I don't own the characters. Copyright: Mangaka Eyeshield 21

Original artwork of cover book is not mine. Just modified it.

Lyric By: One Direction - You and I & Shania Twain - You're Still The One

DiyaRi De present -YOU AND I-

.

.

Oh, ALERT is ON guys... Yang belum cukup umur, duh saya malas bikin tanda SKIP-STOP nya karena udah campur aduk. Tapi tenang saja, ga berlebihan kok...

And ! This is ! The last chapter !

.

.

Chapter 12

Whenever I saw you, I saw love. And the first time you touched me, I felt love. And after all this time, you're still the one I love...

Tiga minggu kemudian...

Mamori mengangkat gaun pengantinnya menuju ruang rias. Pernikahannya sudah selesai beberapa menit lalu dan tamu undangan, sahabat, dan para kerabatnya sudah pulang. Dia menghentakkan kakinya keras-keras karena kesal dengan suaminya. Baru beberapa jam dia menikah, tapi Hiruma sudah membuatnya kesal dan sekarang Mamori tidak henti-hentinya mengeluh dan tidak mau bicara dengan Hiruma.

"Mamo-nee." sahut Suzuna yang mengikutinya dari belakang. "Ada apa? Apa yang You-nii katakan padamu tadi?" tanyanya Heran. Suzuna yang tadi hanya melihat Mamori sedang bicara―atau lebih tepatnya marah-marah kepada Hiruma dan tiba-tiba saja dia langsung menginjak sepatu Hiruma dengan high heels-nya. Saat itu, Suzuna langsung terkikik melihatnya dan mendapat pelototan dari Hiruma sehingga dia langsung saja mengikuti Mamori kesini.

"Laki-laki itu," sahut Mamori membuka pintu ruang rias dan dalam enam langkah sudah menjatuhkan bokongnya di kursi depan meja rias. Dua orang perempuan yang bertugas mengurus riasan Mamori langsung bangun dari duduknya saat Mamori datang dan membantu melepas hiasan rambut Mamori. "Kau tahu Suzuna? Dia membatalkan bulan madu kita besok! Bisa kau bayangkan itu?"

Suzuna terbelalak lalu berdecak tidak percaya, "Ya ampun... Keterlaluan sekali."

"Memang." balas Mamori. Dia lalu berdiri agar dua orang itu bisa membukakan resleting gaun di punggungnya. "Aku sudah mempersiapkan segalanya dan lelaki tidak berperasaan itu―"

"Keluar semua." pintu tiba-tiba terbuka dan Hiruma sudah berdiri di ambang pintu. Dia menyingkir sedikit agar dua perempuan, yang tadi sedang membantu membuka gaun pernikahan Mamori, langsung keluar terbirit-birit. "Kau juga." tambahnya lagi, melotot kepada Suzuna.

Mamori yang sedari tadi hanya menolehkan kepalanya, langsung berbalik, saat Hiruma menutup pintu sambil terus memandangi punggung Mamori yang sudah setengah terbuka. "Apa-apaan kamu?" pelotot Mamori. "Aku sedang tidak mau bicara denganmu."

"Begitu?" ujarnya perlahan sudah berdiri di hadapan Mamori, menarik lembut tangannya dan meletakkannya di belakang pinggang. Hiruma lalu melingkarkan satu lengannya di pinggang Mamori dan satu tangan membelai lembut pipinya. Tubuh mereka sudah menempel dan seketika itu juga langsung menghantarkan gelombang panas ke wajah Mamori karena merasakan bagian bawah tubuh Hiruma yang keras menyentuh perutnya.

Mamori menatap tidak berdaya. Dia kehilangan kata-kata dan luapan kemarahannya yang ingin dia lemparkan ke Hiruma tadi.

Hiruma lalu menatap Mamori tajam. "Kalau begitu kau dengar saja aku dan jangan menyela." katanya, sambil perlahan menempelkan bibirnya ke bibir Mamori. Dia menciumnya begitu lembut dan dalam, melumatnya terus-menerus sehingga membuat Mamori lupa sepenuhnya apa yang ingin dikatakannya. Tangan Hiruma semakin terasa panas membelai punggung telanjang Mamori. Oh ya, Hiruma memang terlalu pandai untuk membuat Mamori terlena dan lupa akan kemarahannya.

Tanpa sadar tangan Mamori lalu perlahan naik ke atas sambil menyentuh tengkuk dan rambut Hiruma―rambut yang disisir rapi sedemikian rupa ke belakang, yang selalu dapat membuat Mamori terkesima dan sesungguhnya dia tidak ingin Hiruma berpenampilan seperti itu karena akan membuat wanita-wanita lain bisa melihat betapa tampannya dia. Mamori menciumnya dengan marah dan egonya yang ingin memiliki Hiruma untuk dirinya sendiri. Wanita lain bisa bilang Hiruma tampan, tapi hanya Mamori yang tahu bagaimana rasa bibir Hiruma yang memenuhi mulutnya dengan aroma mint―yang Hiruma tidak boleh tahu kalau Mamori sangat menyukai rasa itu yang berasal dari dirinya.

Pintu tiba-tiba terbuka, namun mereka berdua masih terlarut dalam ciuman mereka dan tidak menyadarinya sampai ada suara dehaman menyadarkan mereka. "Maaf, You-nii, Mamo-nee... Aku sudah mengetuk tadi, tapi tidak ada jawaban." katanya ragu dan melangkahkan kakinya ke meja depan sofa. "Tas tanganku tertinggal." tambahnya mengambil tas dan mengangkatnya untuk ditunjukkan kepada mereka. "Aku permisi lagi. Silahkan lanjutkan." dia lalu bergeham lagi. "Aku kira aku akan melihat pertengkaran hebat abad ini, tapi ternyata..." gumamnya kencang sambil tersenyum jahil. "Pertengkaran tersingkat yang pernah kulihat." dia lalu berdecak dan menutup pintu.

Hiruma menurunkan wajahnya lagi untuk menemui bibir Mamori namun Mamori memundurkan sedikit kepalanya ke belakang sambil menahan dada Hiruma, "Kau tidak bisa menipuku lagi." sela Mamori, walaupun dia masih terkurung dalam dekapan Hiruma dengan kedua tangan Hiruma yang masih terikat di punggungnya.

"Siapa yang menipumu bodoh?"

"Aku sedang marah padamu tapi kenapa kau menciumku tadi?"

"Aku ingin melakukannya. Kau sudah menjadi istri sialanku sekarang. Memang apa masalahnya, heh?"

"Aku kesal padamu!" jeritnya. "Kau tidak bisa seenaknya membatalkan bulan madu kita!"

"Siapa yang bilang aku membatalkan bulan madu sialan kita? Aku cuma bilang kita tidak jadi ke Swiss." balasnya menoyor kepala Mamori. "Kau yang bodoh sembarang menyimpulkan. Kau akan ikut aku ke Italia dan kita akan liburan disana setelah pertandingan."

"Tetap saja kau mengubah rencananya."

"Kau pikir ini semua salah siapa, heh? Gara-gara ulah sialanmu waktu itu, Pelatih tidak mengizinkanku absen dan harus ikut bertanding di Italia di sela cutiku ini."

Mamori mendesah, "Cuma satu hari kau bekerja?" tanyanya meyakinkan.

"Cuma beberapa jam sialan aku bekerja." jawabnya, lalu menyeringai dan kembali mengambil bibir Mamori dengan bibirnya, dan hanya Tuhan dan mereka saja yang tahu sampai mana ciuman itu akan berlanjut.

.

.

Did they ever hold each other tight like us, did they ever fight us?

I figured it out, saw the mistakes of up and down. Meet in the middle, there's always room for common ground. I see what it's like, I see what it's like for day and night. Never together. Cause they see the things in different light, like us, but they never tried like us.

You and I, we don't wanna be like them. We can make it till the end. Nothing can come between You and I. Not even the Gods above, can separate the two of us. Cause You and I...

.

.

Sambil memakai jubah tidurnya dan mengikatkan tali jubah ke pinggang, Mamori tersenyum melihat suaminya yang terbaring telanjang di ranjang. Selimut menutupi dari bawah perutnya yang bidang sampai ke lututnya. Entah apa yang Hiruma pikirkan, tapi sekarang dia menatap Mamori sambil terlarut dalam pikirannya. Mamori lalu naik ke atas ranjang dan merangkak ke atas tubuh Hiruma dengan perlahan. Dia menaruh kepalanya di dada Hiruma dan melingkarkan tangannya ke tubuh Hiruma sambil perlahan memejamkan mata merasakan kehangatan tubuhnya.

"Aku ingin anakku punya senyum sialan sepertimu." sahut Hiruma.

Mamori mendongak dan menaruh dagunya di dada Hiruma. Dia lalu tersenyum menggoda. "Kau menyukai senyumanku?"

Hiruma tidak menjawab dan hanya diam menatap mata biru Mamori, begitu lama dan intens. Dia memandangi kedua bola mata Mamori, mendambanya dengan penuh kasih, dan saat itu Mamori langsung mengetahui jawaban dari pertanyaannya. "Aku tidak suka senyummu. Apalagi kalau kau sudah menebar senyuman ke orang-orang sialan yang menaruh hati padamu."

"Kau cemburu?"

"Tidak juga." jawabnya sambil mengelus kepala Mamori yang sudah ditaruh lagi di atas dadanya. "Dari dulu aku mau tanya tapi tidak pernah aku lakukan," sahutnya. "Apa yang... membuatmu mencintaiku?"

Mamori mengerutkan dahinya berpikir. "Mm.. aku tanya balik, kenapa kamu juga mencintaiku?" tanya Mamori sudah menatap Hiruma lagi.

Hiruma melihat ke langit-langit sesaat, lalu kembali menatap Mamori yang sudah memandanginya menunggu jawaban. "Karena itu kamu." jawab hiruma. "Karena mencintaimu, aku jadi seperti orang bodoh sialan, yang paling baik hati, menurutmu. Dan aku tidak akan mau bersikap seperti itu lagi kepada siapa pun."

Mamori tersenyum lagi dan menggeser tubuhnya lebih erat ke Hiruma agar dia bisa memeluknya erat. "Aku juga. Karena orang itu kamu Youichi. Dan aku tidak mau kalau bukan kamu. Bukan karena sikapmu, perangaimu, atau sosokmu. Tapi karena semua itu milikmu, aku akan selalu mencintainya."

"Jadi kau mau selamanya terperangkap denganku, heh?"

Mamori menghela napas. "Oh ya ampun, aku sudah disini dan aku sudah menikah denganmu, kenapa kau masih menanyakan apa aku mau? Aku sudah pernah bilang, tanpa kau suruh pun aku akan tetap selamanya―"

Ucapan Mamori terhenti karena Hiruma menekan kepala Mamori dan wajahnya menempel ke dadanya. "Kau ini, aku belum selesai bicara!" protesnya, dengan cepat membebaskan kepalanya lagi dan menatap tajam ke Hiruma.

"Aku tahu. Kau tidak perlu menjelaskannya lagi."

"Lalu kenapa kau masih tanya-tanya!?"

"Aku hanya..." gumam Hiruma, lalu menghela napas. "Takut."

Mamori menaikan alisnya, "Kau bisa ketakutan Youichi?"

Hiruma diam menatap lembut mata Mamori. "Ya, takut kau akan pergi dariku." sahutnya, sangat pelan dan hampir berupa bisikan sehingga Mamori tidak mendengarnya.

Ya, itulah ketakutan terbesar Hiruma. Dia menyadarinya selama ini. Bukannya dia meragukan Mamori, tapi dia hanya berpikir sama seperti orang lain kalau Mamori terlalu baik untuknya. Dia terlalu beruntung bisa mendapatkan Mamori. Dan Hiruma takut Mamori tidak mencintainya lagi dan pergi meninggalkannya. Dia selalu kepikiran akan hal itu, sehingga sekecil apapun hal yang membuatnya merasa Mamori akan meninggalkannya, dia akan merasa sangat khawatir. Itulah yang dia rasakan beberapa waktu belakangan ini, ketika Risa mengganggu mereka.

"hm? Kau mengatakan sesuatu?" tanya Mamori.

Hiruma menyeringai. Dia lalu menggulingkan tubuh Mamori ke samping dan memeluknya. "Tidak ada pengulangan, bodoh. Kalau kau tidak mendengarnya, itu salahmu."

"Baiklah." jawab Mamori pasrah sambil mengelus rambut Hiruma dari dahinya. "Aku memaafkanmu."

"Memang siapa yang meminta maaf padamu, heh?"

Mamori tersenyum dan menaikan bahunya singkat sambil menelusuri leher sampai ke dada telanjang Hiruma dengan jarinya. "Sekarang jangan khawatirkan apa-apa lagi. Aku akan selamanya di sisimu. Hanya ada kamu, dan aku. Tidak ada orang lain yang bisa memisahkanmu dari aku."

"Cuma ada kita?" tanya Hiruma dan Mamori mengangguk. "Kau melupakan bayiku, heh?"

Mamori menunduk melihat perutnya lalu tersenyum. "Dia bagian dari kita tentu saja." jawab Mamori sambil memeluk Hiruma kasar. "Oh Tuhan...Aku masih belum percaya kalau kita sudah menikah. Aku bertanya-tanya kenapa kita tidak menikah dari dulu. Sampai aku berpikir kalau kau sesungguhnya tidak mau menikah denganku." ujar Mamori lalu menambahkan lagi. "Berarti sekarang aku punya hak untuk memerintah atau melarangmu ya kan?"

"Heh... kapan aku pernah bilang hal bodoh begitu?"

"Ah, aku memang tidak perlu izin darimu karena sekarang aku sudah menjadi istrimu. Dan kalau kau tidak mau mematuhiku, aku akan pulang ke rumah orangtuaku." lanjutnya tadi seolah tidak mendengar pernyataan Hiruma barusan.

"Peraturan sialan dari mana itu?"

Mamori tertawa. "Sekali-kali aku ingin melakukannya nanti."

Hiruma melotot. "Tidak boleh. Kalau kau berani melakukannya, aku akan memotong kaki dan tanganmu."

"Kau tidak akan berani melakukannya." balas Mamori datar. "Oh ya ampun... Aku suka sekali menggodamu seperti ini."

Mamori lalu mendorong tubuh Hiruma, bangun dari tidurnya, dan menduduki tubuh Hiruma sambil mengikat rambutnya. Mamori menjerit pelan saat Hiruma bangkit, membuat Mamori terduduk di antara kedua paha Hiruma. "Aku tahu apa yang mau kau lakukan." tatapnya tajam ke arah Mamori.

Mamori tersenyum menggoda sambil melingkarkan lengan ke leher Hiruma dan duduk mendekat. "Aku rasa kau akan menyukai hal ini mengingat sekarang aku sedang hamil. Jadi lebih baik biarkan aku yang melakukannya." katanya sambil melirik sekilas ke tubuh bagian bawah Hiruma.

"Aku menyukainya. Tapi tidak akan kubiarkan kau bertindak sesukamu."

Mamori berdecak. "Kau sungguh keras kepala."

"Ya. Aku jahat dan keras kepala, dan kau mencintaiku." ujarnya menarik pinggang Mamori dan menempelkan tubuh mereka. Hiruma lalu membuka perlahan jubah tidur Mamori sambil mencium leher dan pundaknya. Menelurusi kulit putih Mamori dan setiap lekuk tubuhnya dengan tangannya kasar. Mamori mendesah merasakan kenikmatan yang dihantarkan Hiruma dan melengkungkan punggung ke depan membuka akses bagi Hiruma untuk melumat dada Mamori dengan mulutnya.

Hiruma berhenti dan menurunkan tubuh Mamori sambil mencium kembali leher, ke dagunya, lalu mengecup bibir Mamori untuk mengembalikan 'kesadarannya'. Hiruma memangku Mamori yang sudah setengah kehabisan napas sambil mendekapnya dan dengan lembut mengelus rambutnya. Dia mengecup lembut pundak Mamori lagi. "Aku selalu bersyukur kau mencintaiku. Aku selalu bersyukur bisa bertemu denganmu. Aku tidak pernah bisa membayangkan aku sendirian tanpa ada kamu."

Mamori yang hanya mendengar ucapan lembut Hiruma tadi, hanya bisa terdiam sambil meneteskan air matanya perlahan. Dia membalas pelukan Hiruma sama eratnya. "Tidak. Jangan pernah membayangkannya. Selamanya Youichi... Kita akan selamanya bersama." air mata bahagia Mamori mengalir tambah cepat. Dia yakin satu hal, yang seharusnya dia yakini dari dulu kalau dia tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, karena Hiruma sungguh sangat mencintainya. Hiruma bahkan rela bersyukur karena dirinya.

Mamori merasa sangat lega. Kenyataan kalau sekarang Hiruma adalah suaminya dan sepenuhnya miliknya membuat Mamori merasa aman. Mamori menempelkan pipi ke dada Hiruma ketika Hiruma berbaring dan membawa Mamori ke atasnya sambil tetap memeluknya. Dia lalu mencium ujung kepala Mamori dengan lembut, dan selamanya tidak akan pernah dia lepaskan.

.

.

Catatan Kecil:

Terima kasih untuk Ruri-san. Jadi ingat saya pernah ngoreksi ulang chapter-chapter fic ini sebelum di post. Terus saya nemu Typo yang bikin ngakak 'nenyakoto' dan 'sekanat'... ya ampun, coba tebak kata aslinya apa? Duh...

Btw, saya melakukan kesalahan besar di chapter 11. Ada yang menyadarinya? Yahh, walaupun sudah saya ganti beberapa jam kemudian setelah di post. Hehe, semoga saja tidak ada yang tahu.

Okey guys. Terima kasih untuk yang telah berpartisipasi selama peng-update-an fic ini. Terima kasih yang sudah membaca, me-review, mem-favorite, dan mem-follow fic ini. Banyak nama yang, saya ingin sekali menyebutkannya satu per satu disini, tapi kebanyakan. Jadi, semoga rasa terima kasih saya sampai kepada kalian para Reder tercinta. Dan terima kasih juga sudah menyukai fic saya.

Semoga kita bisa bertemu secepatnya di cerita-cerita saya selanjutnya. Dan semoga saja ide bisa muncul dengan cepat di otak saya, hehe. Mohon maaf juga atas kekurangan dan kesalahan saya dalam pembuatan fic ini ataupun di fic-fic sebelumnya.

So~ see you next time guys~!

Salam: De

Oh, don't miss the side story guys! Check it out ^.^v

.

.

Side Story

"Oh, lihat-lihat! ada Kobayawaka-kun." jerit salah satu murid perempuan dari jendela lantai tiga melihat murid-murid baru yang sedang mengecek namanya sendiri di pengumuman penerimaan murid baru. "Aku harap dia diterima di SMA kita. Oh Tuhan... Kalau dia masuk SMA ini, maka sudah pasti Hiruma-kun juga masuk sini."

"Ya, ya! Mereka kan sahabat sejak kecil. Terus, terus, apa Hiruma-kun juga datang melihat?" ujar murid perempuan lain sambil celingukan mencari orang yang dimaksudnya di antara gerombolan murid baru di bawah.

"Dia jarang berada di keramaian." jawab murid lain di antara mereka. "Tapi yang aku tahu, Hiruma-kun punya pacar anak SMP di sekolah khusus putri yang terkenal itu. Perempuan cantik berambut cokelat kemerahan."

"Kau serius? Yang aku tahu dia suka perempuan lebih tua. Aku pernah melihatnya jalan dengan tante-tante cantik!" sahut yang satunya. "Oh, dia juga punya rambut warna cokelat kemerahan."

"Jangan-jangan dia tidak suka perempuan berambut hitam?" ujar murid yang pertama bicara tadi sambil melihat ke dua temannya satu sama lain "Ya ampun! Dia terlalu misterius. Andai saja dia lebih terbuka seperti Kobayakawa-kun. Orang itu ramah sekali."

"Ck! Kau ini. Kau tidak akan bicara seperti itu kalau kau sudah pernah menyapanya. Oh, Tuhan. Aku jatuh cinta dengan senyumannya."

"Senyumnya? Dia juga bisa tersenyum?"

"Tentu saja bisa!' jawabnya langsung. "Dia itu, diam bagaikan iblis dan tersenyum bagai malaikat. Bisa kau bayangkan itu?"

.

.

Beberapa minggu kemudian...

Lorong menuju taman sekolah itu terlihat sepi. Tentu saja sepi, Hiruma Keiichi tidak akan berada di tempat ramai dan lebih memilih menghindarinya. Dan karena sekarang sudah jam pulang sekolah, sebagian murid yang tidak punya kegiatan klub memilih untuk pulang. Keiichi tentu ikut kegiatan klub. Dia adalah Quarterback bertangan dingin saat di SMP-nya dulu. Di SMA-nya sekarang pun, dia ikut klub American Football dan berharap dalam waktu singkat dia bisa segera menyingkirkan Quarterback tetap dan menggantikan posisinya.

Keiichi berjalan lurus ke depan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Dia menurunkan earphone ke lehernya saat samar-samar mendengar seseorang memanggil namanya. Mata birunya menyusuri ke sekitar dan mendapati sahabat baiknya yang berusia hampir lima bulan lebih tua darinya sedang berlari ke arahnya. Ya, berlari adalah salah satu keahliannya makanya dia ikut klub atletik.

Kobayakawa Yuki sampai beberapa detik kemudian di depan Keiichi. Yuki, dengan tinggi tubuh seratus enam puluh empat senti dan lebih pendek sembilan senti dari Keiichi, dia sama sekali tidak kehabisan napas walaupun sudah berlari seperti itu. "Aku rasa aku tidak mau dekat-dekat denganmu untuk beberapa hari." sahutnya langsung sambil memberikan sepucuk surat kepada Keiichi.

"Apa ini?" tanya Keiichi datar.

"Pakai tanya. Ini akibatnya kalau kau tersenyum dihadapan orang-orang. Kau tidak tersenyum saja sudah membuatku repot."

"Oh, aku tidak ingat pernah mengumbar senyumku di depan orang-orang banyak." balasnya santai.

"Kepalamu." bantah Yuki. "Kau tersenyum puas bersama teman-teman setimmu saat kau menjuari kejuaraan Amefuto SMP waktu itu. Apa kau tahu dampaknya pada penonton perempuan yang duduk di sekitarku? Aku yakin kau tidak mau tahu." tambahnya.

"Tapi bukannya sudah tersebar gosip kalau aku punya pacar anak SMP Himeno?" tanyanya lagi tidak menggubrik ocehan sahabatnya itu.

"Jangan tanya aku. Aku percaya gosip itu sudah tersebar luas."

"Sialan! Seharusnya Mika menggandeng tanganku terus waktu kita pergi ke festival sekolah ini."

"Kau tidak boleh mengandalkan adikmu terus." ujar Yuki. "Cepat kau buka surat itu."

"Kenapa jadi kau yang penasaran?" balasnya dan membaca sekilas begitu saja sampai dia menemukan tempat dan jam kemungkinan si pengirim surat penyuruhnya pergi ke suatu tempat. "2-E. Kakak kelas kita?"

"Mungkin. Senior klubku yang menitipkannya padaku."

Keiichi menghela napas. "Merepotkan saja. Apa kau tidak bisa bilang ke seniormu dan biarkan dia saja yang bilang ke perempuan ini kalau aku tidak tertarik?"

"Jangan ketus begitu. Temui saja dulu. Siapa tahu kau suka."

Keiichi menaikkan bahu. "Kalau dia tidak secantik Ibuku dan Mika, aku tentu tidak akan mau."

Yuki berdecak. "Jangan samakan dengan mereka." ocehnya. "Sudah cepat." dorong Yuki membuat Keiichi berjalan kembali ke dalam lorong kelas. "Oh, kalau kau tidak mau menambah masalah, jangan tersenyum kepada perempuan itu."

"Aku tahu." jawabnya malas merasa terganggu sambil mengacak-acak rambut lembut hitamnya dan memasang kembali earphone ke telinga. Dia lalu berbalik lagi dan menatap tajam Yuki sambil menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah Yuki yang masih berdiri disana. "Dan kau. Jangan mengintip. Kau tunggu saja disini atau pergi kemana pun asal jangan mengikutiku. Aku tahu kau akan melaporkan ini ke Ibuku."

Dan Yuki hanya tersenyum polos pura-pura tidak mendengarkan melihat sahabatnya yang sudah berbalik lagi menyusuri kelas.

.

.

END

Thank you all~!

Btw, ternyata lagu You & I udah dibuat MV-nya guys. Lihat deh, bagus . !