.
My Slave, My Love
Disclaimer : om Masashi Kishimoto
Story by : Kinky Rain
Pairing : always SasuSaku
Warning : AU, tiap karakter sangat OOC, norak, abal, alay, typo(s)
Rated : M for save
DLDR
.
.
.
.
.
.
.
.
"SASUKE-CHAAAN!"
Seorang wanita mendobrak pintu rumah Sasuke hingga terbuka lebar. Kedua tangannya menenteng sebuah bungkusan. Dengan senyum yang mengembang, kaki jenjangnya melangkah dengan penuh percaya diri memasuki rumah itu. Rambut hitamnya melambai-lambai ketika dia berjalan. Mata onyx-nya menjelajah seluruh rumah yang tak ubahnya seperti kuburan itu.
"Sasuke pasti dinas malam." Gumam wanita itu. "Tapi dia ceroboh sekali tidak mengunci pintu. Aku harus memarahinya jika dia pulang nanti." Menggerutu, wanita itu berjalan menuju dapur. Dia mulai membuka bungkusan yang dia bawa dan menatanya pada sebuah wadah sebelum memasukkannya pada kulkas.
"Ano...siapa?" Suara lirih berasal dari pintu dapur. Wanita itu mendongak dan terpaku. Butuh beberapa detik sebelum seluruh inderanya kembali bekerja dan merespon.
"Kau...siapa?"
.
.
.
.
Chapter 7
.
.
Dengan gayanya yang elegan, wanita itu berjalan mendekati Sakura yang bediri tenang sambil memegang alat penyedot debu di tangan kanannya. Untuk beberapa saat mata gelap wanita itu mengamati Sakura, dari wajah, turun hingga ke kaki gadis bersurai merah muda tersebut, lalu kembali lagi ke wajah Sakura yang kini berkedip tanpa ekspresi. Balik menatapnya.
"Ano... " wanita itu mengangkat telapak tangannya, memberi isyarat agar Sakura berhenti bicara.
"Kau tidak perlu menjelaskan. Aku sudah paham." jelasnya. Ia menilik kembali Sakura yang masih berdiri tanpa ekspresi. Melihat penampilan Sakura yang mengenakan baju Sasuke yang kebesaran hingga ke pahanya yang telanjang, seharusnya dia sudah bisa menduga siapa Sakura tanpa perlu menanyakannya. Lalu jika mengingat perkataan ambigu Itachi beberapa hari lalu, yang mengatakan bahwa dirinya akan menemukan sesuatu yang menarik jika berkunjung ke rumah Sasuke, makin memperkuat dugaannya. Tidak mungkin gadis yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang pengurus rumah tangga yang di percayakan Sasuke untuk mengurus rumahnya. Sasuke tidak suka jika tempat tinggalnya di jamah oleh orang asing meskipun itu adalah seorang pengurus rumah tangga. Menurutnya akan sangat tidak nyaman jika barang-barangnya disentuh oleh orang yang tak di kenal. Selama ini, Sasuke lebih memilih untuk membersihkan sendiri rumahnya, atau jika dia tidak sempat, dia akan meminta pengurus rumah keluarga Uchiha untuk datang ke rumah dan membersihkan rumahnya. Namun tiga bulan terakhir, Sasuke memang sama sekali tidak pernah menghubunginya sekedar meminta tolong untuk memanggil orang ke rumahnya. Itulah yang membuatnya penasaran dan akhirnya menanyakan kabar Sasuke pada kakaknya. Namun jawaban Itachi yang ambigu justru semakin membuatnya penasaran, hingga akhirnya dia memutuskan untuk datang ke rumahnya. Bukan sesuatu yang di duganya memang, mendapati seorang gadis yang tampak begitu polos berada di rumah Sasuke, mengingat lelaki itu tidak pernah sekalipun membicarakan seorang wanita kepadanya. Namun tak pelak hal itu juga membuat hatinya merasa senang, karena jujur saja, dia selalu menaruh rasa curiga jika Sasuke adalah penyuka sesama jenis.
"Siapa namamu, Sayang?" tanya wanita itu pada Sakura.
"Sakura." jawab Sakura singkat tanpa ekspresi.
"Nama yang cantik." tersenyum, wanita itu berkomentar. "Aku Mikoto, ibunya Sasuke." masih mengulum senyum, wanita beriris hitam, sama seperti anaknya tersebut memperkenalkan diri.
"Salam kenal, Mikoto-sama." Sakura ber-ojigi penuh sopan santun. Di Akatsuki dia memang selalu di ajarkan untuk selalu bertutur kata serta berperilaku sopan, terutama kepada Sang Pemilik dan keluarganya. Dia selalu di ajarkan bahwa Sang Pemilik bak seorang Raja yang harus selalu di hormati, dan keluarga dari Sang Pemilik juga harus di perlakukan sama tanpa terkecuali.
"Tidak perlu begitu sopan padaku, Sakura. Panggil saja aku baa-san." Mikoto tersenyum ramah melihat perilaku Sakura yang sangat sopan. Dia sedikit tertegun saat melihat Sakura membungkuk penuh hormat dan memanggilnya dengan suffiks -sama, karena di zaman yang serba modern ini sangatlah jarang menemukan orang-orang yang masih memegang ekita kesopanan saat berbicara kepada orang yang lebih tua. Mereka hanya akan menyapa seadanya, tanpa peduli apakah hal itu sesuai dengan adat kesopanan atau tidak.
"Baa-sama." Sakura kembali membungkuk penuh hormat.
Mikoto menaikkan sebelah alisnya mendengar panggilan Sakura. Namun memilih tidak berkomentar karena dia berpikir mungkin memang Sakura adalah gadis yang sangat sopan.
"Apa kau sudah makan?" dia akhirya memilih mengganti topik pembicaraan. Sakura menggeleng. "Kau belum makan? Kebetulan sekali. Aku membawa banyak makanan. Tadinya aku berniat membawakannya untuk Sasuke tapi berhubung dia belum pulang jadi kita makan berdua saja ya." Mikoto menarik lembut lengan kurus Sakura, sementara Sakura hanya menurut dengan meletakkan penyedot debu yang sedari tadi dipegangnya ke lantai dekat pintu dapur dan mengikuti Mikoto yang menghelanya menuju meja makan.
Selain pada Sang Pemilik, Sakura juga diajarkan agar dia juga harus mematuhi perintah dari keluarga Sang Pemilik, karena itu tidak ada penolakan sedikit pun ketika Mikoto menyuruhnya duduk sementara dirinya menyiapkan berbagai makanan yang dibawanya tadi. Wanita dengan senyum lembut itu sesekali melirik Sakura yang duduk diam tanpa suara di sebelahnya. Melihat Sakura yang begitu penurut dan pendiam sedikit membuatnya bertanya-tanya bagaimana interaksinya dengan Sasuke. Anak bungsunya itu juga pendiam, hanya berbicara seperlunya saja. Dan jika dikombinasikan dengan Sakura yang juga pendiam bagaimana jadinya? Ini sedikit melenceng dari harapannya, karena Mikoto berharap gadis yang menjalin hubungan dengan Sasuke adalah gadis yang ceria serta banyak bicara sehingga bisa mengimbangi Sasuke yang selalu tampak suram. Namun itu tak menjadi masalah untuknya, karena bagaimanapun sifat gadis bersurai merah muda ini, dia mampu memikat hati Sasuke, dan itu sudah cukup. Selama ini dia tidak pernah menentukan kriteria gadis seperti apa yang harus menjadi menantunya. Karena dia sendiri menyadari bahwa kedua putranya bukanlah makhluk sempurna sehingga harus mendapatkan orang yang sempurna pula. Sudah cukup bagi Mikoto jika perempuan yang dikencani kedua putranya dapat menerima mereka apa adanya. Seperti contohnya Karin yang kini telah menikah dengan Itachi, putra sulungnya. Karin adalah seorang yatim piatu karena kedua orang tuanya yang telah meninggal. Sang Ayah meninggal karena tertembak ketika dia yang berusaha kabur dari polisi saat pengejaran setelah ketahuan sebagai gembong narkoba yang selalu menjadi buronan. Sementara ibunya bunuh diri karena tak kuat hidup miskin sepeninggal Sang Suami. Karin yang saat itu masih menempuh pendidikannya di sebuah universitas swasta dengan biaya yang selangit, terpaksa bekerja mati-matian demi menyambung hidup dan membiaya kuliahnya. Disaat itulah dia bertemu dengan Itachi, lalu akhirnya menjalin hubungan dan dua tahun yang lalu mereka memutuskan untuk menikah.
"Makanlah yang banyak, Sakura. Kau begitu kurus, apa Sasuke tak memberimu makan dengan baik?" Mikoto menopangkan dagunya pada kedua tangannya yang bertaut di atas meja, memperhatikan Sakura yang sedang menikmati sarapannya.
Sakura menatap sekilas pada Mikoto. "Sasuke-sama memberiku makan dengan baik. Dia juga tak pernah lupa membelikanku donat setiap pulang kerja." Sakura menjawab polos. Lagi-lagi membuat alis Mikoto terangkat mendengar panggilannya.
"Kau bahkan memanggil Sasuke dengan embel-embel-sama?" Mikoto terkekeh. "Oh sayang, kau begitu sopan. Tapi bukankah daripada memanggilnya Sasuke-sama, lebih baik kau memanggilnya Sasuke-kun?"
"Seorang budak harus memanggil seorang pemilik dengan panggilan-sama." Sakura menimpali tanpa menghentikan makannya. Membuat Mikoto mengernyitkan kening, merasa bingung.
"Apa maksudmu dengan 'seorang budak'? Dan siapa yang kau maksud dengan seorang pemilik?" tanyanya.
"Tadaima."
Suara dari arah pintu mengalihkan perhatian Mikoto dari Sakura. Sakura segera bangkit dan setengah berlari menuju sumber suara. Terdengar suara Sakura yang menjawab 'Okaeri' pada orang tersebut. Karena penasaran, Mikoto mengkuti Sakura menuju ruang depan, dan pemandangan yang didapatinya mampu membuat matanya melebar karena tercengang. Di sana. Di depan pintu, dia menyaksikan Sasuke tengah mencium kening Sakura. Setelahnya, putra bungsunya itu mengusap pucuk kepala Sakura seraya tersenyum lembut. Pemandangan yang cukup langka bagi Mikoto karena selama ini, Sasuke sangat jarang menampakkan ekspresi seperti itu bahkan di hadapannya. Apakah gadis ini begitu istimewa?
.
Sasuke tersenyum lembut sambil mengusap kepala Sakura. Sudah menjadi kebiasaannya ketika akan berangkat kerja atau sepulang kerja, dia akan mencium kening Sakura dan mengelus pucuk kepala gadis itu. Sehingga tanpa sadar dia selalu melakukannya meskipun tanpa di minta oleh Sakura. Sakura sendiri tak merasa keberatan karena pada awalnya memang dialah yang memintanya. Dia akan dengan senang hati menanti Sasuke datang menjemputnya di kampus, atau menunggu dengan sabar di rumah jika dia tidak sedang kuliah.
"Apa kau kesepian?" Sasuke bertanya, dan dijawab dengan gelengan oleh Sakura. Sasuke kembali tersenyum.
"Tok tok tok. Ada orang di sana?" Mikoto menyela, membuat Sasuke menoleh dan seketika membeku di tempat dengan mata melebar kaget.
"Okaa-san?" Sasuke berkata dengan suara seperti tercekat. Sudah pasti dia terkejut karena dia sama sekali tidak menyangka bahwa ibunya akan datang kemari. Dengan langkah tenang Mikoto berjalan mendekati Sasuke.
"Kenapa kau begitu terkejut, Sasuke? Kau melihat Kaa-san seperti melihat hantu."
Sasuke berdehem, "Bukan begitu Kaa-san. Aku hanya terkejut Kaa-san datang kemari tanpa memberitahuku terlebih dahulu."
"Apakah aku harus memberitahukannya terlebih dahulu jika aku ingin bertemu dengan anakku?" Mikoto mencibir.
"Bukan begitu maksudku..."
Mikoto mengangkat tangan menghentikan ucapan Sasuke. "Sudahlah. Aku tidak ingin mempermasalahkannya. Lagipula aku tidak ingin kau menyembunyikan pacar cantikmu ini jika aku memberitahumu terlebih dahulu, dan menghilangkan kesenangannya." Mikoto tersenyum senang, tampak puas dengan keputusannya.
"Pacar?" tanya Sasuke bingung.
"Ya, Sakura. Dia pacarmu 'kan?"
"Ah, etto..."
"Sudahlah. Kau pasti lelah. Sekarang mandilah, dan kemudian kita akan sarapan bersama." Mikoto menyela Sasuke dan Sasuke tidak punya pilihan selain menurut atau dia akan mendengarkan celotehan ibunya sepanjang hari yang menasehatinya tentang ini dan itu.
Sasuke menyamankan tubuhnya di sofa sambil memainkan ponselnya. Sang Ibu tengah duduk santai sembari membuka-buka majalah kesehatan, sementara Sakura tengah membereskan peralatan makan yang mereka gunakan untuk sarapan tadi. Mikoto memilih untuk menyerah dan akhirnya duduk bersama Sasuke karena Sakura menolak untuk membiarkannya bekerja. Kini ibu dan anak itu tengah sibuk dengan diri mereka sendiri. Tapi meski begitu, Sasuke sebenarnya masih agak terguncang dengan kedatangan ibunya. Bukan karena dia tidak senang, tapi karena dia belum siap. Ketidaksiapannya disebabkan karena Sakura. Sasuke belum memberitahukan perihal Sakura kepada Sang Ibunda. Hanya pada Itachi dia mengatakannya. Dia tidak bermaksud menyembunyikan keberadaan Sakura, hanya saja dia belum menemukan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Dan kalau boleh jujur, sebenarnya Sasuke sendiri sama sekali lupa tentang hal tersebut.
Sasuke melirik pada Mikoto yang tengah membolak-balik halaman majalah. Saat ini dia sedang bingung harus berkata apa mengenai Sakura. Jadi dia memilih diam dan menunngu respon dari ibunya. Dan kediaman ini sungguh menyiksa. Dia begitu gugup untuk alasan yang tidak jelas. Bukan berarti saat bersama ibunya, Sasuke adalah pribadi yang banyak bicara. Namun seumur hidupnya, ini adalah kali pertama Sasuke duduk diam bersama Sang ibu dengan perasaan cemas.
"Kenapa kau mencuri-curi pandang pada Kaa-san begitu, Sasuke?" Mikoto memecah keheningan. Sasuke salah tingkah karena merasa tertangkap basah. Dia berdehem untuk menghilangkan kegugupannya. Saat ini dia sungguh merasa fruatasi. Dia sendiri bingung mengapa dia begitu frustasi.
"Tidak apa-apa." Sasuke kembali menatap layar ponselnya.
"Sudah hampir tiga bulan ini kau tidak menghubungi Kaa-san sekedar meminta pengurus rumah datang kemari. Karena khawatir, aku memutuskan untuk datang."
"Maafkan aku Kaa-san, aku belum sempat. Selain itu..."
"Selain itu kau sudah tidak memerlukan pengurus rumah lagi karena sudah ada yang mengurusnya." Mikoto melirik ke arah dapur tempat Sakura berada.
Sasuke menghela napas, "Kaa-san, aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Aku hanya belum menemukan waktu yang tepat untuk mengatakannya pada Kaa-san."
"Kaa-san mengerti. Dan Kaa-san tidak marah." Mikoto tersenyum maklum.
Lagi, Sasuke menghela napas. "Arigatou, Kaa-san."
"Apa ini alasanmu selalu menolak perjodohan?"
"Aku hanya tidak ingin Kaa-san ikut campur dalam urusan pribadiku. Aku akan menikah saat aku ingin, dan dengan siapa aku menikah, aku ingin aku sendiri yang menentukannya."
Mikoto menghela napas, "Baiklah. Kaa-san tidak akan turut campur dengan apa yang kau lakukan. Tapi pastikan bahwa kau memberi kabar baik pada Kaa-san." dengan itu dia berdiri dan meraih tasnya kemudian berjalan menuju dapur. Sebenarnya Sasuke tak paham apa yang dimaksud ibunya dengan kabar baik, namun dia memilih untuk tak berkomentar dan mengikuti Sang Ibunda.
Mikoto berpamitan pada Sakura sebelum akhirnya meninggalkan kediaman putra bungsunya tersebut.
"Sudah kubilang, aku akan langsung menghubungimu setelah aku mendapat informasi sekecil apa pun, 'kan. Kau tidak harus datang kemari setiap hari."
Seorang dokter wanita memandang malas pada seorang pemuda berambut merah yang duduk santai di sofa, tak jauh dari meja kerjanya. Sementara yang di ajak bicara tak berkomentar. Memilih memandang keluar jendela dimana terdapat beberapa pohon besar yang cukup rindang untuk para pasien yang sedang berada di sana bersama para perawat atau bahkan sanak saudara. Meski begitu, dia menyimak setiap kata yang diucapkan Sang dokter.
Sang dokter menghela napas, "Aku tahu tujuanmu datang kemari, Gaara."
"Tentu saja kau tahu. Aku datang untuk mencari informasi." tanpa mengalihkan pandangan, Gaara menjawab.
"Apa kau pikir aku bodoh? Selain mencari informasi, tujuanmu datang kemari adalah untuk melihatnya."
"Kau sok tahu sekali Sizune-sensei."
"Dasar bocah keras kepala." Sizune menghela napas. "Lakukan apa yang kau mau. Yang pasti informasi yang kau minta belum bisa aku dapatkan. Aku harus memeriksa pasienku, kau akan tinggal di sini hingga aku kembali, atau kau akan membawa bokong tak bergunamu itu enyah dari sini?"
"Hei," Gaara mendelik tak terima. "Bokong yang kau bilang tak berguna ini sangat digilai banyak wanita, kau tahu. Setidaknya mereka akan rela melakukan apapun agar bisa menyentuh bokongku."
"Terserah apa katamu." setelah mengucapkannya, Sizune pergi meninggalkan Gaara sendiri.
Sasuke baru saja keluar setelah memeriksa pasien di bangsal anak-anak ketika dia melihat sesosok pemuda berambut merah tengah berdiri di depan sebuah pintu perawatan yang tertutup. Dia sangat tahu siapa itu. Bagaimana tidak, pemuda itu sangat terkenal di rumah sakit tersebut. Dia bahkan mendapat julukan 'Si gila yang romantis' dari para perawat dan dokter wanita yang bekerja di sana, karena apa yang dilakukannya. Setiap hari dia akan datang ke rumah sakit ini untuk kemudian pergi ke bangsal anak-anak dan berdiri dalam diam selama berjam-jam sembari memandangi seseorang. Seorang perawat berambut coklat sebahu dengan senyum lembut yang selalu terukir di wajahnya ketika sedang bersama para pasien. Tak ada yang tahu siapa namanya, mereka hanya memberinya julukan tersebut, karena menurut mereka apa yang di lakukannya adalah sesuatu yang romantis. Memandangi gadis yang di cintainya diam-diam dari kejauhan, dan terkadang menyunggingkan senyum kecil dengan apa yang di lihatnya. Tak ada yang menegur atau mengusirnya. Mereka merasa apa yang di lakukannya tidak mengganggu aktivitas maupun kinerja rumah sakit, jadi tak perlu keamanan untuk mengusirnya pergi, karena setelah berjam-jam lamanya dia akan pergi dengan sendirinya.
Jika para perawat dan dokter wanita memberinya julukan 'Si gila yang romantis', beda lagi dengan para perawat dan dokter lelaki. Mereka memberinya julukan 'Si penguntit gila'. Karena apa yang di lakukannya bukanlah sesuatu yang akan di lakukan oleh orang yang normal. Bagi Sasuke sendiri, dia tidak pernah memusingkan hal-hal semacam itu. Karena toh pemuda itu tak pernah membuat keributan.
Gaara menggulirkan atensinya mengikuti kemanapun objek yang dipandanginya bergerak. Sudah hampir tiga jam dia berdiri di sini, memandanginya diam-diam. Namun dia tak merasakan pegal sedikitpun pada kedua kakinya. Ini bukanlah apa-apa. Demi melihatnya, dia akan rela melakukan apapun. Bahkan jika harus berdiri seharian, maka akan dia lakukan. Mata itu, bibir itu, senyum itu, tubuh itu. Seharusnya semuanya adalah miliknya. Tidak. Semuanya akan tetap jadi miliknya jika dia bukanlah seorang pengecut. Dia akan tetap bisa memandang mata itu, melumat bibir merah itu, menghirup wangi bunga dari rambut coklatnya, mendekap tubuh mungil itu dalam pelukannya. Oh gawat, ini tidak baik. Ini tidak sehat bagi otak dan tubuhnya. Dia harus segera pergi sebelum dia menerobos masuk dan memilih mewujudkan fantasi liarnya pada gadis itu. Dia tidak ingin di anggap seorang psikopat cabul yang memperkosa seorang perawat di rumah sakit dengan di saksikan puluhan anak-anak. Dia harus pergi, sebelum pertahanannnya runtuh.
Pandangan Gaara bertemu dengan Sasuke yang berdiri diam ketika dia membalikkan badan hendak pergi. Untuk beberapa detik mereka saling menatap tanpa kata, sebelum akhirnya Gaara memalingkan wajah dan berjalan berlawanan dengan Sasuke. Saat telah melewati tubuh Sasuke, pemuda itu menggumamkan sesuatu yang membuat langkah kaki Gaara terhenti. Dia membalikkan tubuhnya dan memandang pada Sasuke yang rupanya juga telah berbalik menghadapnya.
"Apa katamu?" Gaara memandang Sasuke datar namun sarat akan rasa penasaran. Bisa saja dia mengabaikannya dan berlalu pergi, namun pertanyaan itu berasal dari seorang Sasuke. Dan Gaara tergoda untuk mengetahui maksud dari si penanya tentang pertanyaannya.
"Kenapa kau tidak masuk saja?" ulang Sasuke. Dia tak mengerti mengapa ia melontarkan pertanyaan itu. Seharusnya ini bukanlah urusannya dan dia bukan tipe manusia yang suka ikut campur pada urusan orang lain. Tapi entah bagaimana, mulutnya ini terasa gatal saat melihat tingkah Gaara. Dan tanpa sadar mengucapkannya. Sasuke menatap Gaara, menunggu pemuda itu bereaksi.
"Bukankah tujuanmu datang kemari setiap hari karena ingin bertemu dengannya? Bertemu dengan Matsuri?" sambung Sasuke karena Gaara tak memberikan reaksi apapun.
"Itu bukan urusanmu." hardik Gaara, "Lagipula aku tak punya alasan."
Sasuke mendengus. Gaara memicingkan kedua matanya melihat senyum mengejek di wajah Sasuke. Sasuke benar-benar tak habis pikir dengan anak muda jaman sekarang. Pola pikir mereka jauh lebih rumit dari pada seorang ilmuwan.
"Apakah butuh sebuah alasan untuk bertemu seseorang? Jika kau ingin bertemu dengannya, maka temuilah. Tidakkah itu cukup? Atau jika kau benar-benar membutuhkan alasan untuk menemuinya, katakan saja bahwa kau merindukannya."
Kali ini Gaara yang mendengus. Sementara Sasuke hanya menaikkan kedua alisnya melihat reaksi Gaara.
"Apa aku salah? Bukankah kau merindukannya, dan untuk itulah kau selalu datang kemari?"
Dan kenapa kau begitu banyak tanya? Gaara mengeluh dalam hati. Dari semua hal yang ia ketahui tentang Uchiha Sasuke, setahunya pria itu adalah orang yang pendiam. Tak di sangka bahwa Sasuke begitu kritis. Dan yang membuatnya jadi kesal adalah auranya yang begitu mengintimidasi. Hanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sederhana itu, Sasuke mampu membuat Gaara merasa terintimidasi dan tak berani menatap matanya. Gaara berusaha menyembunyikan perasaannya dan bersikap seolah tak peduli. Dia tak menjawab, bukan karena tak bisa namun karena ucapan Sasuke benar adanya. Dia sangat merindukan gadis itu. Teramat sangat hingga rasanya ia nyaris gila karenanya. Dan alasannya datang ke rumah sakit setiap hari memang karena dia ingin bertemu dengannya. Namun dia terlalu pengecut untuk berhadapan langsung dengannya. Dengan Matsurinya. Gadis yang sangat ia cintai.
"Kurasa aku terlalu banyak bicara. Aku tidak bermaksud ikut campur." Sasuke menginterupsi lamunan Gaara. "Permisi." kemudian Sasuke pergi. Meninggalkan Gaara yang masih berdiri termenung. Mencerna kata per kata yang keluar dari mulut Sasuke.
.
TBC
.
.
.
Hai semua nya, senang sekali aku bisa kembali dan berjumpa dengan para readers ku tercinta #ciumsatu-satu
Aku gak akan membuat banyak alesan kenapa aku hiatus begitu lama. Aku cuma mau bilang kalo sepanjang tahun 2016 kemaren aku bener-bener mengalami tahun yang berat. Dan sekarang pun aku gak akan menjajikan untuk bisa update cepat, karna aku sedang dalam masa rehabilitasi. Maaf kalo di chapter ini feel nya terasa hambar. Aku terlalu lama hiatus jadi perlu waktu untuk membangun feel ku yang sempat hilang. Semoga kalian mengerti dan tetep suka sama MSML. Sampai jumpa chap depan.
I LOVE YOU FULL :D