waah aku bener2 apdet kilaaat. gak nyangka dalam waktu kurang dari seminggu aku udh bisa menuntas kn fic ini, bahagiaaaaa #banjir air mata
aku seneng bgt wktu buka ternyata lumayan bnyk yg review, sebagai author baru aku merasa terharu karna itu berarti fic ku yg abal, gaje dan alay ini ada yg baca #nangis lagi
dan sebisa mgkn aku akan membalas review ny
Kucing imut : okee adik ciki Kucing imut, ini udh apdet silah kn dibaca dg seksama :D
birupink : ini udh lanjut, semoga kamu suka :)
purple could : waah sampe review 2x aku terharu #banjir air mata lagi
ini udh di apdet, selamat membaca semoga kamu suka, jgn lupa tinggal kn jejak :D
Guest : aku udh coba bikin porsi ny seimbang spya saku ny gk terlihat lemah, tp tetep terlihat lemah ya, heuheu trus baca sampai tuntas ya
DCherryBlue : ahaha tp gk sampe banting kursi kn :D saku ny pasti bahagia karna aku gk suka akhir yg sad ending :)
eL-yuMiichann : salam kenal juga :) makasih bgt udh mw baca fic alay dan gaje ini #terharu
aku sering denger judul film itu dr temen2 ku tp sampe skrg aku blm pernah nnton jd gk tw gmana cerita ny *curhat. udh di apdet nih semoga gk mengecewa kn mu :D
You are The Flower of My Heart
Disclaimer : om Masashi Kishimoto
Story by : Pinky Rain
Pairing : SasuSaku
Warning : AU, gaje, alay, OOC, n typo yang berjibun
Don't Like Don't Read
Rate : T
Sasuke POV
.
.
.
.
Last Chapter
Kujatuhkan tubuhku diatas ranjang. Hari ini aku benar-benar mendapat kejutan yang dahsyat. Benar-benar dahsyat sampai-sampai aku serasa jatuh dari atap gedung yang paling tinggi. Rasanya sakit, sedih, menyesal, dan juga takut. Apa yang akan terjadi untuk selanjutnya? Apa yang akan terjadi pada hubunganku dengan Sakura? Juga hubunganku dengan Karin? Kualihkan onyx-ku pada sebuah bungkusan yang tergeletak di sampingku. Kuambil isinya dan kupandangi. Kuingat kembali wajah Sakura sebelum dia pergi. Dia tersenyum. Tapi aku tau itu bukan senyum yang biasanya.
Senyumnya tadi tampak kosong. Aku yang membuatnya begitu. Padahal dulu meskipun berkali-kali aku menolaknya dan bersikap dingin padanya, dia selalu tersenyum dan tertawa dengan begitu tulus. Maafkan aku Sakura. Aku benar-benar minta maaf. Seandainya aku bisa membalikkan waktu, aku ingin kembali ke masa lalu dan memperbaikinya. Memperbaiki semuanya. Tapi aku tau semua itu tidak akan mungkin.
Aku menutup mataku dengan punggung tangan kiriku. Sementara tangan kananku mendekap komik yang kuletakkan di atas dadaku. Tanpa sadar air mataku menetes. Hal yang mustahil terjadi. Dari dulu aku tidak suka dan tidak mau menangis. Terakhir aku menangis adalah saat kematian Itachi Nii-san karena sakit jantung yang dideritanya waktu aku berumur 10 tahun. Sesaat sebelum meninggal Nii-san berpesan bahwa apapun yang terjadi dan apapun yang aku alami, aku harus tegar. Tidak boleh menangis. Karena setelah meninggal, akulah yang akan menjadi anak tertua. Sejauh ini aku berhasil menepati janjiku itu. Tapi sekarang... aku tak lagi bisa menepatinya. Saat ini aku tidak bisa untuk menahan agar tidak menangis. Aku sudah membuat perempuan yang aku sayangi bersedih dan menderita. Ternyata banyak sekali hal yang tak bisa aku tepati. Aku ini ternyata cuma omong besar saja. Aku malu pada diriku sendiri. Aku benci pada diriku yang seperti ini. Benar-benar benci.
.
.
.
Aku membuka kedua mataku. Kulirik jam yang menempel di sisi dinding sebelah kiri ranjang. Jam 5 sore. Aku ketiduran. Setelah lelah menangis, tanpa sadar aku tertidur. Posisiku saat bangun tidur masih sama seperti sebelum aku tidur. Pikiranku rasanya penat sekali.
Aku bangkit dari ranjang dan membuka lemari untuk mengambil handuk. Aku memutuskan untuk mandi, siapa tau bisa sedikit meringankan pikiran dan tubuh yang kurasa sangat lelah. Aku berhenti di depan sebuah cermin dan berdiri sesaat, melihat wajahku yang terpantul di sana. Mataku bengkak dan onyx-ku tampak sayu. Aku mendesah dan berjalan menuju kamar mandi yang berada di ujung kamar, kemudian masuk ke dalamnya. Aku menghidupkan shower setelah membuka baju. Wajah Sakura masih saja terngiang-ngiang dikepalaku. Aku sulit sekali menghilangkannya dari pikiranku. Kumatikan shower setelah aku selesai mandi. Kuraih handuk yang menggantung di samping pintu. Setelah menyilangkannya pada pinggangku, aku keluar kamar mandi. Raven-ku yang basah menimbulkan tetesan-tetesan kecil pada lantai. Kubuka lemari dan kuambil sebuah kaos oblong berwarna putih dan celana training panjang, kemudian memakainya setelah mengeringkan badan.
Aku membuka pintu kamar dan menutupnya kembali setelah keluar dari kamar. Perlahan kuturuni anak tangga demi anak tangga. Aku berjalan menuju dapur. Kerongkonganku terasa begitu kering.
Di dapur aku melihat Kaa-san yang sedang memasak menyiapkan makan malam dan Matsuri yang sedang duduk di depan meja makan mengerjakan tugas. Biasanya aku pasti ikut bergabung untuk melihat apa yang sedang Kaa-san masak. Tapi kali ini tidak. Aku sedang tidak berminat malakukan apapun termasuk berbicara. Aku bahkan tak menghiraukan saat Matsuri menyapaku. Aku mengambil gelas di rak dan kubuka pintu kulkas. Aku sempat melihat sebuah bungkusan berbentuk persegi dengan pita warna merah. Entah sudah berapa lama coklat itu bertengger di sana, mungkin malah sudah kedaluarsa. Kualihkan pandanganku pada sebuah botol berisi air kemudian mengambilnya. Setelah puas memenuhi hasrat dahagaku, aku menutup kembali pintu kulkas dan meletakkan gelas di atas meja makan. Bau masakan Kaa-san sudah tercium. Tapi itu sama sekali tidak menggugah seleraku. Bukan karena baunya tidak sedap, tapi karena aku tidak selera makan. Selera makanku tiba-tiba saja hilang.
"Nii-chan, bantu aku bikin PR dong." seru Matsuri.
"Maaf, Matsuri. Nii-chan malas." tolakku tanpa menoleh sedikitpun dan malah nyelonong pergi meninggalkannya.
"Nii-chan sedang tidak mood ya?" serunya lagi. Tapi aku tidak menanggapinya dan terus saja berjalan.
"Sebentar lagi makan malam loh. Tidak ikut menunggu disini sekalian?" teriak Kaa-san memanggilku.
"Aku tidak lapar." jawabku tanpa berhenti apalagi menoleh.
Aku membuka pintu kamar ku dan masuk ke dalam. Kuhempaskan badanku di atas ranjang dan kupejamkan mata. Berharap bisa terlelap. Tapi hingga jam menunjukkan pukul 12 malam, mata ini tak juga bisa terpejam. Setiap kumemejamkan mata, wajah Sakura selalu muncul. Aku seperti orang yang kecanduan narkoba. Rasanya seperti mau mati jika aku tidak mengonsumsinya. Mencoba bernapas dalam udara yang penuh dengan wajah Sakura, benar-benar sulit sekali.
.
.
.
Ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku bergeming tanpa memperlihatkan onyx-ku, saat seseorang memasuki kamarku. Kurasa itu Kaa-san. Dengan malas aku mengangkat tubuhku ketika ada yang mengguncang-guncangkannya untuk menyuruhku bangun. Kaa-san duduk dihadapanku.
"Kaa-san bawakan sarapan untukmu. Dari kemarin kan Sasu belum makan, nanti Sasu sakit loh." ujarnya. Aku hanya mengangguk.
"Sasu mandi terus sarapan ya, nanti terlambat kesekolah." Kaa-san tersenyum tipis, kemudian meninggalkan kamarku. Setelah Kaa-san menutup pintu kamar, aku bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi.
.
.
.
Aku berjalan menuju kelas setelah memarkirkan motorku. Entah jam berapa semalam aku baru bisa tertidur. Kuletakkan tas di atas meja dan aku duduk dikursi. Aku mengambil ponselku di dalam tas dan memeriksanya. Tidak ada pesan ataupun telepon. Biasanya setiap pagi Sakura selalu SMS atau telepon hanya untuk menyapaku. Tetapi hari ini tidak. Rasanya sepi. Mungkin karena sudah terbiasa aku jadi merasa demikian. Akhirnya aku berinisiatif untuk meneleponnya, tapi tidak ada jawaban. Aku mencoba mengirim SMS. Kutunggu beberapa saat, juga tidak ada balasan darinya. Aku sangat merindukannya.
Sampai aku berangkat bimbel pun, Sakura masih belum menghubungiku. Aku bahkan tidak melihatnya di sekolah. Terutama di kelasku.
.
.
.
Dengan perasaan lesu kuayunkan kaki keluar kelas. Aku merasa sedikit beruntung karena hari ini Karin tidak datang untuk bimbel. Jujur aku masih belum siap mental kalau harus bertemu dengannya. Sebab aku sendiri masih terguncang.
Tapi siap tak siap, sepertinya aku harus siap. Karna aku melihat Karin yang sedang berdiri dekat sebuah bangku. Jangan-jangan dia menungguku.
"Karin, ternyata kau datang?" sapaku sambil berjalan mendekatinya. Dia menoleh. Ruby itu menatapku sendu. Oh ayolah, jangan menatapku seperti itu.
"Iya. Tapi aku tidak masuk kelas." jawabnya.
"Memangnya boleh seperti itu?"
"Boleh, asal tidak ketahuan." jawabnya dengan entengnya. Dia ini masih sama. Cuek dan suka seenaknya sendiri.
"Kau niat bimbel atau tidak?" cibirku.
"Habis, masuk pun aku tidak akan bisa konsentrasi belajar."
"Lalu untuk apa kau kesini?" tanyaku.
"Aku ingin bertemu denganmu."
Kutatap wajahnya yang tampak sedih. Kemudian aku mengajaknya pulang. Namun langkahku terhenti demi melihat seseorang yang berdiri di dekat pintu gerbang. Meskipun ia tertunduk, tapi aku sangat hafal dengan siluet itu. Kemudian aku mendekatinya.
"Sakura." panggilku. Dia menoleh.
"Hai. Kau sudah pulang?" sapanya. Ada perasaan senang dihati. Tapi aku memcoba untuk tidak menampakkannya.
"Karin, kau pulang duluan saja." aku meminta Karin untuk pulang. Tampak dari wajahnya kalau ia agak kesal.
"Pokoknya aku tidak mau putus." kemudian Karin pergi meninggalkan aku dan Sakura. Apa-apaan dia itu? Kenapa dia harus bilang begitu? Di depan Sakura lagi. Kualihkan onyx-ku sekedar melihat reaksi Sakura. Dia hanya diam saja.
"Ada perlu apa?" tanyaku mencoba bersikap biasa, meskipun dalam hati aku sangat ingin berhambur kearahnya dan memeluknya erat-erat.
"Hah? Oh... aku baru pulang dari bimbel lalu mampir ke sini." jawabnya. Pasti ada yang mau dibicarakan. Tidak mungkin dia ke sini cuma untuk mampir.
"Mau cari tempat untuk ngobrol?" tawarku.
"Tidak perlu. Aku hanya ingin memberikan ini." tolaknya, lalu memberiku sebuah kotak kecil. Aku tercekat ketika membukanya. Onyx-ku membulat sempurna saat tau isi dalam kotak itu. Ini adalah jam tanganku yang pernah aku berikan padanya. Kenapa sekarang diberikan padaku? Ini kan sudah menjadi miliknya.
"Sakura, ini... "
"Sekarang kita sudah tidak ada hubungan lagi. Jadi aku juga sudah tidak berhak memiliki jam itu." ujarnya. Apa maksudnya dia bicara seperti itu? Apa maksudnya kita putus? Padahal aku pikir tadi dia ingin mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan Karin. Aku berharap begitu tadi. Aku ini ternyata serakah ya. Apa tidak cukup kalau cuma satu?
"Sakura aku... "
"Aku mengerti. Kau tidak perlu minta maaf." potongnya.
Kami terdiam untuk beberapa saat. Aku bingung harus bilang apa.
"Itu saja, sudah ya. Yang semangat dong." ucapnya sambil tersenyum. Dia pun pergi.
Jangan. Jangan katakan itu dan jangan tersenyum seperti itu. Apanya yang semangat? Sumber semangatku tuh kamu. Kalau kau tidak ada mana bisa aku semangat.
.
.
.
.
Aku hanya memandangi makanan yang ada di hadapanku. Padahal yang sekarang sedang nangkring di depanku adalah makanan kesukaanku, segelas jus tomat dan ayam bakar. Dalam keadaan sehat, aku pasti sudah melahap habis ayam itu dan menyeruput hingga kering jus itu. Sehat di sini maksudnya bukan hanya sehat jasmani, tetapi juga hati dan pikiran. Meski badanku sehat, tapi hati dan pikiranku sakit. Dan obatnya cuma ada satu. Tapi sekarang sudah pergi. Sejak hari itu, aku sama sekali belum bertemu dengan Sakura. Di sekolah pun aku sama sekali tak melihatnya. Aku merasa dia menghindariku. Ini membuat perasaan bersalahku padanya semakin besar.
"Sasuke!" Karin memanggilku dengan nada keras. Membuatku kaget, meski aku dapat menyembunyikannya.
"Hn."
"Kau tidak mendengarkanku ya?" tanya Karin kesal.
"Hn, maaf. Tadi kau bilang apa?"
"Lupakan saja. Aku mau pulang." selanya semakin kesal.
"Baiklah." aku lalu berdiri. Setelah membayar aku mengantar Karin pulang. Di jalan kami berdua hanya Diam. Karin masih kesal padaku. Dan aku juga tak ada niat mengajaknya bicara.
.
.
.
.
.
.
Aku celingak-celinguk mencari meja yang kosong. Istirahat baru berlangsung beberapa menit, tapi kantin sudah penuh. Naruto bilang akan menyusul setelah mengembalikan buku ke perpustakaan, karena itu dia menyuruhku ke kantin duluan. Pandangan ku tertuju pada meja paling ujung. Dari sekian banyak meja, hanya meja itu yang kosong. Cepat-cepat aku berjalan menuju meja itu sebelum di tempati orang. Saat menarik kursi hendak duduk, tanganku terhenti demi melihat orang yang duduk di sebelahku. Rambut merah muda sepunggungnya. Bandana merah marun yang selalu dikenakannya. Wajah yang sudah tidak asing dan sangat kurindukan.
"Sakura?" panggilku memastikan. Dia menoleh. Dia tersenyum tipis saat melihatku. Aku membalas senyumnya. Onyx-ku menatap dalam emerald-nya. Kemudian dia tertunduk. Aku lihat dia lebih banyak diam. Aku juga bingung harus bicara apa. Entah kenapa hubunganku dengannya jadi seperti ini.
Aku sedang membolak-balikkan buku menu saat ada segerombolan anak-anak perepuan duduk dibelakangku. Seperti biasa, kebiasaan perempuan, mereka sedang memperbincangkan seseorang, dan aku juga tidak peduli sih apa yang mereka bicarakan. Tapi lama-kelamaan aku menyadari sesuatu. Aku mulai bisa menangkap apa yang menjadi topik pembicaraan mereka. Memang mereka berbicara dengan berbisik-bisik, tapi karena posisi ku yang berada tepat dibelakang mereka, aku bisa mendengar dengan lumayan jelas. Poin plus buatku, mereka juga tidak menyadari siapa yang duduk di belakang mereka.
"Ya, sepertinya sih mereka sudah putus. Aku sudah tidak pernah lagi melihat mereka jalan bersama. Si Haruno itu juga tidak pernah lagi datang ke kelasku. Dari kabar yang kudengar sih katanya Sasuke selingkuh." ucap seseorang yang kuduga itu adalah suara Shion, yang lainnya aku tidak kenal, mungkin dari kelas lain.
"Yang benar? Tapi wajar sih, kan dari awal memang dia yang mengejar-ngejar Sasuke-kun. Mungkin Sasuke-kun sudah bosan padanya, tapi tidak tega jika harus minta putus, jadi diselingkuhin saja deh." tambah perempuan yang satunya lagi. Aku berusaha menahan diri dengan ucapan-ucapan mereka.
"Iya benar. Sasuke-kun pacaran dengannya juga awalnya karena kasihan kan, gara-gara dia yang mengejar-ngejar Sasuke terus." timpal yang lain.
Untuk yang satu ini aku tidak bisa tinggal diam. Aku masih terima saat mereka bilang aku selingkuh, tapi kenapa justru Sakura yang jadi buruk di mata orang lain. Dengan emosi yang hampir meledak aku langsung bangkit dari kursi.
"Hei, jaga bicaramu. Kalau tidak tau yang sebenarnya lebih baik diam." labrakku kesal. Seketika suasana kantin berubah hening. Semua orang memandang ke arah kami. Dalam waktu yang singkat kami menjadi pusat perhatian.
"Sa..Sasuke-kun.." Shion tercekat saat melihatku. Aku melihat kearah Sakura. Dia hanya tertunduk tanpa menoleh.
"Maaf kami tidak bermaksud..." timpal perempuan di sebelahnya, aku tidak tau siapa namanya dan aku juga tidak peduli.
"Apa yang kalian katakan itu tidak benar. Memang benar kalau..."
Greek!
Ucapanku terpotong karena seseorang tiba-tiba berdiri. Aku dan yang lainnya menoleh kearah sumber suara. Suasana kembali hening. Pandangan kini tertuju pada Sakura.
"Sa..Sakura..." kini aku yakin Shion pasti sangat shock.
Sakura berbalik dan menatapku, sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan kerumunan yang entah sejak kapan mengelilingi kami. Aku hanya diam. Aku tidak bisa mengartikan tatapan matanya itu. Tak lama setelah Sakura pergi, aku juga pergi. Kulihat Naruto yang baru datang tampak bingung melihat kerumunan yang ada. Dia menghapiriku.
"Teme ada apa ini?"
Aku terus berjalan tanpa sedikit pun merespon ucapannya.
"Kau mau kemana Teme? Sudah selesai makannya?"
"..."
"Teme! Hoi Teme!" teriaknya karena aku tidak menanggapi dan malah ngeloyor pergi.
Aku mendengar mereka kasak kusuk dibelakangku, tapi aku tidak menghiraukan.
.
.
.
.
Aku memasukkan motorku ke garasi. Hari ini aku merasa sangat lelah. Karena itu setelah sampai di rumah, aku bermaksud untuk tidur. Aku langsung menjatuhkan tubuhku begitu aku berada dalam kamar. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk dapat terlelap. Dalam lelap, aku memimpikan Chiyo-Baa-san. Aku memimpikan Baa-san yang masih hidup. Saat itu kami sekeluarga sedang berlibur ke rumah Baa-san di Suna. Di hari terakhir kami dirumah Baa-san, beliau memberiku sesuatu.
"Sasuke, Baa-san punya hadiah untukmu." sambil tersenyum Chiyo-Baa-san menyodorkan sebuah jam tangan dan sepasang sepatu.
"Wah... arigatou Baa-san." seruku sangat gembira.
"Tapi Sasu cuma boleh ambil satu." ujar Obaa-san lagi.
"Kenapa?" tanyaku bingung. Mauku kan dua-duanya.
"Karena yang satu lagi untuk Matsuri. Sasu adalah anak tertua, jadi Baa-san memberi kesempatan pada Sasu untuk memilih duluan. Kau mau pilih yang mana?" Obaa-san menjelaskan. Aku bingung harus memilih yang mana, karena dua-duanya kusukai. Kurasakan Chiyo-Baa-san menyentuh kepalaku dan mengelus raven chicken butt-ku.
"Pilihlah sesuatu yang kau butuhkan. Baa-san tau Sasuke suka keduanya, tapi diantara keduanya pasti ada yang paling kau butuhkan bukan?!" Baa-san tersenyum lembut. Dari dulu Obaa-san memang selalu bijaksana. Dan semua ucapan beliau selalu bisa membuatku tenang dan percaya diri. Aku mencoba memikirkan sekali lagi.
Antara jam tangan dan sepatu, mana yang paling aku butuhkan? Sepatu. Dirumah aku punya banyak sepatu, jadi untuk saat ini aku tidak membutuhkannya. Sementara jam tangan, aku belum memilikinya. Di sekolah aku selalu kerepotan melihat waktu karena tidak punya jam tangan. Aku juga tidak diperbolehkan membawa ponsel karena peraturan di asrama tidak mengizinkan murid membawa ponsel. Untuk sekarang ini aku lebih membutuhkan jam tangan daripada sepatu. Karena itu aku memilih jam tangan.
"Pilihan yang bagus. Jaga jam ini baik-baik, sampai kamu menemukan sesuatu yang berharga milikmu sendiri." sambil tersenyum Chiyo-Baa-san memberiku jam tangan itu.
Saat itu sebenarnya aku tidak mengerti dengan ucapan Baa-san. Tapi aku merasa bahagia dengan pemberiannya. Dan sejak saat itu, jam itu menjadi benda yang sangat kusayangi. Sampai sekarang pun begitu.
Aku membuka mata. Kenapa aku mimpi kejadian itu? Ini membuatku merindukan Baa-san. Aku menutup mataku dengan kedua telapak tangan. Berkali-kali aku menghela napas.
.
.
.
Aku dan Karin baru saja selesai dari bimbel. Kami berjalan keluar kelas. Ketika hendak menuju tempat parkir, tiba-tiba saja ada yang memukul wajahku.
"Aku sudah memperingatkanmu, kalau kau menyakiti Sakura, aku akan menghajarmu!" ucap orang itu. Ya, itu si muka boneka, Sasori. Entah kenapa setiap kali aku bertemu orang ini, aku selalu kena tonjok.
"Sakura bilang apa?" tanyaku masih terduduk karena tadi aku terjerembab ke tanah. Sasori memukulku dengan sekuat tenaga.
"Dia tidak bilang apa-apa. Tapi dari perubahan sikapnya, aku tau itu gara-gara kau." jawabnya kesal.
"Maaf."
"Jangan minta maaf padaku!" bentaknya, lalu pergi.
Karin yang sedari tadi hanya diam karena kaget, datang menghampiriku dan membantuku berdiri. Dia lalu membawaku kesebuah bangku untuk duduk.
"Siapa orang itu?" tanya Karin sambil membersihkan darah yang keluar dari sudut bibirku dengan tisu.
"Kakak Sakura." jawabku singkat. Sakit soalnya.
"Apa?" Karin agak kaget, "pantas dia berbuat begitu."
"Akkhh..." erangku kesakitan, saat Karin menyentuh bagian bibirku yang terluka.
"Kenapa tadi kau tidak membalas? Aku yakin kau pasti juga bisa melakukannya." tambahnya.
Aku diam. Aku tidak membalas bukan karena aku tidak sanggup, tapi karena aku memang tidak bisa. Karena berhubungan dengan Sakura, makanya aku tidak bisa.
"Karena Sakura." ujar Karin. Aku hanya diam. Mungkin dia tau maksud dari kebisuanku. "ternyata memang tidak bisa kan kalau bukan dia?"
"..."
"Bagimu cuma ada dia kan. Sampai kapan pun aku tidak akan bisa merebut posisi Sakura di hatimu. Aku tidak akan bisa jadi nomer satu di hati Sasuke-kun." jelasnya.
"Maaf." aku hanya bisa meminta maaf. Selain kata-kata itu, aku merasa tidak berhak mengucapkan kata-kata yang lainnya. Sudah cukup masalah yang kubuat selama ini.
"Tidak perlu minta maaf. Sejak awal aku sudah tau kalau kau punya pacar, tapi aku bersikeras untuk pacaran denganmu. Aku ini memang egois."
"Tapi waktu itu aku mau kan jadi pacarmu. Aku juga egois." timpalku.
"Dan karena itu juga kau jadi sadar kan kalau Sakura adalah orang yang penting buatmu." mata ruby-nya menatap intens onyx-ku. Aku hanya diam.
"Kita putus!"
Apa dia bilang?
"Ap, apa?" aku tidak yakin dengan yang kudengar.
"Aku tidak mau pacaran dengan orang yang hatinya ada di tempat lain. Selamat tinggal!" Karin lalu berdiri dan pergi. Aku hanya diam terpaku dengan apa yang baru saja aku dengar. Apa ini? Rasanya seperti tidak punya apa-apa. Perasaan bersalahku semakin bertambah besar. Apa yang sudah aku lakukan?
.
.
.
.
Aku membuka pintu. Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam rumah. Dengan ogah-ogahan, aku mengucapkan salam saat kulihat Kaa-san dan Matsuri tengah duduk diruang keluarga.
"Eh, Nii-chan sudah pulang. Loh wajah Nii-chan kenapa, kok bonyok begitu?" tanya Matsuri saat menyadari keadaan wajahku.
"Jatuh." selorohku sambil terus berjalan tanpa menoleh.
"Jatuh? Tapi kok lebih mirip habis berantem sih." komentarnya. Aku tak menanggapi komentarnya itu. Tapi tebakannya itu memang benar. Aku memang habis berantem. Lebih tepatnya diberantemin.
.
.
Setelah mandi aku tiduran dikamar. Belum lama aku membaringkan tubuh, ada yang mengetuk pintu kamarku. Sambil bangkit dari pembaringan, aku mempersilahkan masuk.
"Kaa-san." seruku begitu tau yang mengetuk pintu adalah Okaa-san. Kaa-san masuk ke dalam kamar dengan membawa sebuah kotak P3K. Kemudian duduk di sebelahku dan mengobati lukaku.
"Kaa-san tau kalau akhir-akhir ini Sasu sedang punya masalah, dan Kaa-san tidak akan tanya macam-macam pada Sasu. Karena Kaa-san yakin Sasu pasti bisa mengatasinya sendiri. Sasu kan sudah besar." sambil tersenyum Kaa-san mengelus helaian raven-ku setelah selesai mengobati lukaku. Seperti obat yang diberikan padaku, ucapan Kaa-san pun sedikit memberikan ketenangan dalam hatiku. Disaat seperti ini memang paling sebal kalau ditanya-tanya. Kaa-san memang orang yang paling mengerti aku. Ucapan beliau yang selalu bijaksana itu mungkin warisan dari Obaa-san.
Kaa-san lalu berdiri. Saat mencapai pintu, Kaa-san berbalik.
"Sasu butuh apa? Biar Kaa-san ambilkan." tanya Kaa-san.
Aku menggeleng. "hn, tidak Kaa-san." jawabku.
"Baiklah." Kaa-san membuka pintu dan kemudian keluar kamar. Butuh?
Yang sekarang ini aku butuhkan? Sekarang yang aku butuhkan cuma satu, Sakura. Aku butuh Sakura. Ya, Sakura. Aku teringat kembali dengan ucapan Baa-san. Sesuatu yang berharga milikku sendiri. Aku sudah menemukannya, Baa-san. Aku tersenyum pada diriku sendiri. Terimakasih.
Aku berdiri dan mengambil jam tanganku yang kuletakkan di atas meja di sisi kanan ranjang, kemudian keluar kamar. Setelah berpamitan aku langsung menuju garasi untuk mengambil motorku. Cuaca yang sedari pagi tampak mendung tak mengurungkan niatku untuk pergi. Mendung kan tak berarti hujan. Tapi untuk berjaga-jaga, aku membawa jaket. Kupacu motorku lebih cepat agar aku bisa segera sampai di tempat tujuan. Aku menekan bel setelah sampai di depan sebuah rumah. Cukup lama aku menunggu untuk dibukakan pintu. Ketika ada yang membuka pintu, hati ini jadi deg-degan. Berdebar tak karuan. Apakah yang membuka pintu adalah orang yang diharapkan?
Aku tersenyum ketika yang membuka pintu adalah orang yang kuharapkan. Emerald-nya memancarkan kebingungan saat melihatku.
"Ada perlu apa?" tanya Sakura sambil membuka pintu gerbang.
"Aku ingin bicara denganmu." jawabku.
"Masuk deh." ajaknya.
"Tidak perlu. Di sini saja." tolakku. Sakura mengiyakan. Aku senang dia masih mau bicara padaku. Tapi ada yang berbeda darinya. Sikapnya padaku agak dingin. Tapi tujuanku datang ke sini adalah untuk memperjuangkan kembali cintaku. Tidak ada waktu untuk mengamati perubahan sikapnya.
Aku mengambil jam tanganku yang kutaruh di saku celana jins-ku kemudian kupakaikan di pergelangan tangan kanan Sakura. Dia tidak melawan, tapi dia tampak bingung.
"Jam ini milikmu. Tidak perlu kau kembalikan." jelasku.
"Tapi Sasuke-kun, hubungan kita sudah berakhir."
"Tapi aku tidak mau berakhir!"
"Apa?" tanyanya tak mengerti.
"Maaf aku sudah menyakitimu. Aku tau maafku ini tidak akan ada gunanya. Tapi aku juga jadi sadar kalau orang yang benar-benar aku butuhkan adalah dirimu. Karna itu aku tidak mau berakhir." jelasku. Harapanku besar kali ini.
"Sasu.." dia menghela napas. Emeraldnya menatapku intens.
"Aku terima kalau kau marah padaku. Tapi tolong jangan membenciku." pintaku. Aku ini tidak tau diri ya.
"Kau tau aku tidak mungkin bisa membencimu." ya, aku tau. Tapi saat ini, aku benar-benar butuh ketegasan kata darinya.
"Tapi aku tidak bisa." tambahnya. Dia palingkan wajahnya.
"Kenapa?" aku masih belum menyerah.
"Sasuke, kita tidak bisa seperti dulu lagi."
"Kenapa tidak bisa?" nadaku sedikit meninggi. Dia masih tidak mau melihatku.
Kutangkup wajahnya dengan kedua tanganku, memaksanya agar dia menatapku. "Sakura lihat aku." emerald-nya mulai berkaca-kaca.
"Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyaku.
"Aku tidak bisa Sasuke, aku tidak bisa."
"Itu tidak menjawab pertanyaanku Sakura." tangannya yang gemetar melepaskan tangkupan tanganku dari wajahnya.
"Sasuke-kun, apa kau tau kenapa dulu aku begitu gigih untuk mendapatkan cintamu?"
Aku terdiam, "kenapa?"
"Karena dari dulu aku pengecut, aku selalu gagal mendapatkan apa yang aku inginkan. Orang yang aku sukai selalu diambil orang lain. Karena tidak melakukan apa-apa, makanya tidak dapat apa-apa juga. Karena itu, aku pikir aku harus lebih berusaha lagi. Itulah kenapa aku begitu gigih berusaha mendapatkan hatimu." kulihat liquid itu menetes dari emerald-nya. Dia menangis. Ini yang kedua kalinya aku melihatnya menangis. Yang pertama, saat aku kecelakaan motor karena remku blong. Dia datang menemuiku di rumah sakit sambil menangis tersedu. Disana, aku memeluknya yang sedang menangis tanpa henti. Sekarang dia menangis lagi, dan itu juga karena aku. Hanya saja kasusnya berbeda.
Aku merasakan liquid lain yang menetes diwajahku. Makin lama makin deras. Derasnya air hujan yang membasahi kami, sama derasnya seperti air mata Sakura yang membasahi pipinya. Dan kami pun jadi basah kuyub.
"Jadi kenapa sekarang kau menyerah? Apa perasaanmu sudah berubah?"
"Sasuke mengertilah. Kita tidak bisa sama-sama." jawabnya masih tetap menangis. Aku mendekatinya dan memeluknya. Dia terkejut.
"Tidak mau! Aku tidak mau berakhir! Aku mau kita sama-sama lagi. Aku mau kita seperti dulu lagi." aku masih memeluknya. Apa kau tidak tau Sakura, aku menurunkan harga diri setinggi langitku hanya untuk memohon padamu.
"Tapi Sasu.. "
"Aku mencintaimu. Dan aku tidak akan melepaskanmu. Tidak lagi." aku bersikeras.
"Sasu... "
"Apa kau tidak mencintaiku lagi?"
"Aku tidak bisa mengabaikan Karin."
"Jawab aku Saku."
"..."
"Diam dan ikuti kata hatimu."
"..."
"Apa kau tidak mencintaiku?"
"..."
"Saku jawab aku." aku menuntut.
"Aku mencintaimu Sasuke." tangisannya semakin kencang.
Lega hati ini mendengarnya. Kueratkan pelukanku padanya, lalu kuelus surai merah mudanya yang kini basah karna hujan. Perlahan tapi pasti kurasakan tangan Sakura memelukku.
"Aku suka Sasuke-kun." akunya.
"Iya. Aku juga suka. Berhentilah menangis." hiburku sabil terus mengelus rambut gulalinya itu.
Aku melepaskan pelukanku. Kutempelkan keningku pada jidat lebarnya, dan kemudian kami tertawa bersama. Kali ini aku tidak akan melepasnya. Aku tidak akan membuat kelopak yang sudah susah payah mekar lagi ini menjadi layu. Agar hatiku tetap hangat dan berwarna, tentu aku harus menjaganya agar tetap mekar.
.
.
.
Omake
.
Hari ini adalah ulang tahun almarhum Itachi-Nii sekaligus hari dimana Chiyo Baa-san meninggal. Ironis ya. Dua orang yang sangat kusayangi pergi meninggalkanku. Tapi tidak masalah, karena aku juga dapat gantinya. Setelah mengunjungi makam Nii-san, aku mengajak Sakura pergi ke makam Baa-san. Aku ingin memperkenalkan Sakura pada mereka berdua.
"Obaa-san. Terimakasih. Karena Baa-san sudah mengajari Sasu banyak hal. Sasu sayang Baa-san." ucapku dalam hati kemudian menabur bunga diatas makam Obaa-san. Setelah membacakan doa untuknya, aku dan Sakura pun pulang. Dengan menggandeng tangannya, perlahan kami meninggalkan area pemakaman.
"Nenekmu pasti orang yang baik ya." komentar Sakura setelah kami duduk disebuah bangku. Tempat ini adalah tempat favoritku setiap kali aku berkunjung dirumah Chiyo Baa-san. Rumah Obaa-san sekarang ditempati Ji-san dan Ba-san. Jadi aku masih tetap bisa berkunjung kemari. Tempat ini benar-benar indah. Pemandangan yang indah dan suasananya yang tenang membuatku betah berlama-lama disini.
"Iya. Aku sangat mengagumi beliau." jelasku, "kau tau, jam itu adalah pemberian Baa-san waktu aku masih SMP. Makanya aku sayang sekali pada jam itu." aku menunjuk tangan kanan Sakura.
"Benarkah? Kalau begitu jam ini tidak boleh diberikan padaku."
Aku tersenyum.
"Tidak apa-apa. Aku sudah menemukan sesuatu yang berharga milikku sendiri kok."
"Maksudnya?" dia tak mengerti. Aku hanya tertawa melihat wajah bingungnya itu. Sakura cemberut lantaran aku tidak mau menjelaskan maksud dari ucapanku tadi. Sangat lucu melihat ekpresinya yang seperti itu.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Sakura.
"Hn."
"Kenapa kau menyukaiku? Bukankah kau pernah bilang kalau aku ini cewek yang merepotkan."
"Aku tidak tau." Sakura mengerutkan alis. Tampak tidak puas dengan jawaban yang kuberikan.
"Tapi aku suka ketika wajah ini tertawa." aku mencubit pipi chuby-nya gemas.
"Aku juga suka dengan wajah yang selalu merah kalau sedang malu ini." tambahku menggodanya. Aku mencium sekilas bibirnya dan tersenyum padanya. Dia tampak kaget kemudian tertunduk.
"Nah, tuh merah lagi." aku menggodanya lagi. Wajahnya kini semerah tomat. Aku tertawa melihatnya.
"Nanti Ji-san dan Ba-san lihat loh." komentarnya malu. Aku hanya tertawa kemudian memeluknya yang tertunduk malu.
Sakura-ku yang sedang malu, bagaikan kelopak bunga musim semi yang bergoyang-goyang saat tertiup angin. Mulai sekarang, tidak akan kubiarkan kau layu. Akan kujaga agar kau tetap bersemi. Selamanya.
FIN
yahuuuuuuuu akhirnya tamat juga #teriak teriak gaje
gimana? bagus gak? atau malah kalian gak puas dengan ending nya?
aku berusaha semaksimal mgkn agar fic ny berakhir dg memuas kn, tp maaf kalo gk sesuai dg harapan para readers sekalian
lagi2 aku begadang spya bs apdet kilat *curhat dan cukup puas dg hasil ny, gk tau deh bagi para readers
sekali lagi makasih karena udh mw mampir di fic yang sangat abal dan alay ini
jgn bosan menunggu fic-fic ku yg lain nya ya, entah kapan itu #ditabok readers
jgn lupa tinggal kn jejak dg mereview :)