Bagaimana kalau aku berpikir kalau orang misterius pembawa rantai yang terakhir kita lihat semalam adalah benar-benar orang? Maksudku manusia, bukan roh atau hantu atau semacamnya?" tanya Sakura dengan kembali menatap Ino.

"Hmmm? Kalau begitu kita punya pikiran yang sama."

"Benarkah?" Sakura merasa senang dan sedikit tak percaya jika sahabat pirangnya itu juga memiliki pikiran yang sama dengannya.

"Ya, hanya untuk si misterius pembawa rantai itu aku berpikir dia manusia. Untuk makhluk mengerikan yang menembus tembok dan melayang juga wajah hancur mengerikannya...aku yakin 100% kalau mereka adalah hantu gentayangan." Kata Ino dengan wajahnya yang bergidik ngeri membayangkan rupa hantu yang baru semalam ia lihat. Percaya atau tidak, dia menjadi lebih penakut dari sebelumnya sekarang. Pergi ke kamar mandi saja dia tadi pagi minta ditemani ibunya.

"Sakura?"

"Ya?"

"Apa orang misterius pembawa rantai itu yang membunuh Lee, Shion, Sasame, Izumo-san, dan juga Anko-sensei?" Sakura terdiam mendengar pertanyaan Ino. Benar juga. Apa mungkin yang selama ini menjadi pembunuh misterius itu adalah orang yang sama yang mengejar mereka?. Tapi jika benar orang itu yang membunuh, apa tujuan sebenarnya dan juga yang lebih penting, siapa dia? Kenapa dia bisa ada di dalam gedung sekolah bersamaan dengan munculnya hantu-hantu itu?.

"Apa kemunculan hantu-hantu itu ada hubungannya dengan orang misterius si pembawa rantai itu?"

Ya. Tidak salah lagi. Ini pasti saling berhubungan. Orang misterius itu, entah siapa dia dan apa tujuannya, mereka memang belum tahu. Tapi yang sekarang mereka tahu, orang itu berbahaya. Dan ada kemungkinan akan ada yang terbunuh lagi.

"Dimana si pantat ayam itu forehead? Aku tidak melihat dia mengekorimu?"

"Sasuke-kun hari ini dia tidak masuk. Tubuhnya masih belum terlalu membaik..."

"Kalau Shikamaru?Ahhh... aku tebak dia pasti memilih tidur di ruang kesehatan kan?"

"Hmmm...Shikamaru-kun pasti akan tidur seharian disana. Dasar kepala nanas pemalas! Lihat saja, aku tak akan membangunkannya. Biar dia terkunci disini lagi dan dihantui arwah-arwah penasaran itu!"

"Ohhh...kau tak akan tega melakukannya pig..."

.

.

.

.

"Hinata-chan, kau sudah mendapatkannya?" tanya Naruto kepada Hinata yang masih sibuk mencari buku yang diinginkannya.

"Be-belum Naruto-kun..." jawab Hinata yang masih sibuk mencari. Saat ini keduanya tengah berada di salah satu toko buku di Hokkaido. Mencari beberapa buku untuk tugas mereka sebagai murid pertukaran pelajar di salah satu sekolah ternama di kota itu. Sudah hampir 3 minggu mereka disana. Melaksanakan kewajiban mereka sebagai murid pertukaran pelajar yang dipercaya sekolahnya.

"Cepat kita selesaikan tugas akhir kita ini."

"Memangnya ada apa Naruto-kun?

"Aku hanya ingin segera mendengar cerita Sasuke tentang kejadian yang mereka alami. Itu saja." ucap Naruto dengan sedikit gusar. Pasalnya pemuda keturunan Uzumaki itu dibuat penasaran setengah mati dengan apa yang dialami para sahabatnya. Dan sialnya lagi, baik Sasuke maupun Sakura atau bahkan Shikamaru dan Ino, semuanya kompak tak mau menceritakan hal yang mengganggu pikirannya itu. Setiap kali Naruto bertanya perihal kejadian tentang bermalam di TSHS itu, mereka mengatakan kalau ceritanya terlalu panjang, terlalu menyeramkan, atau juga terlalu malas untuk menceritakannya.

"Apa Sakura-chan atau Ino mengatakan sesuatu tentang malam yang mereka lewati padamu Hinata-chan?" tanya Naruto dengan mata yang berbinar penuh harap. Tapi gelengan yang Hinata berikan, membuatnya menghela nafas panjang.

"Ti-tidak Naruto-kun..."

Naruto merasa hatinya sangat dongkol. Sebenarnya dia dianggap sahabat bukan sih, batinnya terus saja merutukki kekejaman para sahabatnya itu. Mulutnya tak henti-hentinya mengeluarkan kata-kata kekesalannya. Sedangkan Hinata yang melihat kekasihnya seperti itu hanya mampu tersenyum geli.

"Sebenarnya mereka menganggapku apa sihh! Kenapa mereka tidak mau menceritakan perihal Kurime Megumi padaku? Andai saja tak ada pertu-"

"Kurime Megumi?" sebuah suara berat menyela perkataan Naruto. Sontak membuat Hinata dan Naruto menoleh kan kepala mereka ke asal suara. Tepat di belakang mereka, berdiri seorang pria yang berumur sekitar 25 tahunan dengan setelan kemeja putih lengkap dengan jas hitamnya. Sepasang onyx tajam itu mengingatkannya akan sahabatnya, Sasuke.

"O-obito-nii?" ucap Naruto yang menyadari kalau yang berada didepannya saat ini adalah Uchiha Obito. Paman dari Sasuke.

"Kau mengenalku?"

"Ini aku, Uzumaki Naruto. Sahabat Sasuke. Apa kau lupa padaku?" Obito sedikit berpikir. Mencoba mengingat-ingat siapa gerangan bocah pirang yang nampak tak asing lagi baginya.

"Naruto?"

"Iya..." mata Naruto terlihat berbinar-binar. Berharap Obito bisa mengingatnya.

"Aaa... yang Sasuke panggil dengan sebutan 'Dobe' itu?"

'Jlebb'

Hilang sudah semangat hidup Naruto. Ternyata Sasuke sampai menceritakan tentang panggilan bodoh itu kepada pamannya. Awas saja nanti jika dia bertemu dengan si pantat ayam itu. Dan mulai sekarang Uzumaki Naruto akan bertekad untuk membuat lagi panggilan untuk Sasuke yang lebih konyol lagi melebihi panggilannya.

"I-iya...hehe" jawab Naruto dengan senyum anehnya.

"Tadi kau bilang apa? Kurime Megumi?"

"Ah, iya. Etto... apa nii-san mendengarnya?" tanya Naruto yang dengan harap-harap cemas. Bisa gawat kalau orang luar tahu mengenai hal itu walaupun orang luarnya adalah kerabat dari Sasuke. Mereka semua sudah sepakat untuk menyembunyikannya dari orang lain.

"Ceritakan padaku." pandangan menuntut dari Obito membuat Naruto tak nyaman. Pandangan tajam milik semua Uchiha yang menginginkan sesuatu memang sangat mengerikan.

"Etto, ak-aku..."

"Aku mengenalnya. Kurime Megumi..."

"Ehh, " Naruto terkejut mendengar pernyataan yang keluar dari Obito.

"Aku adalah orang yang dulu dicintainya..."

"Heeeeeeeee?"

.

.

.

.

"Jadi...nii-san memang mengenal Kurime Megumi?" tanya Naruto kepada sosok Uchiha Obito yang duduk diseberang meja. Kini mereka berada disebuah kedai kopi yang tak jauh dari toko buku tadi. Naruto dan Hinata memesan cappucino sementara Obito sendiri hanya memesan kopi hitam tanpa gula. Minuman wajib setiap Uchiha.

"Ya, aku sangat mengenalnya." jawab Obito. Dengan perlahan dia menyeruput kopi pesanannya. Merasakan pahit dan hangatnya kopi dikerongkongannya sebelum menghela nafas lelah.

"Kurime Megumi. Dia cantik, manis, pintar tapi sangat pemalu. Dia bahkan selalu tergagap bila berbicara denganku." Obito meletakkan kembali cangkir kopinya. Tapi tanpa melepaskan genggaman tangannya pada cangkir kopi.

"Mata hitamnya sangat indah. Rambutnya sangat halus dan wangi. Dan senyumnya...aku tak akan pernah bisa melupakan senyuman manis miliknya." Naruto melihat ada raut kesedihan disana. Terbukti dengan senyuman lemah serta pandangan sendu dari sepasang onyx itu.

"Hahaha, kau pasti akan terpesona jika bertemu dengannya Naruto..." tawa Obito terdengar hambar. Naruto dan Hinata tahu itu. Sebuah tawa palsu untuk menutupi luka hatinya.

"Tapi aku tak akan membiarkan orang lain jatuh cinta padanya. Tak akan pernah..." untuk sesaat, onyx itu kembali tajam sebelum akhirnya menatap Naruto sengan Hinata secara bergantian dengan sebuah senyuman.

"Kenapa?" kali ini Hinata yang bertanya.

"Karena dia milikku. Tak ada yang boleh memilikinya kecuali aku." Naruto dan Hinata saling perpandangan. Merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh Obito. Walaupun memang pada dasarnya semua Uchiha memiliki sifat seperti itu.

" Apa...nii-san masih mencintainya?" Obito mendongak. Menatap Naruto yang bertanya kepadanya. Tapi dia menunduk kembali. Memandang kopi hitam pesanannya dengan sendu.

"Aku sangat mencintainya. Dulu, sekarang ataupun nanti..."

"Selamanya. Kurime Megumi adalah gadis yang aku cintai dengan sepenuh hatiku." Naruto dan Hinata menahan nafas sebentar mendengar pernyataan Obito. Lelaki Uchiha itu sepertinya tidak bohong. Itu kenyataan. Naruto dan Hinata percaya itu. Semuanya tertuang dalam sepasang onyx hitam miliknya. Banyak emosi disana.

"Jadi, bukankah gadis yang nii-san cintai itu sudah meninggal?"

"Ya,"

"Bagaimana? Kenapa Kurime Megumi bisa meninggal?" Obito terdiam. Tidak langsung menjawab pertanyaan dari Naruto.

"Kenapa kalian tau tentang Kurime Megumi?"

"Eh, it-ittuuuu..." Naruto sedikit bingung. Dia lalu memandang Hinata solah bertanya.

"Tak ap-apa Naruto-kun... ce-ceritakan saja," bisik Hinata pada Naruto yang kini menghembuskan nafasnya kasar.

"Baiklah...bagaimana jika kita membuat kesepakatan?" mimik wajah Naruto berubah serius.

"Kami akan menceritakan apa yang kami alami tanpa terkecuali. Dan setelah itu, kau juga harus menceritakan tentang Kurime Megumi kepada kami. Termasuk kematiannya." tukas Naruto dengan masih mempertahankan mimik seriusnya. Hinata mengedip-ngedipkan matanya tak percaya. Ternyata kekasihnya bisa berpikir juga.

"Hmmm? Baiklah, bukan masalah..." jawab Obito tenang.

"Baiklah, cerita kami dimulai saat Sakura-chan menemukan sebuah buku diary di perpustakaan sekolah."

"Buku diary?"

" Ya, dan sejak saat itu semuanya terjadi..."

Naruto mulai menceritakan semuanya dari awal. Tentang bagaimana Sakura menemukan buku diary aneh itu, hal-hal aneh yang mereka alami, hingga serangkaian pembunuhan di sekolahnya yang menewaskan guru dan juga teman-temannya. Sesekali Hinata juga ikut menambahkan. Sementara ekspresi Obito terlihat aneh. Antara percaya dan tidak percaya. Tapi pikirannya mulai menelaah kembali tentang kejadian lampau yang pernah dialaminya. Kematian Megumi yang masih menjadi misteri sukses menjadi pendukung dari apa yang Naruto ceritakan.

"...begitulah ceritanya. Dan soal kejadian malam mengerikan yang teman-temanku alami disana, aku masih belum tahu. Mereka semua merahasiakannya dariku."

"Aku masih terlalu terkejut mendengar ceritamu. Bagaimanapun itu terlalu banyak keanehan yang terjadi."

"Ya, aku pun masih merasa aneh dengan semua yang sudah kami alami. Tapi itulah kenyataan yang terjadi."

Mereka semua terdiam untuk sesaat. Obito masih saja berkutat dengan pikirannya. Sebelum suara Naruto berhasil menginterupsinya.

"Nah, aku sudah menceritakan bagianku. Sekarang aku ingin timbal balik sesuai apa yang sudah kita sepakati nii-san.."

"Tentu saja. Sesuai perjanjian, aku akan menceritakan bagianku.." jawab Obito sembari tersenyum. Tatapan mata Obito lalu berubah sendu. Pikirannya melayang mengingat kejadian beberapa tahun silam. Kejadian yang membuat dirinya merasakan penyesalan yang begitu dalam.

.

.

.

.

.

To be continue

.

.

.

Huwaaaaa~...apa kabar semuanya? Miss you all.. Hehe #lebaykumat. Hufttt, akhirnya setelah hiatus sekian lama, saya kembali lagi dengan membawa chapter 14 secret ghost. Mohon dimaklumi ya kalau masih kurang memuaskan bagi kalian semua.. Dikarenakan kesibukan yg benar2 membuang tenaga, ff hampir gk keurus deh.. Hahhh yg jelas saya mau mengucapkan terimakasih untuk readers yang masih setia menunggu ff saya ini. Dan sekali lagi saya minta maaf kalaumasih banyak kesalahan dalam ff saya ini. Mohon dimaklumi ya semua, saya masih belajar… Hehehe Dan untuk chapter selanjutnya mohon sabar menunggu yaa... Butuh waktu lama lagi kayaknya, muehehehe. Pokoknya terimakasih banyak dan maaf belum bisa balas riview dari kalian ne...:-)

P. s : Maaf kalau chapter ini kurang panjang ne.. Saya pakai hp ngetiknya, laptop saya tinggal dirumah.. Hehe

RnR